Nonton iklan bentar ya...!!!

Saturday 27 August 2011

Menikah Seorang WanitaDengan Niat Sang SuamiUntuk Menceraikan Isterinya

Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus
Sunnah II:38 mengatakan bahwa
para fuqaha’ para pakar fiqih sepakat
bahwa barangsiapa menikahi seorang
perempuan tanpa menetapkan syarat
penentuan batas waktu yang jelas namun didalam hatinya tersirat niat
hendak menceraikannya kembali
setelah jangka waktu yang tidak
tertentu atau sesudah yang
bersangkutan selesai menjalankan
tugas di suatu negeri di mana di situ dia menetap sementara maka,
perkawinannya sah. Akan tetapi Imam al-Auza’i menyelisihi dan menganggap perkawinan tersebut sebagai kawin mut’ah. Syaikh Rasyid Ridha memberi komentar terhadap persoalan ini dalam Tafsir al-Manar dengan menulis, ”Demikian permasalahan ini, mengingat akan kerasnya ulama’ salaf dan khalaf mencegah kita dari melakukan kawin mut’ah, larangan keras tersebut juga meliputi larangan nikah dengan niat hendak menceraikannya kembali. Meski para ahli fiqh berpendapat, bahwa akad nikah ini sah, bila seorang laki-laki kawin untuk sementara waktu namun dalam redaksi akad nikah tidak dipersyaratkan batas waktunya yang jelas.” Namun penyembunyian niat hendak mencerai kembali itu termasuk penipuan dan pengelabuan, bahkan ia lebih patut menjadi penyebab batalnya perkawinan ini daripada sekedar akad nikah yang didalamnya ditentukan syarat pembatasan waktu yang saling diridhai oleh kedua mempelai dan walinya yang mana di dalamnya tidak terkandung mafsadah kecuali sekedar
mempermainkan ikatan yang agung ini yang merupakan ikatan kemanusiaan yang paling besar dan hanya untuk memuaskan nafsu seksual dawwaqin (para laki-laki tukang cicip) dan dzawwaqat (para perempuan tukang cicip), yang kesemuanya itu pasti akan melahirkan
aneka bentuk kemungkaran. Adapun pernikahan yang didalamnya tidak dipersyaratkan penentuan batas masa berlakunya berarti mengandung
unsur penipuan dan pengelabuan, sehingga akan menimbulkan berbagai kerusakan yang lain yang berupa permusuhan, kebencian dan hilangnya kepercayaan walaupun kepada orang-orang yang jujur yang hendak melaksanakan akad nikah dengan sesungguhnya yang dimaksudkan sebagai membentengi bagi masing-masing dari kedua mempelai terhadap pasangannya dan memupuk sikap ikhlash suami kepada
isterinya dan begitu sebaliknya serta memperkokoh hubungan kerjasama antara keduanya dalam menegakkan salah satu rumah tangga yang shalih di tengah masyarakat yang baik.” selesai. Penulis berkata: Pendapat Syaikh Rasyid Ridha ra ini diperkuat oleh atsar berikut: Dari Umar bin Nafi dari bapaknya (yaitu Nafi’) bahwa ia berkata, ”Ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Umar r.a. lalu bertanya perihal seorang
laki-laki yang mentalak tiga isterinya, kemudian dikawin oleh saudaranya tanpa minta persetujuan kepadanya supaya dia (perempuan itu) menjadi halal lagi bagi saudaranya. Apakah dia
halal bagi suami yang pertama?” Maka jawab Ibnu Umar, ”Tidak’ (halal), kecuali pernikahan yang didasarkan cinta yang tulus. Dahulu, pada masa Rasulullah saw. kami menganggap pernikahan seperti ini perzinahan.” (Teks Arab dan Takhirj hadits telah dimuat di beberapa halaman sebelumnya). Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al- Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As- Sunnah), hlm. 580 -- 581

No comments: