Nonton iklan bentar ya...!!!

Sunday 21 August 2011

pengertian ilmu fiqih

Firman Allah dalam QS At Taubah [9] :
123; “Maka apakah tidak lebih baik dari
tiap-tiap kelompok segolongan
manusia untuk ber
“tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi
peringatan kaumnya bila mereka
kembali; mudah-mudahan kaumnya
dapat berhati-hati (menjaga batas
perintah dan larangan Allah).” Hadits Nabi : “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah
akan diberikannya kebajikan dan
keutamaan, niscaya diberikan
kepadanya “ke-faqih-an ” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR.
Bukhari-Muslim). Ilmu fiqih adalah ilmu untuk
mengetahui hukum Allah yang
berhubungan dengan segala amaliah
mukallaf baik yang wajib, sunah,
mubah, makruh atau haram yang
digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”.
Sedangkan kaidah-kaidah istinbath
(mengeluarkan) hukum dari
sumbernya dipelajari dalam ilmu
“Ushul Fiqih”. II. Perkembangan Ilmu Fiqih A. Masa Nabi Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan, ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan diikuti oleh umatnya. Dalam masa Nabi wahyu Al- Qur’an masih terus turun susul- menyusul. Wahyu yang turun kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang
sedang terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya. Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga Nabi menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri. Pada peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu diterima dan dilaksanakan oleh Nabi. Beberapa penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon kurma, seraya bersabda “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu”. Pada waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu kemudian Nabi bertanya : “Apa yang sedang kalian masak dalam periuk itu ? “ Sahabat menjawab : “Daging keledai jinak”. Nabi kemudian berkata : “Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya”. Salah seorang sahabat berdiri dan berkata : “Bagaimana kalau kami membuang isinya dan kami mencuci periuknya ?” Nabi menjawab : “Seperti itupun boleh”. Jadi dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan kemaslahatan. Para sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan “ijtihad pribadi” maka tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi memberitahukan yang benar atau
Nabi memberi komentar terhadap ijtihad para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah sebagai berikut : 1. Dalam perang Zatu al Salasil
(perang musim dingin) ‘Amr bin
Ash mengalami mimpi junub. Akan
tetapi ‘Amr bin Ash takut mandi
karena hawanya sangat dingin,
kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat subuh.
Disaat ijtihad ‘Amr bin Ash itu
sampai kepada Nabi, maka beliau
bertanya kepada ‘Amr bin Ash :
“(Benarkah) kamu shalat bersama
sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?”
maka ‘Amr bin Ash menjawab :
“Aku mendengar Allah berfirman : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu.” (QS An-Nisa : 29) Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya. 1. Dalam suatu perjalanan, Umar bin
Khattab dan ‘Ammar bin Yasir
sama-sama dalam keadaan junub.
Pada saat itu mereka tidak
mendapatkan air untuk mandi
besar, sementara waktu shalat telah tiba. ‘Ammar ber-ijtihad
dengan meng qiyas kan air
dengan debu, maka ‘Ammar
berguling-guling diatas tanah.
Sementara Umar bin Khattab tidak
ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil
dan memilih untuk menunda
shalat. Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka
lakukan, Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan darurat. 1. Bani Quraidhah adalah orang-
orang Yahudi penduduk Madinah
yang terikat perjanjian
persekutuan dengan kaum
Muslimin untuk saling membantu
bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab
(Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah
melakukan pengkhianatan
berusaha membantu musuh yang
mengepung kota Madinah. Setelah
kaum pengepung diporak- porandakan oleh badai gurun
yang dahsyat dan peperangan
pun selesai, Allah memerintahkan
Nabi mengepung Bani Quraidhah.
Untuk itu nabi bersabda : “Jangan
ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraidhah”.
Sekelompok sahabat Nabi
memahami sabda Nabi tersebut
berdasarkan mantuq (makna
lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat
ashar. Sebagian sahabat yang lain
memahami sabda Nabi diatas
berdasarkan mafhum (makna
tersirat) yaitu boleh melakukan
shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas
menuju ke perkampungan Bani
Quraidhah. Ternyata Nabi
membenarkan kedua pemahaman
tersebut. Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada ditengah-tengah para sahabat. B. Masa Khulafaur Rasyidin Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat. Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma’ yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan
wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota- kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing- masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke
Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand. Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi : “Ikutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.” (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim) “Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud). Disamping empat orang Khulafaur
Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf. Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa ayat Al-Qur’an dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits. Firman Allah dalam QS At-Taubah :
100 : “Orang-orang yang terdahulu lagi
pertama-tama (masuk Islam)
diantara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada
Allah.” Hadits Nabi : “Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.” Para Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan dan diikuti. Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah : 1. Abdullah Ibnu Abbas,
mengembangkan perguruannya
di Mekkah. 2. Abdullah Ibnu Mas’ud,
mengembangkan perguruannya
di Kufah. 3. Abdullah Ibnu Umar,
mengembangkan perguruannya
di Madinah. 4. Abdullah bin ‘Amr bin Ash,
mengembangkan perguruannya
di Mesir. 5. Muadz bin Jabal, mengembangkan
perguruannya di Damaskus
(Syria). 6. Zaid bin Tsabit, mengembangkan
perguruannya di Madinah. 7. Aisyah, Ummul Mukminin 8. Abu Hurairah, sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadits Nabi. 9. Abu Darda’, mengembangkan
perguruannya di Basrah. 10. Abu Musa Al-Asy’ari, mengembangkan
perguruannya di Basrah. 11. Ubay bin Ka’ab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah. Karakteristik Ijtihad masa Sahabat : 1. Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar. 2. Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir. 3. Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi. Atsar dari Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Ka’ab menjawab : “Apakah hal itu telah terjadi ?”
Aku menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kami”. 4. Toleran Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab
bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : “Apa yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab : “Aku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu aku akan menghukumi demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu, sedangkan urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak (lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaid”. 5. Menjauhi pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang yang suka membahas ayat- ayat mutasyabih. C. Masa Tabi’in Para tabi’in adalah murid-murid
langsung dari para sahabat Nabi.
Pada masa tabi’in mereka
melakukan dua peranan penting,
yaitu : 1. Mengumpulkan riwayat
hadits dan fatwa sahabat. 2. Ber ijtihad untuk
masalah-masalah yang belum
diketahui pendapat dari
sahabat. Para tabi’in di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing- masing dari kalangan sahabat Nabi. Mufti dan Fuqaha di Madinah 1. Said bin Al Musayyab 2. Urwah bin Zubair 3. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar Shidiq 4. Kharijah bin Zaid bin Tsabit 5. Abu Bakar bin Abdurrahman 6. Sulaiman bin Yasar 7. Ubaidillah bin Abdullah Mufti dan Fuqaha di Mekkah : 1. Atha’ bin Abi Rabah 2. Thawus bin Kisan 3. Mujahid bin Jabar 4. Ubaid bin Umar 5. Amru bin Dinar 6. Ikrimah maula Ibnu Abbas Mufti dan Fuqaha di Basrah : 1. Amru bin Salamah 2. Abu Maryam al-Hanafy 3. Ka’ab bin Sud 4. Hasan Al Basri 5. Muhammad bin Sirin 6. Muslim bin Yasar Mufti dan Fuqaha di Kufah : 1. Alqamah bin Qais An-Nakhaiy 2. Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany 3. Syuraih al Qadhy 4. Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-
Qadly. 5. Rabi’ bin Khutsam. Mufti dan Fuqaha di Mesir : 1. Yazid bin Abi Habib 2. Bakir bin Abdillah 3. Amru bin Al-Harits Mufti dan Fuqaha di Yaman : 1. Mutharrif bin Mazin al-Qadly. 2. Abdul Raziq bin Hamman 3. Hisyam bin Yusuf 4. Muhammad bin Tsur 5. Samak bin Al-Fadhl Mufti dan Fuqaha di Baghdad : 1. Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam 2. Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al
Kalby Mufti dan Fuqaha di Andalusia : 1. Yahya bin Yahya 2. Abdul Malik bin Habib 3. Baqi bin Makhlad 4. Qasim bin Muhammad 5. Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sab’ah) Mereka adalah para tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu : 1. Said bin Al-Musayyab (15 – 93 H),
menantu sahabat Nabi Abu
Hurairah. Ahli hadits, paling
mengetahui keputusan hukum
Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu
Syihab Az Zuhry. 2. ‘Urwah bin Zubair (wafar 94 H),
keponakan Aisyah Ummul
Mukminin. 3. Abu Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits
bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94
H). 4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar Shidiq (wafat 94 H). 5. ‘Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah
bin Mas’ud (wafat 99 H), guru
Umar bin Abdul Azis. 6. Sulaiman bin Yasar (34-100 H),
meriwayatkan hadits dari Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu
Hurairah, Aisyah, Maimunah dan
Ummu Salamah. 7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli
fiqih dan menguasai ilmu faraidh
(warisan). D. Masa Tabi’t Tabi’in dan Imam
Mazhab. Mufti dan Fuqaha di Mekkah : Di mekkah terdapat Muslim bin
Khalid Al Zanji, Sa’id bin Salim Al-
Qadah, Abdullah bin Zubair al
Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Mufti dan Fuqaha di Madinah : Ibnu Sihab Az Zuhri,
Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin Anas. Mufti dan Fuqaha di Basrah : Abdul Wahab bin Majid Ats
Tsaqafy, Said bin abi ‘Arubah,
Hammad bin Salamah, Ma’mar bin
Rasyid. Mufti dan Fuqaha di Kufah : Ibnu Abi Layla, Abdullah bin
Syubramah, Syarikh Al Qadly,
Sufyan Tsauri, Muhammad Al
Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al
Qadly, Abu Hanifah Mufti dan Fuqaha di Baghdad : Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al
Kalbi. Mufti dan Fuqaha di Syam Yahya bin Hamzah Al Qadly, ‘Amru
Abdurrahman bin ‘Amru Al
Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu
Mubarak. Mufti dan Fuqaha di Mesir : Abdullah bin Wahbin, Al Muzny,
Ibnu Abdul hakam, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Imam Abu Hanifah (80-150 H) Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, lahir tahun 80 H di kota Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak menulis dan memberi fatwa. Abu Hanifah pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi ke pasar. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan Sya’bi yang melihat bakat kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui ulama mempelajari agama. Nasehat Syabi’ berkesan di hati Abu Hanifah, kemudian beliaupun banyak berguru kepada para ulama. Imam Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Atha’ bin Abi Rabah, Abu Ishaq As Syuba’I, Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin Mukandar, Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin Harb. Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari qiraat dari Imam ‘Ashim (salah satu qurra’ tujuh). Beliau seorang hafidz (hafal Al- Qur’an), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali. Imam Syafi’i berkata : “Semua kaum muslimin berhutang budi pada Abu Hanifah, Imam Abu Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya.” Imam Malik berkata : “Subhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti dia, andaikan dia mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia akan dapat membuktikannya melalui Qiyasnya.” Mengenai metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata : “Saya mengambil Kitabullah (Al-Qur’an) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya jumpai dalam Al-Qur’an akan saya ambil dari Sunnayh Rasulullah SAW, dari riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang kepercayaan. Jika saya tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, saya
akan mengambil fatwa para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain. Setelah itu saya tidak akan keluar dalam fatwa selain mereka. Jika telah sampai kepada Ibrahim, Sya’bi, Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan lainnya, maka saya ber-ijtihad sebagaimana mereka juga ber- ijtihad. Fudail bin Iyadh mengatakan : “Jika ada masalah didasarkan pada hadits yang shahih sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari sahabat dan tabi’in. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas dengan cara yang sangat baik”. Al-Dabussi dalam kitab Ta’sis al- Nazhar menyebutkan : “Abu Hanifah suka pada kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan murid-muridnya untuk mengajukan keberatan- kebaratan atas ijtihadnya. Imam Abu Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqa’iq), memahami isi dan misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam bentuk illat-illat dan hukum- hukum.” Imam Abu Hanifah berkata : “Perumpamaan orang yang mempelajari hadits, sedangkan ia tidak memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan obat, sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan, akhrinya dokter datang….demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak mengenal wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqih”. Imam Abu hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau pernah mengalami dua kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun pengangkatan itu ditolak oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat belas kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani Umayyah. Ujian kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Manshur dinasti Abbasyah. Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa dalam penjara. Beliau juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafi’i. Metode Ijtihad Imam Abu
Hanifah : 1. Al-Qur’an 2. Hadits dari riwayat kepercayaan. 3. Ijma’ 4. Fatwa Shabat 5. Qiyas 6. Istihsan (keluar dari qiyas umum
karena ada alasan yang lebih
kuat). 7. Urf (kebiasaan yang baik dalam
tata-pergaulan, muamalah
dikalangan manusia) Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar- dasar kodifikasi ilmu Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan oleh sahabat sekaligus murid- muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani. Fiqih mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi ra’yu (Qiyas) lebih banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan hadits/atsar. Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi : Tentang Masailul Ushul : 1. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al Hasan. 2. Al-Jami’us Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan. 3. Al-Jami’ul Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan. 4. As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan. 5. AS-Sairus Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan. 6. Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al Hasan. 7. Al-Kafi, karya : Abdul Fadha’ Hammad bin Ahmad. 8. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl. Tentang Masailul Nawadhir : 1. Dhahirur Riwayah, karya : Muhammad bin Al Hasan. 2. Haruniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan. 3. Jurjaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan. 4. Kisaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan. 5. Al-Mujarrad, karya : Hasan bin Ziad. Tentang Fatwa wal Waqi’at : 1. An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi. Tentang Akidah dan Ilmu Kalam : 1. Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthi’ Al Hakam. Imam Malik bin Anas (93-179
H) Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah hafal Al- Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama. Imam Malik belajar hadits kepada Rabi’ah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafi’ Maula Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah, Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi’ bin Abu Nu’man.

2 comments:

siswonoGURU said...

Harap diperiksa apakah bunyi QS At-Taubah (9):123 seperti itu?

Alanwasyahlan said...

Maaf pak.saya salah ketik .ayatny 122..terimakasih .