Nonton iklan bentar ya...!!!

Thursday 18 August 2011

Problematika Bilangan RakaatShalat Tarawih

Bulan Ramadhan adalah bulan
termulia; bulan turunnya Al-Qur`an
untuk pertama kali, bulan penuh
ampunan, rahmah serta ridho Allah
Subhanahu wa Ta`ala, bulan yang
penuh dengan momen-momen terkabulnya doa, di bulan ini terdapat
lailatul qadar, yakni suatu malam yang
lebih baik daripada seribu bulan. Bulan Ramadhan merupakan
kesempatan emas bagi umat Islam
untuk memperbanyak pahala dengan
melakukan berbagai macam amal
ibadah. Diantara ibadah yang mendapat
penekanan khusus pada bulan
Ramadhan adalah qiyam Ramadhan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: ﺎًﺑﺎَﺴِﺘْﺣﺍَﻭ ﺎًﻧﺎَﻤﻳِﺇ َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ َﻡﺎَﻗ ْﻦَﻣ
ِﻪِﺒْﻧَﺫ ْﻦِﻣ َﻡَّﺪَﻘَﺗ ﺎَﻣ ُﻪَﻟ َﺮِﻔُﻏ “Barangsiapa melaksanakan qiyam
pada (malam) bulan Ramadhan
karena meyakini keutamaannya dan
karena mencari pahala (bukan karena
tujuan pamer atau sesamanya), maka
diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (Muttafaq `alaih). Qiyam Ramadhan yang dimaksud
pada hadis di atas bisa dilaksanakan
dengan shalat Tarawih atau ibadah
lainnya.(1) Kontroversi Jumlah Rakaat Shalat
Tarawih Perdebatan seputar jumlah rakaat
shalat tarawih bukanlah hal baru
dalam kajian hukum Islam.
Perdebatan itu adalah perdebatan
klasik dan telah ada sejak masa
para ulama salaf. Imam Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada
Imam Ahmad bin Hanbal tentang
jumlah rakaat shalat qiyam
Ramadhan yang beliau kerjakan.
Beliau menjawab: “Ada sekitar
empat puluh pendapat mengenai masalah ini.” Imam al-`Aini
menyebutkan sebelas pendapat
ulama seputar jumlah raka`at
shalat Tarawih.(2) Walaupun terjadi perbedaan semacam
itu, perlu diketahui, shalat Tarawih
boleh untuk dilakukan hanya dua
rakaat saja atau berpuluh-puluh
rakaat.(3) Syekh Ibnu Taimiyah
berkata : “Barangsiapa yang menduga bahwa sesungguhnya qiyam
Ramadhan memiliki bilangan tertentu
yang ditentukan oleh Nabi shallallahu
alihi wa sallam, tidak boleh ditambah
atau dikurangi, maka sungguh dia
telah salah.”(4) Para ulama hanya berbeda pendapat dalam menentukan
jumlah rakaat yang paling utama.(5)
Kebanyakan ulama memilih dua puluh
rakaat.(6) Namun ada juga beberapa
pendapat yang memilih selain dua
puluh, seperti sebelas (delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir) dan
lain-lain.(7) Ibnu Taimiyah
menganggap semuanya baik dan
boleh dikerjakan.(8) Perbedaan ini muncul karena di dalam
hadis-hadis yang shahih, tidak ada
kejelasan berapa rakaat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam melakukan
qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi
shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian
dikenal dengan shalat Tarawih itu
selama dua atau tiga malam saja
dengan berjamaah di masjid. Malam
ketiga atau keempat, beliau ditunggu-
tunggu, tetapi beliau tidak keluar. Sejak saat itu, sampai beliau wafat
bahkan sampai pada awal masa
Khalifah Umar bin Khattab
radhiyallahu `anhu, tidak ada yang
melakukan shalat Tarawih secara
berjamaah dengan satu imam di masjid.(9) Dalil Tarawih 20 Rakaat Mayoritas ulama berpendapat bahwa
bilangan rakaat shalat Tarawih yang
paling afdhal adalah dua puluh rakaat. Berikut ini adalah dalil-dalil yang di
jadikan pijakan untuk mendukung
pendapat tersebut. 1. Hadis mauquf. ﺮﻴﺑﺰﻟﺍ ﻦﺑ ﺓﻭﺮﻋ ﻦﻋ ﺏﺎﻬﺷ ﻦﺑﺍ ﻦﻋﻭ ﻱﺭﺎﻘﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﺑ ﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ، ُﻪَّﻧَﺃ َﻝﺎَﻗ : ِﺏﺎَّﻄَﺨْﻟﺍ ِﻦْﺑ َﺮَﻤُﻋ َﻊَﻣ ﺖْﺟَﺮَﺧ ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ ﻰَﻟﺇ َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ ﻲِﻓ ًﺔَﻠْﻴَﻟ ، ﺍَﺫِﺈَﻓ َﻥﻮُﻗِّﺮَﻔَﺘُﻣ ٌﻉﺍَﺯْﻭَﺃ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ، ﻲِّﻠَﺼُﻳ ِﻪِﺴْﻔَﻨِﻟ ُﻞُﺟَّﺮﻟﺍ ، ُﻞُﺟَّﺮﻟﺍ ﻲِّﻠَﺼُﻳَﻭ ُﻂْﻫَّﺮﻟﺍ ِﻪِﺗﺎَﻠَﺼِﺑ ﻲِّﻠَﺼُﻴَﻓ . ُﺮَﻤُﻋ َﻝﺎَﻘَﻓ :
ﻰَﻠَﻋ ِﺀﺎَﻟُﺆَﻫ ُﺖْﻌَﻤَﺟ ْﻮَﻟ ﻯَﺭَﺃ ﻲِّﻧﺇ َﻞَﺜْﻣَﺃ َﻥﺎَﻜَﻟ ٍﺪِﺣﺍَﻭ ٍﺉِﺭﺎَﻗ ، َﻡَﺰَﻋ َّﻢُﺛ ٍﺐْﻌَﻛ ِﻦْﺑ ِّﻲَﺑُﺃ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻬَﻌَﻤَﺠَﻓ . َّﻢُﺛ
ُﺱﺎَّﻨﻟﺍَﻭ ﻯَﺮْﺧُﺃ ًﺔَﻠْﻴَﻟ ُﻪَﻌَﻣ ﺖْﺟَﺮَﺧ ْﻢِﻬِﺋِﺭﺎَﻗ ِﺓﺎَﻠَﺼِﺑ َﻥﻮُّﻠَﺼُﻳ . ُﺮَﻤُﻋ َﻝﺎَﻗ :
ِﻩِﺬَﻫ ُﺔَﻋْﺪِﺒْﻟﺍ َﻢْﻌِﻧ… “Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari
`Urwah bin al-Zubair, dari Abd.
Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata:
“Pada suatu malam di bulan
Ramadhan, saya keluar ke masjid
bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi
menjadi beberapa kelompok yang
terpisah-pisah. Sebagian orang ada
yang shalat sendirian. Sebagian yang
lain melakukan shalat berjamaah
dengan beberapa orang saja. Kemudian Umar berkata: “Menurutku
akan lebih baik jika aku kumpulkan
mereka pada satu imam.” Lalu Umar
berketetapan dan mengumpulkan
mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada
kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi
bersama Umar. (dan aku
menyaksikan) masyarakat melakukan
shalat secara berjamaah mengikuti
imamnya. Umar berkata: “Ini adalah
sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari). Di dalam hadis yang lain disebutkan,
bilangan rakaat shalat Tarawih yang
dilaksanakan pada masa Khalifah
Umar bin al-Khatthab adalah dua
puluh. ُﻪْﻨَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻲِﺿَﺭ َﺪﻳِﺰَﻳ ِﻦْﺑ ِﺐِﺋﺎَّﺴﻟﺍ ْﻦَﻋ ، َﻝﺎَﻗ ) : َﺮَﻤُﻋ ِﺪْﻬَﻋ ﻰَﻠَﻋ َﻥﻮُﻣﻮُﻘَﻳ ﺍﻮُﻧﺎَﻛ
ِﺮْﻬَﺷ ﻲِﻓ ُﻪْﻨَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻲِﺿَﺭ ِﺏﺎَّﻄَﺨْﻟﺍ ِﻦْﺑ
ًﺔَﻌْﻛَﺭ َﻦﻳِﺮْﺸِﻌِﺑ َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ . “Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid
radhiyallahu `anhu. Dia berkata :
“Mereka (para shahabat) melakukan
qiyam Ramadhan pada masa Umar bin
al-Khatthab sebanyak dua puluh
rakaat.” Hadis kedua ini diriwayatkan oleh
Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-
Kubro, I/496. dengan sanad yang
shahih sebagaimana dinyatakan oleh
Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani,
Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-
Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam
dan lain-lain.(10) Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di
sebut hadis mauquf (Hadis yang mata
rantainya berhenti pada shahabat dan
tidak bersambung pada Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam).
Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
pengambilan hukum (lahu hukmu al-
marfu`). Karena masalah shalat
Tarawih termasuk jumlah rakaatnya
bukanlah masalah ijtihadiyah (laa
majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari
pendapat seseorang (laa yuqolu min
qibal al-ra`yi).(11) 2. Ijma` para shahabat Nabi. Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab
mengimami shalat Tarawih sebanyak
dua puluh rakaat, tidak ada satupun
shahabat yang protes, ingkar atau
menganggap bertentangan dengan
sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan
itu menyalahi sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, mengapa
para shahabat semuanya diam? Ini
menunjukkan bahwa mereka setuju
dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan
bahwa mereka takut terhadap
Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah
pelecehan yang sangat keji terhadap
para shahabat. Para shahabat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal
pemberani dan tak kenal takut
melawan kebatilan, orang-orang yang
laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im.
Bagaimana mungkin para shahabat
sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina
Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan
seabrek shahabat senior lainnya
(radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah
berani dengan seorang wanita yang
berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang
dianggap bertentangan dengan Al-
Qur`an ketika beliau hendak
membatasi besarnya mahar?(12) Konsensus (ijma`) para shahabat ini
kemudian diikuti oleh para tabi`in dan
generasi setelahnya. Di masjid al-
Haram Makkah, semenjak masa
Khalifah Umar bin al-Khatthab
radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan
sebanyak dua puluh rakaat. KH.
Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan
Muhammadiyah juga melakukan
shalat Tarawih sebanyak dua puluh
rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih
Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang
sekaligus pembantu Rektor
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
HAMKA. Para ulama salaf tidak ada
yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai
kebolehan melakukan shalat Tarawih
melebihi dua puluh rakaat.(13) Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-
agungkan oleh kelompok
pendukung Tarawih delapan rakaat,
dalam kumpulan fatwanya
mengatakan: “Sesungguhnya telah tsabit (terbukti)
bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami
shalat pada bulan Ramadhan dua
puluh rakaat dan Witir tiga rakaat.
Maka banyak ulama berpendapat
bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di
hadapan para shahabat Muhajirin dan
Anshar dan tidak ada satupun di
antara mereka yang
mengingkari…”(14) Di samping kedua dalil yang sangat
kuat di atas, ada beberapa dalil lain
yang sering digunakan oleh para
pendukung Tarawih dua puluh
rakaat. Namun, menurut hemat
penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di
samping dha`if, kedua dalil di atas
sudah lebih dari cukup. Dalil Tarawih 8 Rakaat Sebagian ulama ada yang
berpendapat shalat Tarawih delapan
rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang
ekstrim, yaitu sebagian umat Islam
yang berkeyakinan shalat Tarawih
tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-
Albani berpendapat bahwa shalat
Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu
sama saja dengan shalat Zhuhur lima
rakaat.(15) Berikut ini adalah beberapa dalil yang
biasa mereka gunakan untuk
membenarkan pendapatnya sekaligus
sanggahannya. 1. Hadis Ubay bin Ka`ab : ﻰﻨﺜﻤﻟﺍ ﻦﺑ ﻲﻠﻋ ﻦﺑ ﺪﻤﺣﺃ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ ، ﻝﺎﻗ : ﺩﺎﻤﺣ ﻦﺑ ﻰﻠﻋﻷﺍ ﺪﺒﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ ، ﻝﺎﻗ : ﻲﻤﻘﻟﺍ ﺏﻮﻘﻌﻳ ﺎﻨﺛﺪﺣ ، ﻝﺎﻗ : ﺔﻳﺭﺎﺟ ﻦﺑ ﻰﺴﻴﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ ، ﺮﺑﺎﺟ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﺑ ، ﻝﺎﻗ : ﺐﻌﻛ ﻦﺑ ﻲﺑﺃ ﺀﺎﺟ
ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﻝﺎﻘﻓ : ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ، ﻲﻨﻣ ﻥﺎﻛ ﻪﻧﺇ ﺀﻲﺷ ﺔﻠﻴﻠﻟﺍ – ﻥﺎﻀﻣﺭ ﻲﻓ ﻲﻨﻌﻳ – ﻝﺎﻗ : ﻲﺑﺃ ﺎﻳ ﻙﺍﺫ ﺎﻣﻭ ؟ ﻝﺎﻗ : ﺓﻮﺴﻧ ﻦﻠﻗ ﻱﺭﺍﺩ ﻲﻓ : ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﺃﺮﻘﻧ ﻻ ﺎﻧﺇ ، ﻚﺗﻼﺼﺑ ﻲﻠﺼﻨﻓ ، ﻝﺎﻗ : ﻦﻬﺑ ﺖﻴﻠﺼﻓ ﺕﺎﻌﻛﺭ ﻲﻧﺎﻤﺛ ، ﺕﺮﺗﻭﺃ ﻢﺛ ، ﻝﺎﻗ : ﺎﺿﺮﻟﺍ ﻪﺒﺷ ﻥﺎﻜﻓ ، ﺎﺌﻴﺷ ﻞﻘﻳ ﻢﻟﻭ . Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :
“Ubay bin Ka`ab datang menghadap
Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu
berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam
ada sesuatu yang saya lakukan,
maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam
kemudian bertanya: “Apakah itu,
wahai Ubay?” Ubay menjawab :
“Orang-orang wanita di rumah saya
mengatakan, mereka tidak dapat
membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka.
Maka saya shalat bersama mereka
delapan rakaat, kemudian saya shalat
Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka
hal itu sepertinya diridhai Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa.” (HR. Ibnu
Hibban). Hadis ini kualitasnya lemah sekali.
Karena di dalam sanadnya terdapat
rawi yang bernama Isa bin Jariyah.
Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam
Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat
lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa`i pernah mengatakan bahwa Isa bin
Jariyah adalah matruk (hadisnya semi
palsu karena ia pendusta). Di dalam
hadis ini juga terdapat rawi bernama
Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-
Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).(16) 2. Hadis Jabir : ﻲﺤﻠﻄﻟﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻴﺒﻋ ﻦﺑ ﻥﺎﻤﺜﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ
ﺎﻧ ﻝﺎﻗ ﺪﻴﻤﺣ ﻦﺑ ﺮﻔﻌﺟ ﺎﻧ ﻝﺎﻗ
ﺔﻳﺭﺎﺟ ﻦﺑ ﻰﺴﻴﻋ ﻦﻋ ﻲﻤﻘﻟﺍ ﺏﻮﻘﻌﻳ
ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻨﺑ ﻰﻠﺻ ﻝﺎﻗ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ
ﺮﻬﺷ ﻲﻓ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ
ﺮﺗﻭﺃﻭ ﺕﺎﻌﻛﺭ ﻲﻧﺎﻤﺛ ﻥﺎﻀﻣﺭ . Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pernah
mengimami kami shalat pada bulan
Ramadhan delapan rakaat dan Witir.”
(HR. Thabarani).(17) Hadis ini kualitasnya sama dengan
Hadis Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu
lemah bahkan matruk (semi palsu).
karena di dalam sanadnya terdapat
rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah
dan Ya`qub al-Qummi.(18) 3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang
shalat Witir : ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻣ
ﻲِﻓ ﺎَﻟَﻭ َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ ﻲِﻓ ُﺪﻳِﺰَﻳ َﻢَّﻠَﺳَﻭ
ًﺔَﻌْﻛَﺭ َﺓَﺮْﺸَﻋ ﻯَﺪْﺣِﺇ ﻰَﻠَﻋ ِﻩِﺮْﻴَﻏ “Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam tidak pernah menambahi, baik
pada bulan Ramadhan maupun selain
bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.”
(Muttafaq `alaih). Menurut kelompok pendukung
Tarawih delapan rakaat, sebelas
rakaat yang di maksud pada hadis ini
adalah delapan rakaat Tarawih dan
tiga rakaat Witir. Dari segi sanad, hadis ini tidak
diragukan lagi keshahihannya.
Karena di riwayatkan oleh Imam al-
Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain
(muttafaq `alaih). Hanya saja,
penggunaan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di
koreksi ulang. Berikut ini adalah beberapa kritikan
dan sanggahan yang perlu
diperhatikan oleh para pendukung
Tarawih delapan rakaat : 1. Pemotongan hadis. Kawan-kawan yang sering
menjadikan hadis ini sebagai dalil
shalat Tarawih, biasanya tidak
membacanya secara utuh, akan tetapi
mengambil potongannya saja
sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara sempurna
adalah sebagai berikut : ُﻪَّﻧَﺃ ِﻦَﻤْﺣَّﺮﻟﺍ ِﺪْﺒَﻋ ِﻦْﺑ َﺔَﻤَﻠَﺳ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ َﻝَﺄَﺳ ُﻪَّﻧَﺃ ﻩﺮﺒﺧﺃ – ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﺎﻬﻨﻋ : - ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻝﻮُﺳَﺭ ُﺓﺎَﻠَﺻ ْﺖَﻧﺎَﻛ َﻒْﻴَﻛ - َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ - َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ ﻲِﻓ ؟ ْﺖَﻟﺎَﻗ : ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻣ
ﻲِﻓ ﺎَﻟَﻭ َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ ﻲِﻓ ُﺪﻳِﺰَﻳ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ًﺔَﻌْﻛَﺭ َﺓَﺮْﺸَﻋ ﻯَﺪْﺣِﺇ ﻰَﻠَﻋ ِﻩِﺮْﻴَﻏ ،
َّﻦِﻬِﻨْﺴُﺣ ْﻦَﻋ ْﻝَﺄْﺴَﺗ ﺎَﻠَﻓ ﺎًﻌَﺑْﺭَﺃ ﻲِّﻠَﺼُﻳ َّﻦِﻬِﻟﻮُﻃَﻭ ، ْﻝَﺄْﺴَﺗ ﺎَﻠَﻓ ﺎًﻌَﺑْﺭَﺃ ﻲِّﻠَﺼُﻳ َّﻢُﺛ َّﻦِﻬِﻟﻮُﻃَﻭ َّﻦِﻬِﻨْﺴُﺣ ْﻦَﻋ ، ﻲِّﻠَﺼُﻳ َّﻢُﺛ ﺎًﺛﺎَﻠَﺛ ، ُﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ْﺖَﻟﺎَﻗ : ُﺖْﻠُﻘَﻓ : ﺎَﻳ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ ، َﺮِﺗﻮُﺗ ْﻥَﺃ َﻞْﺒَﻗ ُﻡﺎَﻨَﺗَﺃ ؟ َﻝﺎَﻘَﻓ : ُﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ﺎَﻳ ، ِﻥﺎَﻣﺎَﻨَﺗ َّﻲَﻨْﻴَﻋ َّﻥِﺇ
ﻲِﺒْﻠَﻗ ُﻡﺎَﻨَﻳ ﺎَﻟَﻭ . dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman,
ia pernah bertanya kepada Sayyidah
A`isyah radhiyallahu `anha perihal
shalat yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pada bulan
Ramadhan. A`isyah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
tidak pernah menambahi, baik pada
bulan Ramadhan maupun selain bulan
Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau
shalat empat rakaat, dan jangan kamu
tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat,
dan jangan kamu tanyakan baik dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat
tiga rakaat. A`isyah kemudian
berkata : “Saya berkata, wahai
Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?” Beliau
menjawab : “Wahai A`isyah,
sesungguhnya kedua mataku tidur,
akan tetapi hatiku tidak tidur.” Pemotongan hadis boleh-boleh saja
dilakukan, dengan syarat, orang yang
memotong adalah orang alim dan
bagian yang tidak disebutkan tidak
berkaitan dengan bagian yang
disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan
kerancuan pemahaman dan
kesimpulan yang berbeda.(19)
Pemotongan pada hadis di atas,
berpotensi menimbulkan kesimpulan
berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini sangat jelas
berbicara tentang shalat Witir, bukan
shalat Tarawih, karena pada akhir
hadis ini, A`isyah menanyakan shalat
Witir kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.(20) 2. Kesalahan dalam memahami
maksud hadis. Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah
dengan tegas menyatakan bahwa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak
pernah melakukan shalat melebihi
sebelas rakaat baik pada bulan
Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan
sepanjang tahun, baik pada bulan
Ramadhan maupun bulan lainnya,
tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena
shalat Tarawih hanya ada pada bulan
Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadis ini
bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan
tetapi dalil shalat Witir. Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis
lain yang juga diriwayatkan oleh
Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha. ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ – ﺎﻬﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ : – ﺖﻟﺎﻗ » : ُّﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺎﻛ - ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻢﻠﺳﻭ - َﺓَﺮْﺸَﻋ َﺙﻼﺛ ﻞﻴﻠﻟﺍ ﻦﻣ ﻲِّﻠﺼُﻳ ﺔﻌﻛﺭ ، ﺮﺠﻔﻟﺍ ﺎﺘﻌﻛﺭﻭ ُﺮْﺗﻮﻟﺍ ﺎﻬﻨﻣ ». Dari A`isyah radhiyallahu
`anha, ia berkata : “Nabi
shallallahu alaihi wa sallam
shalat malam tiga belas
rakaat, antara lain shalat
Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).(21) 3. Pemenggalan Hadis. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
kawan-kawan pendukung Tarawih
delapan rakaat mengatakan bahwa
maksud dari pada sebelas rakaat pada
hadis di atas adalah delapan rakaat
Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu
hadis yang merupakan dalil untuk
satu paket shalat dipenggal menjadi
dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga
rakaat Witir.(22) Di sisi lain, jika kita menyetujui
pemenggalan ini, maka kita harus
menyetujui bahwa selama bulan
Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam hanya melakukan shalat Witir
tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi
umat dalam hal ibadah. Imam al-
Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam
shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1
rakaat.”(23) Apabila di selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan
shalat Witir sebanyak 13 atau 11
rakaat, pantaskah beliau hanya
melakukan shalat Witir hanya tiga
rakaat saja pada bulan Ramadhan
yang merupakan bulan ibadah? 4. Inkonsisten dalam mengamalkan
hadis. Dalam hadis di atas secara jelas
dinyatakan bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam tidak pernah
melakukan shalat melebihi sebelas
rakaat baik pada bulan Ramadhan
maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan
yang memahami bahwa sebelas
rakaat pada hadis di atas maksudnya
adalah delapan rakaat Tarawih dan
tiga rakaat Witir, seharusnya mereka
melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada
bulan Ramadhan saja. Tetapi
kenyataannya tidak demikian. Entah
dasar apa yang mereka pakai untuk
memenggal hadis tersebut pada bulan
Ramadhan saja. 5. Kontradiksi dengan pemahaman
para shahabat Nabi. Pemenggalan hadis seperti itu juga
bertentangan dengan konsensus
(ijma`) para shahabat radhiyallahu
`anhum termasuk diantaranya
Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan
shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan
tuntunan Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam. Karena Nabi
shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan kita untuk mengikuti
jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah hadis disebutkan : ِﺀﺎَﻔَﻠُﺨْﻟﺍ ِﺔَّﻨُﺳَﻭ ﻲِﺘَّﻨُﺴِﺑ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ
ﻱِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ َﻦﻳِﺪِﺷﺍَّﺮﻟﺍ
“Ikutilah sunnahku dan
sunnah al-Khulafa` al-
Rasyidin setelahku!” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, al- Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban dan al-Hakim).(24) Dalam hadis yang lain disebutkan : ٍﺮْﻜَﺑ ﻰِﺑَﺃ ﻯِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ ِﻦْﻳَﺬَّﻠﻟﺎِﺑ ﺍﻭُﺪَﺘْﻗﺍ
َﺮَﻤُﻋَﻭ “Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu
Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-
Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).(25) Dalam hadis yang lain juga
disebutkan : ﺮﻤﻋ ﻥﺎﺴﻟ ﻰﻠﻋ ﻖﺤﻟﺍ ﻞﻌﺟ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺇ
ﻪﺒﻠﻗﻭ “Sesungguhnya Allah menjadikan
kebenaran pada lisan dan hati Umar.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-
Tirmidzi dan lain-lain).(26) 6. Kerancuan linguistik. Kata tarawih dalam bahasa Arab
adalah bentuk jamak dari kata
tarwihah, yang secara kebahasaan
berarti mengistirahatkan atau istirahat
sekali. Jika di jamakkan, maka akan
berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam
bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam
Ramadhan disebut dengan shalat
Tarawih, karena orang-orang yang
melakukannya beristirahat tiap
sehabis empat rakaat.(27)[i] Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah
shalat yang banyak istirahatnya,
minimal tiga kali. Hal ini pada
gilirannya menunjukkan bahwa
rakaat shalat Tarawih lebih dari
delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya
delapan rakaat, maka istirahatnya
hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah
rancu ditinjau dari segi kebahasaan.
(28) Kesimpulan Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa
shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih
afdhal dibanding delapan rakaat.
Dengan dalil ijma` shahabat di dukung
hadis mauquf berkualitas shahih yang
diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara
tidak ada dalil shahih yang
mendukung keutamaan shalat
Tarawih delapan rakaat atas shalat
Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada
hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan matruk (semi palsu) atau dalil shahih
yang di salah-pahami. Namun perlu di ingat, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini
hanyalah berkisar seputar mana yang
lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya
kelompok yang lebih memilih
melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau
menyesatkan kelompok yang memilih
melakukannya delapan rakaat. Begitu
pula sebaliknya. Apalagi sampai saling
mengkafirkan. Sungguh sangat
disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan untuk berlomba-lomba
mencari pahala, berkah, rahmah dan
ampunan dari Allah Subhanahu wa
Ta`ala, justru dikotori dengan saling
hina, saling menyalahkan bahkan
saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih
memilih shalat Tarawih sebanyak dua
puluh rakaat dengan kelompok
masyarakat yang memilih delapan
rakaat saja. Apakah kiranya yang
mendorong kedua kelompok ini untuk tidak pernah berhenti bertikai?
Manakah yang lebih berharga bagi
mereka antara persatuan sesama
Muslim dibanding sikap arogan, egois,
fanatik serta pembelaan mati-matian
terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat
beragama yang berbeda lebih mereka
perjuangkan daripada persatuan
saudara seagama? Apakah umat non
Muslim lebih layak untuk dihormati
dan diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim? Sebenarnya kalau mau introspeksi,
ada hal yang jauh lebih penting yang
harus mereka perhatikan daripada
mengurusi jumlah rakaat shalat
Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan
berlomba-lomba untuk terburu-buru dalam melaksanakan shalat Tarawih
serta berbangga diri ketika shalat
Tarawihnya selesai terlebih dahulu.
Tidak jarang karena terlalu cepatnya
shalat Tarawih yang mereka lakukan,
mengakibatkan sebagian kewajiban tidak dilaksanakan. Seperti
melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud
tanpa thuma`ninah atau membaca al-
Fatihah dengan sangat cepat sehingga
menggugurkan salah satu hurufnya
atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan begitu, shalat
yang mereka laksanakan menjadi
tidak sah, sehingga mereka tidak
mendapatkan apa-apa darinya kecuali
rasa capek (tuas kesel : Jawa).
Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan membanggakannya,
sehingga mereka tidak pernah
mengakui kesalahannya.(29) Dari itu, waspadalah dan sadarlah
wahai saudara-saudaraku..! Marilah
kita bersatu dan saling mengingatkan
antara satu sama lain bi al-hikmah wa
al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita
laksanakan shalat Tarawih dan shalat- shalat lainnya dengan benar. Marilah
kita laksanakan shalat dengan
khusyu`, khudhur, memenuhi segala
syarat dan rukun serta penuh adab.
Jangan biarkan syetan menguasai
kita..! karena sesungguhnya syetan tidak dapat menguasai orang-orang
yang beriman dan bertawakkal
kepada Tuhannya. Syetan hanya
dapat menguasai orang-orang yang
mengasihinya dan orang-orang yang
musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka. WA ALLAH A`LAM BI AL-SHAWAB.

No comments: