Monday, 27 June 2011

Jauhilah olehmu banyak bicara (yang tidak bermanfaat) dan jagalah mulutmu

Wahai kaum muslimin 1. Jauhilah olehmu banyak bicara (yang tidak bermanfaat) dan jagalah mulutmu dari cerewet. Sesungguhnya Allah berfirman: Tiada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. (An-Nisa':114) Ketahuilah bahwa di sana ada orang
yang menghisab pembicaraanmu dan
menghitungnya atasmu. Allah
berfirman: Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Qoof:17-18) Ringkaslah pembicaranmu, dan bicaralah sebatas maksud dan tujuanmu. 2. Bacalah Al-Qur'an Al-Kariem, dan berusahalah agar ia menjadi wirid harianmu, juga berusahalah untuk menghafalkannya sesuai dengan kemampuanmu, agar engkau memperoleh pahala yang besar kelak di hari kiaat. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallahu
'Alaihi wa Sallam beliau bersabda: Kelak (di hari kiamat) akan dikatakan kepada pembaca al-qur'an, bacalah, pelan-pelanlah dan tartilah (dalam membacanya) sebagaimana kamu mentartilkannya ketika di dunia, sesungguhnya tempat dan kedudukanmu ada pada akhir ayat yang kamu baca. (Hadits Shahih, Tirmidzi, 1329) 3. Tidak baik jika kamu membicarakan
semua pembicaraan yang telah kamu dengar, sebab yang demikian itu memberi peluang kepadamu untuk jatuh dalam lubang kebohongan. Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu meiwayatkan, sesungguhnya Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Cukuplah seorang dianggap sebagai pembohong, jika dia membicarakan semua apa yang telah didengarnya. (Muslim dalam Mukaddimahnya, hadits
No:5) 4. Jauhila sifat sombong dan bangga diri dengan sesuatu yang bukan milikmu karena untuk pamer dan menyombongkan diri di depan manusia. Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha bahwa ada seorang perempuan
yang berkata: wahai Rasulullah, aku katakan bahwa suamiku telah memberiku sesuatu yang tidak pernah diberikan kepadaku. Kemudian Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Orang yang merasa kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya sebagaimana orang yang memakai pakaian kepalsuan. (Muttafaq Alaih) 5. Sesungguhnya dzikir kepada Allah memiliki pengaruh yang agung bagi kehidupan ruh, jiwa, badan, dan sosial
seorang muslim. Oleh karena itu wahai
ukhti muslimah berusahalah berdzikir kepada Allah dalam setiap saat dan keadaan, sesungguhnya Allah telah memuji hamba-hamba-Nya yang ikhlas kepada-Nya, firman-Nya: Yaitu orang-orang yang mengingat (dzikir) Allah sambil berdiri, atau duduk atau dalam keadaan berbaring.
(Ali Imran:191) Abdullah bin Basar Radhiyallahu 'Anhu mengatakan: bahwa ada seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam sesungguhnya telah banyak syareat Islam yang telah aku ketahui (dan telah aku jalankan), dan sekarang beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang bisa aku jaga dan jalankan. Beliau bersabda: senantiasa engkau basahi lisanmu dengan dzikir kepada Allah. (Shahih, Sunan Tirmidzi, 2687) 6. Jika engkau hendak berbicara janganlah engkau agung-agungkan, jangan engkau fasih-fasihkan, dan jangan pula engkau buat-buat, sebab yang demikian itu adalah sifat yang dibenci oleh Rasulullah Shallahu 'Alaihi
wa Sallam beliau bersabda: Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya kelak di hari kiamat ialah mereka yang suka bicara (yang tidak berfaedah), dan yang suka mengada- adakan pembicaraannya, dan para Mutafaihiqun (orang yang mengagung-agungkan pembicaraan bohong). (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Tirmidzi, 1642) 7. Hendaklah engkau berteladan kepada Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam , yang senantiasa lebih banyak diam dan berfikir, tidak memperbanyak tertawa berlebih- lebihan di dalamnya. Diriwayatkan dari Sammak, ia berkata: aku berkata kepada Jabir bin Samurah: pernahkah kamu duduk (bermajlis) dengan Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam ? Dia menjawab: pernah, beliau itu banyak diam dan sedikit tertawa. Pernah para sahabatnya membaca syair dan menceritakan tentang urusan mereka, lalu mereka tertawa, tetapi Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam ketika itu hanya sekedar tersenyum. (Musnad Ahmad, 5/86) Jika kamu berbicara, maka batasilah pembicaraanmu hanya yang baik- baik saja, jika kamu tidak bisa maka diam itu lebih baik bagimu. Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia mengatakan yang baik atau lebih baik diam. (Bukhari) 8. Janganlah sekali-kali memutus pembicaraan orang lain atau membantahnya atau menampakkan pelecehan terhadapnya, tetapi jadilah pendengar yang baik yang mendengarkan pembicaraan orang lain dengan sopan (sebagai tanda budi baikmu), dan jika engkau terpaksa membantah ucapan mereka bantahlah dengan cara yang lebih baik (untuk menampakkan kepribadianmu). 9. Waspadalah sepenuhnya dengan sikap mengejek dan merendahkan dialek pembicaraan orang lain, seperti terhadap orang yang kurang lancar bicaranya atau terhadap mereka yang berbicara dengan tersendat-sendat. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang mengolok- olok, dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita
(mengolok-olok). (Al-Hujurat:11) Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Seorang muslim adalah saudara orang muslim yang lainnya, tidak boleh mendzaliminya, tidak boleh menghinanya dan tidak juga meremehkannya ...., cukuplah seseorang telah berbuat kejahatan jika ia meremehkan saudaranya yang muslim. (HR.Muslim, 2564) 10. Jika engkau mendengar bacaan Al-Qur'an al-Karim, maka hentikan pembicaraanmu apapun masalah yang sedang engkau bicarakan, karena menghormati terhadap kalamullah, dan untuk mengindah perintah-Nya yang mana Dia telah berfirman: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan baik (tenang) agar kamu mendapat rahmat. (Al-'Araf:204) 11. Senantiasa menimbang kata-kata (ucapanmu) sebelum diucapkan oleh lisanmu, dan berusahlah agar kalimat yang terucap oleh lisanmu adalah kalimat yang baik dan menyejukkan tetap dalam kerangka jalan kebaikan, jauh dari keburukan dan sesutau yang menghantarkan kepada murka Allah. Sesungguhnya kata-kata itu memiliki tanggung jawab yang besar, sudah berapa banyak kata-kata yang memasukkan pengucapnya ke dalam surga, sebaliknya sudah berapa banyak kata-kata yang menenggelamkan pengucapnya ke lembah Jahannam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu dari Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam beliau bersabda: Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan sebuah pembicaraan yang mengandung ridla Allah, seakan-akan manusia tidak peduli dengannya maka Allah akan mengangkatnya dengannya beberapa derajat, dan seorang hamba berbicara dengan suatu yang dimurkai Allah, seakan-akan manusia tidak peduli dengannya maka Allah menceburkannya karenanya ke dalam lembah Jahannam. (HR. Bukhari, 6478) Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'Anhu bertanya kepada Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam : Apakah kita ini akan
dimintai pertanggungjawaban atas kalimat yang kita ucapkan? Beliau bersabda: ibumu telah kehilangan dirimu membinasakanmu wahai Muadz, tidaklah ada seorang manusia yang ditelungkupkan wajahnya kedalam neraka, kecuali disebabkan oleh hasil lisannya. (Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi, 2110) 12. Pergunakanlah lisanmu untuk beramar ma'ruf dan nahyu munkar serta untuk berdakwah kepada kebaikan, karena lisan adalah nikmat Allah yang agung yang telah dikaruniakan kepadamu. Allah berfirman: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. (An-Nisa':114) Diketik ulang dari: Nasehat kepada para Muslimah (Bagian Satu), 'Abdul 'Aziz al-Muqbil

MACAM2 HATI...

Hati itu bisa hidup dan bisa mati.
Sehubungan dengan itu, hati dapat
dikelompokkan menjadi: 1. hati yang sehat 2. hati yang mati 3. hati yang sakit Hati yang sehat adalah hati yang selamat. Pada hari kiamat nanti, barangsiapa menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa membawanya tidak akan selamat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. (QS Asy- Syu'ara: 88-89) Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja'nya, dan amalnya, semuanya lillah, karenaNya. Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini saja tidak dirasa cukup. Sehingga ia benar- benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian bersikap lancang (mendahului) Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al Hujurat:1) Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya. Ia tidak beribadah kepadaNya dengan menjalankan perintahNya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridlaiNya. Hati model ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ia tidak peduli dengan keridlaan atau kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala . Baginya, yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsu. Ia menghamba
kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala . Jika ia mencinta, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai daripada keridlaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hawa nafsu telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Kebodohan adalah sopirnya, dan kelalaian adalah kendaraan baginya. Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi. Ia diseru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan negeri akhirat, tetapi ia berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak menyambutnya. Bahkan ia mengikuti setiap setan yang sesat. Hawa nafsu telah menjadikannya tuli dan buta selain kepada kebatilan. 1 Bergaul dengan orang yang hatinya mati ini adalah penyakit, berteman dengannya adalah racun, dan bermajlis dengan mereka adalah bencana. Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada 'kehidupan', dan kadang-kadang pula cenderung kepada 'penyakit'. Padanya ada kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad 2 , kibr 3, dan sifat ujub, yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Ia ada diantara dua penyeru; penyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rsul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan hari akhir, dan penyeru kepada kehidupan duniawi. Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat, paling akrab. Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu', tawadlu', lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati, Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang- kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan. Catatan kaki: 1. Disebutkan dalam sebuah hadits, Cintamu kepada sesuatu akan membutakanmu dan menulikanmu, Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al Adab XIV/38 secara marfu'dan oleh Imam Ahmad dalam Musnad V /194 secara marfu', juga VI/450 secara mauquf. Semuanya dari Abu Darda'. Abu Dawud tidak mengomentari hadits ini. Namun sebagian ulama menghasankannya, dan sebagian yang lain mendlaif-kannya. 2. Hasad atau dengki adalah sikap tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat dan mengharapkan nikmat itu lenyap darinya. 3. Kibr atau sombong adalah menganggap remeh orang lain. Rasulullah bersabda, Kibr itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. HR. Muslim II/89 --------- Diketik ulang dari: Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali.Pentahqiq: Dr. Ahmad Farid. Penerjemah: Imtihan Asy-Syafi'i. Editor:
Abu Fatiah Al Adnani .