Nonton iklan bentar ya...!!!

Sunday, 14 August 2011

Dosa-dosa Besar

Bismillah. Tidak ada
tempat meminta
pertolongan kecuali
kepada-Nya. Segala puji
bagi Allah. tidak ada
pujian kecuali bagi-Nya. Aku memuja-mujiMu
wahai Rabb-ku,
sebagaimana Engkau
ajarkan kami cara memuji-
Mu. Dan salawat serta
salam semoga selalu disampaikan kepada
makhluk-Nya yang
terbaik, sayyidina
Muhammad. Waba'du: Allah SWT
berfirman: "Jika kamu menjauhi
dosa-dosa besar di
antara dosa-dosa
yang dilarang kamu
mengerjakannya,
niscaya Kami hapus kesalahan-
kesalahanmu (dosa-
dosamu yang kecil)
dan Kami masukkan
kamu ke tempat
yang mulia (surga)". An Nisaa: 31 Ayat ini adalah adalah
salah satu dari delapan
ayat, yang dikatakan oleh
Ibnu Abbaas r.a. sebagai
berikut: "di dalam surah
ini [surah an Nisaa] terdapat delapan ayat
yang menjadi pangkal
kebaikan bagi umat ini,
sepanjang siang dan
sepanjang malam". Ayat-
ayat itu dimulai dengan firman Allah SWT: "Allah hendak
menerangkan
(hukum syari'at-Nya)
kepadamu". (An
Nisaa: 26) "Dan Allah hendak
menerima taubatmu".
(An Nisaa: 27) "Allah hendak
memberikan
keringanan
kepadamu ". (An
Nisaa: 28). Selanjutnya: "Jika kamu menjauhi
dosa-dosa besar di
antara dosa-dosa
yang dilarang kamu
mengerjakannya". Kata "ijtinab" bukan
bermakna "tidak
melakukan sesuatu
[kemaksiatan]", namun ia
bermakna "tidak
mendekatkan diri kepada faktor-faktor yang dapat
mendorong seseorang
melakukan sesuatu
perbuatan [kemaksiatan]".
Dengan berlaku seperti
itu, seorang individu muslim dapat
membentengi dirinya dari
godaan nafsu dan
kemaksiatan. Ayat-ayat yang mulia tadi
menjadi pangkal kebaikan
bagi masing-masing
individu umat Islam
sepanjang hari-hari yang
ia lewati. Karena ayat-ayat tadi memberikan batasan-
batasan dan ranjau-ranjau
yang harus diperhatikan
oleh individu Muslim saat
ia melakukan pilihan bagi
ayunan langkahnya, sehingga ia tidak
terjerumus ke dalam
pilihan yang bodoh yang
tidak berpedoman pada
manhaj Allah. Seandainya
manusia diciptakan sebagai makhluk
"mekanik" tanpa dibekali
kemampuan untuk
melakukan pilihan pribadi,
niscaya manusia akan
terbebaskan dari beban untuk menentukan pilihan
langkah itu. Beban berat manusia
timbul dari sikap
arogansinya karena
memiliki kemampuan
lebih dari sekalian
makhluk Allah yang lain. Kelebihan manusia itu
adalah potensi akalnya,
yang memberikannya
kemampuan untuk
menentukan pilihan
terhadap alternatif- alternatif yang tersedia di
hadapannya. Sementara makhluk-
makhluk lain yang
diciptakan Allah,
terbentuk sebagai
makhluk yang telah
terprogram secara total oleh Allah, tanpa
diberikan kemampuan
untuk melakukan pilihan.
Dan puas menjadi
makhluk yang mengalir di
horison koridor yang telah dibentangkan oleh
Allah SWT baginya. Kita
mengetahui bahwa Allah
SWT berfirman: "Sesungguhnya Kami
telah
mengemukakan
amanat kepada
langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk
memikul amanat itu
dan mereka khawatir
akan
mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh
manusia.
Sesungguhnya
manusia itu amat
zalim dan amat bodoh". Al Ahzaab:
72. Manusia telah menzhalimi
dirinya ketika ia memilih
untuk memegang kendali
pilihan bebas dirinya saat
menghadapi godaan
syahwat atau saat menghadapi kehendak
manhaj Allah SWT.
Sementara makhluk-
makhluk yang
menundukkan dirinya
kepada pilihan Allah, tidak menghadapi masalah
seperti ini. Seluruh makhluk selain
manusia, hidup mengalir
secara mekanis
berdasarkan kehendak
Allah, dan terbebas dari
kesalahan melakukan pilihan bagi dirinya.
Kemudian, ayat-ayat tadi
memberikan informasi
yang menenangkan
manusia; yakni sekalipun
manusia suatu kali pernah melakukan pilihan yang
bodoh, sehingga
melanggar kehendak dan
ketentuan Allah, namun
Allah berkehendak untuk
memberikan cahaya penerang baginya yang
menuntutnya dalam
mengarungi kehidupanya,
memberikan kesempatan
baginya untuk bertaubat
kepada Allah, dan memberikan keringanan
baginya atas kesalahan
dan kekeliruan yang telah
ia lakukan. Allah SWT berkehendak,
jika manusia menjauhkan
dirinya dari faktor-faktor
yang dapat mendekatkan
dirinya dari dosa-dosa
besar, niscaya Allah SWT akan memberikan balasan
bagi tindakannya itu
dengan
menganugerahkannya
penghapusan dan
pengampunan dosa-dosa kecilnya. Seluruh berita
tadi memberikan
ketenangan bagi jiwa
manusia, sehingga ia tidak
berputus asa saat ia
terlanjur melakukan pilihan yang bodoh dan
melakukan perbuatan
yang melanggar
ketentuan Allah. Di sini,
Allah SWT menjelaskan
bahwa: "Aku adalah Pencipta-mu, dan Aku
mengetahui bahwa
engkau lemah, karena
engkau menghadapi
pilihan dua titian jalan,
kedua titian jalan itu menggodamu untuk
memilih salah satunya.
Yaitu titian jalan taklif
'beban' Allah yang
mengandung kebaikan
bagimu, dan pahala yang menunggu di ujung jalan
itu. Hal ini menggoda dan
mendorongmu untuk
meniti jalan ini. Dan ada
titian jalan syahwat dan
kenikmatan yang instan. Ini juga menggodamu
untuk memilihnya". Ketika kedua jalan itu
saling tarik menarik dalam
diri manusia, maka saat
itulah timbul kelemahan
dalam dirinya. Oleh karena
itulah Allah SWT menjelaskan: "Aku
memaklumi apa yang
terjadi pada dirimu itu,
karena hal itu adalah hasil
logis akibat adanya
potensi pilihan bebas yang engkau miliki itu.
Dan Aku-lah yang telah
memberikan potensi itu
kepadamu". Allah SWT saat
menganugerahkan
kepada manusia, sang
makhluk yang berkuasa
atas makhluk lain di dunia
ini, potensi untuk melakukan pilihan bebas
itu; akan amat senang jika
manusia datang dan
bersimpuh di hadapan
Rabb-nya dengan
sepenuh hati dan kesukarelaan dirinya.
Karena terdapat
perbedaan secara
diametral antara makhluk
yang telah diprogram
untuk tunduk kepada Allah SWT dan berjalan
mengalir sesuai ketetapan
yang telah dibuat oleh
Allah SWT; sehingga
makhluk seperti ini tidak
diberikan sipat sebagai kekasih Allah; dengan
makhluk yang diberikan
pilihan bebas untuk
tunduk atau tidak, dan
untuk taat dan tidak. Oleh
karena itu, dengan potensi kemampuan
manusia untuk
melakukan pilihan bebas
itu, Allah SWT
menghendaki manusia
untuk tunduk kepada- Nya sesuai dengan
kehendak hatinya secara
jujur, dan memilih untuk
taat kepada Allah SWT
dengan dorongan
keimanannya itu. "Jika kamu menjauhi
dosa-dosa besar di
antara dosa-dosa
yang dilarang kamu
mengerjakannya". Di sini, seakan-akan Allah
SWT menjelaskan tentang
beban-beban hukum
yang telah diembankan-
Nya kepada manusia;
seperti menjaga diri dari mencemarkan nama baik
orang lain, menjaga diri
dari memakan harta orang
lain dengan cara yang
diharamkan, menjaga diri
dari membunuh manusia dan sebagainya; dengan
penjelasan sebagai
berikut: "Saat menghadapi
suatu kenyataan yang
mengecewakan [seperti
terlanjur mengerjakan suatu dosa kecil,
misalnya], hendaknya
kalian tidak bersikap
putus asa, karena Aku
akan menutupi dosa-dosa
kecil kalian jika kalian meninggalkan dosa-dosa
besar: ibadah shalat ke
ibadah shalat yang lain
adalah menjadi
penghapus dosa-dosa
kecil yang terlanjur dilakukan di antara
keduanya, shalat jum'at ke
shalat jum'at yang
berikutnya menjadi
penghapus dosa-dosa
kecil yang terlanjur dilakukan di antara kedua
masa itu, dan dari satu
ibadah puasa Ramadhan
ke Ramadhan berikutnya
menjadi penghapus bagi
dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan pada
masa di antara keduanya.
Namun dengan syarat
kalian tidak terus menerus
melakukan dosa-dosa
kecil itu. Mengapa? Karena saat engkau melakukan
sesuatu perbuatan dosa
kecil, bayangkanlah jika
tiba-tiba engkau
meninggal dunia sebelum
sempat beristighfar dan bertaubat atas dosa itu.
Oleh karena itu, janganlah
engkau berkata: "aku
akan lakukan dosa [kecil
ini] dan nantinya aku akan
beristighfar dan bertaubat". Hal itu tidak
terjamin dapat dilakukan
olehmu, pada saat yang
sama engkau juga seperti
sedang mengejek Tuhan-
mu. "Jika kamu menjauhi
dosa-dosa besar di antara
dosa-dosa yang dilarang
kamu mengerjakannya,
niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang
kecil)"... yakni dosa-dosa
kecil, Allah SWT berfirman:
"niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil)". Dan seperti telah
kami katakan: pengertian
kata "al kufr" adalah "as
satru" 'penutup', artinya
Allah SWT akan menutupi
dosa-dosa kecil itu. Dan makna Kami akan
menutupinya artinya, Kami
tidak akan memberikan
hukuman atasnya. Istilah
"takfiir" bermakna
menghilangkan siksa atasnya. Sedangkan istilah
"ihbaath" bermakna
menghilangkan dan
menggugurkan
pahalannya. Jika seseorang melakukan
sesuatu perbuatan dosa
kecil yang membuat dia
berhak dijatuhi hukuman,
namun ia meninggalkan
dosa-dosa besar, maka Allah SWT akan menutupi
dan menghapuskan
hukuman itu dari dirinya.
Sedangkan jika seseorang
melakukan amal
kebaikan, namun Allah SWT tidak menerima
amalnya itu, maka berarti
Allah SWT tidak
memberikan pahala atas
amal itu kepadanya.
Dengan demikian, istilah "takfiir" --seperti telah
kami katakan tadi--
adalah menghilangkan
hukuman. Sementara
istilah "ihbaath"
bermakna: menghilangkan balasan
pahala. Seperti terdapat
dalam firman Allah SWT. "Maka mereka itulah
yang sia-sia
amalannya". (Al
Baqarah: 217). Artinya, mereka tidak
mendapatkan pahala atas
amal kebaikan yang
mereka lakukan itu;
karena saat mereka
mengerjakan amal kebaikan itu, mereka tidak
meniatkannya untuk Allah
SWT, Yang akan
memberikan pahala atas
amal mereka itu. Namun
mereka meniatkannya untuk mendapatkan
pujian dari manusia. Oleh
karena itu, Nabi Saw
bersabda: "Engkau
mengerjakan amal
perbuatan itu untuk
mendapatkan pujian
manusia, dan pujian
itu pun telah engkau dapatkan [sehingga
engkau tidak lagi
berhak
mendapatkan pahala
dari Allah SWT]". Engkau mengerjakan amal
kebaikan itu untuk
mendapatkan pujian
manusia, dan pujian itu
telah engkau dapatkan.
Misalnya masyarakat memuji: "engkau adalah
orang yang amat
dermawan". Atau mereka
berkata: "hebat sekali,
engkau telah membangun
masjid". Dan mereka juga membaca spanduk yang
tertulis saat peresmian
masjid itu, bahwa
engkaulah yang telah
menyumbang bagi
pembangunan masjid itu. Allah SWT berfirman: "Dan Kami hadapi
segala amal yang
mereka kerjakan, lalu
Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu
yang berterbangan". (Al Furqaan: 23). Engkau melakukan suatu
amal kebaikan hanya
semata untuk
mendapatkan pujian
manusia, dan pujian itu
telah engkau dapatkan [sehingga tidak berhak
lagi mendapatkan pahala
dari Allah SWT]; oleh
karena itu, orang yang
menulis namanya besar-
besar di masjid itu, hendaknya
memperhatikan hal ini.
Dan bagi orang yang ingin
mendapatkan pahala dari
Allah SWT, hendaknya
segera menghapus namanya itu, sehingga
harapannya untuk
mendapatkan pahala dari
Allah SWT dapat terwujud.
Karena Allah SWT amat
senang jika orang yang memberikan derma atau
shadaqah, bertindak
sesuai dengan sabda
Rasulullah Saw tentang
tujuh macam orang yang
mendapatkan naungan Allah SWT pada hari
kiamat nanti, saat tidak
ada naungan selain
naungan Allah SWT, di
antara mereka adalah: "Seseorang yang
memberikan
sadaqah dengan cara
sembunyi, sehingga
tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang disadaqahkan
oleh tangan
kanannya itu". Saat engkau memberikan
shadaqah kepada
seseorang, mengapa
engkau perlu membuka
identitas diri orang yang
menerima derma dan shadaqahmu itu?. Sementara Allah SWT
berfirman: "Jika kamu
menjauhi". kata "ijtinaab"
bermakna: memberikan
sesuatu dari samping
[dengan tidak mencolok]. Dan yang dimaksud
dengan redaksional: "in
tajtanibuu" bermakna: jika
kalian menjauhkan diri
kalian. Dan saat Allah SWT
memerintahkan engkau agar tidak melakukan
sesuatu perbuatan,
kemudian perintah itu
disampaikan dalam
bentuk yang lain, yakni
dengan perintah agar menjauhkan diri dari
perbuatan yang dilarang
itu, hal ini menunjukkan
bahwa tekanan larangan
itu menjadi lebih besar.
Karena perintah untuk menjauhkan diri dari
perbuatan yang dilarang
itu bermakna engkau
diperintahkan untuk tidak
berada di tempat yang
sama dengan sesuatu yang dilarang untuk
dikerjakan itu. Saat Allah SWT
berfirman: "maka
jauhilah olehmu
berhala-berhala yang
najis itu". (Al Hajj: 30) dan saat Allah SWT
berfirman: "dan jauhilah
perkataan-perkataan
dusta". Al Hajj: 30) Perintah "ijtanibuu" dalam
ayat itu bermakna:
menjauhlah darinya.
Mengapa? Karena
batasan-batasan Allah
SWT yang tidak boleh dilanggar adalah apa-apa
yang diharamkan-Nya. Rasulullah Saw bersabda: "Yang halal telah jelas
dan yang haram
telah jelas, dan di
antara keduanya
adalah perkara-
perkara yang syubhat [yang tidak
jelas] yang tidak
diketahui oleh
[hakikat hukumnya]
oleh banyak
manusia. Maka orang yang
menghindarkan diri
dari perkara yang
syubhat, berarti ia
telah menjaga nama
baiknya dan agamanya. Dan siapa
yang jatuh dalam
perkara yang
syubhat, maka ia
dipastikan akan
segera jatuh dalam keharaman.
Perumpamaannya
adalah seperti
seseorang yang
menggembala di
pinggir kebun, ia amat dekat untuk
memasuki kebun itu.
Dan setiap kerajaan
memiliki batas-batas
yang tidak boleh
dilangkahi, dan batas-batas Allah
SWT di atas
permukaan bumi ini
adalah apa-apa yang
diharamkan-Nya". dan Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya
(meminum) khamar,
berjudi, (berkorban
untuk) berhala,
mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk
perbuatan syaitan.
Maka jauhilah
perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan". (Al
Maaidah: 90). Cara penjauhan diri dari
perbuatan yang dilarang
itu adalah dengan tidak
menempatkan diri dalam
satu tempat bersama
dengan sesuatu yang dilarang itu, karena
dikhawatirkan akan
mendorongmu untuk
memikirkannya,
menganggu
konsentrasimu dan hal itu akan terbayang-bayang
dalam pikiranmu. Misalnya
saat engkau berada di
tempat orang minum
minuman keras, saat itu
Allah SWT memerintahkan kepadamu: jauhilah
tempat itu. Artinya: jangan dekati
tempat itu. Karena jika
engkau berada di tempat
orang minum minuman
keras itu, dan engkau
melihat orang yang sedang minum itu tampak
gembira dan amat
menikmati minumannya,
hal itu bisa saja
mendorongmu untuk
turut meminumnya. Sedangkan jika engkau
menghindarkan diri dari
minuman keras, dan tidak
mendekat tempat
meminum minuman keras
itu, maka engkau terjaga dari godaan-godaan
seperti itu. oleh karena itu
kami katakan: perintah
untuk menjauhkan diri
dari sesuatu itu, makna
redaksionalnya lebih berat dan lebih keras dari
larangan atas sesuatu itu
sendiri. Ada orang yang
beralasan bahwa
minuman keras itu tidak
diharamkan, dan berkata: meminum minuman keras
itu tidak pernah dilarang
oleh sesuatu nash agama
yang pasti!. Bagi orang
seperti ini kami menjawab:
ingatlah, meminum minuman keras itu
disejajarkan dengan
penyembahan berhala. Allah SWT berfirman: "dan jauhilah
Thaghut itu". (An
Nahl: 36). Perintah untuk
menjauhkan diri dari
berhala itu tidak semata
larangan untuk
menyembah berhala itu,
namun juga berisi larangan untuk melihat
dan mendekatinya.
Dengan demikian,
perintah untuk
menjauhkan diri dari
minuman keras itu tidak semata larangan untuk
meminumnya, namun juga
perintah agar tidak
mendekatinya. Kata "al
kabaair" adalah bentuk
plural dari kata "kabiirah" 'dosa besar'. Dan jika ada
"kabiirah" 'dosa besar'
berarti ada "shagiirah"
'dosa kecil' dan "ashgar"
'dosa paling kecil'. Dosa
yang lebih rendah dari "kabiirah" 'dosa besar'
tidak semata "shagiirah"
'dosa kecil' saja, namun
juga termasuk dosa yang
lebih kecil dari dosa kecil
itu, yaitu "al lamam" 'kelalaian dan kekhilafan'. Allah SWT berfirman: "Jika
kamu menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa
yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya
Kami hapus kesalahan- kesalahanmu (dosa-
dosamu yang kecil)". "as
Sayyiaat" 'Dosa-dosa kecil'
berkaitan dengan
pelanggaran terhadap
hal-hal yang ringan atau yang paling ringan.
Namun tentang hal ini,
para ulama memberikan
catatan penting, yakni: hal
itu tidak berarti Allah SWT
membolehkan manusia untuk melakukan dosa-
dosa kecil itu, selama
mereka menjauhkan diri
dari dosa besar. Karena
perbuatan dosa kecil yang
dilakukan secara terus menerus dan dengan
kesengajaan, juga
termasuk bagian dari dosa
besar. Oleh karena itu
jangan engkau lakukan
perbuatan dosa kecil, karena Allah SWT hanya
menghapuskan dosa kecil
yang dilakukan dengan
tidak sengaja atau karena
kekhilafan. Oleh karena
itu, Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya
taubat di sisi Allah
hanyalah taubat bagi
orang-orang yang
mengerjakan
kejahatan lantaran kejahilan, yang
kemudian mereka
bertaubat dengan
segera". (An Nisaa:
17), yakni jika mereka
mengerjakan dosa-dosa
kecil itu dengan tanpa
sengaja, dan karena
kekhilafan semata. Selanjutnya Allah SWT
berfirman: "Dan tidaklah taubat
itu diterima Allah dari
orang-orang yang
mengerjakan
kejahatan (yang)
hingga apabila datang ajal kepada
seseorang di antara
mereka, (barulah) ia
mengatakan:
"Sesungguhnya saya
bertaubat sekarang" ". (An Nisaa: 18) Dengan demikian, jika
engkau melakukan dosa
kecil dengan sengaja dan
secara terus menerus,
maka dosa kecil itu
berubah statusnya menjadi dosa besar.
Kemudian, jika kita tidak
menjauhkan diri dari dosa
besar, dan kita juga
melakukan dosa kecil, apa
yang akan terjadi? Para ulama berpendapat: di
antara bentuk kasih
sayang Allah SWT
terhadap manusia adalah
ketentuan berikut ini:
tidak ada istilah dosa besar selama pelakunya
melakukan taubat dan
istighfar, dan tidak ada
istilah dosa kecil selama
pelakunya terus
melakukan perbuatan dosa kecil itu secara
sengaja. Jika engkau mengambil
hal tadi, maka ambillah
dua ketentuan ini, yakni
tidak ada istilah dosa
besar selama pelakunya
melakukan taubat dan beristighfar, dan tidak ada
istilah dosa kecil selama
pelakukan terus
melakukan perbuatan
dosa itu dengan sengaja.
Dan tentang definisi dosa besar, para ulama
berpendapat sebagai
berikut: dosa besar adalah
suatu perbuatan yang
pelakunya diberikan
ancaman oleh Allah SWT akan dijatuhi adzab di
akhirat nanti, atau suatu
perbuatan yang diancam
akan dikenakan hadd.
Sedangkan suatu
perbuatan dosa yang tidak diancam akan
dikenakan hadd, maka
perbuatan itu termasuk
dalam dosa kecil yang
akan diampuni jika
pelakunya menjauhkan diri dari perbuatan dosa
besar, atau dosa kecil,
atau dosa yang paling
kecil.

Adalah Amru bin Ubaid,
seorang ulama Bashrah,
dan seorang zahid. Yang
dikatakan oleh para
pejabat pemerintah
tentang dirinya sebagai berikut: "kalian semua
adalah para pencari
buruan, kecuali Amru bin
Ubaid". Artinya, seluruh
ulama mendatangi para
pejabat pemerintah untuk mendapatkan hadiah,
kecuali Amru bin Ubaid.
Suatu saat, ulama kita ini
ingin mengetahui definisi
yang jelas tentang apa itu
dosa besar, secara langsung dari nash Al
Quran, bukan dari
pendapat para ulama. Ia kemudian menemui Abu
Abdillah Ja'far bin
Muhammad Shadiq. Seperti
kita ketahui, Ja'far Shadiq
adalah orang tokoh yang
paling patut untuk ditanya tentang hal ini; karena ia
adalah seorang ulama dari
ahlul bait, dan ia telah
begitu mendalami rahasia-
rahasia kandungan Al
Quran. Setelah ia bertemu dengannya, dan duduk
bersamanya, ia kemudian
membaca firman Allah SWT
berikut ini: "(Yaitu) orang yang
menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan
keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan
kecil". (An Najm: 32). Sampai di sini ia berhenti
dan berdiam!. Menyaksikan
hal itu Abu Abdillah Ja'far
Shadiq bertanya
kepadanya: "mengapa
engkau terdiam, wahai Ibnu Ubaid?" Ia menjawab: "aku ingin
mengetahui secara pasti
apa itu dosa-dosa besar,
langsung dari keterangan
kitab Allah". Abu Abdillah Ja'far Shadiq
berkata: "engkau datang
kepada orang tepat".
Selanjutnya ia berkata
kembali: " [Dosa besar itu
adalah, pertama:] syirik kepada Allah SWT. Tentang
hal ini Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah
tidak akan
mengampuni dosa
syirik, dan Dia
mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendaki-
Nya". (An Nisaa: 48) Dan Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya
orang yang
mempersekutukan
(sesuatu dengan)
Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga". (Al
Maaidah: 72) Selanjutnya ia
menambahkan: [dosa
besar yang kedua adalah]
berputus asa dari
mendapatkan rahmat Allah
SWT. Tentang hal ini Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya tiada
berputus asa dari
rahmat Allah,
melainkan kaum yang
kafir"".(Yuusuf: 87). Demikianlah, Abu Abdillah
Ja'far Shadiq
mengungkapkan hukum
sambil menyebutkan
dalilnya dari Al Quran.
Berikutnya ia memberikan penjelasan selanjutnya:
[dosa besar yang
berikutnya adalah:] merasa
aman dari ancaman Allah
SWT. Tentang hal ini Allah
SWT berfirman: "Tiadalah yang
merasa aman dari
azab Allah kecuali
orang-orang yang
merugi." (Al A'raaf:
99) Dosa besar yang keempat
adalah: berbuat durhaka
kepada kedua orang tua.
Karena Allah SWT mensipati
orang yang berbuat
durhaka kepada kedua orang tuanya sebagai
orang yang jabbaar syaqiy
'orang yang sombong lagi
celaka'. Tentang hal ini
Allah SWT berfirman: "Dan berbakti kepada
ibuku, dan Dia tidak
menjadikan aku
seorang yang
sombong lagi celaka".
(Maryam: 32). Dosa besar yang
berikutnya adalah:
membunuh. Tentang hal ini
Allah SWT berfirman: "Dan barangsiapa
yang membunuh
seorang mu'min
dengan sengaja,
maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya". (An
Nisaa: 93). Dosa besar yang
berikutnya adalah:
menuduh wanita baik-baik
berbuat zina. Tentang hal
ini Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya
orang-orang yang
menuduh wanita-
wanita yang baik-
baik, yang lengah lagi
beriman (berbuat zina), mereka kena
la'nat di dunia dan
akhirat, dan bagi
mereka azab yang
besar". An Nuur: 23) Dosa besar berikutnya
adalah: memakan riba.
Tentang hal ini Allah SWT
berfirman: "Orang-orang yang
makan (mengambil)
riba tidak dapat
berdiri melainkan
seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan)
penyakit gila". (Al
Baqarah: 275) Dosa besar berikutnya
adalah: lari dari medan
pertempuran. Maksudnya,
saat kaum Muslimin
diserang oleh musuh
mereka, dan kaum Muslimin maju
mempertahankan diri dari
serangan musuh itu,
kemudian ada seseorang
individu Muslim yang
melarikan diri dari pertempuran itu. tentang
hal ini Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang
membelakangi
mereka (mundur) di
waktu itu, kecuali
berbelok untuk
(siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri
dengan pasukan
yang lain, maka
sesungguhnya orang
itu kembali dengan membawa
kemurkaan dari Allah,
dan tempatnya ialah
neraka Jahannam.
Dan amat buruklah
tempat kembalinya". (Al Anfaal: 16) Dosa besar berikutnya
adalah: memakan harta
anak yatim. Tentang hal ini
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya
orang-orang yang
memakan harta anak
yatim secara zalim,
sebenarnya mereka
itu menelan api sepenuh perutnya
dan mereka akan
masuk ke dalam api
yang menyala-nyala
(neraka)". (An Nisaa:
10) Dosa besar berikutnya
adalah: berbuat zina.
Tentang hal ini Allah SWT
berfirman: "Barangsiapa yang
melakukan demikian
itu, niscaya dia
mendapat
(pembalasan) dosa
(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari
kiamat dan dia akan
kekal dalam azab itu".
(Al Furqaan: 68-69) Tentang menyembunyikan
persaksian, adalah seperti
difirmankan oleh Allah
SWT: "Dan janganlah kamu
(para saksi)
menyembunyikan
persaksian. Dan
barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya
ia adalah orang yang
berdosa hatinya". (Al
Baqarah: 283) Dosa besar berikutnya
adalah: sumpah palsu.
Yaitu jika seseorang
bersumpah untuk
melakukan sesuatu
perbuatan, namun ternyata ia tidak melakukan
perbuatan itu. atau ia
bersumpah tidak akan
melakukan sesuatu
perbuatan, namun
nyatanya ia kemudian melakukan perbuatan itu.
Tentang hal ini Allah SWT
berfirman: "Sesungguhnya
orang-orang yang
menukar janji (nya
dengan) Allah dan
sumpah-sumpah
mereka dengan harga yang sedikit, mereka
itu tidak mendapat
bahagian (pahala) di
akhirat, dan Allah
tidak akan berkata-
kata dengan mereka dan tidak akan
melihat kepada
mereka pada hari
kiamat dan tidak
(pula) akan
mensucikan mereka. Bagi mereka azab
yang pedih". (Ali
Imraan: 77 ) Dosa besar berikutnya
adalah: berbuat khianat
atas harta pampasan
perang. Tentang hal ini
Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang
berkhianat dalam
urusan rampasan
perang itu, maka pada
hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu".
(Ali Imraan: 161) Dosa besar berikutnya
adalah: meminum khamar
[minuman keras]. Tentang
hal ini Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya
(meminum) khamar,
berjudi, (berkorban
untuk) berhala,
mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan
itu agar kamu
mendapat keberuntungan". (Al
Maaidah: 90). Dosa besar berikutnya
adalah: meninggalkan
shalat. Tentang hal ini Allah
SWT berfirman: "Apakah yang
memasukkan kamu
ke dalam Saqar
(neraka)?" Mereka
menjawab: "Kami
dahulu tidak termasuk orang-
orang yang
mengerjakan shalat".
(Al Muddats-tsir:
42-43 ) Dosa besar berikutnya
adalah: melanggar
perjanjian dan
memutuskan tali
silaturahmi. Karena tali
silaturahmi adalah salah satu ikatan yang
diperintahkan oleh Allah
SWT untuk disambung.
Tentang hal ini Allah SWT
berfirman: "(yaitu) orang-orang
yang melanggar
perjanjian Allah
sesudah perjanjian itu
teguh, dan
memutuskan apa yang diperintahkan
Allah (kepada
mereka) untuk
menghubungkannya
dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah
orang-orang yang
rugi". (Al Baqarah:
27 ) Dengan demikian, semua
perbuatan dosa tadi adalah
bagian dari dosa besar,
sesuai dengan keterangan
nash Al Quran. Dan masing-
masing dosa besar tadi mengandung hikmah,
seperti yang diungkapkan
oleh Ja'far Shadiq. Dan saat
ia ditanya oleh Ibnu Ubaid
tentang apa itu dosa besar,
Ja'far Shadiq dengan percaya diri menjawabnya
dengan urutan seperti tadi.
Dan penyebutan urutan
tadi pun diungkapkannya
dengan tanpa perlu
berpikir lama. Yang menunjukkan bahwa
masalah ini telah tertanam
dalam otaknya; apalagi jika
disadari bahwa ayat-ayat
itu terdapat secara acak
dalam pelbagai surah dalam Al Quran. Sehingga
untuk menyebutkannya ia
harus mengutip dan
mengumpulkannya dari
sana sini; hal ini juga
menunjukkan bahwa ia benar-benar telah
mendalami rahasia-rahasia
kandungan Al Quran.

PERBEDAAN ANTARAUJIAN DAN AZAB

Mungkin ada dari kita yang bertanya- tanya, bagaimana membedakan antara ujian dan azab? Musibah atau bencana yang menimpa
orang yang beriman yang tidak lalai
dari keimanannya, sifatnya adalah
ujian dan cobaan. Allah ingin melihat
bukti keimanan dan kesabaran kita.
Jika kita bisa menyikapi dengan benar, dan mengembalikan semuanya
kepada Allah, maka Allah akan
memberikan pertolongan dan rahmat
sesudah musibah atau bencana
tersebut. Sebaliknya bagi orang-orang yang
bergelimang dosa dan kemaksiatan,
bencana atau musibah yang
menimpa, itu adalah siksa atau azab
dari Allah atas dosa-dosa mereka.
Apabila ada orang yang hidupnya bergelimang kejahatan dan
kemaksiatan, tetapi lolos dari
bencana/musibah, maka Allah sedang
menyiapkan bencana yang lebih
dahsyat untuknya, atau bisa jadi ini
merupakan siksa atau azab yang ditangguhkan, yang kelak di akhirat-
lah balasan atas segala dosa dan
kejahatan serta maksiat yang
dilakukannya. Sebenarnya yang terpenting bukan
musibahnya, tetapi apa alasan Allah
menimpakan musibah itu kepada kita.
Untuk di ingat, jika musibah itu terjadi,
disebabkan dosa-dosa kita, maka
segera-lah bertobat kepada Allah. Kalau musibah yang terjadi karena
ujian keimanan kita, maka kuatkan
iman dan berpegang teguhlah kepada
Allah. Siapa saja berbuat kebaikan, maka
manfaatnya akan kembali kepadanya.
Sedangkan siapa saja berbuat
kejahatan, maka bencananya juga
akan kembali kepada dirinya sendiri.
Bisa dibalas didunia atau di akhirat. Perhatikan firman allah SWT berikut
ini : ”Barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, maka dia tidak akan
dibalas melainkan sebanding dengan
kejahatan itu. Dan barangsiapa
mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang
ia dalam keadaan beriman, maka
mereka akan masuk surga, mereka
diberi rezki di dalamnya tanpa hisab”.
(QS. Al Mukmin [40] : 40). Perhatikan juga dengan seksama
firman Allah SWT berikut ini : “Apa saja
nikmat yang kamu peroleh adalah
dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan)
dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. Dan cukuplah Allah menjadi
saksi.” (QS. An Nissa [4] : 79)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa
makna “Apa saja nikmat yang kamu
peroleh adalah dari Allah” adalah dari karunia dan kasih sayang Allah SWT.
Sedangkan makna “dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri.” Berarti
dari dirimu sendiri dan dari
perbuatanmu sendiri. Berikut beberapa contoh : 1. Musibah bisa jadi sebagai
peringatan Musibah ini diberikan kepada kaum
mukmin yang merosot keimanannya.
Peringatan ini karena kasih sayang
Allah SWT. Misalnya seseorang yang
berada dalam kesempitan
rezki. Kemudian ia bermunajat di malam hari agar Allah memberikannya
keluasan rezeki. Shalat tahajjud, shalat
Dhuha, puasa sunah senin kamis dan
perbaikan ibadah lainnya dengan
semaksimal mungkin. Hingga Allah
SWT memberikan jalan keluar. Bisnisnya berkembang, karyawan
bertambah, kesibukan semakin
meningkat. Tapi justru dikarenaka
sibuknya satu persatu ibadah
sunahnya mulai ia tinggalkan. Shalat-
shalatnya pun semakin tidak khusyu�. Seharusnya bertambahnya nikmat,
membuat ia bertambah syukur
dan semakin dekat dengan Allah,
tetapi yang terjadi adalah sebaliknya,
nikmat bertambah malah
membuatnya semakin jauh dari Allah. Orang ini sebenarnya sedang mengundang datangnya musibah,atau azab Allah. Musibah yang datang kepadanya sebagai
peringatan untuk meningkatkan
kembali keimanannya yang merosot
itu. Bisa saja terjadi tiba-tiba usahanya
macet dan banyak mengalami
kerugian. Akibatnya ia terlilit hutang. Dalam keadaan bangkrut tadi tidak
ada yang mau menolongnya. Ketika
itulah ia kembali kepada Allah untuk
memohon pertolongan dengan cara
memperbaiki ibadah-ibadahnya yang
selama ini sudah tidak ia perhatikan lagi. Tercapailah tujuan musibah yaitu pemberi peringatan. Musibah juga bisa sebagai penggugur
dosa-dosa kita. Perhatikan sabda
Rasulullah saw berikut ini: “Tak
seorang muslim pun yang ditimpa
gangguan semisal tusukan duri atau
yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah
menghapuskan perbuatan
buruknya serta menggugurkan
dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-
daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Perhatikan dengan seksama firman
Allah SWT berikut ini : “Dan Sesungguhnya kami merasakan
kepada mereka sebahagian azab
yang dekat (di dunia) sebelum
azab yang lebih besar (di akhirat),
Mudah-mudahan mereka kembali
(ke jalan yang benar).” (QS. As Sajdah : 21) Jadi sebenarnya, Allah SWT menurunkan musibah atau azab pada kita di dunia ini, sebagai peringatan bagi kita, untuk kembali pada kebenaran. 2 Musibah sebagai ujian
keimanan Musibah ini adalah tanda kecintaan
Allah SWT pada seseorang hamba.
Semakin tinggi derajat keimanan dan
kekuatan agama seseorang justru
ujian (musibah) yang menimpanya
akan semakin berat. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini : Dari Mush�ab
bin Sa�d dari ayahnya. Ayahnya
berkata: Aku bertanya kepada
Rasulullah SAW," Manusia manakah
yang paling berat ujiannya?"
Rasulullah SAW menjawab," Para Nabi, kemudian disusul yang derajatnya
seperti mereka, lalu yang di bawahnya
lagi. Seseorang diuji sesuai keadaan
agamanya. Jika agamanya itu kokoh
maka diperberatlah ujiannya. Jika
agamanya itu lemah maka ujiannya pun disesuaikan dengan agamanya.
Senantiasa ujian menimpa seorang
hamba hingga ia berjalan di muka
bumi tanpa dosa sedikit pun." (HR. al-
Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn
Majah,berkata al-Tirmidzi: hadits hasan shahih) Sedangkan bala atau cobaan maupun
ujian juga telah disebutkan didalam Al
Qur’an seperti tertulis dalam firman
Allah SWT : “Tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu
dikembalikan.” (QS. Al Anbiya [21] :
35) Cobaan atau ujian yang menimpa
setiap orang dan ini bisa berupa
keburukan atau kebaikan,
kesenangan atau kesengsaraan,
sebagaimana disebutkan pula didalam
firman-Nya yang lain yaitu : “ Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi
beberapa golongan; di antaranya ada
orang-orang yang saleh dan di
antaranya ada yang tidak demikian.
Dan Kami coba mereka dengan
(nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada
kebenaran) (QS. Al A’raf [7] : 168). Sekarang coba tanyakan dengan
jujur pada diri sendiri, bagaimana
keimanan kita terhadap Allah
SWT ? Apabila kita termasuk orang
yang lalai, maka jawaban atas
musibah yang menimpa, adalah sebagai azab dan peringatan atas
kelalaian kita, agar kita sadar dari kelalain kita selama ini. Dan segeralah
bertobat. Dan kalau kita bukan hamba-Nya
yang lalai, maka segala ujian yang
terjadi menimpa kita, adalah
sebagai suatu ujian, dimana dengan
ujian itu, Allah telah menyiapkan
tingkat keimanan yang lebih tinggi untuk kita. Seperti menjadikan kita hamba pilihan-Nya yang sabar. Dan
pahala orang yang sabar sungguh
tanpa batas. Seperti tertulis dalam
firman-Nya : “…..Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala mereka tanpa batas (Az Zumar [39] : 10) Dengan
kesabaran, akan bisa meraih ridha
Allah, dan ridha Allah adalah
segalanya