Nonton iklan bentar ya...!!!

Sunday, 14 August 2011

Manusia Tidak Pernah Merasa Puasdengan Harta

Inilah sifat manusia, tidak pernah
merasa puas dengan harta. Buktinya
adalah hadits-hadits berikut: Pertama: Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, « ِﻢَﻫْﺭِّﺪﻟﺍَﻭ ِﺭﺎَﻨﻳِّﺪﻟﺍ ُﺪْﺒَﻋ َﺲِﻌَﺗ ِﺔَﺼﻴِﻤَﺨْﻟﺍَﻭ ِﺔَﻔﻴِﻄَﻘْﻟﺍَﻭ ، َﻰِﻄْﻋُﺃ ْﻥِﺇ َﻰِﺿَﺭ ، َﺽْﺮَﻳ ْﻢَﻟ َﻂْﻌُﻳ ْﻢَﻟ ْﻥِﺇَﻭ » “Celakalah hamba dinar, hamba
dirham, hamba pakaian dan hamba
mode. Jika diberi, ia ridho. Namun jika
tidak diberi, ia pun tidak ridho”. (HR.
Bukhari no. 6435) Kedua: Dari Ibnu 'Abbas, ia mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, ٍﻝﺎَﻣ ْﻦِﻣ ِﻥﺎَﻳِﺩﺍَﻭ َﻡَﺩﺁ ِﻦْﺑِﻻ َﻥﺎَﻛ ْﻮَﻟ ﺎًﺜِﻟﺎَﺛ ﻰَﻐَﺘْﺑَﻻ ، َﻡَﺩﺁ ِﻦْﺑﺍ َﻑْﻮَﺟ ُﻸْﻤَﻳ َﻻَﻭ ُﺏﺍَﺮُّﺘﻟﺍ َّﻻِﺇ ، َﺏﺎَﺗ ْﻦَﻣ ﻰَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﺏﻮُﺘَﻳَﻭ “Seandainya manusia diberi dua
lembah berisi harta, tentu ia masih
menginginkan lembah yang ketiga.
Yang bisa memenuhi dalam perut
manusia hanyalah tanah. Allah tentu
akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari
no. 6436) Ketiga: Dari Ibnu 'Abbas, ia mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, َّﻥَﺃ َّﺐَﺣَﻷ ًﻻﺎَﻣ ٍﺩﺍَﻭ َﻞْﺜِﻣ َﻡَﺩﺁ ِﻦْﺑِﻻ َّﻥَﺃ ْﻮَﻟ ُﻪَﻠْﺜِﻣ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ُﻪَﻟ ، َّﻻِﺇ َﻡَﺩﺁ ِﻦْﺑﺍ َﻦْﻴَﻋ ُﻸْﻤَﻳ َﻻَﻭ ُﺏﺍَﺮُّﺘﻟﺍ ، َﺏﺎَﺗ ْﻦَﻣ ﻰَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﺏﻮُﺘَﻳَﻭ “Seandainya manusia memiliki lembah
berisi harta, tentu ia masih
menginginkan harta yang banyak
semisal itu pula. Mata manusia barulah
penuh jika diisi dengan tanah. Allah
tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR.
Bukhari no. 6437) Keempat: Ibnu Az Zubair pernah berkhutbah di
Makkah, lalu ia mengatakan, َّﻰِﺒَّﻨﻟﺍ َّﻥِﺇ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﺎَﻬُّﻳَﺃ ﺎَﻳ - ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ - ُﻝﻮُﻘَﻳ َﻥﺎَﻛ » َﻦْﺑﺍ َّﻥَﺃ ْﻮَﻟ َّﺐَﺣَﺃ ٍﺐَﻫَﺫ ْﻦِﻣ ًﻸَﻣ ﺎًﻳِﺩﺍَﻭ َﻰِﻄْﻋُﺃ َﻡَﺩﺁ ﺎًﻴِﻧﺎَﺛ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ، ِﻪْﻴَﻟِﺇ َّﺐَﺣَﺃ ﺎًﻴِﻧﺎَﺛ َﻰِﻄْﻋُﺃ ْﻮَﻟَﻭ ﺎًﺜِﻟﺎَﺛ ، َّﻻِﺇ َﻡَﺩﺁ ِﻦْﺑﺍ َﻑْﻮَﺟ ُّﺪُﺴَﻳ َﻻَﻭُﺏﺍَﺮُّﺘﻟﺍ ، َﺏﺎَﺗ ْﻦَﻣ ﻰَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﺏﻮُﺘَﻳَﻭ » “Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, “Seandainya
manusia diberi lembah penuh dengan
emas, maka ia masih menginginkan
lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih
menginginkan lembah ketiga. Perut
manusia tidaklah akan penuh
melainkan dengan tanah. Allah tentu
menerima taubat bagi siapa saja yang
bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438) Dari Anas, dari Ubay, beliau
mengatakan, “Kami kira perkataan di
atas adalah bagian dari Al Qur'an,
hingga Allah pun menurunkan ayat, ُﺮُﺛﺎَﻜَّﺘﻟﺍ ُﻢُﻛﺎَﻬْﻟَﺃ “Bermegah-megahan dengan harta
telah mencelakakan kalian.” (QS. At
Takatsur: 1). (HR. Bukhari no. 6440)
Bukhari membawakan hadits di atas
dalam Bab “Menjaga diri dari fitnah
(cobaan) harta.” Beberapa faedah dari hadits-hadits
di atas: Pertama: Manusia begitu tamak dalam memperbanyak harta. Manusia tidak
pernah merasa puas dan merasa
cukup dengan apa yang ada. Kedua: Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Perut manusia tidaklah
akan penuh melainkan dengan
tanah”, maksudnya: Tatkala manusia
mati, perutnya ketika dalam kubur
akan dipenuhi dengan tanah.
Perutnya akan merasa cukup dengan tanah tersebut hingga ia pun kelak
akan menjadi serbuk. (Syarh Ibnu
Batthol) Ketiga: Hadits ini adalah celaan bagi orang yang terlalu tamak dengan
dunia dan tujuannya hanya ingin
memperbanyak harta. Oleh karenanya,
para ulama begitu qona'ah dan selalu
merasa cukup dengan harta yang
mereka peroleh. (Syarh Ibnu Batthol) Keempat: Hadits ini adalah anjuran untuk zuhud pada dunia. Yang
namanya zuhud pada dunia adalah
meninggalkan segala sesuatu yang
melalaikan dari Allah. (Keterangan
Ibnu Rajab dalam Jaami'ul Ulum wal
Hikam) Kelima: Manusia akan diberi cobaan melalui harta. Ada yang bersyukur
dengan yang diberi. Ada pula yang
tidak pernah merasa puas. Raihlah Kekayaan Hakiki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, َّﻦِﻜَﻟَﻭ ِﺽَﺮَﻌْﻟﺍ ِﺓَﺮْﺜَﻛ ْﻦَﻋ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ َﺲْﻴَﻟ ِﺲْﻔَّﻨﻟﺍ ﻰَﻨِﻏ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ “Kekayaan (yang hakiki) bukanlah
dengan banyaknya harta. Namun
kekayaan (yang hakiki) adalah hati
yang selalu merasa cukup.” (HR.
Bukhari no. 6446 dan Muslim no.
1051). Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki)
adalah kekayaan hati (hati yang selalu
merasa cukup).” Ya Allah, Berikanlah Kepada Kami
Kecukupan Oleh karena itu, banyak berdo’alah
pada Allah agar selalu diberi
kecukupan. Do’a yang selalu
dipanjatkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah do’a: ﻰَﻘُّﺘﻟﺍَﻭ ﻯَﺪُﻬْﻟﺍ َﻚُﻟَﺄْﺳَﺃ ﻰِّﻧِﺇ َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍَﻭ َﻑﺎَﻔَﻌْﻟﺍَﻭ “Allahumma inni as-alukal huda wat
tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku
meminta pada-Mu petunjuk,
ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan
ghina) (HR. Muslim no. 2721) An Nawawi –rahimahullah-
mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah
bermakna menjauhkan dan menahan
diri dari hal yang tidak diperbolehkan.
Sedangkan al ghina adalah hati yang
selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al
Hajjaj, 17/41, Dar Ihya' At Turots Al
'Arobi). Berarti dalam do'a ini kita
meminta pada Allah [1] petunjuk
(hidayah), [2] ketakwaan, [3] sifat menjauhkan diri dari yang haram, dan
[4] kecukupan. Semoga Allah menjadikan kita sebagai
hamba yang selalu memiliki sifat ghina
yang selalu merasa cukup dengan
nikmat harta yang Allah berikan.

carilah iman yang separoh lagi....

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim Sahabat, Ketika salah seorang sahabat
bernama Ukaf bin Wida’ah al-Hilali
menemui Rasulullah saw dan
mengatakan bahwa ia belum
menikah, beliau bertanya, “Apakah
engkau sehat dan mampu?” Ukaf menjawab, “Ya, alhamdulillah.”
Rasulullah saw bersabda, “Kalau
begitu, engkau termasuk teman setan.
Atau engkau mungkin termasuk
pendeta Nasrani dan engkau bagian
dari mereka. Atau (bila) engkau termasuk bagian dari kami, maka
lakukanlah seperti yang kami
lakukan, dan termasuk sunnah kami
adalah menikah. Orang yang paling
buruk diantara kamu adalah mereka
yang membujang. Orang mati yang paling hina di antara kamu adalah
orang yang membujang.” Kemudian
Rasulullah saw menikahkannya
dengan Kultsum al-Khumairi. (HR Ibnu
Atsir dan Ibnu Majah) Anas bin Malik ra berkata, telah
bersabda Rasulullah saw,
“Barangsiapa menikah, maka ia telah
melengkapi separuh dari agamanya.
Dan hendaklah ia bertaqwa kepada
Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.” (Hadist Riwayat
Thabrani dan Hakim) Pernah suatu ketika tiga orang
shahabat datang bertanya kepada
istri-istri Nabi saw tentang peribadatan
beliau. Setelah mendapat penjelasan,
masing-masing ingin meningkatkan
peribadatan mereka. Salah seorang berkata, “Adapun saya, akan puasa
sepanjang masa tanpa putus.” Yang
lain berkata, “Adapun saya akan
menjauhi wanita, saya tidak akan
kawin selamanya.” Ketika hal itu
didengar oleh Nabi saw, beliau keluar seraya bersabda, “Benarkah kalian
telah berkata begini dan begitu? Demi
Allah, sesungguhnya akulah yang
paling takut dan taqwa diantara
kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan
aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini
perempuan. Maka barangsiapa yang
tidak menyukai sunnahku, maka ia
tidak termasuk golonganku.” (Hadits
Riwayat Bukhari dan Muslim) Ibnu Mas’ud ra pernah berkata, “Jika
umurku tinggal sepuluh hari lagi,
sungguh aku lebih suka menikah
daripada aku harus menemui Allah
swt sebagai seorang bujangan.” (Ihya
Ulumuddin hal. 20) Dalam suatu kesempatan Imam Malik
pernah berkata, “Sekiranya saya akan
mati beberapa saat lagi, sedangkan
istri saya sudah meninggal, saya akan
segera menikah.” Demikian rasa takut
pengarang kitab al-Muwatha’ ini kepada Allah kalau ia meninggal
dalam keadaan membujang. (30
Pertunjuk Pernikahan dalam Islam,
Drs. M. Thalib) Lalu kenapa kita masih menahan diri
untuk menikah? Pengalaman
mengajarkan bahwa ternyata kita
dapat menjadi semacam tempat
penyalur rejeki (dari Allah) bagi
orang-orang yang lemah diantara kita (istri dan anak-anak, bahkan
orangtua dan mertua sekaligus). Itu
dapat terjadi manakala kita telah buat
keputusan untuk mengambil
tanggung jawab atas mereka. Seakan-
akan Allah mengatakan bahwa Dia akan membantu kita untuk
mewujudkan setiap niat baik dan
tangung jawab kita. Allah swt menyukai orang-orang
yang dapat ‘mewakili’-Nya dalam hal
pembagian rejeki. Salah satu
kesukaan-Nya adalah bahwa Dia akan
berikan lebih banyak lagi rejeki
kepada wakil-wakil-Nya agar hal itu dapat bermanfaat bagi hamba-
hamba-Nya yang ada dibawah
tanggung-jawab mereka. Dan Allah
(yang menyenangi orang-orang yang
berbuat baik) menyukai mereka yang
mengambil tanggung-jawab atas urusan-urusan yang disukai-Nya. Percayalah bahwa ketika kita buat
keputusan untuk menikah, itu berarti
bahwa kita sedang menyenangkan
Allah. Pada saat yang sama, kita
menjadikan setan stress dan ‘uring-
uringan’. Pada gilirannya nanti, Allah akan memperlihatkan bahwa hanya
kepada-Nyalah semua makhluk
bergantung dan mendapatkan
rejekinya. Sementara itu, setan bekerja
lebih keras lagi untuk menanamkan
rasa takut terhadap segala resiko (yang mungkin timbul) dari
pernikahan, sekaligus dia
menampakkan ‘kebaikan-kebaikan’
hidup sendiri (membujang). Bila kita menikah, padahal saat ini kita
(misalnya) seperti ‘tulang punggung’
bagi keluarga orangtua, maka Allah
yang maha pengasih dan maha
penyayang tidak akan menambah
berat beban yang harus kita pikul, bahkan Dia akan meringankannya
melalui pernikahan. Nampaknya hal
ini tidak bisa masuk akal, akan tetapi
demikianlah ketetapan Allah dalam
memelihara ciptaan-Nya. Akal kita
memang sangat terbatas, bahkan sekedar untuk memahami ciptaan-
Nya saja hamper-hampir kita tidak
mampu. Bila kita menikah, sedangkan kita
tidak sedikitpun punya niatan untuk
meninggalkan bakti kepada orangtua
dan hubungan baik dengan sanak-
saudara, niscaya Allah akan memberi
jalan keluar bagi masalah-masalah yang mungkin timbul terhadap
mereka. Segala sesuatu datang dari
Allah dan semuanya akan kembali
kepada-Nya. Keadaan seberat
apapun, pasti tidak akan
menyusahkan-Nya sedikitpun dalam menyelesaikan masalah-masalah
keseharian kita. Bila kita menikah, maka kita akan
(segera) masuk ke dalam orang-
orang yang beruntung yang akan
diakui sebagai ummat Rasulullah saw.
Begitu besarnya perhatian Rasulullah
saw akan hal nikah sehingga seseorang seperti Julabib, (maaf) yang
punya wajah jelek, hitam, miskin dan
tidak punya keberanian untuk nikah
(karena keadaannya) pun ‘digesa’
dan didorong untuk menikah. Seakan
Rasulullah marah kepada mereka yang sudah masuk dalam kategori
layak nikah namun dia
mengabaikannya. Untuk itu, hendaknya tidak
seorangpun merasa kecil hati dengan
keadaannya saat ini. Banyak keadaan
dimana orang-orang memandang
bahwa keadaan kita jauh lebih baik
daripada mereka. Barangkali orang- orang di luar kita tidak sepenuhnya
memahami keadaan kita, akan tetapi
pada kenyataannya memang selalu
ada orang-orang yang posisinya jauh
dibawah kita dan selalu ada orang-
orang yang keadaannya lebih buruk daripada kita. Lalu dari mana kita mulai? Orang-
orang tua yang arif-bijaksana selalu
mengingatkan agar kita selalu
memperbaharui niat kita,
menguatkannya hingga kita berazam
untuk mewujudkan sesuatu yang kita hajatkan. Dengan ijin Allah, niat yang
kuat (azam) akan dapat mengaktifkan
fikir, menggerakkan anggota badan
dan melibatkan segala sesuatu di
sekitar kita untuk merealisasikan apa
yang kita niatkan. Untuk perkara yang tidak baik saja Allah memberinya ijin,
lalu bagaimana pula bila niat itu
sesuatu yang Allah sukai? Langkah selanjutnya adalah doa.
Dengan menguatkan niat, doa kita
akan terasa lebih berkesan. Ada
masa-masa tertentu setiap hari ketika
Allah merespon doa secara
‘cash’ (tunai). Tidak seorangpun tahu rahasia ini, sehingga orang yang
bersungguh-sungguh (dengan
urusan doa yang diijabah ini) tidak
akan menyiakan masanya, sehingga
tidak ada masa kecuali selalu dalam
berhubungan dengan Sang pengijabah doa. Langkah berikutnya, yakni seiring
dengan doa yang sedang kita
panjatkan, adalah ikhtiar. Kita boleh
menyukai siapa saja, yang agama kita
membenarkannya untuk kita
menikahinya. Akan tetapi ketetapan pasangan kita adalah hak Allah. Kita
boleh memilih dan memilah, tapi yakin
kita adalah bahwa keputusan Allah
adalah yang terbaik buat kita. Allah
mengetahui sedangkan kita tidak
tahu kecuali sebatas pada apa yang diberitahukan-Nya kepada kita. Bila kita menyukai seseorang untuk
menjadi pasangan (suami atau istri)
kita lalu hal itu sesuai dengan
keinginan dan ilmu kita, akan tetapi
Allah (dengan keluasan ilmu-Nya)
tidak menghendakinya terjadi, maka pernikahan itu tidak akan dapat
diwujudkan meski seluruh jin dan
manusia membantu kita. Bila kita
menyukai seseorang dan Dia sendiri
telah menetapkannya untuk kita,
maka pernikahan akan terwujud meskipun seluruh jin dan manusia
menghalanginya. Bila kita tidak suka kepada seseorang
sedangkan Allah suka agar kita
menyenangi dan menikahinya, ini
adalah suatu pertanda bahwa Allah
menyimpan banyak kebaikan yang
(sebagian besarnya) dirahasiakan- Nya agar menjadi ‘surprise’ bagi kita
pada saat yang ditentukan-Nya
sendiri kelak, baik di dunia ataupun di
akhirat. Dan kesukaan Allah yang lain
adalah bahwa Dia mecurahkan
kebaikan yang semakin bertambah dan berlipat kepada hamba-hamba
yang diridhoi-Nya. Dari banyak pengalaman, saat
menjelang pernikahan (setelah kita
buat keputusan untuk itu) adalah
masa-masa yang sering dipenuhi
dengan kecamuk ‘perang bathin’.
Seolah ini adalah perang antara kebaikan dan keburukan. Bila kita
terus maju dengan segala resikonya,
kita akan menang lalu sampailah kita
ke gerbang pernikahan. Sebaliknya,
bila kita ragu dan menjadi terhalang
dengan ‘hal-hal kecil’, kita akan kalah dan kita tidak akan sampai ke
gerbang itu. Maka bila kita sudah buat
keputusan, kita mesti buang jauh
segala bentuk keraguan dan kita
mesti belajar untuk menjadi tidak
peduli dengan segala rintangan. Subhanallah.