Berikut pelajaran berharga yang kami
peroleh dari penjelasan Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni (Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah). Semoga bermanfaat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, Adapun mengenai firman Allah Ta’ala, } ﺎًﺟَﺮْﺨَﻣ ُﻪَﻟ ْﻞَﻌْﺠَﻳ َﻪَّﻠﻟﺍ ِﻖَّﺘَﻳ ْﻦَﻣَﻭ { } ُﺐِﺴَﺘْﺤَﻳ ﺎَﻟ ُﺚْﻴَﺣ ْﻦِﻣ ُﻪْﻗُﺯْﺮَﻳَﻭ { “Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya
dan memberikan jalan keluar bagi
orang yang benar-benar bertakwa
pada-Nya. Allah akan mendatangkan
padanya berbagai manfaat berupa
dimudahkannya rizki. Rizki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati
oleh manusia. Rizki yang dimaksud di
sini adalah rizki dunia dan rizki akhirat. Sebagian orang mengatakan, “Orang yang bertakwa itu tidak pernah
merasa fakir (miskin atau merasa
kekurangan) sama sekali .” Lalu ada yang bertanya, “Mengapa bisa
begitu?” Ia menjawab, “Karena Allah
Ta’ala berfirman: } ﺎًﺟَﺮْﺨَﻣ ُﻪَﻟ ْﻞَﻌْﺠَﻳ َﻪَّﻠﻟﺍ ِﻖَّﺘَﻳ ْﻦَﻣَﻭ { } ُﺐِﺴَﺘْﺤَﻳ ﺎَﻟ ُﺚْﻴَﺣ ْﻦِﻣ ُﻪْﻗُﺯْﺮَﻳَﻭ { “Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)” Kemudian ada yang bertanya kembali,
“Kami menyaksikan sendiri bahwa di
antara orang yang bertakwa, ada
yang tidak punya apa-apa. Namun
memang ada sebagian lagi yang diberi
banyak rizki.” Jawabannya, ayat tersebut
menunjukkan bahwa orang yang
bertakwa akan diberi rizki dari jalan
yang tak terduga. Namun ayat itu tidak
menunjukkan bahwa orang yang
tidak bertakwa tidak diberi rizki. Bahkan setiap makhluk akan diberi
rizki sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman, ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ﺎَّﻟﺇ ِﺽْﺭَﺄْﻟﺍ ﻲِﻓ ٍﺔَّﺑﺍَﺩ ْﻦِﻣ ﺎَﻣَﻭ ﺎَﻬُﻗْﺯِﺭ “Dan tidak ada suatu binatang melata
pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya” (QS. Huud: 6).
Bahkan hamba yang menerjang yang
haram termasuk yang diberi rizki.
Orang kafir tetap diberi rizki padahal rizki itu boleh jadi diperoleh dengan
cara-cara yang haram, boleh jadi juga
dengan cara yang baik, bahkan boleh
jadi pula diperoleh dengan susah
payah. Sedangkan orang yang bertakwa,
Allah memberi rizki pada mereka dari
jalan yang tidak terduga. Rizkinya
tidak mungkin diperoleh dengan cara-
cara yang haram, juga tidak mungkin
rizki mereka dari yang khobits (yang kotor-kotor). Perlu diketahui bahwa orang yang bertakwa tidak mungkin dihalangi dari rizki yang ia butuhkan. Ia hanyalah dihalangi dari materi
dunia yang berlebih sebagai rahmat
dan kebaikan padanya. Karena boleh jadi diluaskannya rizki malah akan membahayakan dirinya. Sedangkan disempitkannya rizki malah mungkin sebagai rahmat baginya. Namun beda halnya dengan keadaan manusia yang
Allah ceritakan, } ُﻪُّﺑَﺭ ُﻩﺎَﻠَﺘْﺑﺍ ﺎَﻣ ﺍَﺫﺇ ُﻥﺎَﺴْﻧِﺈْﻟﺍ ﺎَّﻣَﺄَﻓ ِﻦَﻣَﺮْﻛَﺃ ﻲِّﺑَﺭ ُﻝﻮُﻘَﻴَﻓ ُﻪَﻤَّﻌَﻧَﻭ ُﻪَﻣَﺮْﻛَﺄَﻓ { } ُﻪَﻗْﺯِﺭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﺭَﺪَﻘَﻓ ُﻩﺎَﻠَﺘْﺑﺍ ﺎَﻣ ﺍَﺫﺇ ﺎَّﻣَﺃَﻭ ِﻦَﻧﺎَﻫَﺃ ﻲِّﺑَﺭ ُﻝﻮُﻘَﻴَﻓ } { ﺎًّﻠُﻛ { “Adapun manusia apabila Tuhannya
mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya
dan diberi-Nya kesenangan, maka dia
akan berkata: "Tuhanku telah
memuliakanku". Adapun bila
Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku
menghinakanku”. Sekali-kali tidak
(demikian).” (QS. Al Fajr: 15-16) Senyatanya tidak demikian. Belum
tentu orang yang diluaskan rizkinya, ia
berarti dimuliakan. Sebaliknya orang
yang disempitkan rizkinya, belum
tentu ia dihinakan. Bahkan boleh jadi
seseorang dilapangkan rizki baginya hanya sebagai istidroj (agar ia semakin
terlena dengan maksiatnya). Begitu
pula boleh jadi seseorang disempitkan
rizkinya untuk melindungi dirinya dari
bahaya. Sedangkan jika ada orang
yang sholih yang disempitkan rizkinya, boleh jadi itu karena sebab
dosa-dosa yang ia perbuat
sebagaimana sebagian salaf
mengatakan, ُﻪُﺒﻴِﺼُﻳ ِﺐْﻧَّﺬﻟﺎِﺑ َﻕْﺯِّﺮﻟﺍ ُﻡَﺮْﺤُﻴَﻟ َﺪْﺒَﻌْﻟﺍ َّﻥﺇ “Seorang hamba boleh jadi terhalang
rizki untuknya karena dosa yang ia
perbuat.” Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ْﻦِﻣ ُﻪَﻟ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻞَﻌَﺟ َﺭﺎَﻔْﻐِﺘْﺳﺎِﻟﺍ َﺮَﺜْﻛَﺃ ْﻦَﻣ ﺎًﺟَﺮْﺨَﻣ ٍﻖﻴِﺿ ِّﻞُﻛ ْﻦِﻣَﻭ ﺎًﺟَﺮَﻓ ٍّﻢَﻫ ِّﻞُﻛ ُﺐِﺴَﺘْﺤَﻳ ﺎَﻟ ُﺚْﻴَﺣ ْﻦِﻣ ُﻪَﻗَﺯَﺭَﻭ “Barang siapa yang memperbanyak
beristighfar, maka Allah pasti akan
selalu memberikannya jalan keluar
dari setiap kesempitan dan
kelapangan dari segala kegundahan
serta Allah akan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak ia
sangka-sangka.”[1] Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa
kebaikan itu akan menghapus kejelekan, istighfar adalah sebab datangnya rizki dan berbagai kenikmatan, sedangkan maksiat adalah sebab datangnya musibah dan berbagai kesulitan. (Kita dapat menyaksikan hal tersebut dalam ayat-
ayat berikut ini). Allah Ta’ala berfirman, ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِّﺼُﻓ َّﻢُﺛ ُﻪُﺗﺎَﻳَﺁ ْﺖَﻤِﻜْﺣُﺃ ٌﺏﺎَﺘِﻛ ﺮﻟﺍ ٍﺮﻴِﺒَﺧ ٍﻢﻴِﻜَﺣ ْﻥُﺪَﻟ (1) ﺎَّﻟِﺇ ﺍﻭُﺪُﺒْﻌَﺗ ﺎَّﻟَﺃ ٌﺮﻴِﺸَﺑَﻭ ٌﺮﻳِﺬَﻧ ُﻪْﻨِﻣ ْﻢُﻜَﻟ ﻲِﻨَّﻧِﺇ َﻪَّﻠﻟﺍ (2) ِﻪْﻴَﻟِﺇ ﺍﻮُﺑﻮُﺗ َّﻢُﺛ ْﻢُﻜَّﺑَﺭ ﺍﻭُﺮِﻔْﻐَﺘْﺳﺍ ِﻥَﺃَﻭ ٍﻞَﺟَﺃ ﻰَﻟِﺇ ﺎًﻨَﺴَﺣ ﺎًﻋﺎَﺘَﻣ ْﻢُﻜْﻌِّﺘَﻤُﻳ ُﻪَﻠْﻀَﻓ ٍﻞْﻀَﻓ ﻱِﺫ َّﻞُﻛ ِﺕْﺆُﻳَﻭ ﻰًّﻤَﺴُﻣ “Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci, yang
diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu, agar kamu
tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad)
adalah pemberi peringatan dan
pembawa khabar gembira kepadamu
daripada-Nya, dan hendaklah kamu
meminta ampun kepada Tuhanmu dan
bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya
Dia akan memberi kenikmatan yang
baik (terus menerus) kepadamu
sampai kepada waktu yang telah
ditentukan dan Dia akan memberikan
kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan)
keutamaannya” (QS. Huud: 1-3) ﺍًﺭﺎَّﻔَﻏ َﻥﺎَﻛ ُﻪَّﻧِﺇ ْﻢُﻜَّﺑَﺭ ﺍﻭُﺮِﻔْﻐَﺘْﺳﺍ ُﺖْﻠُﻘَﻓ (10) ﺍًﺭﺍَﺭْﺪِﻣ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ َﺀﺎَﻤَّﺴﻟﺍ ِﻞِﺳْﺮُﻳ (11) ْﻞَﻌْﺠَﻳَﻭ َﻦﻴِﻨَﺑَﻭ ٍﻝﺍَﻮْﻣَﺄِﺑ ْﻢُﻛْﺩِﺪْﻤُﻳَﻭ ﺍًﺭﺎَﻬْﻧَﺃ ْﻢُﻜَﻟ ْﻞَﻌْﺠَﻳَﻭ ٍﺕﺎَّﻨَﺟ ْﻢُﻜَﻟ (12) “Maka aku katakan kepada mereka:
'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -
sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun-, niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu
dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun
dan mengadakan (pula di dalamnya)
untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh:
10-12) } ِﺔَﻘﻳِﺮَّﻄﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ﺍﻮُﻣﺎَﻘَﺘْﺳﺍ ِﻮَﻟ ْﻥَﺃَﻭ ﺎًﻗَﺪَﻏ ًﺀﺎَﻣ ْﻢُﻫﺎَﻨْﻴَﻘْﺳَﺄَﻟ } { ْﻢُﻬَﻨِﺘْﻔَﻨِﻟ ِﻪﻴِﻓ { “Dan bahwasanya: jikalau mereka
tetap berjalan lurus di atas jalan itu
(agama Islam), benar-benar Kami
akan memberi minum kepada mereka
air yang segar (rezki yang banyak).
Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya.” (QS. Al Jin: 16-17) ﺍْﻮَﻘَّﺗﺍَﻭ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ﻯَﺮُﻘْﻟﺍ َﻞْﻫَﺃ َّﻥَﺃ ْﻮَﻟَﻭ ِﺀﺎَﻤَّﺴﻟﺍ َﻦِﻣ ٍﺕﺎَﻛَﺮَﺑ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ ﺎَﻨْﺤَﺘَﻔَﻟ ﺎَﻤِﺑ ْﻢُﻫﺎَﻧْﺬَﺧَﺄَﻓ ﺍﻮُﺑَّﺬَﻛ ْﻦِﻜَﻟَﻭ ِﺽْﺭَﺄْﻟﺍَﻭ َﻥﻮُﺒِﺴْﻜَﻳ ﺍﻮُﻧﺎَﻛ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-
negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al
A’rof: 96) َﻞﻴِﺠْﻧِﺈْﻟﺍَﻭ َﺓﺍَﺭْﻮَّﺘﻟﺍ ﺍﻮُﻣﺎَﻗَﺃ ْﻢُﻬَّﻧَﺃ ْﻮَﻟَﻭ ْﻦِﻣ ﺍﻮُﻠَﻛَﺄَﻟ ْﻢِﻬِّﺑَﺭ ْﻦِﻣ ْﻢِﻬْﻴَﻟﺇ َﻝِﺰْﻧُﺃ ﺎَﻣَﻭ ْﻢِﻬِﻠُﺟْﺭَﺃ ِﺖْﺤَﺗ ْﻦِﻣَﻭ ْﻢِﻬِﻗْﻮَﻓ “Dan sekiranya mereka sungguh-
sungguh menjalankan (hukum)
Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang
diturunkan kepada mereka dari
Tuhannya, niscaya mereka akan
mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka.” (QS. Al Maidah:
66) ْﺖَﺒَﺴَﻛ ﺎَﻤِﺒَﻓ ٍﺔَﺒﻴِﺼُﻣ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﺑﺎَﺻَﺃ ﺎَﻣَﻭ ٍﺮﻴِﺜَﻛ ْﻦَﻋ ﻮُﻔْﻌَﻳَﻭ ْﻢُﻜﻳِﺪْﻳَﺃ “Dan apa saja musibah yang menimpa
kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy
Syura: 30) َّﻢُﺛ ًﺔَﻤْﺣَﺭ ﺎَّﻨِﻣ َﻥﺎَﺴْﻧِﺈْﻟﺍ ﺎَﻨْﻗَﺫَﺃ ْﻦِﺌَﻟَﻭ ٌﺭﻮُﻔَﻛ ٌﺱﻮُﺌَﻴَﻟ ُﻪَّﻧﺇ ُﻪْﻨِﻣ ﺎَﻫﺎَﻨْﻋَﺰَﻧ “Dan jika Kami rasakan kepada
manusia suatu rahmat (nikmat) dari
Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut
daripadanya, pastilah dia menjadi
putus asa lagi tidak berterima
kasih.” (QS. Hud: 9) ﺎَﻣَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻦِﻤَﻓ ٍﺔَﻨَﺴَﺣ ْﻦِﻣ َﻚَﺑﺎَﺻَﺃ ﺎَﻣ َﻚِﺴْﻔَﻧ ْﻦِﻤَﻓ ٍﺔَﺌِّﻴَﺳ ْﻦِﻣ َﻚَﺑﺎَﺻَﺃ “Apa saja nikmat yang kamu peroleh
adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An
Nisa’: 79) } ْﻢُﻬَّﻠَﻌَﻟ ِﺀﺍَّﺮَّﻀﻟﺍَﻭ ِﺀﺎَﺳْﺄَﺒْﻟﺎِﺑ ْﻢُﻫﺎَﻧْﺬَﺧَﺄَﻓ َﻥﻮُﻋَّﺮَﻀَﺘَﻳ } { ﺎَﻨُﺳْﺄَﺑ ْﻢُﻫَﺀﺎَﺟ ْﺫﺇ ﺎَﻟْﻮَﻠَﻓ َﻦَّﻳَﺯَﻭ ْﻢُﻬُﺑﻮُﻠُﻗ ْﺖَﺴَﻗ ْﻦِﻜَﻟَﻭ ﺍﻮُﻋَّﺮَﻀَﺗ َﻥﻮُﻠَﻤْﻌَﻳ ﺍﻮُﻧﺎَﻛ ﺎَﻣ ُﻥﺎَﻄْﻴَّﺸﻟﺍ ُﻢُﻬَﻟ { “Kemudian Kami siksa mereka dengan
(menimpakan) kesengsaraan dan
kemelaratan, supaya mereka
memohon (kepada Allah) dengan
tunduk merendahkan diri. Maka
mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk
merendahkan diri ketika datang
siksaan Kami kepada mereka, bahkan
hati mereka telah menjadi keras, dan
syaitanpun menampakkan kepada
mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am:
42-43) Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam
kitabnya bahwa Dia akan menguji hamba-Nya dengan kebaikan atau dengan kejelekan. Kebaikan yang dimaksud adalah nikmat dan kejelekan adalah musibah. Ujian ini dimaksudkan agar hamba tersebut teruji sebagai hamba yang bersabar dan bersyukur. Dalam hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻲِﻀْﻘَﻳ ﺎَﻟ ِﻩِﺪَﻴِﺑ ﻲِﺴْﻔَﻧ ﻱِﺬَّﻟَﺍَﻭ َﺲْﻴَﻟَﻭ ُﻪَﻟ ﺍًﺮْﻴَﺧ َﻥﺎَﻛ ﺎَّﻟﺇ ًﺀﺎَﻀَﻗ ِﻦِﻣْﺆُﻤْﻠِﻟ ُﻪْﺘَﺑﺎَﺻَﺃ ْﻥﺇ ِﻦِﻣْﺆُﻤْﻠِﻟ ﺎَّﻟﺇ ِﺪَﺣَﺄِﻟ َﻚِﻟَﺫ ُﻪْﺘَﺑﺎَﺻَﺃ ْﻥِﺇَﻭ ُﻪَﻟ ﺍًﺮْﻴَﺧ َﻥﺎَﻜَﻓ َﺮَﻜَﺷ ُﺀﺍَّﺮَﺳ ُﻪَﻟ ﺍًﺮْﻴَﺧ َﻥﺎَﻜَﻓ َﺮَﺒَﺻ ُﺀﺍَّﺮَﺿ “Demi yang jiwaku berada di tangan-
Nya. Allah tidaklah menetapkan bagi
seorang mukmin suatu ketentuan
melainkan itu baikk baginya. Hal ini
tidaklah mungkin kita jumpai kecuali
pada seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia
bersyukur, maka itu baik baginya. Jika
ia ditimpa suatu bahaya, ia bersabar,
maka itu pun baik baginya.” Demikian penjelasan dari Abul ‘Abbas
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa
(16/52-54). Semoga bermanfaat dan
dapat sebagai penyejuk hati yang
sedang gundah. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah /9: 105).
Nonton iklan bentar ya...!!!
Sunday, 14 August 2011
Kaya Hati, Itulah Kaya Senyatanya
Orang kaya pastikah selalu merasa
cukup? Belum tentu. Betapa banyak
orang kaya namun masih merasa
kekurangan. Hatinya tidak merasa
puas dengan apa yang diberi Sang
Pemberi Rizki. Ia masih terus mencari- cari apa yang belum ia raih. Hatinya
masih terasa hampa karena ada saja
yang belum ia raih. Coba kita perhatikan nasehat suri
tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ِﺽَﺮَﻌْﻟﺍ ِﺓَﺮْﺜَﻛ ْﻦَﻋ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ َﺲْﻴَﻟ ، ِﺲْﻔَّﻨﻟﺍ ﻰَﻨِﻏ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ َّﻦِﻜَﻟَﻭ “Kaya bukanlah diukur dengan
banyaknya kemewahan dunia. Namun
kaya (ghina’) adalah hati yang selalu
merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446
dan Muslim no. 1051) Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
nasehat berharga kepada sahabat
Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu
berkata, ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ﻪَّﻠﻟﺍ ﻝﻮُﺳَﺭ ﻲِﻟ َﻝﺎَﻗ َﻢَّﻠَﺳَﻭ : َﻮُﻫ ﻝﺎَﻤْﻟﺍ ﺓَﺮْﺜَﻛ ﻯَﺮَﺗَﺃ ّﺭَﺫ ﺎَﺑَﺃ ﺎَﻳ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ ؟ ﺖْﻠُﻗ : ْﻢَﻌَﻧ . َﻝﺎَﻗ : ﺔَّﻠِﻗ ﻯَﺮَﺗَﻭ ﺮْﻘَﻔْﻟﺍ َﻮُﻫ ﻝﺎَﻤْﻟﺍ ؟ ﺖْﻠُﻗ : ﺎَﻳ ْﻢَﻌَﻧ ﻪَّﻠﻟﺍ ﻝﻮُﺳَﺭ . َﻝﺎَﻗ : ﻰَﻨِﻏ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ ﺎَﻤَّﻧِﺇ ﺐْﻠَﻘْﻟﺍ ، ﺐْﻠَﻘْﻟﺍ ﺮْﻘَﻓ ﺮْﻘَﻔْﻟﺍَﻭ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata padaku, “Wahai Abu
Dzar, apakah engkau memandang
bahwa banyaknya harta itulah yang
disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab
Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa
sedikitnya harta itu berarti fakir?”
“Betul,” Abu Dzar menjawab dengan
jawaban serupa. Lantas beliau pun
bersabda, “Sesungguhnya yang
namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa
cukup). Sedangkan fakir adalah
fakirnya hati (hati yang selalu merasa
tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa
sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim) Inilah nasehat dari suri tauladan kita.
Nasehat ini sungguh berharga. Dari
sini seorang insan bisa menerungkan
bahwa banyaknya harta dan
kemewahan dunia bukanlah jalan
untuk meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa
kurang puas. Jika diberi selembah
gunung berupa emas, ia pun masih
mencari lembah yang kedua, ketiga
dan seterusnya. Oleh karena itu,
kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa
yang Allah beri. Itulah yang namanya
qona’ah. Itulah yang disebut dengan
ghoni (kaya) yang sebenarnya. Ibnu Baththol rahimahullah
mengatakan, “Hakikat kekayaan
sebenarnya bukanlah dengan
banyaknya harta. Karena begitu
banyak orang yang diluaskan rizki
berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa
yang diberi. Orang seperti ini selalu
berusaha keras untuk menambah dan
terus menambah harta. Ia pun tidak
peduli dari manakah harta tersebut ia
peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena
usaha kerasnya untuk terus menerus
memuaskan dirinya dengan harta.
Perlu dikencamkan baik-baik bawa
hakikat kekayaan yang sebenarnya
adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang
yang kaya hati inilah yang selalu
merasa cukup dengan apa yang
diberi, selalu merasa qona’ah (puas)
dengan yang diperoleh dan selalu
ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk
menambah harta dan ia tidak seperti
orang yang tidak pernah letih untuk
terus menambahnya. Kondisi orang
semacam inilah yang disebut ghoni
(yaitu kaya yang sebenarnya).” Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah
menerangkan pula, “Orang yang
disifati dengan kaya hati adalah orang
yang selalu qona’ah (merasa puas)
dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak
begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak
seperti orang yang tidak pernah letih
untuk mencarinya. Ia tidak meminta-
minta dengan bersumpah untuk
menambah hartanya. Bahkan yang
terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha
Adil padanya. Orang inilah yang
seakan-akan kaya selamanya. Sedangkan orang yang disifati dengan
miskin hati adalah kebalikan dari
orang pertama tadi. Orang seperti ini
tidak pernah qona’ah (merasa pus)
terhadap apa yang diberi. Bahkan ia
terus berusaha kerus untuk menambah dan terus menambah
dengan cara apa pun (entah cara halal
maupun haram). Jika ia tidak
menggapai apa yang ia cari, ia pun
merasa amat sedih. Dialah seakan-
akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa
puas dengan apa yang telah diberi.
Oran inilah orang yang tidak kaya
pada hakikatnya. Intinya, orang yang kaya hati berawal
dari sikap selalu ridho dan menerima
segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu
bahwa apa yang Allah beri, itulah yang
terbaik dan akan senatiasa terus ada.
Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.” Perkataan yang amat bagus
diungkapkan oleh para ulama: ﺔَﺟﺎَﺣ ّﺪَﺳ ْﻦِﻣ ﻚﻴِﻔْﻜَﻳ ﺎَﻣ ﺲْﻔَّﻨﻟﺍ ﻰَﻨِﻏ ﺍًﺮْﻘَﻓ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ َﻙﺍَﺫ َﺩﺎَﻋ ﺎًﺌْﻴَﺷ َﺩﺍَﺯ ْﻥِﺈَﻓ “Kaya hati adalah merasa cukup pada
segala yang engkau butuh. Jika lebih
dari itu dan terus engkau cari, maka itu
berarti bukanlah ghina (kaya hati),
namun malah fakir (miskinnya
hati).”[1] An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Kaya yang terpuji adalah kaya hati,
hati yang selalu merasa puas dan tidak
tamak dalam mencari kemewahan
dunia. Kaya yang terpuji bukanlah
dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus
menambah. Karena barangsiapa yang
terus mencari dalam rangka untuk
menambah, ia tentu tidak pernah
merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah
orang yang kaya hati.”[2] Namun bukan berarti kita tidak boleh
kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ُﺔَّﺤِّﺼﻟﺍَﻭ ﻰَﻘَّﺗﺍ ِﻦَﻤِﻟ ﻰَﻨِﻐْﻟﺎِﺑ َﺱْﺄَﺑ َﻻ ُﺐﻴِﻃَﻭ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ َﻦِﻣ ٌﺮْﻴَﺧ ﻰَﻘَّﺗﺍ ِﻦَﻤِﻟ ِﻢَﻌِّﻨﻟﺍ َﻦِﻣ ِﺲْﻔَّﻨﻟﺍ “Tidak apa-apa dengan kaya bagi
orang yang bertakwa. Dan sehat bagi
orang yang bertakwa itu lebih baik
dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari
kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no.
2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Dari sini bukan berarti kita tercela
untuk kaya harta, namun yang tercela
adalah tidak pernah merasa cukup
dan puas (qona’ah) dengan apa yang
Allah beri. Padahal sungguh
beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al
‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ﺎًﻓﺎَﻔَﻛ َﻕِﺯُﺭَﻭ َﻢَﻠْﺳَﺃ ْﻦَﻣ َﺢَﻠْﻓَﺃ ْﺪَﻗ ُﻩﺎَﺗﺁ ﺎَﻤِﺑ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﻪَﻌَّﻨَﻗَﻭ “Sungguh sangat beruntung orang
yang telah masuk Islam, diberikan
rizki yang cukup dan Allah
menjadikannya merasa puas dengan
apa yang diberikan kepadanya.” (HR.
Muslim no. 1054) Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup
itulah yang selalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam minta pada Allah
dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, َّﻲﺒﻨﻟﺍ َّﻥﺃ - ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ - ﻝﻮﻘﻳ َﻥﺎَﻛ )) : َﻚُﻟﺄْﺳﺃ ﻲِّﻧﺇ َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ﻯَﺪُﻬﻟﺍ ، ﻰَﻘُّﺘﻟﺍﻭ ، َﻑﺎَﻔَﻌﻟﺍﻭ ، ﻰَﻨِﻐﻟﺍﻭ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa membaca do’a: “Allahumma inni
as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal
ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-
Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan
sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah-
mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah
bermakna menjauhkan dan menahan
diri dari hal yang tidak diperbolehkan.
Sedangkan al ghina adalah hati yang
selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”[3] Saudaraku ... milikilah sifat qona’ah,
kaya hati yang selalu merasa cukup
dengan apa yang Allah beri. Semoga
Allah menganugerahkan kita sekalian
sifat yang mulia ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat.
cukup? Belum tentu. Betapa banyak
orang kaya namun masih merasa
kekurangan. Hatinya tidak merasa
puas dengan apa yang diberi Sang
Pemberi Rizki. Ia masih terus mencari- cari apa yang belum ia raih. Hatinya
masih terasa hampa karena ada saja
yang belum ia raih. Coba kita perhatikan nasehat suri
tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ِﺽَﺮَﻌْﻟﺍ ِﺓَﺮْﺜَﻛ ْﻦَﻋ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ َﺲْﻴَﻟ ، ِﺲْﻔَّﻨﻟﺍ ﻰَﻨِﻏ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ َّﻦِﻜَﻟَﻭ “Kaya bukanlah diukur dengan
banyaknya kemewahan dunia. Namun
kaya (ghina’) adalah hati yang selalu
merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446
dan Muslim no. 1051) Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
nasehat berharga kepada sahabat
Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu
berkata, ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ﻪَّﻠﻟﺍ ﻝﻮُﺳَﺭ ﻲِﻟ َﻝﺎَﻗ َﻢَّﻠَﺳَﻭ : َﻮُﻫ ﻝﺎَﻤْﻟﺍ ﺓَﺮْﺜَﻛ ﻯَﺮَﺗَﺃ ّﺭَﺫ ﺎَﺑَﺃ ﺎَﻳ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ ؟ ﺖْﻠُﻗ : ْﻢَﻌَﻧ . َﻝﺎَﻗ : ﺔَّﻠِﻗ ﻯَﺮَﺗَﻭ ﺮْﻘَﻔْﻟﺍ َﻮُﻫ ﻝﺎَﻤْﻟﺍ ؟ ﺖْﻠُﻗ : ﺎَﻳ ْﻢَﻌَﻧ ﻪَّﻠﻟﺍ ﻝﻮُﺳَﺭ . َﻝﺎَﻗ : ﻰَﻨِﻏ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ ﺎَﻤَّﻧِﺇ ﺐْﻠَﻘْﻟﺍ ، ﺐْﻠَﻘْﻟﺍ ﺮْﻘَﻓ ﺮْﻘَﻔْﻟﺍَﻭ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata padaku, “Wahai Abu
Dzar, apakah engkau memandang
bahwa banyaknya harta itulah yang
disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab
Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa
sedikitnya harta itu berarti fakir?”
“Betul,” Abu Dzar menjawab dengan
jawaban serupa. Lantas beliau pun
bersabda, “Sesungguhnya yang
namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa
cukup). Sedangkan fakir adalah
fakirnya hati (hati yang selalu merasa
tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa
sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim) Inilah nasehat dari suri tauladan kita.
Nasehat ini sungguh berharga. Dari
sini seorang insan bisa menerungkan
bahwa banyaknya harta dan
kemewahan dunia bukanlah jalan
untuk meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa
kurang puas. Jika diberi selembah
gunung berupa emas, ia pun masih
mencari lembah yang kedua, ketiga
dan seterusnya. Oleh karena itu,
kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa
yang Allah beri. Itulah yang namanya
qona’ah. Itulah yang disebut dengan
ghoni (kaya) yang sebenarnya. Ibnu Baththol rahimahullah
mengatakan, “Hakikat kekayaan
sebenarnya bukanlah dengan
banyaknya harta. Karena begitu
banyak orang yang diluaskan rizki
berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa
yang diberi. Orang seperti ini selalu
berusaha keras untuk menambah dan
terus menambah harta. Ia pun tidak
peduli dari manakah harta tersebut ia
peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena
usaha kerasnya untuk terus menerus
memuaskan dirinya dengan harta.
Perlu dikencamkan baik-baik bawa
hakikat kekayaan yang sebenarnya
adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang
yang kaya hati inilah yang selalu
merasa cukup dengan apa yang
diberi, selalu merasa qona’ah (puas)
dengan yang diperoleh dan selalu
ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk
menambah harta dan ia tidak seperti
orang yang tidak pernah letih untuk
terus menambahnya. Kondisi orang
semacam inilah yang disebut ghoni
(yaitu kaya yang sebenarnya).” Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah
menerangkan pula, “Orang yang
disifati dengan kaya hati adalah orang
yang selalu qona’ah (merasa puas)
dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak
begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak
seperti orang yang tidak pernah letih
untuk mencarinya. Ia tidak meminta-
minta dengan bersumpah untuk
menambah hartanya. Bahkan yang
terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha
Adil padanya. Orang inilah yang
seakan-akan kaya selamanya. Sedangkan orang yang disifati dengan
miskin hati adalah kebalikan dari
orang pertama tadi. Orang seperti ini
tidak pernah qona’ah (merasa pus)
terhadap apa yang diberi. Bahkan ia
terus berusaha kerus untuk menambah dan terus menambah
dengan cara apa pun (entah cara halal
maupun haram). Jika ia tidak
menggapai apa yang ia cari, ia pun
merasa amat sedih. Dialah seakan-
akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa
puas dengan apa yang telah diberi.
Oran inilah orang yang tidak kaya
pada hakikatnya. Intinya, orang yang kaya hati berawal
dari sikap selalu ridho dan menerima
segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu
bahwa apa yang Allah beri, itulah yang
terbaik dan akan senatiasa terus ada.
Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.” Perkataan yang amat bagus
diungkapkan oleh para ulama: ﺔَﺟﺎَﺣ ّﺪَﺳ ْﻦِﻣ ﻚﻴِﻔْﻜَﻳ ﺎَﻣ ﺲْﻔَّﻨﻟﺍ ﻰَﻨِﻏ ﺍًﺮْﻘَﻓ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ َﻙﺍَﺫ َﺩﺎَﻋ ﺎًﺌْﻴَﺷ َﺩﺍَﺯ ْﻥِﺈَﻓ “Kaya hati adalah merasa cukup pada
segala yang engkau butuh. Jika lebih
dari itu dan terus engkau cari, maka itu
berarti bukanlah ghina (kaya hati),
namun malah fakir (miskinnya
hati).”[1] An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Kaya yang terpuji adalah kaya hati,
hati yang selalu merasa puas dan tidak
tamak dalam mencari kemewahan
dunia. Kaya yang terpuji bukanlah
dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus
menambah. Karena barangsiapa yang
terus mencari dalam rangka untuk
menambah, ia tentu tidak pernah
merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah
orang yang kaya hati.”[2] Namun bukan berarti kita tidak boleh
kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ُﺔَّﺤِّﺼﻟﺍَﻭ ﻰَﻘَّﺗﺍ ِﻦَﻤِﻟ ﻰَﻨِﻐْﻟﺎِﺑ َﺱْﺄَﺑ َﻻ ُﺐﻴِﻃَﻭ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍ َﻦِﻣ ٌﺮْﻴَﺧ ﻰَﻘَّﺗﺍ ِﻦَﻤِﻟ ِﻢَﻌِّﻨﻟﺍ َﻦِﻣ ِﺲْﻔَّﻨﻟﺍ “Tidak apa-apa dengan kaya bagi
orang yang bertakwa. Dan sehat bagi
orang yang bertakwa itu lebih baik
dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari
kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no.
2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Dari sini bukan berarti kita tercela
untuk kaya harta, namun yang tercela
adalah tidak pernah merasa cukup
dan puas (qona’ah) dengan apa yang
Allah beri. Padahal sungguh
beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al
‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ﺎًﻓﺎَﻔَﻛ َﻕِﺯُﺭَﻭ َﻢَﻠْﺳَﺃ ْﻦَﻣ َﺢَﻠْﻓَﺃ ْﺪَﻗ ُﻩﺎَﺗﺁ ﺎَﻤِﺑ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﻪَﻌَّﻨَﻗَﻭ “Sungguh sangat beruntung orang
yang telah masuk Islam, diberikan
rizki yang cukup dan Allah
menjadikannya merasa puas dengan
apa yang diberikan kepadanya.” (HR.
Muslim no. 1054) Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup
itulah yang selalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam minta pada Allah
dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, َّﻲﺒﻨﻟﺍ َّﻥﺃ - ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ - ﻝﻮﻘﻳ َﻥﺎَﻛ )) : َﻚُﻟﺄْﺳﺃ ﻲِّﻧﺇ َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ﻯَﺪُﻬﻟﺍ ، ﻰَﻘُّﺘﻟﺍﻭ ، َﻑﺎَﻔَﻌﻟﺍﻭ ، ﻰَﻨِﻐﻟﺍﻭ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa membaca do’a: “Allahumma inni
as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal
ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-
Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan
sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah-
mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah
bermakna menjauhkan dan menahan
diri dari hal yang tidak diperbolehkan.
Sedangkan al ghina adalah hati yang
selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”[3] Saudaraku ... milikilah sifat qona’ah,
kaya hati yang selalu merasa cukup
dengan apa yang Allah beri. Semoga
Allah menganugerahkan kita sekalian
sifat yang mulia ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat.
Subscribe to:
Posts (Atom)