“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim: 7). Kata syukur berasal dari Bahasa Arab dan dalam Al-Quran mempunyai arti “rasa terima kasih kepada Allah” atau “pujian” atas anugerah dan kenikmatan yang diperoleh. Dalam al-Qur'an maupun hadits banyak sekali perintah atau anjuran kepada kita untuk tidak berhenti bersyukur. Bagaimana tidak, keberadaan kita sekarang adalah karena nikmat Allah. Kalau tidak suka dengan apa yang kita peroleh, maka carilah bumi yang bukan milik Allah. Lalu ke mana lagi kita harus pergi? Jangankan ke bumi yang bukan ciptaan Allah, ke bulan saja belum tentu kita bisa hidup. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim: 7). Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat dan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut- nyebutnya”. (QS Adh-Dhuha: 11). Nabi Muhammad SAW bersabda: “Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat- Nya dalam penampilan hamba-Nya”. (HR At-Tarmidzi). Pada prinsipnya segala bentuk syukur harus ditujukan kepada Allah SWT. Al- Qur'an memerintahkan umat Islam untuk bersyukur setelah menyebutkan beberapa nikmat-Nya: “Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (QS Al-Baqarah: 152). Namun demikian, walaupun syukur harus ditujukan kepada Allah, ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah. Al-Quran juga memerintahkan agar mensyukuri Allah dan kedua orang tua (yang menjadi perantara kehadiran kita di muka bumi). Allah menjelaskan: “Bersyukurlah kepada- Ku dan kepada kedua orang tuamu; hanya kepada-Kulah kembalimu". Meskipun Al-Quran hanya menyebutkan kedua orang tua – selain Allah – yang harus disyukuri, namun juga bukan berarti bahwa selain mereka tidak boleh disyukuri. Nabi bersabda: “Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak mensyukuri Allah”. (HR Imam Ahmad). Adapun uraian Al-Quran tentang syukur mencakup tiga macam: 1. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah dan kenikmatan. 2. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah serta memuji pemberinya. 3. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Syukur dengan lidah dan perbuatan adalah cara yang paling gampang dan kasat mata ketika kita memperoleh anugerah atau rezeki yaitu dengan mengucapkan hamdalah, bersedekah dan bernazar serta menggunakan nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan dan penganugerahannya. Lalu, bagaimana
dengan syukur hati? Syukur dengan hati dilakukan dengan
menyadari sepenuhnya bahwa nikmat
yang kita peroleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan betapapun kecilnya nikmat yang ia peroleh. Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa malapetaka atau musibah, bisa jadi dapat memuji Tuhan bukan atas malapetaka itu, tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dari kesadaran tentang makna-makna
di atas, seseorang akan tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah. Sujud syukur adalah perwujudan dari syukur dengan hati, yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah. Kita bersyukur biasanya disebabkan karena beberapa hal mendasar, antara lain: diberi kehidupan, kesehatan dan keselamatan, hidayat Allah, pengampunan-Nya, panca indera dan akal, rezeki, sarana dan prasarana, kemerdekaan. Sukses dalam bekerja, berhasil menggapai cita-cita, terima gaji, nilai bagus, istri melahirkan, naik pangkat, lulus ujian, utang ditangguhkan, dan lain-lain adalah contoh-contoh nikmat yang wajib disyukuri. Masih banyak lagi nikmat-nikmat Allah
– yang manusia tidak sanggup menghitungnya – secara eksplisit disebut oleh Al-Quran. Allah berfirman: “Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya” (QS Ibrahim: 34). Lalu, apakah sekarang kita masih mengingkari segala nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita?. Allah berfirman: “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?”. (QS Al-Rahman). Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa dan pandai bersyukur. Amiiin
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah /9: 105).
Monday, 15 August 2011
manfaat introfeksi diri..
Berikut ini akan dijelaskan beberapa manfaat introspeksi diri di malam tahun baru : 1. membuat kita lebih tahu akan diri kita sendiri Imam Ghazali membagi manusia menjadi empat bagian : 1 manusia yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. 2 manusia yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. 3 manusia yang tahu bahwa dirinya tahu. 4 manusia yang tidak tahu bahwa dirinya tahu. Dari pembagian Imam Ghazali tersebut bisa kita simpulkan bahwa : untuk golongan pertama ia termasuk manusia yang tahu diri, golongan kedua adalah tipe orang yang tidak tahu diri, golongan ketiga orang yang sadar akan kemampuan dirinya, dan golongan keempat adalah orang yang
tidak sadar akan potensi dirinya. dari keempat golongan tadi yang problem adalah golongan kedua dan keempat karena masing masing tidak mengetahui kelebihan dan kekurangannya, nah! dengan introspeksi diri manusia bisa menemukan titik kelemahan atau kekurangan dalam dirinya, serta menemukan titik kelebihan yang dimilikinya. Manusia yang mengetahui dengan benar letak keburukan yang dimilikinya akan mudah menemukan jalan untuk menghilangkan keburukan itu, dan manusia yang mengetahui dengan benar letak kelebihannya akan mudah menggunakan kelebihannya itu untuk hal-hal yang baik tanpa harus merasa sombong, keduanya harus seimbang, karena jika tidak yang pertama berakibat over confident yang kedua berakibat munculnya rasa
minder. 2. membuat kita lebih dewasa kedewasaan bukan dilihat dari umur seseorang tapi dari sikapnya, berapa banyak orang yang sudah mencapai umur kepala 3 atau 4 tapi masih bersifat kekanak-kanakan, tidak bisa mengontrol diri, menahan emosi, suka menang sendiri, dan enggak mau kalah. Tapi sebaliknya banyak juga orang yang masih berusia muda tapi sudah bisa menjadi teladan bagi temannya. dengan sering melakukan introspeksi, refleksi dan kontemplasi orang akan cepat menjadi dewasa, karena dia bisa mengambil pelajaran dari pengalaman. Orang yang selalu belajar dari pengalaman dan suka introspeksi diri biasanya proses kedewasaannya lebih cepat. semakin hari ia akan tumbuh menjadi manusia yang lebih bijaksana. Sebaliknya, orang yang cepat merasa puas merasa tidak perlu belajar lagi, manja, tidak mau dikritik dan selalu lari dari masalah akan mengalami hambatan dalam proses pendewasaannya. dalam sejarah ummat Islam kita bisa melihat contoh para sahabat dalam hal kedewasaan, misalnya sayidana Usman r.a. dengan berbesar hati dan tanpa tersinggung mau menarik pendapatnya dalam suatu kasus hukum[1] karena beliau melihat pendapat sayidina Ali r.a. lebih tepat, atau ketika sayyidina Umar membenarkan seorang wanita tua yang mengkritik isi pidataonya karena
dianggap kurang tepat[2]. Rasanya suritauladan keduanya patut ditiru oleh para pemimpin kita, agar mereka bisa menjadi pemimpin yang bijaksana dan tidak arogan. 3. menyadarkan kita bahwa umur kita semakin berkurang kita sadari atau tidak sesunguhnya setiap pergantian tahun umur kita semakin berkurang, memang secara nominal kelihatanya bertambah tapi masa berlakunya jelas semakin berkurang, semakin bertambah umur semakin berkurang kemampuan dan kekuatan kita, kita bisa perhatikan dalam dunia olahraga misalnya, semakin bertambah usia seorang atlet semakin berkurang ketangkasannya, seorang Pele adalah bintang sepakbola disaat usianya masih muda, tapi saat ini ketika usianya tidak lagi muda tidak ada satu pun club di dunia yang ingin membelinya sebagai pemain karena kemampuanya sudah berkurang seiring dengan bertambahnya usia, dan saya rasa ini berlaku pada setiap profesi, dan memang demikianlah sunnatullah yang berlaku, Allah berfirman : “Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” Q.S Yasin Dengan melakukan introspeksi diri kita bisa menyadari, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, jabatan bisa copot, harta bisa hilang, dan yang hidup pun bisa mati, semuanya berjalan sesuai ketentuan yang Maha Kuasa. Dari paparan diatas, hendaknya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebaiknya tahun baru disambut bukan dengan sekedar hura-hura, pawai keliling kota sambil meniup terompet dsb. Tapi hendaknya kita sisihkan sedikit waktu untuk merenung, mengintrospeksi diri, kita jadikan tahun baru sebagai moment untuk memperbaiki diri. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang pluralis, Memboikot datangnya tahun baru Masehi tentu bukan tindakan yang bijaksana, namun sebagai ummat Islam kita berkewajiban untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir hal- hal yang tidak ada manfaatnya dalam menyambut tahun baru dan menggantinya dengan yang lebih baik dan bermanfaat, dalam hal ini kita
bisa mencontoh Wali songo ketika mengislamkan tanah jawa, segala bentuk tradisi masyarakat jawa tidak mereka hilangkan tapi mereka ganti substansinya. Hasilnya, Tradisi wayang, tingkepan, nyadran dll, yang dulunya merupakan tradisi hindu – budha, menjadi tradisi yang penuh dengan nilai-nilai Islam, karena prinsip mereka "yatakhallatuun walakin yatamayazun" (berbaur tapi tetap memiliki karakter). Wallahu a'lam
(Rabat, 21 Desember 2004. Jam 20:35)
_____________________________________ [1] Yaitu ketika sayyida Usman ingin merajam seorang wanita yang melahirkan anak padahal usia perkawinannya baru enam bulan karenanya wanita tersebut dianggap telah berzina, namun sayyidina Ali berpendapat seorang wanita bisa saja melahirkan dalam usia kandungan 6 bulan, dalil beliau ayat al qur'an yang berbunyi : "wahamluhu wa fisholuhu tsalatsuna sahran" [2] Yaitu saat beliau berpidato dan menyinggung soal maskawin agar standarnya diturunkan, usul beliau ditolak oleh seorang wanita tua dengan alasan bahwa besar kecilnya maskawin adalah hak perempuan, kemudian Umar berkata : wanita ini benar dan Umar yang salah
tidak sadar akan potensi dirinya. dari keempat golongan tadi yang problem adalah golongan kedua dan keempat karena masing masing tidak mengetahui kelebihan dan kekurangannya, nah! dengan introspeksi diri manusia bisa menemukan titik kelemahan atau kekurangan dalam dirinya, serta menemukan titik kelebihan yang dimilikinya. Manusia yang mengetahui dengan benar letak keburukan yang dimilikinya akan mudah menemukan jalan untuk menghilangkan keburukan itu, dan manusia yang mengetahui dengan benar letak kelebihannya akan mudah menggunakan kelebihannya itu untuk hal-hal yang baik tanpa harus merasa sombong, keduanya harus seimbang, karena jika tidak yang pertama berakibat over confident yang kedua berakibat munculnya rasa
minder. 2. membuat kita lebih dewasa kedewasaan bukan dilihat dari umur seseorang tapi dari sikapnya, berapa banyak orang yang sudah mencapai umur kepala 3 atau 4 tapi masih bersifat kekanak-kanakan, tidak bisa mengontrol diri, menahan emosi, suka menang sendiri, dan enggak mau kalah. Tapi sebaliknya banyak juga orang yang masih berusia muda tapi sudah bisa menjadi teladan bagi temannya. dengan sering melakukan introspeksi, refleksi dan kontemplasi orang akan cepat menjadi dewasa, karena dia bisa mengambil pelajaran dari pengalaman. Orang yang selalu belajar dari pengalaman dan suka introspeksi diri biasanya proses kedewasaannya lebih cepat. semakin hari ia akan tumbuh menjadi manusia yang lebih bijaksana. Sebaliknya, orang yang cepat merasa puas merasa tidak perlu belajar lagi, manja, tidak mau dikritik dan selalu lari dari masalah akan mengalami hambatan dalam proses pendewasaannya. dalam sejarah ummat Islam kita bisa melihat contoh para sahabat dalam hal kedewasaan, misalnya sayidana Usman r.a. dengan berbesar hati dan tanpa tersinggung mau menarik pendapatnya dalam suatu kasus hukum[1] karena beliau melihat pendapat sayidina Ali r.a. lebih tepat, atau ketika sayyidina Umar membenarkan seorang wanita tua yang mengkritik isi pidataonya karena
dianggap kurang tepat[2]. Rasanya suritauladan keduanya patut ditiru oleh para pemimpin kita, agar mereka bisa menjadi pemimpin yang bijaksana dan tidak arogan. 3. menyadarkan kita bahwa umur kita semakin berkurang kita sadari atau tidak sesunguhnya setiap pergantian tahun umur kita semakin berkurang, memang secara nominal kelihatanya bertambah tapi masa berlakunya jelas semakin berkurang, semakin bertambah umur semakin berkurang kemampuan dan kekuatan kita, kita bisa perhatikan dalam dunia olahraga misalnya, semakin bertambah usia seorang atlet semakin berkurang ketangkasannya, seorang Pele adalah bintang sepakbola disaat usianya masih muda, tapi saat ini ketika usianya tidak lagi muda tidak ada satu pun club di dunia yang ingin membelinya sebagai pemain karena kemampuanya sudah berkurang seiring dengan bertambahnya usia, dan saya rasa ini berlaku pada setiap profesi, dan memang demikianlah sunnatullah yang berlaku, Allah berfirman : “Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” Q.S Yasin Dengan melakukan introspeksi diri kita bisa menyadari, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, jabatan bisa copot, harta bisa hilang, dan yang hidup pun bisa mati, semuanya berjalan sesuai ketentuan yang Maha Kuasa. Dari paparan diatas, hendaknya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebaiknya tahun baru disambut bukan dengan sekedar hura-hura, pawai keliling kota sambil meniup terompet dsb. Tapi hendaknya kita sisihkan sedikit waktu untuk merenung, mengintrospeksi diri, kita jadikan tahun baru sebagai moment untuk memperbaiki diri. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang pluralis, Memboikot datangnya tahun baru Masehi tentu bukan tindakan yang bijaksana, namun sebagai ummat Islam kita berkewajiban untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir hal- hal yang tidak ada manfaatnya dalam menyambut tahun baru dan menggantinya dengan yang lebih baik dan bermanfaat, dalam hal ini kita
bisa mencontoh Wali songo ketika mengislamkan tanah jawa, segala bentuk tradisi masyarakat jawa tidak mereka hilangkan tapi mereka ganti substansinya. Hasilnya, Tradisi wayang, tingkepan, nyadran dll, yang dulunya merupakan tradisi hindu – budha, menjadi tradisi yang penuh dengan nilai-nilai Islam, karena prinsip mereka "yatakhallatuun walakin yatamayazun" (berbaur tapi tetap memiliki karakter). Wallahu a'lam
(Rabat, 21 Desember 2004. Jam 20:35)
_____________________________________ [1] Yaitu ketika sayyida Usman ingin merajam seorang wanita yang melahirkan anak padahal usia perkawinannya baru enam bulan karenanya wanita tersebut dianggap telah berzina, namun sayyidina Ali berpendapat seorang wanita bisa saja melahirkan dalam usia kandungan 6 bulan, dalil beliau ayat al qur'an yang berbunyi : "wahamluhu wa fisholuhu tsalatsuna sahran" [2] Yaitu saat beliau berpidato dan menyinggung soal maskawin agar standarnya diturunkan, usul beliau ditolak oleh seorang wanita tua dengan alasan bahwa besar kecilnya maskawin adalah hak perempuan, kemudian Umar berkata : wanita ini benar dan Umar yang salah
Subscribe to:
Comments (Atom)