Monday, 15 August 2011

"Generasi Rabbani",Generasi AntiKekerasan

paling tidak ada dua "penderitaan" yang dialami oleh bangsa Indonesia, khususnya anak- anak. Pertama, kemiskinan konvensional. Penderitaan anak-anak Indonesia disebabkan orangtuanya miskin secara ekonomi. Kekurangan sandang, pangan, dan papan menyertai kehidupan sehari-harinya. Usia yang mestinya mereka gunakan untuk belajar di sekolah-sebagaimana yang dialami anak-anak pada umumnya-mereka gunakan untuk membantu orangtuanya mencari nafkah. Kedua, menderita karena musibah. Pasca-tsunami di Aceh dan sekitarnya, di beberapa daerah di Tanah Air diterpa bencana berupa kekeringan, banjir, gempa, gunung meletus, dan lain-lain. Inilah deretan peristiwa yang datang tiba-tiba. Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya menimpa orang-orang miskin, tetapi juga orang kaya. Anak-anak yang semula berlimang kesenangan dalam "pelukan" orangtua yang ekonominya mapan, tiba-tiba jatuh miskin. Sedikit banyak, bencana- bencana itu menimbulkan keprihatinan dan trauma. Secara psikologis, perasaan dan ketenteraman jiwa anak-anak akan terganggu. Fitrah Manusia Dua "penderitaan" yang kini dialami oleh anak-anak Indonesia harus segera diatasi agar perkembangan dan pertumbuhannya berjalan normal, terutama soal pendidikannya. Mereka harus dilatih dan dididik menurut minat dan bakat. Anak-anak harus disiapkan menjadi penerus perjuangan bangsa dengan berbagai ketererampilan yang kelak bisa menopang kehidupannya. Menyiapkan generasi muda yang tangguh merupakan kewajiban orangtua dan seluruh komponen bangsa. Bahkan kita harus khawatir jika kelak meninggalkan generasi yang lemah, baik mental maupun moralnya (QS An-Nisa [4]: 9). Dalam ayat lain disebutkan bahwa mencintai anak dan harta benda merupakan fitrah manusia serta anak dan harta yang "disalehkan" akan bisa dipetik manfaatnya (QS Al-Kahfi [18]: 46). Itu semua merupakan tabungan yang akan kita dapatkan kelak di akhirat. Harta yang disedekahkan dan anak-anak yang didik menjadi saleh akan menjadi kebajikan yang sangat istimewa. Keistimewaan anak saleh terletak pada doa dan permohonan ampun mereka untuk kedua orangtuanya. Lain halnya dengan anak yang durhaka. Mereka bukannya akan mengangkat kedudukan orangtua, malah jadi beban pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Dalam Al-Quran terdapat kisah mengenai cita-cita dan harapan istri Imran terhadap anaknya ketika masih dalam kandungan (QS Ali Imran [3]: 35). Nazar mulia istri Imran adalah tekadnya untuk menjadikan anak yang dikandungnya kelak itu lahir, akan ia jadikan muharrar, seorang anak saleh, yang tidak disibukkan oleh persoalan-persoalan duniawi, tetapi secara khusus mengonsentrasikan diri mendalami agama ("ulama"). Inilah sebuah cita- cita dan harapan orangtua yang patut kita teladani. Oleh karena itu, di antara sekian banyak anak yang kita miliki, salah satunya harus ada yang mengkhususkan diri untuk mempelajari agama. Generasi Rabbani Generasi yang memiliki ilmu yang memadai dan kepribadian yang saleh, dalam bahasa Al-Quran itu disebut "generasi rabbani" (QS Ali Imran [3]: 79). Tidak banyak memang orang yang mampu menyiapkan generasi berilmu dan bertakwa. Bahkan banyak yang mengabaikan. Banyak orang yang bercita-cita memiliki generasi yang baik, yang bisa melanjutkan perjuangan membangun bangsa dan negara, namun sedikit sekali yang sukses. Langkah-langkah mendidik anak yang sehat jasmani dan sehat rohaninya, paling tidak bisa kita temukan dari pola yang diterapkan oleh Luqman Al-Hakim. Ia adalah seorang bijak yang namanya diabadikan dalam Al-Quran berkat nasihat-nasihatnya terhadap anaknya. Ada empat langkah yang ditempuh Luqman Al-Hakim dalam mendidik anak, yaitu:
(a) menanamkan dan memantapkan nilai-nilai akidah serta terbebas dari kemusyrikan. ini adalah landasan utama keberagamaan generasi kita (QS Luqman [31]: 13), (b) menyuruh berbuat baik kepada orang tua (QS Luqman [31]: 14), (c) menyuruh salat dan menganjurkan
bersabar dalam beramar makruf nahi munkar (QS Luqman [31]: 17), dan (d) menanamkan sikap-sikap dan perangai terpuji, seperti tidak boleh sombong dan angkuh baik dalam ucapan maupun tindakan (QS Luqman [31]: 18-19). Itulah dasar-dasar dan tahapan- tahapan pendidikan yang diajarkan Luqman kepada anaknya. Semuanya itu memang sangat sistematis. Mulai dari yang utama, yaitu mengenai dasar-dasar keimanan, hingga akhlak sehari-hari, cara berjalan dan bertutur kata. Jika seorang anak telah memiliki dasar iman yang kuat dan sifat-sifat pribadi yang terpuji, maka generasi rabbani yang kita dambakan akan terwujud. Dengan demikian, masa depan bangsa hanya dapat dipercayakan kepada anak-anak yang cerdas, terampil dan bermoral. Jika selama ini pendidikan hanya berorientasi pada kecerdasan dan keterampilan, harus ditambah dengan orientasi pada keluruhan budi pekerti. Sebab, carut marutnya bangsa ini bukan karena manusia Indonesia tidak cerdas atau tidak terampil, tetapi karena sedikitnya orang yang bermoral atau punya nurani. Penekanan pada pendidikan yang bermoral agama menjadi sangat penting dan karena itu pula, cita-cita istri Imran dan pola pendidikan terhadap anak yang dipraktikkan Lukman seperti yang telah dijelaskan di atas patut kita teladani dan terapkan. Generasi kaum Muslim yang dapat dijadikan panutan dan dambaan umat masa depan adalah mereka menguasai iptek, kuat imtak, dan anti-kekerasan

Haruskah Perempuanberjilbab?

Kehidupan perempuan sebagai ciptaan Allah SWT ini selalu didera dengan berbagai polemik yang kurang menyenangkan. Dari persoalan private hingga public, perempuan selalu masuk dalam lingkaran wacana. Kalau boleh saya katakan dengan ungkapan lain perempuan bernasib simalakama sehingga maju kena mundur pun kena artinya serba salah. Tentu saja ini hal yang sangat tidak adil, perempuan diciptakan dari jenis yang sama dengan laki-laki sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. an-nisa': 1: ﻦﻣ ﻢﻜﻘﻠﺧ ﻱﺬﻟﺍ ﻢﻜﺑﺭ ﺍﻮﻘﺗﺍ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻬﻳﺄﻳ
ﺓﺪﺣﺍﻭ ﺲﻔﻧ "Wahai manusia bertakwalah pada tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari nafs yang satu" . (An-nisa': 1). Ayat di atas mengisyarakatkan bahwa Allah Swt menciptakan makhlukNya tidak untuk mendiskriminasikan satu sama lain diantara perempuan dan laki-laki bahkan bertujuan untuk saling mengisi, saling menolong dan saling melengkapi bukan sebagai penindasan dan pelecehan satu sama lainnya. Seperti tercantum dalam ayat berikut: ﺎﻬﻳﺄﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻧﺇ ﻢﻜﻨﻘﻠﺧ ﻦﻣ ﺮﻛﺫ ﻭ ﻰﺜﻧﺃ ﻢﻜﻨﻠﻌﺟﻭ ﺎﺑﻮﻌﺷ ﻞﺋﺎﺒﻗﻭ ﺍﻮﻓﺮﻌﺘﻟ ﻥﺇ
ﺮﻴﺒﺧ ﻢﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺇ ﻢﻜﻘﺗﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻨﻋ ﻢﻜﻣﺮﻛﺃ "Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi mengenal. (Q.S. Al- hujjurat: 13). Adapun persoalan perempuan yang sering dimunculkan dalam permukaan diantaranya mengenai poligami, karir dan jilbab. Tiga hal ini – poligami, karir dan jilbab- merupakan persoalan yang mencuat heboh pada kehidupan modern saat ini. Dari tiga hal tersebut tulisan ini hanya akan terfokuskan pada Jilbab. Perbincangan mengenai jilbab sudah ada sejak lama, apalagi kalau sudah dikaitkan dengan perempuan akan terasa hidup karena timbul kontroversi dari berbagai kalangan. Di sini penulis menggunakan kata jilbab untuk mengadaptasikan diri dengan kata yang dikenal bangsa Indonesia. Sementara bangsa arab untuk makna yang sama menggunakan kata hijab. Hal tersebut bukan persoalan yang esensi meskipun jika secara bahasa akan ditemukan titik perbedaan namun masyarakat sudah menyamakan makna jilbab dan hijab. Dalam kamus arab kata jilbab berasal dari kata jalbaba mufrod dari jalabib maknanya baju panjang atau jubah. Sementara kata hijab berjamak hujub bermakna tudung atau penghalang. Jika kita memperhatikan dua kata tersebut –hijab dan jilbab- tentu berbeda, kalau jilbab itu adalah baju sedangkan hijab itu kerudung/ tudung kepala, namun demikian maksud dari keduanya satu yakni menutup aurat. Sekali lagi dalam tulisan ini kata jilbab digunakan sebagai alat untuk menutup kepala dengan kata lain mengambil alih makna hijab dikarenakan bangsa Indonesia memaknainya demikian. Wacana Jilbab dan perempuan kalau boleh diibaratkan dengan istilah ada gula ada semut maka ada jilbab ada perempuan. Mayoritas orang jika sudah membicarakan tentang aurat perempuan akan menyinggung jilbab begitu juga sebaliknya, sehingga muncul pertanyaan, apakah jilbab itu sebuah keharusan bagi perempuan? Untuk menjawab pertanyaan di atas tentunya kita sebagai muslim dikembalikan pada sumber segala sumber yakni al Qur'an. Firman Allah Swt tentang jilbab yang tercantum dalam al Qur'an adalah: ﻞﻗ ﺕﺎﻨﻣﺆﻤﻠﻟ ﻦﻀﻀﻐﻳ ﻦﻣ ﻦﻫﺮﺼﺑﺃ ﻦﻈﻔﺤﻳﻭ ﻦﻬﺟﻭﺮﻓ ﻻﻭ ﻦﻳﺪﺒﻳ ﻦﻬﺘﻨﻳﺯ ﻻﺇ ﺎﻣ
ﻦﻬﺑﻮﻴﺟ ﻰﻠﻋ ﻦﻫﺮﻤﺨﺑ ﻦﺑﺮﻀﻴﻟﻭ ﺎﻬﻨﻣ ﺮﻬﻇ « Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ». (Q.S. An-nur : 31). Ayat tersebut menjadi dalil andalan bagi pihak yang menekankan bahwa memakai jilbab adalah sebuah kewajiban/keharusan. Lalu apakah dengan ayat tersebut tidak ada yang kontra ? Kontroversi itu alamiyah, toh Allah swt menciptakan langit dan bumi yang berposisi atas dan bawah. Kata atas berlawanan dengan bawah, jadi kalau ada yang mewajibkan maka ada juga yang akan tidak mewajibkannya. Berdasarkan asumsi tersebut, apa yang menyebabkan orang mewajibkan dan tidak mewajibkan ? Pihak yang mewajibkan, mayoritas berdasarkan dalil-dalil agama, seperti ayat di atas merupakan dalil untuk mewajibkan pemakaian jilbab. Dan dijelaskan juga didalam Q.S.al- ahzaab:59, kurang lebih terjemahannya “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu dan putri-putrimu dan isteri-isteri orang beriman “hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka”, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. Sementara pihak kedua tidak hanya berpegangan pada dalil agama tetapi juga lebih mempertimbangkan aspek social dan budaya. Ini dapat terlihat terhadap pembacaan ayat-ayat al Qur’an di atas. Pihak pertama (mewajibkan) memaknai ayat-ayat di atas secara tekstual (sebagaimana yang tertulis). Pihak ini tidak melihat konteksnya, yang mereka tekankan bentuk dhohirnya, bagi mereka pemakaian jilbab sangat menguntungkan perempuan dalam berbagai aspek dan kondisi meskipun kondisi (konteks)nya sudah berbicara lain (tidak sesuai). Dan cara-cara pihak ini untuk melegalkan pemakaian jilbab bagi perempuan kadang terkesan memaksa dan mengada-ada, misalnya dengan mengibaratkan perempuan dengan kue donat yang terbungkus rapat. Menurutnya, donat yang dibungkus plastik itu lebih sehat, terjaga, tidak dicolak-colek tangan- tangan yang hanya iseng tapi tak mau beli (diungkapkan ustadz jefri al buchari). Dan juga tiga alasan yang dilontarkan salah satu walikota bahwa Pertama, karena daerah itu bersuhu dingin. Dengan jilbab, perempuan-perempuan di sana tak lagi kedinginan dan masuk angin. Kedua, sejak diturunkanya perda jilbab, menurutnya, tidak terdengar lagi kasus penjambretan. Perempuan- perempuan pun tidak perlu lagi memakai perhiasan. Ketiga, pelajar putri yang selama ini tak mampu memiliki perhiasan, tidak perlu malu lagi masuk sekolah. Ungkapan ustadz jefri dan alasan walikota itu perlu dibenahi kembali, perempuan itu manusia berakal seperti halnya laki- laki maka jika memberikan argument harus rasional. Sedangkan pihak kedua (tidak mewajibkan jilbab) pembacaannya dengan makna kontekstual, sehingga mereka berpendapat bahwa kata dzâlika adnâ an yu’rafna (supaya lebih
mudah dikenal) dan fa lâ yu’dzayna (maka tidak diganggu) ini melihat situasi pada saat turunnya ayat tersebut yakni adanya kaum budak dan kaum merdeka, sehingga untuk membedakannya harus memakai jilbab. Meskipun Islam sendiri tidak mendeskriminasikan satu kaum dengan kaum yang lain akan tetapi kondisi arab saat itu memang cukup deskriminatif. Kemudian khalifah Abu bakar asshiddiq membebaskan perbudakan sehingga pada zaman sekarang tak ada perbedaan antara budak dan merdeka, kedua-duanya sama-sama manusia yang memiliki posisi sama dihadapan pencipta kecuali tingkat ketakwaannya. Dengan begitu menurut pihak kedua, pemakaian jilbab tidak lagi sebuah kewajiban atau keharusan karena untuk memuliakan perempuan bukan dalam simbolik melainkan diperlakukan manusiawi dengan memberdayakan akal budi. Jika kita meninjau ulang dua ayat di atas, al Qur’an hanya memberikan anjuran untuk kemaslahatan umatnya jika memang perempuan tanpa jilbab itu mendapatkan ketenangan dan keamanan maka tidak harus diwajibkan untuk memakai jilbab tentunya dengan tetap menjaga busana yang sopan sesuai dengan budaya setempat. Namun sayang, perempuan selalu dijadikan penyebab ketidakamanan dan ketidaktenangan, mereka selalu menyalahkan perempuan ketika terjadi pemerkosaan dengan dalih perempuan yang tak berjilbab bahkan
berpakian seksi menggugah nafsu laki-laki sehingga perempuanlah yang
harus ditutup rapat agar laki-laki tidak bernafsu atau ‘nakal’. Kenapa harus perempuan yang ditutup rapat ? kenapa kaum laki-laki tidak bisa berfikir jernih dan bersih sehingga tidak muncul pikiran-pikiran kotor penyebab keluarnya nafsu ?sehingga pemerkosaan pun tidak terjadi. Perempuan merupakan makhluk hidup yang tidak lepas dari tanggung jawabnya sebagai manusia yang berhak partisipasi dalam menjunjung kemanusian dan keadilan di dunia. Perempuan bukan hanya sebagai pelengkap laki-laki di dalam rumah tangga dan dianggap perusak ketenangan laki-laki sehingga harus ditutup rapat dengan jilbab padahal dengan jilbab tersebut perempuan tidak menemukan ketenangan dan kebebasannya. Untuk sebagian perempuan mungkin menemukan kebebasan dan ketenangan dengan jilbab tetapi bagi sebagian perempuan lain yang posisinya tidak memungkinkan untuk berjilbab karena benturan dengan sosial, budaya dan politik, apa yang harus diperbuat oleh perempuan ? Dengan demikian, Keharusan memakai jilbab bagi perempuan dengan tanpa melihat kondisi dan aspek-aspek yang melatar belakanginya hanya akan membuat kesengsaraan dan keresahan perempuan semata. Pemakaian jilbab bukan hanya simbolik tapi harus penuh dengan kesadaran terhadap kemaslahatannya ditinjau dari berbagai aspek demi tercapainya ketenangan dan keamanan serta kebebasan perempuan. Pemahaman dan pengertian termasuk kunci kemaslahatan.