Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus
Sunnah II:38 mengatakan bahwa
para fuqaha’ para pakar fiqih sepakat
bahwa barangsiapa menikahi seorang
perempuan tanpa menetapkan syarat
penentuan batas waktu yang jelas namun didalam hatinya tersirat niat
hendak menceraikannya kembali
setelah jangka waktu yang tidak
tertentu atau sesudah yang
bersangkutan selesai menjalankan
tugas di suatu negeri di mana di situ dia menetap sementara maka,
perkawinannya sah. Akan tetapi Imam al-Auza’i menyelisihi dan menganggap perkawinan tersebut sebagai kawin mut’ah. Syaikh Rasyid Ridha memberi komentar terhadap persoalan ini dalam Tafsir al-Manar dengan menulis, ”Demikian permasalahan ini, mengingat akan kerasnya ulama’ salaf dan khalaf mencegah kita dari melakukan kawin mut’ah, larangan keras tersebut juga meliputi larangan nikah dengan niat hendak menceraikannya kembali. Meski para ahli fiqh berpendapat, bahwa akad nikah ini sah, bila seorang laki-laki kawin untuk sementara waktu namun dalam redaksi akad nikah tidak dipersyaratkan batas waktunya yang jelas.” Namun penyembunyian niat hendak mencerai kembali itu termasuk penipuan dan pengelabuan, bahkan ia lebih patut menjadi penyebab batalnya perkawinan ini daripada sekedar akad nikah yang didalamnya ditentukan syarat pembatasan waktu yang saling diridhai oleh kedua mempelai dan walinya yang mana di dalamnya tidak terkandung mafsadah kecuali sekedar
mempermainkan ikatan yang agung ini yang merupakan ikatan kemanusiaan yang paling besar dan hanya untuk memuaskan nafsu seksual dawwaqin (para laki-laki tukang cicip) dan dzawwaqat (para perempuan tukang cicip), yang kesemuanya itu pasti akan melahirkan
aneka bentuk kemungkaran. Adapun pernikahan yang didalamnya tidak dipersyaratkan penentuan batas masa berlakunya berarti mengandung
unsur penipuan dan pengelabuan, sehingga akan menimbulkan berbagai kerusakan yang lain yang berupa permusuhan, kebencian dan hilangnya kepercayaan walaupun kepada orang-orang yang jujur yang hendak melaksanakan akad nikah dengan sesungguhnya yang dimaksudkan sebagai membentengi bagi masing-masing dari kedua mempelai terhadap pasangannya dan memupuk sikap ikhlash suami kepada
isterinya dan begitu sebaliknya serta memperkokoh hubungan kerjasama antara keduanya dalam menegakkan salah satu rumah tangga yang shalih di tengah masyarakat yang baik.” selesai. Penulis berkata: Pendapat Syaikh Rasyid Ridha ra ini diperkuat oleh atsar berikut: Dari Umar bin Nafi dari bapaknya (yaitu Nafi’) bahwa ia berkata, ”Ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Umar r.a. lalu bertanya perihal seorang
laki-laki yang mentalak tiga isterinya, kemudian dikawin oleh saudaranya tanpa minta persetujuan kepadanya supaya dia (perempuan itu) menjadi halal lagi bagi saudaranya. Apakah dia
halal bagi suami yang pertama?” Maka jawab Ibnu Umar, ”Tidak’ (halal), kecuali pernikahan yang didasarkan cinta yang tulus. Dahulu, pada masa Rasulullah saw. kami menganggap pernikahan seperti ini perzinahan.” (Teks Arab dan Takhirj hadits telah dimuat di beberapa halaman sebelumnya). Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al- Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As- Sunnah), hlm. 580 -- 581
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah /9: 105).
Nonton iklan bentar ya...!!!
Saturday, 27 August 2011
Beberapa Perempuan YangHaram Dinikahi
Allah SWT berfirman, “Dan janganlah
kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu terkecuali
pada masa yang telah lampai.
Sesungguhnya perbuatan itu amatlah
dan dibenci Allah dan seburuk- buruknya jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengenai)
ibu-ibumu; anak-anak yang
perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan; saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara- saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-
saudara yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua);
anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang
sudah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campuri dengan isteri kamu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu);, dan
menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
(diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari isteri yang
telah kamu nikahi (campur) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu
yang kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (An- Nisaa:22-24). Dalam tiga ayat diatas Allah SWT
menyebutkan perempuan-
perempuan yang haram dinikai.
Dengan mencermati firman Allah
tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa tahrim, pengharaman’ ini terbagi dua: Pertama: Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku selama- lamanya), yaitu seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang laki-laki di segenap waktu. Kedua: Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan ua menjadi halal. Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga: pertama karena nasab, kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena penyusuan. Pertama: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah : 1. Ibu 2. Anak perempuan 3. Saudara perempuan 4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah) 5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu) 6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan) 7. Anak perempuan saudara perempuan). Kedua: perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah : 1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul ”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut. 2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23). 3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar dilangsungkannya akad nikah. 4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya. Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan. Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23). Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570 Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan: 1. Ibu susu (nenek) 2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu) 3. Ibu Bapak susu (kakek) 4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu) 5. Saudara perempuan bapak susu 6. cucu perempuan dari Ibu susu 7. Saudara perempuan sepersusuan Persusuan Yang Menjadikan Haram Dari Aisyah r.anha bahwa Rasulullah saw. Bersabda, ”Tidak bisa menjadikan haram, sekali isapan dan dua kali isapan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101). Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang diwahyukan. Sepuluh kali penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat) ayat yang menyatakan lima kali penyusuan tertentu sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an itu tetap di baca sebagai bagian dari al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100). Dipersyaratkan hendaknya penyusuan itu berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah, ”Para Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233) Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak menjadi haram karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus- usus di payudara dan ini terjadi sebelum disapih.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162). Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu 1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau.” (An-Nisaa’:23). 2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i VI:98). 3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah. ”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24). Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu pada hadits dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu mereka berjumla dengan musunya, lantar mereka memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan mereka dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. ’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul Ma’bud VI:190 no:2141). 4. Wanita yang dijatuhi talak tiga Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika si suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al- Baqarah :230). 5. Kawin dengan wanita pezina Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali masing- masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali
perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang- orang yang mukmin.” (An-Nuur : 3). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari datuknya bahwa Martad bin Abi Martad al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan perang dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang pelacur yang bernama ’Anaq yang ia adalah teman baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang menemui Nabi saw. lalu kutanyakan kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan ’Anaq Mak Beliau diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian Beliau memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda, ”Janganlah engkau menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48 no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227). Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim
bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz
Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-
Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As- Sunnah), hlm. 567 – 575
kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu terkecuali
pada masa yang telah lampai.
Sesungguhnya perbuatan itu amatlah
dan dibenci Allah dan seburuk- buruknya jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengenai)
ibu-ibumu; anak-anak yang
perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan; saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara- saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-
saudara yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua);
anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang
sudah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campuri dengan isteri kamu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu);, dan
menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
(diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari isteri yang
telah kamu nikahi (campur) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu
yang kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (An- Nisaa:22-24). Dalam tiga ayat diatas Allah SWT
menyebutkan perempuan-
perempuan yang haram dinikai.
Dengan mencermati firman Allah
tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa tahrim, pengharaman’ ini terbagi dua: Pertama: Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku selama- lamanya), yaitu seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang laki-laki di segenap waktu. Kedua: Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan ua menjadi halal. Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga: pertama karena nasab, kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena penyusuan. Pertama: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah : 1. Ibu 2. Anak perempuan 3. Saudara perempuan 4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah) 5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu) 6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan) 7. Anak perempuan saudara perempuan). Kedua: perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah : 1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul ”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut. 2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23). 3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar dilangsungkannya akad nikah. 4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya. Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan. Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23). Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570 Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan: 1. Ibu susu (nenek) 2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu) 3. Ibu Bapak susu (kakek) 4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu) 5. Saudara perempuan bapak susu 6. cucu perempuan dari Ibu susu 7. Saudara perempuan sepersusuan Persusuan Yang Menjadikan Haram Dari Aisyah r.anha bahwa Rasulullah saw. Bersabda, ”Tidak bisa menjadikan haram, sekali isapan dan dua kali isapan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101). Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang diwahyukan. Sepuluh kali penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat) ayat yang menyatakan lima kali penyusuan tertentu sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an itu tetap di baca sebagai bagian dari al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100). Dipersyaratkan hendaknya penyusuan itu berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah, ”Para Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233) Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak menjadi haram karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus- usus di payudara dan ini terjadi sebelum disapih.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162). Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu 1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau.” (An-Nisaa’:23). 2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i VI:98). 3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah. ”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24). Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu pada hadits dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu mereka berjumla dengan musunya, lantar mereka memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan mereka dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. ’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul Ma’bud VI:190 no:2141). 4. Wanita yang dijatuhi talak tiga Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika si suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al- Baqarah :230). 5. Kawin dengan wanita pezina Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali masing- masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali
perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang- orang yang mukmin.” (An-Nuur : 3). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari datuknya bahwa Martad bin Abi Martad al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan perang dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang pelacur yang bernama ’Anaq yang ia adalah teman baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang menemui Nabi saw. lalu kutanyakan kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan ’Anaq Mak Beliau diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian Beliau memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda, ”Janganlah engkau menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48 no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227). Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim
bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz
Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-
Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As- Sunnah), hlm. 567 – 575
Subscribe to:
Posts (Atom)