Nonton iklan bentar ya...!!!

Monday 27 June 2011

Kisah Luqman danTiga Pelacur

Tentu kita pernah mendengar tentang Luqman yang bijaksana dalam surat Al
Luqman dalam Al Qur`an yang oleh pengarang kitab Al_Kasyaf menjelaskan , dia adalah Luqman bin Baa`ura` putra saudarinya Ayyub. Hidup selama 1000 tahun, sehingga berjumpa dengan Daud `Alaihissalam dan belajar ilmu dan pengetahuan padanya. Ibnu Abbas berkata bahwa Luqman bukan Nabi, juga bukan Raja, namun seorang penggembala berkulit hitam yang kemudian di beri karunia kemerdekaan dan pengetahuan. Untuk itu akan kita ceritakan salah satu kisah tentang ketaatannya kepada Allah Ta`ala Diriwayatkan dari Sai`id bin Amir ia berkata. Telah bercerita kepada kami, Abu Ja`far, `Luqman Al-Habasy` adalah seorang budak milik seorang laki-laki. Suatu ketika dia dibawa ke pasar untuk di jual. Kepada seorang laki-laki yang hendak membelinya, Luqman berkata: Apa yang akan kamu lakukan terhadap diriku (setelah kamu beli nanti)? Kamu akan kusuruh melakukan ini dan itu, jawab calon pembeli. Aku mohon kepadamu agar mengurungkan niatmu untuk membeliku! pinta Luqman. Sikap ini selalu diperlihatkan oleh Luqman kepada para calon pembelinya hingga datanglah calon pembeli lainnya. Apa yang hendak kamu lakukan terhadap diriku (setelah kamu membeliku nanti)? kata Luqman. Kamu akan kuberi tugas sebagai penjaga rumahku, jawab laki-laki calon pembelinya. Jika demikian, aku mau kamu beli! kata Luqman. Laki-laki tersebut kemudian membayar dan mengajak Luqman pulang ke rumahnya. Majikan Luqman pada saat itu juga mempunyai
tiga orang anak wanita yang menjadi pelacur di desa itu. Suatu saat sang majikan ingin pergi ke kebunnya. Sebelum berangkat dia berpesan kepada Luqman , Aku telah menyiapkan makanan dan semua kebutuhan mereka di dalam kamarnya, sepeninggalku kuncilah pintu ini dan kamu harus berjaga di sini pula. Dan janganlah sekali-kali kamu membuka pintunya sebelum aku kembali ke rumah! Sejenak kemudian ketiga putri majikannya datang dan berkata kepada Luqman, Bukalah pintu ini! Karena telah menerima pesan dari sang majikan, dan diamanahi untuk tidak membuka pintu dan namanya amanah akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak maka Luqman pun menolak untuk membukanya dan akhirnya ketiga gadis itu marah dan mencederainya. Luqman kemudian membersihkan darah yang membasahi tubuhnya dan kembali berjaga di depan pintu . Saat sang majikan pulang ia tetap merahasiakan perilaku ketiga putri sang majikan terhadapnya. Dalam kesempatan berikutnya sang majikan kembali bermaksud pergi ke kebunnya. Sebagaimana sebelumnya dia berpesan kepada Luqman, Aku telah menyiapkan makanan dan semua kebutuhan mereka, oleh karena itu jangan perbolehkan mereka membuka pintu ini! Demikianlah, setelah Ayahnya berlalu, ketiga putri majikannya itu bergegas menemui Luqman dan berkata kepadanya : Bukalah pintu ini! Sementara itu Luqman masih tetap memegang amanah yang dibebankan kepadanya tetap tidak bersedia membukakanya sebagaimana pesan dari majikannya. Akan tetapi, ketiga gadis itu kembali menyerang dan melukai Luqman yang
tetap duduk di tempatnya. Sang majikan telah pulang ke rumah, Luqman tidak mau menceritakan perihal perilaku ketiga putrinya. Melihat keteguhan hati Luqman, putri tertua majikannya kemudian rasa simpatinya datang dan berkata: Mengapa budak Habasyi ini lebih mengutamakan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala ketimbang aku ? Demi Allah, aku kan bertobat! Dan putri sulung majikan Luqman itupun bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Si bungsu berkata, Mengapa budak Habasyi dan kakak sulungku lebih mengutamakan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala ketimbang aku? Demi Allah, aku akan bertobat Demikianlah si bungsu akhirnya mengikuti jejak kakak sulungnya dengan bertobat kepada-Nya. Setelah mengetahui bahwa kakak maupun adiknya telah bertobat , kedua majikannya Luqman lalu berkata Mengapa dua oranga saudaraku dan budak Habasyi ini lebih mengutamakan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala ketimbang
ku? Demi aku, aku akan bertobat juga!; Akhirnya diapun bertobat. Setelah ketiga putrinya yang berprofesi sebagai wanita penghibur itu bertobat, maka teman-teman seprofesinya di desa berkata, Mengapa budak Habasyi dan ketiga gadis si Fulan itu lebih mengutamakan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala ketimbang kami? Hal tersebut mendorong mereka untuk bertobat sebagaimana ketiga rekannya sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang yang ahli beribadat di desa itu. Demikianlah bahwa hidayah datangnya bukan hanya lewat dakwah berupa ucapan tapi juga tindakan, atau amalan yang ditunjukkan oleh Luqman Al-Hakiem dalam memegang teguh amanah yang
sudah menjadi tugasnya. Sehingga fitrah seorang manusia untuk selalui beribadah kepada Robb-Nya menjadi terketuk tatkala melihat seorang yang mampu menjalankan ibadah itu dengan baik Sumber : Mereka yang Kembali. Ibnu Qudamah Al-Maqdisy terjemahan Abu Ahmad Najeh dan M Luqman Hakiem, Risalah Gusti, ed 1, Surabaya, 1417 H. Hal 120-122. Dengan beberapa perubahan.

Sunday 26 June 2011

KISAH CINTA SYAIDINA ALI DAN SITI FATHIMAH AZ-ZAHRA.R.A•

rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib
kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang
adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan
kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu
hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi
perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka
dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia
tempelkan ke luka untuk menghentikan darah
ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata
gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka
gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju
Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan
tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang
itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan! ‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika
suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling
akrab dan paling dekat kedudukannya dengan
Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan
harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu
Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu. ”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu
Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih
utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat
dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr
menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya. Lihatlah juga
bagaimana Abu Bakr berda ’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar
Makkah yang masuk Islam karena sentuhan
Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak
kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan
para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab,
keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa
membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau
mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata
Allah menumbuhkan kembali tunas harap di
hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr
ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya
belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki
lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki
yang sejak masuk Islamnya membuat kaum
Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari
takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga
datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun
setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang
menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar
pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua
pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada
kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi
berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi
ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh
yang frustasi karena tak menemukan beliau
Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di
siang hari dia mencari bayang-bayang
gundukan bukit pasir. Menanti dan
bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke
atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung
tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam
pandangan orang banyak, dia pemuda yang
belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah
binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah
keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini
pengorbanan. Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki
Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah,
dua menantu Rasulullah itu sungguh
membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara
Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk
mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat
itu? ”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya
firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu
Baginda Nabi.. ” ”Aku ?”, tanyanya tak yakin. ”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan ?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah
menolongmu!” ’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri,
disampaikannya keinginannya untuk menikahi
Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi
tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya
ada satu set baju besi di sana ditambah
persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk
bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah
menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala
dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah
Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa
maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit
untuk bisa dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi
pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak
sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada
menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati
sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu
menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..” ”Apa maksudmu?” ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” ”Dasar kamu!!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau
mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya.
Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa
Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan
baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi
berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu
hutang. Dengan keberanian untuk
mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk
menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-
nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali !” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak
pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua
adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang
juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam
suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari
(setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh
cinta pada seorang pemuda ” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu ?” Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah
puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka
saksikanlah sesungguhnya aku telah
menikahkannya dengan maskawin empat ratus
Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha
(menerima) mahar tersebut.” Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan
kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)