Nonton iklan bentar ya...!!!

Wednesday 26 April 2017

Makam-Makam Sahabat Nabi di Kota Barus Tapanuli Tengah

Sebagai kota tua dan bersejarah serta telah menjadi kota yang mempunyai Bandar niaga (pelabuhan) internasional sejak sebelum Masehi menjadikan Kota Barus menjadi Kota yang mempunyai peninggalan sejarah penting bagi masuk dan perkembangnya agama Islam pertama kali di Nusantara. Kota Barus atau biasa disebut Fansur barangkali satu-satunya kota di Nusantara yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa. Berita tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus).
Sebagian bukti sejarah penting di Barus diantaranya berupa Makam Islam kuno dengan tulisan arab di batu Nisannya yang tinggi sekitar 1,5 meter dan berat sekitar ratusan kilogram pada kisaran Tahun 40 Hijriah atau meninggal setelah 40 Tahun terhitung sejak Hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Dengan mengacu umur manusia yang berkisar 60 tahun sd 100 tahun maka sangat logis dikatakan bahwa yang meninggal di Makam Islam kuno di Kota Barus Tapanuli Tengah Sumatera Utara adalah para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Dari fakta sejarah yang ada terutama pada tulisan di Batu nisan Makam Islam kuno tersebut serta berdasar cerita turun-temurun di Barus terungkaplah sebagian nama sahabat Nabi Muhammad SAW yang dimakamkan di Kota Barus Tapanuli Tengah Sumatra Utara yaitu:
Sahabat Nabi di Makam Papan Tinggi Kota Barus Tapanuli Tengah

Sebuah penanda berupa tulisan arab di batu nisan yang terbuat dari batu cadas dengan tinggi sekitar 1,5 meter berat ratusan kilogram di pemakaman Papan Tinggi menyebutkan bahwa (sesuai yang tertulis di batu nisan) yang dimakamkan di tempat itu adalah sahabat nabi yang bernama Syekh Mahmud Fil Hadratul Maut yang ditahrikhkan pada tahun 34 H sampai 44 H.
Salah satu ukiran yang terpahat di batu nisan makam Syekh Mahmud yang berbunyi: “Fa Kullu Syai’un Halikun Illa Wajhullah” yang berarti, “Maka segala sesuatunya hancur kecuali Dzat Allah”.
Menurut sejarawan Djamaluddin Batubara, ajaran Islam yang disampaikan Syekh Mahmud kepada masyarakat Barus pada mulanya adalah ajaran yang menekankan pada Tauhid saja, yakni mengajak masyarakat pesisir Tapanuli untuk meng-esa-kan Tuhan, Allah SWT. Karena belum ada perintah melaksanakan hukum-hukum syariat Islam lainnya seperti Shalat dan puasa. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dibawakanpun masih berupa berupa ayat-ayat Makiyyah atau ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Kota Makkah.

Kota barus kota tertua sambungan 2

Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua,” demikian catatan Pires. Tahun 1550, Belanda berhasil merebut hegemoni perdagangan di daerah Barus. Dan pada tahun 1618, VOC, kongsi dagang Belanda, mendapatkan hak istimewa perdagangan dari raja-raja Barus, melebihi hak yang diberikan kepada bangsa China, India, Persia, dan Mesir. Belakangan, hegemoni Belanda ini menyebabkan pedagang dari daerah lain menyingkir. Dan sepak terjang Belanda juga mulai merugikan penduduk dan raja-raja Barus sehingga memunculkan perselisihan. Tahun 1694, Raja Barus Mudik menyerang kedudukan VOC di Pasar Barus sehingga banyak korban tewas. Raja Barus Mudik bernama Munawarsyah alias Minuassa kemudian ditangkap Belanda, lalu diasingkan ke Singkil, Aceh. Perlawanan rakyat terhadap Belanda dilanjutkan di bawah pimpinan Panglima Saidi Marah. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia kemudian mengirim perwira andalannya, Letnan Kolonel Johan Jacob Roeps, ke Barus. Pada tahun 1840, Letkol Roeps berhasil ditewaskan pasukan Saidi Marah, yang bergabung dengan pasukan Aceh dan pasukan Raja Sisingamangaraja dari wilayah utara Barus Raya. Namun, pamor Barus sudah telanjur menurun karena saat Barus diselimuti konflik, para pedagang beralih ke pelabuhan Sunda Kelapa, Surabaya, dan Makassar. Sementara, pedagang-pedagang dari Inggris memilih mengangkut hasil bumi dari pelabuhan Sibolga. Barus semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada permulaan abad ke-17. Kerajaan baru tersebut membangun pelabuhan yang lebih strategis untuk jalur perdagangan, yaitu di pantai timur Sumatera, berhadapan dengan Selat Melaka. Pesatnya teknologi pembuatan kapur barus sintetis di Eropa juga dianggap sebagai salah satu faktor memudarnya Barus dalam peta perdagangan dunia. Pada awal abad ke-18, Barus benar-benar tenggelam dan menjadi pelabuhan sunyi yang terpencil. Kehancuran Barus kian jelas ketika pada tanggal 29 Desember 1948, kota ini dibumihanguskan oleh pejuang kemerdekaan Indonesia karena Belanda yang telah menguasai Sibolga dikabarkan akan segera menuju Barus. >small 2small 0<, Barus yang berjarak 414 km dari Medan benar-benar dilupakan. Pemerintah lebih tertarik mengembangkan perdagangan di kawasan pantai timur Sumatera, khususnya di sekitar Selat Malaka, dengan pusatnya di Batam dan Medan. Dominasi pembangunan pantai timur ini bisa dilihat pengiriman hasil bumi dari pedalaman pantai barat Sumatera yang harus melalui jalur darat untuk kemudian dibawa dengan kapal dari pelabuhan Belawan, Medan. Sedangkan untuk melayani arus perdagangan skala lokal di kawasan pantai barat Sumatera, pemerintah lebih tertarik mengembangkan pelabuhan yang lebih baru seperti Singkil di utara dan Sibolga di selatan. Kehebatan Barus sebagai bandar internasional benar-benar dilupakan. Kini, Barus tak lebih dari kota kecamatan lain di daerah pinggiran yang hampir-hampir tak tersentuh roda pembangunan. Sebagian warganya meninggalkan desa, mencari pekerjaan atau pendidikan di luar daerah. “Kami yang tinggal di sini hanyalah warga sisa. Yang sukses atau yang berpendidikan enggan menetap di sini. Kota ini telah berhenti, tak ada dinamika, tak ada investasi,” kata Camat Barus Hotmauli Sitompul.