Es di lautan Arktik sudah menyusut
sampai ke luas permukaan terkecil
sejak dimulainya pencatatan.
Akibatnya, dunia pun kini berada
dalam 'skenario yang tak pernah
diprediksi sebelumnya' seiring dengan makin intensifnya dampak
perubahan iklim, menurut ilmuwan
Amerika Serikat. Gambaran satelit menunjukkan
lapisan es sudah meleleh sampai 3,4
juta kilometer persegi per 16
September, titik terendah pada tahun
ini. Ini adalah luas tutupan es terkecil di
Arktik sejak dilakukan pencatatan
pada 1979 menurut Pusat Data Salju
dan Es Nasional. "Kini kita berada di situasi yang tak
pernah dibayangkan," kata direktur
agen tersebut Mark Serreze dalam
sebuah pernyataan Rabu lalu. "Meski kita sudah lama tahu bahwa
seiring dengan menghangatnya
planet, perubahan akan pertama
terlihat jelas di Arktik, namun hanya
sedikit dari kita yang tahu bagaimana
mempersiapkan diri terhadap cepatnya perubahan yang kini sudah
terjadi." Es di Arktik memang meluas dan
menyusut sesuai musim, dan titik
terendah biasanya terjadi pada
September. Tahun ini penuh dengan luasan es
yang terus menyusut ke titik
terendah, rekor tersebut sudah
terjadi pada 26 Agustus dan 4
September. Dan dalam dua pekan terakhir,
tutupan luas es yang meleleh
mencapai 517.997 km persegi, angka
yang cukup besar untuk akhir musim
panas. Menurut ilmuwan Walt Meier,
"Penurunan tutupan es yang kuat di
akhir musim panas menjadi indikasi
betapa tipisnya es ini sekarang." "Es ini pasti sangat tipis sehingga bisa
terus meleleh saat matahari terbenam
dan musim gugur datang." Para ilmuwan menggunakan luas es
Arktik sebagai patokan iklim secara
keseluruhan. Terlepas dari fluktuasi
tahunan akibat variasi cuaca alami,
lapisan es ini terlihat jelas
menunjukkan tren menyusut dalam 30 tahun terakhir, menurut Pusat
Data Salju dan Es Nasional. "Tingkat minimum tahun ini hampir
50 persen lebih rendah dari rata-rata
1979-2000," menurut mereka. Pusat penelitian yang berbasis di
Colorado ini mengatakan bahwa
komposisi Arktik kini berubah. Saat
sebelumnya es tetap membeku
sepanjang musim panas, kini
sebagian besar meleleh dan membeku lagi saat musim berganti. "Dua puluh tahun dari sekarang di
bulan Agustus, Anda mungkin bisa
menaiki kapal melewati Samudera
Arktik," kata ilmuwan Julienne Strove.
Padahal kawasan itu biasanya
tertutup oleh es sepanjang tahun. Berbagai model iklim
memprediksikan "kondisi bebas es"
itu terjadi pada 2050, namun
penurunan luasan es ini
menunjukkan bahwa kondisi
tersebut bisa terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Pusat penelitian tersebut kini
memperingatkan bahwa panas dan
kelembaban dari tutupan es Arktik
yang meleleh bisa membawa
implikasi global. "Ini akan secara bertahap
memengaruhi iklim di area tempat
tinggal kita," ujar dia. "Kita memiliki
lebih sedikit kutub polar, maka akan
ada lebih banyak variasi dan ekstrem
(cuaca)." Aktivis lingkungan Greenpeace
memprihatinkan pengumuman
tersebut. Mereka berharap fakta ini
akan memicu rasa darurat dan aksi
memperlambat tren ini. "Hanya dalam 30 tahun, kita sudah
mengubah bagaimana planet kita
terlihat dari luar angkasa. Dan kini
dengan segera Kutub Utara akan
bebas es pada musim panas," kata
Direktur Greenpeace Kumi Naidoo dalam sebuah pernyataan. "Saya harap generasi masa depan
akan melihat hari ini sebagai sebuah
titik balik, saat semangat kerjasama
global muncul untuk mengatasi
tantangan besar yang kita alami." Menurut ilmuwan, perubahan iklim
terjadi saat karbondioksida dan
berbagai gas yang dihasilkan
manusia muncul ke atmosfer dan
membuat planet sulit untuk
merefleksikan kembali panas itu ke angkasa, sehingga terjadi efek rumah
kaca. Bersamaan dengan melelehnya es di
Greenland, gas rumah kaca lain,
metana, yang terperangkap di es
abadi pun terlepas ke udara. Metana tersebut berasal dari sisa
jasad tumbuhan dan hewan yang
terperangkap dalam sedimen dan
kemudian terutup lapisan es dalam
Zaman Es terakhir. Metana 25 kali lebih efektif dalam
memerangkap panas sinar matahari
daripada karbondioksida. Saat metana dilepas ke atmosfer dan
planet menghangat lagi karena efek
rumah kaca, maka lebih banyak es
lagi yang akan meleleh, dan
melepaskan lebih banyak karbon ke
udara.
No comments:
Post a Comment