Nonton iklan bentar ya...!!!

Wednesday 26 April 2017

Akhir perjalanan kota barus 1

Kompas, Jumat, 01 April 2005, BARUS, sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara. Tetapi, sejarah daerah ini sebenarnya sangat tua, setua ketika kapal-kapal asing beribu tahun sebelum Masehi singgah mencari kapur barus di sana. Dari Barus pula, agama Islam dan Kristen pertama-tama dikenalkan ke seluruh Nusantara. BARUS atau biasa disebut Fansur barangkali satu-satunya kota di Nusantara yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa. Berita tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II, atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi. Berdasakan buku Nuchbatuddar tulisan Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan adanya komunitas Muslim di daerah ini pada era itu. Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian. Penggalian arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret dan kawan-kawannya dari Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerja sama dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua, Barus, membuktikan pada abad IX-XII perkampungan multietnis dari suku Tamil, China, Arab, Aceh, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya juga telah ada di sana. Perkampungan tersebut dikabarkan sangat makmur mengingat banyaknya barang-barang berkualitas tinggi yang ditemukan. Pada tahun 1872, pejabat Belanda, GJJ Deutz, menemukan batu bersurat tulisan Tamil. Tahun 1931 Prof Dr K A Nilakanta Sastri dari Universitas Madras, India, menerjemahkannya. Menurutnya, batu bertulis itu bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja Cola yang menguasai wilayah Tamil, India Selatan. Tulisan itu antara lain menyebutkan tentang perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua yang memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan, dan ketentuan lainnya. Namun, Lobu Tua yang merupakan kawasan multietnis di Barus ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke-12 sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi. “Berdasarkan data tidak adanya satu benda arkeologi yang dihasilkan setelah awal abad ke-12. Namun, para ahli sejarah sampai saat ini belum bisa mengidentifikasi tentang sosok Gergasi ini,” papar Lucas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan. Setelah ditinggalkan oleh komunitas multietnis tersebut, Barus kemudian dihuni oleh orang-orang Batak yang datang dari kawasan sebelah utara kota ini. Situs Bukit Hasang merupakan situs Barus yang berkembang sesudah penghancuran Lobu Tua. Sampai misi dagang Portugis dan Belanda masuk, peran Barus yang saat itu telah dikuasai raja-raja Batak sebenarnya masih dianggap menonjol sehingga menjadi rebutan kedua penjajah dari Eropa tersebut. Penjelajah Portugis Tome Pires yang melakukan perjalanan ke Barus awal abad ke-16 mencatat Barus sebagai pelabuhan yang ramai dan makmur. “Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. 

No comments: