Nonton iklan bentar ya...!!!

Monday, 2 May 2011

Kematian Orang Beriman

Keyakinan orang beriman akan
adanya kehidupan sesudah
kematian menyebabkan dirinya
selalu berada dalam mode standby
menghadapi kematian. Ia
memandang kematian sebagai suatu keniscayaan. Tidak seperti orang
kafir yang selalu saja berusaha
untuk menghindari kematian. Orang
beriman sangat dipengaruhi oleh
pesan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang bersabda: َﻝﺎَﻗ َﻝﺎَﻗ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﺕﺍَّﺬَّﻠﻟﺍ ِﻡِﺫﺎَﻫ َﺮْﻛِﺫ ﺍﻭُﺮِﺜْﻛَﺃ َﺕْﻮَﻤْﻟﺍ ﻲِﻨْﻌَﻳ “Banyak-banyaklah mengingat penghapus kenikmatan, yakni
kematian.” (HR Tirmidzi 2229) Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ’anhu pernah berkata: “Bila manusia meninggal dunia, maka pada saat itulah ia bangun dari
tidurnya.” Subhanallah...! Berarti beliau ingin mengatakan bahwa
manusia yang menemui ajalnya
adalah manusia yang justru baru
mulai menjalani kehidupan
sebenarnya, sedangkan kita yang
masih hidup di dunia ini justru masih ”belum bangun”. Sungguh, ucapan ini sangat sejalan dengan firman
Allah ta’aala: ﺎَّﻟِﺇ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ُﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍ ِﻩِﺬَﻫ ﺎَﻣَﻭ َﺓَﺮِﺧَﺂْﻟﺍ َﺭﺍَّﺪﻟﺍ َّﻥِﺇَﻭ ٌﺐِﻌَﻟَﻭ ٌﻮْﻬَﻟ ﺍﻮُﻧﺎَﻛ ْﻮَﻟ ُﻥﺍَﻮَﻴَﺤْﻟﺍ َﻲِﻬَﻟ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﻳ “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-
main. Dan sesungguhnya akhirat
itulah yang sebenarnya kehidupan,
kalau mereka mengetahui” (QS Al- Ankabut 64) Pantas bilamana Ali radhiyallahu
’anhu pula yang berkata: “Dunia pergi menjauh dan akhirat datang
mendekat. Karena itu, jadilah kalian
anak-anak akhirat, jangan menjadi
budak-budak dunia. Sekarang
waktunya beramal, dan tidak ada
penghisaban. Sedangkan besok waktunya penghisaban, tidak ada
amal.” Bagaimanakah kematian orang
beriman? Dalam sebuah hadits Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ِﻦْﺑ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ َﺓَﺩﺎَﺘَﻗ ْﻦَﻋ ِﻪﻴِﺑَﺃ ْﻦَﻋ َﺓَﺪْﻳَﺮُﺑ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ْﻦَﻋ َﻦِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ َّﻥِﺇ َﻝﺎَﻗ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻦﻴِﺒَﺠْﻟﺍ ِﻕَﺮَﻌِﺑ ُﺕﻮُﻤَﻳ “Orang beriman meninggal dengan kening penuh keringat.” (HR Ahmad 21886) Penulis produktif Aidh Al-Qarni
menulis: ”Saya menyeru setiap orang tua agar mengingat kematian. Sadar
bahwa dirinya sudah mendekat
maut serta tidak mungkin bisa lari
darinya. Jadi, siapkan diri untuk
menemui Allah. Karena itu, sudah
sepantasnya ia menjauhi akhir kehidupan yang jelek dan
memperbanyak amal kebaikan
sehingga dapat berjumpa dengan
Allah ta’aala dalam keadaan diridhai.” Ambillah keteladanan dari kematian
Khalifah Umar bin Khattab
radhiyallahu ’anhu. Ia ditikam oleh Abu Lu’luah saat sedang mengimami sholat subuh. Umarpun jatuh
tersungkur bersimbah darah. Dalam
keadaan seperti itu ia tidak ingat
isteri, anak, harta, keluarga, sanak
saudara atau kekuasaannya. Yang ia
ingat hanyalah ”Laa ilaha illallah Muhammad rasulullah, hasbiyallah
wa ni’mal wakil.” Setelah itu ia bertanya kepada sahabatnya:
”Siapakah yang telah menikamku ?” ”Kau ditikam oleh Abu Lu ’luah Al- Majusi.” Umar radhiyallahu ’anhu lalu berkata: ”Segala puji bagi Allah ta’aala yang membuatku terbunuh di tangan orang yang tidak pernah
bersujud kepada-Nya walau hanya
sekali.” Umar-pun mati syahid. Ketika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menghadapi sakaratul
maut beliau mengambil secarik kain
dan menaruhnya di wajah beliau
karena parahnya kondisi yang
beliau hadapi. Lalu beliau berdoa: ﻪﻠﻟﺍ ﻻﺍ ﻪﻟﺇ ﻻ ... ﻻﺍ ﻪﻟﺇ ﻻ ﻪﻠﻟﺍ ... ﻥﺇ ﻪﻠﻟﺍ ﻻﺍ ﻪﻟﺇ ﻻ ﺕﺍﺮﻜﺴﻟ ﺕﻮﻤﻠﻟ ... ﺕﺍﺮﻜﺳ ﻰﻠﻋ ﻲﻨﻋﺃ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﺕﻮﻤﻟﺍ ... ﻲﻠﻋ ﻒﻔﺧ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﺕﻮﻤﻟﺍ ﺕﺍﺮﻜﺳ “Laa ilaha illallah… Laa ilaha illallah… Laa ilaha illalla. Sungguh kematian itu
sangat pedih. Ya Allah, bantulah aku
menghadapi sakratul maut. Ya Allah,
ringankanlah sakratul maut itu
buatku.” (HR Bukhary-Muslim) Aisyah radhiyallahu ’anha menuturkan: “Demi Allah, beliau mencelupkan kain itu ke air lalu
meletakkannya di atas wajah beliau
seraya berdoa: ِﺕﺍَﺮَﻜَﺳ َﻰﻠَﻋ ِّﻲﻨِﻋَﺃ َّﻢُﻬّﻠﻟﺍ ِﺕﻮَﻤْﻟﺍ ”Ya Allah, bantulah aku menghadapi sakratul maut.” Saudaraku, marilah kita
mempersiapkan diri untuk
menghadapi kematian yang bisa
datang kapan saja. Kematian yang
sungguh mengandung kepedihan
bagi setiap manusia yang mengalaminya. Hingga kekasih Allah
ta’aala saja, yakni Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam berdoa agar Allah ta’aala ringankan bagi dirinya sakaratul maut. Tidak ada
seorangpun yang tidak bakal
merasakan kepedihan sakratul maut. ِﺕْﻮَﻤْﻟﺍ ُﺔَﻘِﺋﺍَﺫ ٍﺲْﻔَﻧ ُّﻞُﻛ “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS Ali Imran 185) Marilah saudaraku, kita
mempersiapkan diri menghadapi
kematian dengan segera bertaubat
memohon ampunan dan rahmat
Allah ta’aala sebelum terlambat. Sebab begitulah kematian orang
kafir. Suatu bentuk kematian yang
diwarnai penyesalan yang sungguh
terlambat. ُﺕْﻮَﻤْﻟﺍ ُﻢُﻫَﺪَﺣَﺃ َﺀﺎَﺟ ﺍَﺫِﺇ ﻰَّﺘَﺣ ﻲِّﻠَﻌَﻟ ِﻥﻮُﻌِﺟْﺭﺍ ِّﺏَﺭ َﻝﺎَﻗ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ ُﻞَﻤْﻋَﺃ ٌﺔَﻤِﻠَﻛ ﺎَﻬَّﻧِﺇ ﺎَّﻠَﻛ ُﺖْﻛَﺮَﺗ ﺎَﻤﻴِﻓ ْﻢِﻬِﺋﺍَﺭَﻭ ْﻦِﻣَﻭ ﺎَﻬُﻠِﺋﺎَﻗ َﻮُﻫ َﻥﻮُﺜَﻌْﺒُﻳ ِﻡْﻮَﻳ ﻰَﻟِﺇ ٌﺥَﺯْﺮَﺑ “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seseorang dari
mereka, dia berkata, "Ya Tuhanku
kembalikanlah aku (ke dunia), agar
aku berbuat amal yang saleh
terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu
adalah perkataan yang
diucapkannya saja. Dan di hadapan
mereka ada barzakh (dinding)
sampai hari mereka
dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun 99-100)

Kambing "Kematian" Disembelih DiAntara Surga Dan Neraka

Lukmanul Hakim merupakan lelaki
sholeh yang banyak menyampaikan
nasehat bijak kepada putranya. Ia
bukan seorang Nabi atau Rasul Allah
ta’aala. Sedemikian mulianya beliau sehingga namanya diabadikan
menjadi nama salah satu surah di
dalam Al-Qur’an. Di antara nasehatnya yang tidak termaktub di
dalam Al-Qur’an ialah ucapannya kepada putranya sebagai berikut: َﺔَﻋﺎَﻘَﺑ ِﺭْﺪَﻘِﺑ َﻙﺎَﻴْﻧُﺪِﻟ ْﻞَﻤْﻋِﺇ ِﺭْﺪَﻘِﺑ َﻚَﺗَﺮِﺧﺂِﻟ ْﻞَﻤْﻋﺍَﻭ ﺎَﻬﻴِﻓ ﺎَﻬﻴِﻓ َﺔَﻋﺎَﻘَﺑ “Berbaktilah untuk duniamu sesuai jatah waktu engkau tinggal di
dalamnya. Dan berbaktilah untuk
akhiratmu sesuai jatah waktu
engkau tinggal di dalamnya.” Subhanallah…! Sebuah nasihat yang sungguh mencerminkan kedalaman
perenungan Lukmanul Hakim akan
hakekat perbandingan kehidupan di
dunia dengan akhirat. Ia sangat
memahami betapa jauh lebih
bermaknanya kehidupan di akhirat daripada kehidupan di dunia. Dan
betapa fananya dunia ini
dibandingkan kekalnya alam akhirat
kelak..! Coba kita renungkan. Berapa lama
jatah waktu hidup kita di dunia?
Paling-paling hanya 60-an atau 70-
an tahun. Kalau bisa lebih daripada
itu tentu sudah sangat istimewa.
Seorang yang mencapai usia 100 tahun sungguh sudah sangat luar
biasa..! Sehingga Rasulullah
shollallahu ’alaih wa sallam mengisyaratkan sebagai berikut: َﻝﺎَﻗ َﻝﺎَﻗ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻦْﻴَﺑ ﺎَﻣ ﻲِﺘَّﻣُﺃ ُﺭﺎَﻤْﻋَﺃ َﻢَّﻠَﺳَﻭ َﻦﻴِﻌْﺒَّﺴﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ َﻦﻴِّﺘِّﺴﻟﺍ َﻚِﻟَﺫ ُﺯﻮُﺠَﻳ ْﻦَﻣ ْﻢُﻬُّﻠَﻗَﺃَﻭ “Umur ummatku antara enampuluh hingga tujuhpuluh tahun, dan sedikit
di antara mereka yang mencapai
(tujuhpuluh tahun) itu.” (HR Tirmidzi 3473) Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam wafat pada usia 63 tahun
hijriyah. Demikian pula dengan
kedua sahabat utamanya Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.
Keduanya wafat pada usia 63 tahun
hijriyah. Ini semata taqdir Allah ta’aala, bukan suatu kebetulan, yang tentunya mengandung rahasia dan
hikmah ilahi. Dan berapa lama jatah hidup
seseorang di akhirat? Menurut Al-
Qur’an manusia bakal hidup kekal selamanya di akhirat. Dalam Al-
Qur’an disebut dengan istilah: ﺍًﺪَﺑَﺃ ﺎَﻬﻴِﻓ َﻦﻳِﺪِﻟﺎَﺧ “Kekal selamanya di dalamnya.” Bahkan di dalam hadits kita jumpai
keterangan mengenai hal ini dengan
ungkapan yang lebih
membangkitkan bulu roma. Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan bahwa ketika nanti
seluruh penghuni surga telah
dimasukkan ke dalam surga
sementara penghuni neraka telah
masuk neraka semuanya, maka
Allah ta’aala akan tampilkan kematian dalam wujud seekor kambing yang ditempatkan di antara surga dan neraka. Selanjutnya
Allah ta’aala perintahkan malaikat untuk menyembelih ”kematian” sambil ditonton oleh segenap ahli
neraka dan ahli surga. Sesudah itu
Allah ta’aala akan berfirman kepada ahli surga: “Hai penghuni surga kekallah tidak ada lagi kematian …” Selanjutnya Allah ta’aala berfirman kepada para ahli neraka: ”Hai penghuni neraka kekallah tidak ada
lagi kematian...” ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻝﺎَﻗ ِﺕْﻮَﻤْﻟﺎِﺑ ُﺀﺎَﺠُﻳ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ٌﺶْﺒَﻛ ُﻪَّﻧَﺄَﻛ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ َﻡْﻮَﻳ ُﺢَﻠْﻣَﺃ Bersabda Rasulullah shollallahu
’alaih wa sallam: “Kematian didatangkan pada hari kiamat
berupa seekor kambing hitam...” (HR Muslim 5087) ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻝﺎَﻗ ُﻞْﻫَﺃ َﺭﺎَﺻ ﺍَﺫِﺇ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ ُﻞْﻫَﺃَﻭ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ﻲِﻓ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ِﺕْﻮَﻤْﻟﺎِﺑ َﺀﻲِﺟ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ ﻲِﻓ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ َﻦْﻴَﺑ َﻒَﻗﻮُﻳ ﻰَّﺘَﺣ ٍﺩﺎَﻨُﻣ ﻱِﺩﺎَﻨُﻳ َّﻢُﺛ ُﺢَﺑْﺬُﻳ َّﻢُﺛ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍَﻭ َﺕْﻮَﻣ ﺎَﻟ ٌﺩﻮُﻠُﺧ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ َﻞْﻫَﺃ ﺎَﻳ َﺕْﻮَﻣ ﺎَﻟ ٌﺩﻮُﻠُﺧ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ َﻞْﻫَﺃ ﺎَﻳ ﻰَﻟِﺇ ﺎًﺣَﺮَﻓ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ُﻞْﻫَﺃ َﺩﺍَﺩْﺯﺎَﻓ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ ُﻞْﻫَﺃ َﺩﺍَﺩْﺯﺍَﻭ ْﻢِﻬِﺣَﺮَﻓ ْﻢِﻬِﻧْﺰُﺣ ﻰَﻟِﺇ ﺎًﻧْﺰُﺣ ) ﺪﻤﺣﺃ ( “Bila penghuni surga sudah masuk surga dan penghuni neraka masuk
neraka, datanglah kematian berdiri
di antara surga dan neraka,
kemudian disembelih. Lalu terdengar
seruan “Hai penghuni surga kekallah tidak ada lagi kematian… Hai penghuni neraka kekallah tidak ada
lagi kematian”, maka bertambahlah kegembiraan penghuni surga dan
bertambahlah kesedihan penghuni
neraka.” (HR Ahmad 5721) Saudaraku, bila Allah ta ’aala taqdirkan kita hidup di akhirat dalam
kesenangan abadi di dalam surga
tentulah ini suatu kenikmatan yang
tiada tara dan bandingan.
Sebaliknya, barangsiapa yang
ditaqdirkan Allah ta ’aala hidup di akhirat di dalam penderitaan abadi
siksaan neraka tentulah ini suatu
kerugian yang sungguh nyata dan
mengerikan...! Na’udzubillahi min dzaalika...! Pantas bilamana Nabi shollallahu
’alaih wa sallam menggambarkan betapa tiada berartinya kesenangan
dunia yang penuh kepalsuan jika
dibandingkan dengan kesenangan
surga yang hakiki, bukan khayalan
atau virtual atau sekedar dongeng
orang-orang terdahulu. Begitu pula tiada berartinya kesulitan di dunia
yang penuh tipuan jika
dibandingkan dengan kesulitan dan
penderitaan sejati neraka yang
berkepanjangan tiada ujung akhir,
bukan khayalan atau virtual atau sekedar dongeng orang-orang
terdahulu.... Na’udzubillahi min dzaalika...! ْﻦِﻣ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ِﻞْﻫَﺃ ِﻢَﻌْﻧَﺄِﺑ ﻰَﺗْﺆُﻳ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ َﻡْﻮَﻳ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ ِﻞْﻫَﺃ َّﻢُﺛ ًﺔَﻐْﺒَﺻ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ ﻲِﻓ ُﻎَﺒْﺼُﻴَﻓ َﺖْﻳَﺃَﺭ ْﻞَﻫ َﻡَﺩﺁ َﻦْﺑﺍ ﺎَﻳ ُﻝﺎَﻘُﻳ ٌﻢﻴِﻌَﻧ َﻚِﺑ َّﺮَﻣ ْﻞَﻫ ُّﻂَﻗ ﺍًﺮْﻴَﺧ ِّﺏَﺭ ﺎَﻳ ِﻪَّﻠﻟﺍَﻭ ﺎَﻟ ُﻝﻮُﻘَﻴَﻓ ُّﻂَﻗ ﺎًﺳْﺆُﺑ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ِّﺪَﺷَﺄِﺑ ﻰَﺗْﺆُﻳَﻭ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ِﻞْﻫَﺃ ْﻦِﻣ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ﻲِﻓ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ﻲِﻓ ًﺔَﻐْﺒَﺻ ُﻎَﺒْﺼُﻴَﻓ ْﻞَﻫ َﻡَﺩﺁ َﻦْﺑﺍ ﺎَﻳ ُﻪَﻟ ُﻝﺎَﻘُﻴَﻓ َﻚِﺑ َّﺮَﻣ ْﻞَﻫ ُّﻂَﻗ ﺎًﺳْﺆُﺑ َﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎَﻳ ِﻪَّﻠﻟﺍَﻭ ﺎَﻟ ُﻝﻮُﻘَﻴَﻓ ُّﻂَﻗ ٌﺓَّﺪِﺷ ﺎَﻟَﻭ ُّﻂَﻗ ٌﺱْﺆُﺑ ﻲِﺑ َّﺮَﻣ ﺎَﻣ ِّﺏَﺭ ُّﻂَﻗ ًﺓَّﺪِﺷ ُﺖْﻳَﺃَﺭ "Pada hari berbangkit didatangkan
orang yang paling ni'mat hidupnya
sewaktu di dunia dari ahli neraka.
Maka ia dicelupkan ke dalam neraka
sejenak. Kemudian ditanya:"Hai anak
Adam, apakah kamu pernah melihat kesenangan? Apakah kamu pernah
merasakan kenikmatan?" Ia
menjawab: "Tidak, demi Allah wahai
Rabb.” Lalu didatangkanlah orang yang paling sengsara hidupnya
sewaktu di dunia dari ahli surga.
Maka ia dicelupkan ke dalam surga
sejenak. Kemudian ditanya:"Hai anak
Adam, apakah kamu pernah melihat
kesengsaraan? Apakah kamu pernah merasakan penderitaan?" Ia
menjawab: "Tidak, demi Allah wahai
Rabb. Aku tdk pernah mengalami
kesengsaraan dan tidak pula melihat
penderitaan" (HR Muslim 5018) Maka saudaraku, pantaskah kita
mempertaruhkan kehidupan kita
yang hakiki dan abadi di akhirat
nanti demi meraih kesenangan dunia
yang fana dan sesungguhnya penuh
dengan tipuan yang sangat memperdayakan....? Saudaraku,
jadilah orang yang ”cerdas” versi Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Bukan orang yang cerdas
berdasarkan pandangan para
pencinta dunia yang sejatinya sangat
bodoh dan tidak sabar...! ُﻪَﺴْﻔَﻧ َﻥﺍَﺩ ْﻦَﻣ ُﺲِّﻴَﻜْﻟﺍ ِﺕْﻮَﻤْﻟﺍ َﺪْﻌَﺑ ﺎَﻤِﻟ َﻞِﻤَﻋَﻭ “Orang yang paling cerdas ialah barangsiapa yang menghitung-
hitung/evaluasi/introspeksi (‘amal- perbuatan) dirinya dan ber’amal untuk kehidupan setelah
kematian.” (At-Tirmidzi 8/499)