Kewajiban memberikan nafkah
keluarga Islam mewajibkan seorang suami
untuk memberikan nafkah kepada
keluarganya sesuai dengan batas
kemampuannya, berdasarkan dalil-
dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan ijma para ulama : 1. Firman Allah swt,”..Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar
kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 233) 2. Firman Allah swt,”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath Thalaq : 6) 3. Sabda Rasulullah saw,”Berilah dia (istrimu) makan tatkala kamu
makan, berilah dia pakaian tatkala
kamu berpakaian..” (HR. Abu Daud) 4. Adapun ijma; dikarenakan umat
telah bersepakat dalam hal ini. Nafkah di sini adalah memenuhi
kebutuhan makan, minum, pakaian,
tempat tinggal, pembantu rumah
tangga, perabotan, dan pengobatan
istri ketika sakit. Pemberian nafkah ini adalah menjadi
hak yang harus diterima seorang istri
yang telah diikat dengan ikatan
perkawinan yang sah dan telah
menyerahkan diri sepenuhnya
kepada suaminya. Maka ketika haknya tidak dipenuhi oleh
suaminya sementara ia mempunyai
kemampuan dan kesanggupan
sungguh ia telah berlaku zhalim
terhadapnya. Adapun besaran dari nafkah yang
harus diberikan seorang suami
kepada keluarganya sangatlah
tergantung kepada kemampuan si
suami. Semakin tinggi kelas
ekonominya maka ia harus semakin memberikan kelayakan hidup bagi
keluarganya dan sebaliknya ketika
suami memiliki tingkat ekonomi
yang rendah maka si istri juga harus
bisa memahaminya tanpa harus
menuntutnya dengan sesuatu yang diluar batas kemampuan dan
kesanggupannya. Sedekah Istri kepada Suami Pada dasarnya tugas seorang wanita
(ibu) adalah di rumahnya
memberikan pelayanan terbaik buat
suaminya, mendidik anak-anaknya
dan mempersiapkan mereka untuk
menjadi generasi terbaik umat ini. Tugas yang tidak bisa dilakukan
kecuali melalui tangan seorang ibu.
Pekerjaan ini tidaklah kalah beratnya
dengan suaminya yang keluar
mencari nafkah. Pekerjaan yang
membutuhkan keseriusan, ketelatenan, kecerdasan dan
keistiqomahan serta tidak ada batas
waktu kerja melainkan full 24 jam
berbeda dengan pekerjaan seorang
suami di luar rumah. Untuk itu wajar ketika dikatakan
bahwa ibu adalah sekolah bagi
anak-anaknya, ibulah yang
mencetak karakter dan sifat seorang
anak, menanamkan pola fakir dan
akhlaknya serta memberikan dasar- dasar ketahanan didalam dirinya
untuk mengarungi masa depannya. Namun demikian bukan berarti
seorang wanita dilarang
(diharamkan) menurut syariat
bekerja di luar rumah karena pada
dasarnya asal segala sesuatu itu
mubah (dibolehkan) ketika tidak ada keterangan dari syara’ yang melarangnya. Terkadang wanita dituntut bekerja
untuk memenuhi kebutuhannya,
seperti jika dia seorang janda yang
mempunyai anak-anak yang masih
kecil, atau ia hidup sebatang kara,
penghasilan suami yang tidak mencukupi kebutuhan harian
keluarganya meskipun dia sudah
menghabiskan waktunya untuk itu,
atau membantu orang tuannya yang
sudah tua dan lainnya. Atau terkadang lapangan pekerjaan
di masyarakat yang membutuhkan
para wanita, seperti guru wanita
untuk anak-anak wanita, perawat,
bidan, dokter kandungan dan
lainnya. Setiap wanita yang bekerja di luar rumah juga dituntut untuk
tetap bisa menjaga diri dan
kehormatannya serta
menghindarkan hal-hal yang bisa
menjatuhkan dirinya ke dalam fitnah. Adapun penghasilan yang didapat
seorang istri dalam pekerjaannya
adalah hak dia sepenuhnya dan dia
berhak membelanjakannya sesuai
dengan keinginannya. Tidak
dibolehkan bagi seorang suami untuk terlalu intervensi didalamnya
akan tetapi diperbolehkan baginya
memberikan pertimbangan dan
menasehatinya manakala ada
kesalahan dalam
membelanjakannya. Seorang suami tidak berhak
melarangnya untuk berinfak dan
bersedekah kepada siapapun yang
dikehendakinya atau
membelanjakannya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Namun demikian si istri tetap dituntut untuk
bijak didalam membelanjakan dan
mensedekahkan harta tersebut. Ia
juga harus bisa menentukan skala
prioritas didalam membelanjakannya
janganlah dia mendahulukan sesuatu yang komplemen dari pada
yang sekunder atau yang sekunder
daripada yang primer. Sebagaimana ditunjukan didalam
sebuah hadits saat datang Zaenab
istri Ibnu Mas’ud ke rumah Rasulullah saw dan meminta izin dari
beliau saw. Dikatakan kepada
Rasulullah saw, ”Wahai Rasulullah saw ini Zaenab.” Beliau saw bertanya, ’Zaenab yang mana?’ Dijawab, ’istrinya Ibnu Masud.’ Beliau saw berkata, ’Ya silahkan.’ maka diizinkanlah dia untuk masuk. Dia
bertanya, ’Wahai Nabi Allah, pada hari ini engkau memerintahkan
untuk bersedekah. Aku mempunyai
perhiasan dan aku ingin
sedekahkan sedang aku melihat
bahwa Ibnu Masud dan anaknya
lebih berhak untuk menerima sedekahku.’ Kemudian Nabi saw bersabda, ’Ibnu Mas’ud suamimu dan anak lelakimu lebih berhak
untuk menerima sedekah.” (HR. Bukhori) Wallahu A’lam
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah /9: 105).
Nonton iklan bentar ya...!!!
Monday, 16 May 2011
Aqiqah Atau Kurban
Hukum Aqiqah Aqiqah adalah sembelihan hewan
kurban untuk anak yang baru lahir
dan dilakukan pada hari ketujuh
kelahirannya. Hukum pelaksanaan
aqiqah ini adalah sunnah
muakkadah, sebagaimana diriwayatkan dari Samurah bahwa
Nabi saw bersabda,”Setiap anak yang dilahirkan itu terpelihara
dengan aqiqahnya dan
disembelihkan hewan untuknya
pada hari ketujuh, dicukur dan
diberikan nama untuknya.” (HR. Imam yang lima, Ahmad dan
Ashabush Sunan dan dishohihkan
oleh Tirmidzi) Waktu pelaksanaan aqiqah ini
adalah pada hari ketujuh dari hari
kelahirannya namun jika ia tidak
memiliki kesanggupan untuk
menagqiqahkannya pada hari itu
maka ia diperbolehkan mengaqiqahkannya pada hari
keempat belas, dua puluh satu atau
pada saat kapan pun ia memiliki
kelapangan rezeki untuk itu,
sebagaimana makna dari pendapat
para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali bahwa sembelihan untuk
aqiqah bisa dilakukan sebelum atau
setelah hari ketujuh. Adapun yang bertanggung jawab
melakukan aqiqah ini adalah ayah
dari bayi yang terlahir namun para
ulama berbeda pendapat apabila
yang melakukannya adalah selain
ayahnya : 1. Para ulama Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa sunnah ini
dibebankan kepada orang yang
menanggung nafkahnya. 2. Para ulama Madzhab Hambali dan
Maliki berpendapat bahwa tidak
diperkenankan seseorang
mengaqiqahkan kecuali ayahnya
dan tidak dieperbolehkan seorang
yang dilahirkan mengaqiqahkan dirinya sendiri walaupun dia sudah
besar dikarenakan menurut syariat
bahwa aqiqah ini adalah kewajiban
ayah dan tidak bisa dilakukan oleh
selainnya. 3. Sekelompok ulama Madzhab
Hambali berpendapat bahwa
seseorang diperbolehkan
mengaqiqahkan dirinya sendiri
sebagai suatu yang disunnahkan.
Aqiqah tidak mesti dilakukan saat masih kecil dan seorang ayah boleh
mengaqiqahkan anak yang terlahir
walaupun anak itu sudah baligh
karena tidak ada batas waktu
maksimalnya.(al Fiqhul Islami wa
Adillatuhu juz IV hal 2748) Aqiqah atau Kurban Dari keterangan diatas bisa
disimpulkan bahwa aqiqah tidak
mesti dilakukan pada hari ketujuh
dan itu semua diserahkan kepada
kemampuan dan kelapangan rezeki
orang tuanya, bahkan ia bisa dilakukan pada saat anak itu sudah
besar / baligh. Orang yang paling bertanggung
jawab melakukan aqiqah adalah
ayah dari bayi terlahir pada waktu
kapan pun ia memiliki kesanggupan.
Namun jika dikarenakan si ayah
memiliki halangan untuk mengadakannya maka si anak bisa
menggantikan posisinya yaitu
mengaqiqahkan dirinya sendiri,
meskipun perkara ini tidak menjadi
kesepakatan dari para ulama. Dari dua hal tersebut diatas maka
ketika seseorang dihadapkan oleh
dua pilihan dengan keterbatasan
dana yang dimilikinya antara kurban
atau aqiqah maka kurban lebih
diutamakan baginya, dikarenakan hal berikut : 1. Perintah berkurban ini ditujukan
kepada setiap orang yang mukallaf
dan memiliki kesanggupan berbeda
dengan perintah aqiqah yang pada
asalnya ia ditujukan kepada ayah
dari bayi yang terlahir. 2. Meskipun ada pendapat yang
memperbolehkan seseorang
mengaqiqahkan dirinya sendiri
namun perkara ini bukanlah yang
disepakati oleh para ulama. Dalil mereka yang memperbolehkan
seseorang mengaqiqahkan dirinya
sendiri adalah apa yang
diriwayatkan dari Anas dan
dikeluarkan oleh al Baihaqi, “Bahwa Nabi saw mengaqiqahkan dirinya
sendiri setelah beliau diutus menjadi
Rasul.” Kalau saja hadits ini shohih, akan tetapi dia
mengatakan,”Sesungguhnya hadits ini munkar dan didalamnya ada
Abdullah bin Muharror dan ia
termasuk orang lemah sekali
sebagaimana disebutkan oleh al
Hafizh. Kemudian Abdur Rozaq
berkata,”Sesungguhnya mereka telah membicarakan dalam masalah
ini dikarenakan hadits ini.” (Nailul Author juz VIII hal 161 – 162, Maktabah Syamilah) Wallahu A’lam
kurban untuk anak yang baru lahir
dan dilakukan pada hari ketujuh
kelahirannya. Hukum pelaksanaan
aqiqah ini adalah sunnah
muakkadah, sebagaimana diriwayatkan dari Samurah bahwa
Nabi saw bersabda,”Setiap anak yang dilahirkan itu terpelihara
dengan aqiqahnya dan
disembelihkan hewan untuknya
pada hari ketujuh, dicukur dan
diberikan nama untuknya.” (HR. Imam yang lima, Ahmad dan
Ashabush Sunan dan dishohihkan
oleh Tirmidzi) Waktu pelaksanaan aqiqah ini
adalah pada hari ketujuh dari hari
kelahirannya namun jika ia tidak
memiliki kesanggupan untuk
menagqiqahkannya pada hari itu
maka ia diperbolehkan mengaqiqahkannya pada hari
keempat belas, dua puluh satu atau
pada saat kapan pun ia memiliki
kelapangan rezeki untuk itu,
sebagaimana makna dari pendapat
para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali bahwa sembelihan untuk
aqiqah bisa dilakukan sebelum atau
setelah hari ketujuh. Adapun yang bertanggung jawab
melakukan aqiqah ini adalah ayah
dari bayi yang terlahir namun para
ulama berbeda pendapat apabila
yang melakukannya adalah selain
ayahnya : 1. Para ulama Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa sunnah ini
dibebankan kepada orang yang
menanggung nafkahnya. 2. Para ulama Madzhab Hambali dan
Maliki berpendapat bahwa tidak
diperkenankan seseorang
mengaqiqahkan kecuali ayahnya
dan tidak dieperbolehkan seorang
yang dilahirkan mengaqiqahkan dirinya sendiri walaupun dia sudah
besar dikarenakan menurut syariat
bahwa aqiqah ini adalah kewajiban
ayah dan tidak bisa dilakukan oleh
selainnya. 3. Sekelompok ulama Madzhab
Hambali berpendapat bahwa
seseorang diperbolehkan
mengaqiqahkan dirinya sendiri
sebagai suatu yang disunnahkan.
Aqiqah tidak mesti dilakukan saat masih kecil dan seorang ayah boleh
mengaqiqahkan anak yang terlahir
walaupun anak itu sudah baligh
karena tidak ada batas waktu
maksimalnya.(al Fiqhul Islami wa
Adillatuhu juz IV hal 2748) Aqiqah atau Kurban Dari keterangan diatas bisa
disimpulkan bahwa aqiqah tidak
mesti dilakukan pada hari ketujuh
dan itu semua diserahkan kepada
kemampuan dan kelapangan rezeki
orang tuanya, bahkan ia bisa dilakukan pada saat anak itu sudah
besar / baligh. Orang yang paling bertanggung
jawab melakukan aqiqah adalah
ayah dari bayi terlahir pada waktu
kapan pun ia memiliki kesanggupan.
Namun jika dikarenakan si ayah
memiliki halangan untuk mengadakannya maka si anak bisa
menggantikan posisinya yaitu
mengaqiqahkan dirinya sendiri,
meskipun perkara ini tidak menjadi
kesepakatan dari para ulama. Dari dua hal tersebut diatas maka
ketika seseorang dihadapkan oleh
dua pilihan dengan keterbatasan
dana yang dimilikinya antara kurban
atau aqiqah maka kurban lebih
diutamakan baginya, dikarenakan hal berikut : 1. Perintah berkurban ini ditujukan
kepada setiap orang yang mukallaf
dan memiliki kesanggupan berbeda
dengan perintah aqiqah yang pada
asalnya ia ditujukan kepada ayah
dari bayi yang terlahir. 2. Meskipun ada pendapat yang
memperbolehkan seseorang
mengaqiqahkan dirinya sendiri
namun perkara ini bukanlah yang
disepakati oleh para ulama. Dalil mereka yang memperbolehkan
seseorang mengaqiqahkan dirinya
sendiri adalah apa yang
diriwayatkan dari Anas dan
dikeluarkan oleh al Baihaqi, “Bahwa Nabi saw mengaqiqahkan dirinya
sendiri setelah beliau diutus menjadi
Rasul.” Kalau saja hadits ini shohih, akan tetapi dia
mengatakan,”Sesungguhnya hadits ini munkar dan didalamnya ada
Abdullah bin Muharror dan ia
termasuk orang lemah sekali
sebagaimana disebutkan oleh al
Hafizh. Kemudian Abdur Rozaq
berkata,”Sesungguhnya mereka telah membicarakan dalam masalah
ini dikarenakan hadits ini.” (Nailul Author juz VIII hal 161 – 162, Maktabah Syamilah) Wallahu A’lam
Subscribe to:
Posts (Atom)