Sering kita melihat ada Saudara kita
pada saat shalat berjamaah, yang
entah karena tidak tahu atau karena
kelalaian, mendahului gerakan-
gerakan Imam dalam shalat terutama
saat bangkit dari ruku (i’tidal) dan bangkit dari sujud. Sepertinya hal ini
merupakan masalah yang remeh,
tetapi bagaimanakah Islam
memandangnya? Patut kita cermati hal
ini bersama … Diriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Artinya : “Tidaklah salah seorang dari kamu takut atau hendaklah salah
seorang dari kamu takut apabila ia
mengangkat kepadalanya
mendahului imam bahwa Allah akan
merubah kepadalanya menjadi kepala
keledai atau Allah akan merubah rupanya menjadi rupa keledai” [1] [2] Dalam riwayat lain disebutkan : “Allah akan merubah kepalanya menjadi
kepala anjing.”[3] Diriwayatkan dari Anas bin Malik
Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Pada suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat. Selesai shalat
beliau menghadap kepada kami dan
berkata : “Wahai sekalian manusia, aku adalah imam kalian. Janganlah kalian
mendahului aku ketika ruku ’, sujud, berdiri, dan salam. Karena aku dapat
melihat kalian di hadapanku maupun
di belakangku.”[4] Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallaahu ‘anhumaa, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : Artinya : “Janganlah kalian mendahuluiku ketika ruku ’ ataupun sujud. Karena walau bagaimanapun
cepatnya aku mendahului kalian ruku ’ ketika aku ruku ’ kalian pasti dapat mendahuluiku ruku’ sebelum aku bangkit darinya, karena aku sudah
berumur.”[5] Dari ‘Abdullah bin Yazid, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Al
Baraa’ (bin ‘Aazib) –dan ia bukanlah seorang pendusta-: “Sesungguhnya para Sahabat apabila shalat di
belakang Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, maka apabila beliau
mengangkat kepalanya dari
ruku’ (i’tidal), maka saya tidak melihat seorang pun juga yang
membungkukkan punggungnya
(untuk turun sujud) sampai (mereka
melihat) Rasululllah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah meletakkan
keningnya ke tanah, kemudian
barulah orang-orang yang di
belakang beliau turun ke sujud.”[6] Dan dalam salah satu riwayat Bukhari
dan Muslim (dan lafadznya dari
Muslim) sebagai berikut: “Dari ‘Abdullah bin Yazid (ia berkata): Telah menceritakan kepadaku Al
Baraa’ –dan ia bukanlah seorang pendusta-, ia berkata: “Biasa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau mengucapkan
“sami’allahu liman hamidah”, maka tidak ada seorang pun di antara kami
yang membungkukkan
punggungnya (turun ke sujud)
sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud (dengan sempurna),
kemudian kami pun (turun) sujud
sesudah (melihat) beliau (sujud).”[7] Dan dalam salah satu riwayat Bukhari
dan Muslim (dan lafadznya dari
Muslim) sebagai berikut: “Dari ‘Abdullah bin Yazid, ia pernah berkata dari atas mimbar: Telah
menceritakan kepadaku Al Baraa ’: “Sesungguhnya para Sahabat biasa shalat bersama Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam (shalat berjama’ah), maka apabila beliau ruku’ mereka pun ruku’, dan apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’nya (I’tidal), maka beliau mengucapkan
“sami’allahu liman hamidah” (kemudian beliau sujud), maka senantiasa kami tetap berdiri
(dalam posisi i’tidal ) sampai kami melihat beliau telah meletakkan
wajahnya ke tanah, kemudian kami
pun mengikutinya.”[8] Dan dalam salah satu riwayat Muslim
sebagai berikut: “Dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Al Baraa’, ia berkata : “Kami biasa (shalat) bersama Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, maka tidak ada seorang pun di antara kami yang
membungkukkan punggungnya
sampai kami melihat beliau telah sujud
(dengan sempurna).”[9] Dalam hadits yang lain: Dari ‘Amr bin Harits, ia berkata: “Saya pernah shalat shubuh di belakang
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka saya mendengar beliau
membaca Falaa uqsimu bilkhunnas (surat At Takwir), maka tidak ada
seorang pun dari kami yang
membungkukkan punggungnya
(untuk turun sujud) sampai (kami
melihat) beliau sujud dengan
sempurna.”[10] Dalam hadits lain: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah
bersabda RAsulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk dituruti
(diikuti). Maka apabila imam takbir
(takbiratul ihram), maka takbirlah
kamu, dan janganlah kamu takbir
sampai imam takbir (terlebih dahulu
dari kamu). [Dan apabila imam membaca, maka hendaklah kamu
diam (mendengarkan bacaan imam)].
Dan apabila imam ruku’, maka ruku’lah kamu, dan janganlah kamu ruku’ sampai imam ruku’ (terlebih dahulu dari kamu). Dan apabila imam
mengucapkan “sami’allahu liman hamidah.” Maka hendaklah kamu mengucapkan “Rabbana wa lakalhamdu.” Dan apabila imam sujud, maka sujudlah kamu, dan janganlah
kamu sujud sampai imam sujud
(terlebih dahulu dari kamu). Dan
apabila shalat sambil berdiri, maka
shalatlah kamu sambil berdiri, dan
apabila imam shalat sambil duduk, maka shalatlah kamu semua sambil
duduk.”[11] Faidah Hadits: 1. Beberapa hadits yang mulia di atas
telah menjelaskan kepada kita salah
satu hukum yang sangat besar dan
menjadi asas di dalam shalat
berjama’ah yaitu mengikuti imam. Tidak boleh mendahului atau
bersamaan dengan imam di dalam
takbir, ruku’, i’tidal, sujud, duduk, berdiri, dan salam. Alangkah banyaknya kaum muslimin yang
melalaikan dan meremehkan hukum
yang sangat besar ini di dalam shalat
berjama’ah setiap hari di masjid-masjid mereka. Hal ini disebabkan diamnya
dan jahilnya para imam masjid
bersama kejahilan yang merata dari
para ma’mum. Tentu saja hal itu juga disebabkan karena mereka tidak
pernah diajarkan atau diperingati oleh
para imam masjid akan hukum yang
sangat besar ini yang akan membawa
kerusakan pada shalat-shalat mereka
kalau mereka meninggalkannya. Selain dari itu, mereka pun sangat
malasnya dalam menuntut ilmu dari
ahlinya sehingga kejahilan terhadap
Islam telah mendarah daging pada
diri-diri mereka. Allahuma kecuai
sedikit sekali dari yang paling sedikit di antara para imam masjid bersama
para ma’mum yang memelihara dan mengamalkan hokum di atas. Yaitu
dari kaum muslilmin yang senantiasa
berpegang dengan Al Kitab dan
Sunnah Nabi yang Mulia shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Maka hanya kepada Allah kita memohon pertolongan atas
keasingan Islam pada anak-anak
Islam, pada diri, pada keluarga, dan
pada masyarakat mereka.[12] 2. Mendahului imam hukumnya haram berdasarkan kesepakatan ahli ‘ilmu. Seorang makmum tidak boleh ruku ’ sebelum imam atau bangkit dari ruku’ atau sujud sebelumnya . 3. Makmum yang sengaja mendahului
imam shalatnya tidak sah. Kalaupun shalatnya dianggap sah, tentu
diharapkan pahala dan tidak
diharapkan atasnya hukuman, yaitu
Allah akan merubah rupanya menjadi
rupa keledai atau anjing. Ini
merupakan pendapat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallaahu ‘anhumaa, Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu
Taimiyyah. 4. Dorongan mendahului imam biasanya
karena terburu-buru. Sekiranya
pelakunya memperhatikan akibat
perbuatannya, tentu ia tahu bahwa terburu-buru itu tidak membawa
manfaat. Karena ia tidak akan bisa mengakhiri shalat (dengan
mengucapkan salam) sebelum imam.
Maka hendaklah ia sabar mengikuti
imam dalam seluruh gerakan shalat. [13] Para pembaca yang kami hormati – rahimakallaahu-, sebagai penutup,
kami sertakan kisah yang
disampaikan oleh Ibnu Hajar Al
Asqolani -rahimahullah- tentang
sebagian penuntut ilmu, bahwasanya
ada di antara mereka yang melakukan perjalanan ke Damaskus untuk
menimba hadits dari seorang Syaikh
tersohor yang ada di sana. Lalu ia pun
belajar dan membacakan beberapa
hadits di hadapan Syaikh tersebut.
Akan tetapi Syaikh itu selalu membatasi antara diri dengan murid-
muridnya dengan sebuah tabir,
sehingga mereka tidak dapat melihat
wajahnya. Ketika seorang murid tersebut telah
lama mengambil ilmu darinya, dan ia
mengetahui betapa antusias murid
yang satu ini, akhirnya ia membuka
tabir agar muridnya itu dapat melihat
wajahnya. (Setelah dibuka) ternyata rupa Syaikhnya berwujud keledai. Kemudian Syaikh tersebut berkata
seraya menasehati: “Berhati-hatilah wahai muridku dari mendahului imam (dalam
shalat), karena sesungguhnya aku pernah membaca sebuah hadits
(Hadits tersebut berbunyi: ْﻥَﺃ ِﻡﺎَﻣِﻹﺍ َﻞْﺒَﻗ ُﻪَﺳْﺃَﺭ ُﻊَﻓْﺮَﻳ ﻱِﺬَّﻟﺍ ﻰَﺸْﺨَﻳ ﺎَﻣَﺃ ٍﺭﺎَﻤِﺣ َﺱْﺃَﺭ ُﻪَﺳْﺃَﺭ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻝِّﻮَﺤُﻳ Tidakkah takut orang yang
mengangkat kepalanya sebelum
imam, Allah akan merubah kepalanya
menjadi kepala keledai?! (HR. al-
Bukhari dan Muslim) Dan aku menganggap hal itu tidak
mungkin terjadi. Lalu aku pun
mendahului imam dan ternyata
wajahku berubah seperti yang
engkau lihat sekarang ini[14]. Semoga Allah merahmati Syaikh dan
mengampuni segala dosanya.
Meskipun ia pernah meragukan
sebuah hadits Nabi -shollallahu alaihi
wa sallam-, namun alhamdulillâh ia
bertaubat kepada Allah dan menasehati murid-muridnya agar
tidak meragukan, melecehkan atau
menentang sunnah yang datang dari
beliau -shollallahu alaihi wa sallam-. [15]
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah /9: 105).
Nonton iklan bentar ya...!!!
Monday, 16 May 2011
Luruskan Dan Rapatkan Shaf
Shalat berjamaah merupakan amal
yang sangat dianjurkan oleh
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam . Sebagaimana sabdanya,
“Shalat berjamaah lebih afdhal dari shalat sendirian dua puluh derajat”. Ketika shalat berjamaah, meluruskan
dan merapatkan shaf (barisan) sangat
diperintahkan, sebagaimana di dalam
sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam, Artinya, “Luruskan shafmu, karena sesungguhnya meluruskan
shaf itu merupakan bagian dari
kesempurnaan shalat”. (Muttafaq ‘Alaih). Hadits ini dan hadits-hadits lain yang
semisal, kata Ibnu Hazm, merupakan
dalil wajibnya merapikan shaf
sebelum shalat dimulai. Karena
menyempurnakan shalat itu wajib,
sedang kerapihan shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat,
maka merapikan shaf merupakan
kewajiban. Juga lafaz amr (perintah)
dalam hadits di atas menunjukkan
wajib. Selain itu, Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam setiap memulai shalat, selalu menghadap
kepada jamaah dan memerintahkan
untuk meluruskan shaf, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
Radhiallaahu anhu. Teladan dari Nabi dan Para
Shahabat Umar bin Khaththab pernah memukul
Abu Utsman An-Nahdi karena ke luar
dari barisan shalatnya. Juga Bilal
pernah melakukan hal yang sama,
seperti yang dikatakan oleh Suwaid
bin Ghaflah bahwa Umar dan Bilal pernah memukul pundak kami dan
mereka tidak akan memukul orang
lain, kecuali karena meninggalkan
sesuatu yang diwajibkan (Fathul Bari
juz 2 hal 447). Itulah sebabnya, ketika
Anas tiba di Madinah dan ditanya apa yang paling anda ingkari, beliau
berkata, “Saya tidak pernah mengingkari sesuatu melebihi
larangan saya kepada orang yang
tidak merapikan shafnya.” (HR. A- Bukhari). Bahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Sallam sebelum memulai shalat,
beliau berjalan merapikan shaf dan
memegang dada dan pundak para
sahabat dan bersabda, "Wahai
sekalian hamba Allah! Hedaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau
(kalau tidak), maka sungguh Allah
akan membalikkan wajah-wajah
kalian." (HR. Al-Jama'ah, kecuali al-
Bukhari) Di dalam riwayat Abu Hurairah, dia
berkata, "Rasulullah biasa masuk
memeriksa ke shaf-shaf mulai dari
satu ujung ke ujung yang lain,
memegang dada dan pundak kami
seraya bersabda, "Janganlah kalian berbeda (tidak lurus shafnya), karena
akan menjadikan hati kalian
berselisih" (HR. Muslim)
Imam Al-Qurthubi berkata, “Yang dimaksud dengan perselisihan hati
pada hadits di atas adalah bahwa
ketika seorang tidak lurus di dalam
shafnya dengan berdiri ke depan atau
ke belakang, menunjukkan
kesombongan di dalam hatinya yang tidak mau diatur. Yang demikian itu,
akan merusak hati dan bisa
menimbulkan perpecahan (Fathul Bari
juz 2 hal 443). Pendapat ini juga
didukung oleh Imam An-Nawawi,
beliau berkata, berbeda hati maksudnya terjadi di antara mereka
kebencian dan permusuhan dan
pertentangan hati. Perbedaan ketika
bershaf merupakan perbedaan zhahir
dan perbedaan zhahir merupakan
wujud dari perbedaan bathin yaitu hati. Sementara Qhadhi Iyyadh
menafsirkannya dengan mengatakan
Allah akan mengubah hati mereka
secara fisik, sebagaimana di dalam
riwayat lain (Allah akan mengubah
wajah mereka). Hal itu merupakan ancaman yang berat dari Allah,
sebagaimana Dia mengancam orang
yang mengangkat kepalanya sebelum
imam (i’tidal), maka Allah akan mengubah wajahnya menjadi wajah
keledai. Imam Al-Kirmani
menyimpulkan, akibat dari
pertentangan dan perbedaan di dalam
shaf, bisa menimbulkan perubahan
anggota atau tujuan atau juga bisa perbedaan balasan dengan
memberikan balasan yang sempurna
bagi mereka yang meluruskan shaf
dan memberikan balasan kejelekan
bagi mereka yang tidak meluruskan
shafnya. Berdiri di dalam shaf bukan hanya
sekedar berbaris lurus, tetapi juga
dengan merapatkan kaki dan pundak
antara satu dengan yang lainnya
seperti yang dilakukan oleh para
shahabat. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallaahu anhu Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,
Artinya “Rapatkankan shaf, dekatkan (jarak) antara shaf-shaf itu dan
ratakan pundak-pundak. ” (HR. Abu Daud dan An-Nasai, dishahihkan oleh
Ibnu Hibban). Di dalam riwayat lain oleh Abu Dawud
Rasulullah bersabda, Artinya “Demi jiwaku yang ada di tanganNya, saya
melihat syaitan masuk di celah-celah
shaf, sebagaimana masuknya anak
kambing.” Posisi Makmum di Dalam Shalat Apabila imam shalat berjamaah hanya
dengan seorang makmum, maka dia
(makmum) disunnahkan berdiri di
sebelah kanan imam(sejajar
dengannya), sebagaimana yang
diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau pernah shalat berjamaah
bersama Rasulullah Shalallaju 'alaihi
wa sallam pada suatu malam dan
berdiri di sebelah kirinya. Maka
Rasulullah Shalallaju 'alaihi wa sallam
memegang kepala Ibnu Abbas dari belakang lalu memindahkan di
sebelah kanannya (Muttafaq ‘Alaih). Apabila makmum terdiri dari dua
orang, maka keduanya berada di
belakang imam, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik,
beliau bersabda, Artinya “Rasulullah shalat maka saya dan seorang anak
yatim berdiri di belakangnya dan
Ummu Sulaim berdiri di belakang
kami” (Muttafaq ‘Alaih). Adapun pendapat Kufiyyun (Ulama-
ulama’ Kufah) yang mengatakan bahwa kalau makmum terdiri dari dua
orang maka yang satunya berdiri di
sebelah kanan Imam dan yang
lainnya di sebelah kirinya, maka hal itu
dibantah oleh Ibnu Sirin, seperti yang
diriwayatkan oleh Attahawi bahwa yang demikian itu hanya boleh
diamalkan, ketika shalat di tempat
yang sempit yang tidak cukup untuk
membuat shaf di belakang. Hadits di atas juga menjelaskan bahwa
makmum wanita mengambil posisi di
belakang laki-laki, sekali pun harus
bershaf sendirian. Dan dia tidak boleh
bershaf di samping laki-laki, apalagi di
depannya. Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-
buruknya adalah yang terakhir.
Sebaliknya bagi wanita, sebaik-baik
shaf baginya adalah yang terakhir dan
yang paling buruk adalah yang
pertama. (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Dan shaf yang paling afdhal
adalah di sebelah kanannya imam.
Dan dari situlah dimulainnya membuat
shaf baru, sebagaimana yang dikata-
kan oleh Barra’ bin ‘Azib dengan sanad yang shahih. Menyempurnakan
shaf terdepan adalah yang dilakukan
oleh para malaikat, ketika berbaris di
hadapan Allah. Di riwayatkan oleh Abu Dawud dari
Jabir bin Samurah ia berkata,
“Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Tidakkah kalian ingin berbaris, sebagaimana para
malaikat berbaris di hadapan Rabb
mereka.” Maka kami bertanya, “Bagaimanakah para malaikat berbaris di hadapan Rabb?” Beliau menjawab, “Mereka menyempurnakan barisan yang
depan dan saling merapat di dalam
shaf.” Dibolehkan seorang makmum shalat
di lantai dua dari masjid atau
dipisahkan dengan tembok atau
lainnya dari imam, selama dia
mendengar suara takbir imam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan, “Tidak mengapa kamu shalat berjamaah dengan imam, walaupun di
antara kamu dan imam ada sungai”. Ditambahkan oleh Abu Mijlaz, selama
mendengar takbirnya imam (Shahih
Al-Bukhari). Dan sebagian ulama juga
menyaratkan harus bersambungnya
shaf, namun hal ini masih
diperdebatkan di antara para ulama. Juga kisah qiyamuramadhan (shalat
tarawih), yang pertama kali yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam . Larangan Membuat Shaf Sendirian Seorang makmum dilarang membuat
shaf sendirian, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Wabishah bin
Mi’bad, bahwa Rasulullah melihat seseorang shalat di belakang shaf
sendirian, maka beliau
memerintahkan untuk mengulang
shalatnya (HR. Ahmad, Abu Daud,
Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu
Hibban). Dan pada riwayat Thalq bin Ali ada
tambahan, “Tidak ada shalat bagi orang yang bersendiri di belakang
shaf”. Walaupun demikian sebagian ulama’ tetap menyatakan sah shalat seorang yang berdiri sendiri dalam
satu shaf karena alasan hadits di atas
sanadnya mudltharib (simpang siur),
sebagai-mana yang dikatakan oleh
Ibnu Abdil Barr. Menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh
Al-Utsaimin, jika seseorang menjumpai
shaf yang sudah penuh, sementara ia
sendirian dan tidak ada yang
ditunggu, maka boleh baginya shalat
sendiri di belakang shaf itu. Karena apabila ada larangan berhada-pan
dengan kewajiban (jamaah bersama
imam, red), maka di dahulu-kan yang
wajib. Untuk menjaga keutuhan shaf boleh
saja seorang maju atau bergeser
ketika mendapatkan ada shaf yang
terputus. Sabda Nabi Shallallaahu
alaihi wa Sallam yang diriwayatkan
oleh Abu Juhaifah beliau bersabda, “Barangsiapa yang meme-nuhi celah yang ada pada shaf maka Allah akan
mengampuni dosanya.” (HR. Bazzar dengan sanad hasan). Tiada langkah paling baik melebihi
yang dilakukan oleh seorang untuk
menutupi celah di dalam shaf. Dan
semakin banyak teman dan shaf
dalam shalat berjamaah akan semakin
afdhal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda, Artinya “Shalat seorang bersama seorang lebih baik
daripada shalat sendirian dan
shalatnya bersama dua orang lebih
baik daripada shalatnya bersama
seorang. Dan bila lebih banyak maka
yang demikian lebih disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Muttafaq ‘Alaih). Dan ketika memasuki shaf untuk
shalat disunahkan untuk
melakukannya dengan tenang tidak
terburu-buru, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abi Bakrah,
bahwasanya ia shalat dan mendapati Nabi sedang ruku’ lalu dia ikut ruku’ sebelum sampai kepada shaf, maka
Nabi berkata kepadanya, Artinya
“Semoga Allah menambahkan kepadamu semangat (kemauan),
tetapi jangan kamu ulangi lagi.” (HR. Al Bukhari) dan dalam riwayat Abu Daud
ada tambahan: “Ia ruku’ sebelum sampai di shaf lalu dia berjalan menuju
shaf.”
yang sangat dianjurkan oleh
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam . Sebagaimana sabdanya,
“Shalat berjamaah lebih afdhal dari shalat sendirian dua puluh derajat”. Ketika shalat berjamaah, meluruskan
dan merapatkan shaf (barisan) sangat
diperintahkan, sebagaimana di dalam
sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam, Artinya, “Luruskan shafmu, karena sesungguhnya meluruskan
shaf itu merupakan bagian dari
kesempurnaan shalat”. (Muttafaq ‘Alaih). Hadits ini dan hadits-hadits lain yang
semisal, kata Ibnu Hazm, merupakan
dalil wajibnya merapikan shaf
sebelum shalat dimulai. Karena
menyempurnakan shalat itu wajib,
sedang kerapihan shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat,
maka merapikan shaf merupakan
kewajiban. Juga lafaz amr (perintah)
dalam hadits di atas menunjukkan
wajib. Selain itu, Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam setiap memulai shalat, selalu menghadap
kepada jamaah dan memerintahkan
untuk meluruskan shaf, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
Radhiallaahu anhu. Teladan dari Nabi dan Para
Shahabat Umar bin Khaththab pernah memukul
Abu Utsman An-Nahdi karena ke luar
dari barisan shalatnya. Juga Bilal
pernah melakukan hal yang sama,
seperti yang dikatakan oleh Suwaid
bin Ghaflah bahwa Umar dan Bilal pernah memukul pundak kami dan
mereka tidak akan memukul orang
lain, kecuali karena meninggalkan
sesuatu yang diwajibkan (Fathul Bari
juz 2 hal 447). Itulah sebabnya, ketika
Anas tiba di Madinah dan ditanya apa yang paling anda ingkari, beliau
berkata, “Saya tidak pernah mengingkari sesuatu melebihi
larangan saya kepada orang yang
tidak merapikan shafnya.” (HR. A- Bukhari). Bahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Sallam sebelum memulai shalat,
beliau berjalan merapikan shaf dan
memegang dada dan pundak para
sahabat dan bersabda, "Wahai
sekalian hamba Allah! Hedaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau
(kalau tidak), maka sungguh Allah
akan membalikkan wajah-wajah
kalian." (HR. Al-Jama'ah, kecuali al-
Bukhari) Di dalam riwayat Abu Hurairah, dia
berkata, "Rasulullah biasa masuk
memeriksa ke shaf-shaf mulai dari
satu ujung ke ujung yang lain,
memegang dada dan pundak kami
seraya bersabda, "Janganlah kalian berbeda (tidak lurus shafnya), karena
akan menjadikan hati kalian
berselisih" (HR. Muslim)
Imam Al-Qurthubi berkata, “Yang dimaksud dengan perselisihan hati
pada hadits di atas adalah bahwa
ketika seorang tidak lurus di dalam
shafnya dengan berdiri ke depan atau
ke belakang, menunjukkan
kesombongan di dalam hatinya yang tidak mau diatur. Yang demikian itu,
akan merusak hati dan bisa
menimbulkan perpecahan (Fathul Bari
juz 2 hal 443). Pendapat ini juga
didukung oleh Imam An-Nawawi,
beliau berkata, berbeda hati maksudnya terjadi di antara mereka
kebencian dan permusuhan dan
pertentangan hati. Perbedaan ketika
bershaf merupakan perbedaan zhahir
dan perbedaan zhahir merupakan
wujud dari perbedaan bathin yaitu hati. Sementara Qhadhi Iyyadh
menafsirkannya dengan mengatakan
Allah akan mengubah hati mereka
secara fisik, sebagaimana di dalam
riwayat lain (Allah akan mengubah
wajah mereka). Hal itu merupakan ancaman yang berat dari Allah,
sebagaimana Dia mengancam orang
yang mengangkat kepalanya sebelum
imam (i’tidal), maka Allah akan mengubah wajahnya menjadi wajah
keledai. Imam Al-Kirmani
menyimpulkan, akibat dari
pertentangan dan perbedaan di dalam
shaf, bisa menimbulkan perubahan
anggota atau tujuan atau juga bisa perbedaan balasan dengan
memberikan balasan yang sempurna
bagi mereka yang meluruskan shaf
dan memberikan balasan kejelekan
bagi mereka yang tidak meluruskan
shafnya. Berdiri di dalam shaf bukan hanya
sekedar berbaris lurus, tetapi juga
dengan merapatkan kaki dan pundak
antara satu dengan yang lainnya
seperti yang dilakukan oleh para
shahabat. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallaahu anhu Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,
Artinya “Rapatkankan shaf, dekatkan (jarak) antara shaf-shaf itu dan
ratakan pundak-pundak. ” (HR. Abu Daud dan An-Nasai, dishahihkan oleh
Ibnu Hibban). Di dalam riwayat lain oleh Abu Dawud
Rasulullah bersabda, Artinya “Demi jiwaku yang ada di tanganNya, saya
melihat syaitan masuk di celah-celah
shaf, sebagaimana masuknya anak
kambing.” Posisi Makmum di Dalam Shalat Apabila imam shalat berjamaah hanya
dengan seorang makmum, maka dia
(makmum) disunnahkan berdiri di
sebelah kanan imam(sejajar
dengannya), sebagaimana yang
diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau pernah shalat berjamaah
bersama Rasulullah Shalallaju 'alaihi
wa sallam pada suatu malam dan
berdiri di sebelah kirinya. Maka
Rasulullah Shalallaju 'alaihi wa sallam
memegang kepala Ibnu Abbas dari belakang lalu memindahkan di
sebelah kanannya (Muttafaq ‘Alaih). Apabila makmum terdiri dari dua
orang, maka keduanya berada di
belakang imam, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik,
beliau bersabda, Artinya “Rasulullah shalat maka saya dan seorang anak
yatim berdiri di belakangnya dan
Ummu Sulaim berdiri di belakang
kami” (Muttafaq ‘Alaih). Adapun pendapat Kufiyyun (Ulama-
ulama’ Kufah) yang mengatakan bahwa kalau makmum terdiri dari dua
orang maka yang satunya berdiri di
sebelah kanan Imam dan yang
lainnya di sebelah kirinya, maka hal itu
dibantah oleh Ibnu Sirin, seperti yang
diriwayatkan oleh Attahawi bahwa yang demikian itu hanya boleh
diamalkan, ketika shalat di tempat
yang sempit yang tidak cukup untuk
membuat shaf di belakang. Hadits di atas juga menjelaskan bahwa
makmum wanita mengambil posisi di
belakang laki-laki, sekali pun harus
bershaf sendirian. Dan dia tidak boleh
bershaf di samping laki-laki, apalagi di
depannya. Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-
buruknya adalah yang terakhir.
Sebaliknya bagi wanita, sebaik-baik
shaf baginya adalah yang terakhir dan
yang paling buruk adalah yang
pertama. (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Dan shaf yang paling afdhal
adalah di sebelah kanannya imam.
Dan dari situlah dimulainnya membuat
shaf baru, sebagaimana yang dikata-
kan oleh Barra’ bin ‘Azib dengan sanad yang shahih. Menyempurnakan
shaf terdepan adalah yang dilakukan
oleh para malaikat, ketika berbaris di
hadapan Allah. Di riwayatkan oleh Abu Dawud dari
Jabir bin Samurah ia berkata,
“Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Tidakkah kalian ingin berbaris, sebagaimana para
malaikat berbaris di hadapan Rabb
mereka.” Maka kami bertanya, “Bagaimanakah para malaikat berbaris di hadapan Rabb?” Beliau menjawab, “Mereka menyempurnakan barisan yang
depan dan saling merapat di dalam
shaf.” Dibolehkan seorang makmum shalat
di lantai dua dari masjid atau
dipisahkan dengan tembok atau
lainnya dari imam, selama dia
mendengar suara takbir imam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan, “Tidak mengapa kamu shalat berjamaah dengan imam, walaupun di
antara kamu dan imam ada sungai”. Ditambahkan oleh Abu Mijlaz, selama
mendengar takbirnya imam (Shahih
Al-Bukhari). Dan sebagian ulama juga
menyaratkan harus bersambungnya
shaf, namun hal ini masih
diperdebatkan di antara para ulama. Juga kisah qiyamuramadhan (shalat
tarawih), yang pertama kali yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam . Larangan Membuat Shaf Sendirian Seorang makmum dilarang membuat
shaf sendirian, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Wabishah bin
Mi’bad, bahwa Rasulullah melihat seseorang shalat di belakang shaf
sendirian, maka beliau
memerintahkan untuk mengulang
shalatnya (HR. Ahmad, Abu Daud,
Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu
Hibban). Dan pada riwayat Thalq bin Ali ada
tambahan, “Tidak ada shalat bagi orang yang bersendiri di belakang
shaf”. Walaupun demikian sebagian ulama’ tetap menyatakan sah shalat seorang yang berdiri sendiri dalam
satu shaf karena alasan hadits di atas
sanadnya mudltharib (simpang siur),
sebagai-mana yang dikatakan oleh
Ibnu Abdil Barr. Menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh
Al-Utsaimin, jika seseorang menjumpai
shaf yang sudah penuh, sementara ia
sendirian dan tidak ada yang
ditunggu, maka boleh baginya shalat
sendiri di belakang shaf itu. Karena apabila ada larangan berhada-pan
dengan kewajiban (jamaah bersama
imam, red), maka di dahulu-kan yang
wajib. Untuk menjaga keutuhan shaf boleh
saja seorang maju atau bergeser
ketika mendapatkan ada shaf yang
terputus. Sabda Nabi Shallallaahu
alaihi wa Sallam yang diriwayatkan
oleh Abu Juhaifah beliau bersabda, “Barangsiapa yang meme-nuhi celah yang ada pada shaf maka Allah akan
mengampuni dosanya.” (HR. Bazzar dengan sanad hasan). Tiada langkah paling baik melebihi
yang dilakukan oleh seorang untuk
menutupi celah di dalam shaf. Dan
semakin banyak teman dan shaf
dalam shalat berjamaah akan semakin
afdhal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda, Artinya “Shalat seorang bersama seorang lebih baik
daripada shalat sendirian dan
shalatnya bersama dua orang lebih
baik daripada shalatnya bersama
seorang. Dan bila lebih banyak maka
yang demikian lebih disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Muttafaq ‘Alaih). Dan ketika memasuki shaf untuk
shalat disunahkan untuk
melakukannya dengan tenang tidak
terburu-buru, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abi Bakrah,
bahwasanya ia shalat dan mendapati Nabi sedang ruku’ lalu dia ikut ruku’ sebelum sampai kepada shaf, maka
Nabi berkata kepadanya, Artinya
“Semoga Allah menambahkan kepadamu semangat (kemauan),
tetapi jangan kamu ulangi lagi.” (HR. Al Bukhari) dan dalam riwayat Abu Daud
ada tambahan: “Ia ruku’ sebelum sampai di shaf lalu dia berjalan menuju
shaf.”
Subscribe to:
Posts (Atom)