Takdir dan Nasib Didalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, nasib diartikan dengan
sesuatu yang ditentukan oleh Tuhan
atas diri seseorang; misalnya, nasib
membawanya terhempas di Jakarta.
Nasib baik (nasib mujur) adalah keberuntungan, misalnya ; ia selalu
memperoleh nasib baik di usahanya.
Nasib buruk adalah kemalangan,
misalnya; nasib buruk telah menimpa
keluarganya. Kata nasib sendiri berasal dari
bahasa arab yang berarti al hazzhu
min kulli syai’in (bagian dari segala sesuatu) bentuk pluralnya adalah
anshiba dan anshibah. Dari aspek
majaz : jika disebutkan lii nashiibun
minhu artinya kami mempunyai
bagian tertentu pada asalnya. An
nashib juga bermakna al haudhu yaitu bagian dari daerah tertentu di
bumi sebagaimana disebutkan al
Jauhari. (Lisanul Arab juz I hal 974,
Maktabah Syamilah) Dari kedua makna tersebut, nasib
bisa diartikan dengan bagian yang
diterima seseorang, baik itu berupa
kesenangan maupun kesusahan,
keuntungan maupun kerugian,
kebaikan maupun keburukan. Sedangkan takdir berasal dari kata al
qodr yang menurut syariat adalah
bahwasanya Allah swt mengetahui
ukuran-ukuran dan waktu-
waktunya sejak azali kemudian Dia
swt mewujudkannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya
sesuai dengan ilmu-Nya. Dan Dia swt
juga menetapkannya di Lauh
Mahfuzh sebelum menciptakannnya,
sebagaimana disebutkan didalam
hadits, ”Yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena. Dia swt
mengatakan kepadanya, ’Tulislah.’ Pena itu mengatakan, ’Apa yang aku tulis?’ Dia swt mengatakan, ’Tulislah segala sesuatu yang akan
terjadi.” (Syarhul aqidah al wasathiyah juz I hal 32, Maktabah
Syamilah) Tidak ada sesuatu pun yang terjadi
di alam ini—tidak hanya pada manusia—baik pada mahkluk hidup maupun benda mati, yang bergerak
maupun yang diam, yang kecil
maupun yang besar, yang ghaib
maupun yang nyata kecuali sudah
ditetapkan dan dituliskan oleh Allah
swt di Lauh Mahfuzh. Tidak satu pun daun yang rontok
dari dahannya, semut yang mati di
atas batu hitam, benda langit yang
hilang, kerikil yang berpindah
tempatnya, jumlah bayi yang terlahir
dan meninggal setiap detiknya kecuali itu semua berada dalam ilmu,
ketetapan, kehendak dan ciptaan
Allah swt. Adapun takdir yang terkait dengan
kehidupan manusia sebagaimana
disebutkan didalam sabda Rasulullah
saw,”..kemudian dia bertanya lagi, ’Beritahukan kepadaku tentang Iman.’ Nabi saw menjawab, ’Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rasul-Nya, hari akhir dan
beriman kepada takdir Allah yang
baik dan buruk.” (HR. Muslim) Artinya bahwa tidak ada sesuatu
pun yang terjadi pada manusia baik
perbuatan maupun perkataannya,
kesenangan maupun kesusahannya,
sehat maupun sakitnya, rezeki
maupun musibahnya, pahala maupun dosanya, hidup maupun
matinya, yang seluruhnya adalah
bagian dari kehidupannya kecuali
sudah diketahui dan ditetapkan
Allah swt serta sesuai dengan
kehendak dan ciptaan-Nya. Firman Allah swt, ﻲِﻓ ٍﺔَﺒﻴِﺼُّﻣ ﻦِﻣ َﺏﺎَﺻَﺃ ﺎَﻣ ﺎَّﻟِﺇ ْﻢُﻜِﺴُﻔﻧَﺃ ﻲِﻓ ﺎَﻟَﻭ ِﺽْﺭَﺄْﻟﺍ ﻥَﺃ ِﻞْﺒَﻗ ﻦِّﻣ ٍﺏﺎَﺘِﻛ ﻲِﻓ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ َﻚِﻟَﺫ َّﻥِﺇ ﺎَﻫَﺃَﺮْﺒَّﻧ ٌﺮﻴِﺴَﻳ ﴿ ٢٢ ﴾ ”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Hadid : 22) Dari definisi tentang nasib dan takdir
diatas, maka bisa disimpulkan
bahwa nasib pada umumnya
digunakan untuk bagian yang
diterima manusia baik berupa
kebaikan atau keburukan, kesenangan atau kesusahan.
Sedangkan takdir tidak hanya
mencakup hal-hal yang terjadi pada
manusia namun ia juga yang terjadi
pada seluruh makhluk lainnya di
alam ini sejak zaman azali dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh. Sehingga
nasib adalah bagian dari takdir. Apakah Bunuh Diri, Kecelakaan
Takdir Allah Swt Sebagaimana disebutkan diatas
tentang definisi dari takdir yang
mencakup ilmu, ketetapan,
kehendak dan ciptaan Allah swt.
Maka segala perbuatan dan
perkataan manusia tidaklah lepas dari keempat hal tersebut. Namun jangan kemudian diartikan
bahwa ketika seseorang memukul
orang lain, gagal dalam ujian,
menjadi penjahat, berbuat maksiat
atau bunuh diri kemudian dengan
mudah mengatakan bahwa itu semua adalah takdir Allah swt atas
dirinya. Ini tidaklah betul
berdasarkan dalil-dalil berikut : 1. Allah swt berfirman, ًﺔَّﻣُﺃ ْﻢُﻜَﻠَﻌَﺠَﻟ ُﻪّﻠﻟﺍ ﺀﺎَﺷ ْﻮَﻟَﻭ ﻦَﻣ ُّﻞِﻀُﻳ ﻦِﻜﻟَﻭ ًﺓَﺪِﺣﺍَﻭ ﺀﺎَﺸَﻳ ﻦَﻣ ﻱِﺪْﻬَﻳَﻭ ﺀﺎَﺸَﻳ ْﻢُﺘﻨُﻛ ﺎَّﻤَﻋ َّﻦُﻟَﺄْﺴُﺘَﻟَﻭ َﻥﻮُﻠَﻤْﻌَﺗ ﴿ ٩٣ ﴾ ”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu
umat (saja), tetapi Allah
menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya
tentang apa yang telah kamu
kerjakan.” (QS. An Nahl : 93) Makna al hidayah didalam Al Qur ’an mengandung pengertian ad dalalah
(menunjukan) dan al i’anah (pertolongan). Ad dalalah
(menunjukan) ini adalah bagi semua
orang baik mukmin maupun kafir
karena Allah swt menunjukkan
semua orang dengan manhaj-Nya,
mengutus Rasul-Nya yang membawa kitab-Nya namun karena
kecongkakan dan
kesombongannya maka mereka
lebih memilih kesesatan daripada
petunjuk, sebagaimana firman-Nya, ْﻢُﻫﺎَﻨْﻳَﺪَﻬَﻓ ُﺩﻮُﻤَﺛ ﺎَّﻣَﺃَﻭ ﻰَﻠَﻋ ﻰَﻤَﻌْﻟﺍ ﺍﻮُّﺒَﺤَﺘْﺳﺎَﻓ ُﺔَﻘِﻋﺎَﺻ ْﻢُﻬْﺗَﺬَﺧَﺄَﻓ ﻯَﺪُﻬْﻟﺍ ﺍﻮُﻧﺎَﻛ ﺎَﻤِﺑ ِﻥﻮُﻬْﻟﺍ ِﺏﺍَﺬَﻌْﻟﺍ َﻥﻮُﺒِﺴْﻜَﻳ ﴿ ١٧ ﴾ ”Dan Adapun kaum Tsamud, Maka mereka telah Kami beri petunjuk
tetapi mereka lebih menyukai buta
(kesesatan) daripada petunjuk, Maka
mereka disambar petir azab yang
menghinakan disebabkan apa yang
telah mereka kerjakan. ” (QS. Fushilat : 17} Sedangkan al ‘ianah (pertolongan) dan dorongan untuk melakukan
kebaikan adalah khusus buat orang
yang beriman kepada Allah,
mengikuti Rasul-Nya dan
menjalankan isi kitab-Nya maka
mereka mendapatkan petunjuk dari- Nya, ﻯًﺪُﻫ ْﻢُﻫَﺩﺍَﺯ ﺍْﻭَﺪَﺘْﻫﺍ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍَﻭ ْﻢُﻫﺍﻮْﻘَﺗ ْﻢُﻫﺎَﺗﺁَﻭ ﴿ ١٧ ﴾ ”Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah
menambah petunjuk kepada mereka
dan memberikan Balasan
ketaqwaannya.” (QS. Muhammad : 17) 2. Kehendak (masyi’ah) Allah didalam menunjukkan atau
menyesatkan seseorang adalah
muthlaq, tidak dipertanyakan apa
yang Dia swt perbuat. Namun Allah
juga bersifat Adil, maka tidak
mungkin Allah menyesatkan orang yang berhak mendapatkan petunjuk
atau sebaliknya, firman-Nya, ِﻪِﺴْﻔَﻨِﻠَﻓ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ َﻞِﻤَﻋ ْﻦَﻣ َﻚُّﺑَﺭ ﺎَﻣَﻭ ﺎَﻬْﻴَﻠَﻌَﻓ ﺀﺎَﺳَﺃ ْﻦَﻣَﻭ ِﺪﻴِﺒَﻌْﻠِّﻟ ٍﻡﺎَّﻠَﻈِﺑ ﴿ ٤٦ ﴾ ”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya)
untuk dirinya sendiri dan
Barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, Maka (dosanya)
untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali
tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushilat : 46) 3. Allah swt mengetahui bahwa
hamba-hamba-Nya akan memilih
dan melakukan sesuatu dan ketika
Dia swt menulis di Lauh Mahfuzh apa
yang akan dipilih dan dilakukannya,
maka Allah dalam menulis ini, hanya berdasarkan kepada ilmu-Nya yang
meliputi dan menyeluruh. Ilmu Allah
tidak pernah berubah. Ilmu Allah
hanya mempunyai sifat inkisyaf
(menyingkap) terhadap sesuatu
yang telah lalu, saat ini dan akan datang. Ilmu Allah tidak memiliki sifat
ijbar (memaksa) dan ta’tsir (mempengaruhi) sebagaimana
halnya kemampuan dan kehendak-
Nya. Jadi Allah mengetahui secara
azali tentang hamba-Nya, bahwa ia
akan memilih jalan kekufuran dan
akan mati dalam kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya memiliki sifat
inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan
ta’tsir. 4. Setiap orang yang bertakwa
maupun tidak bertakwa mempunyai
kemampuan ikhtiar dan kebebasan
ikhtiar. Allah swt memberikan
mereka akal untuk bisa
membedakan mana yang baik maupun buruk bagi dirinya.
Kemudian manusia pun diberikan
kebebasan berikhtiar manakah jalan
yang dipilihnya; jalan yang baik atau
yang buruk, ketaatan atau
kemaksiatan dan apabila ini telah terwujud maka berarti telah berlaku
tuntutan pertanggung-jawaban atau
dasar diberlakukannya pembalasan
dengan pahala atau siksa. Diantara bukti kebebasan ikhtiar ini
adalah perasaan ingin bebas
melaksanakan shalat atau
meninggalkannya, membayar zakat
atau tidak. Firman Allah swt, ﻰَﻐَﻃ ﻦَﻣ ﺎَّﻣَﺄَﻓ ﴿ ٣٧ ﴾ َﺮَﺛﺁَﻭ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ َﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍ ﴿ ٣٨ ﴾ َّﻥِﺈَﻓ َﻲِﻫ َﻢﻴِﺤَﺠْﻟﺍ ﻯَﻭْﺄَﻤْﻟﺍ ﴿ ٣٩ ﴾ ْﻦَﻣ ﺎَّﻣَﺃَﻭ ﻰَﻬَﻧَﻭ ِﻪِّﺑَﺭ َﻡﺎَﻘَﻣ َﻑﺎَﺧ ِﻦَﻋ َﺲْﻔَّﻨﻟﺍ ﻯَﻮَﻬْﻟﺍ ﴿ ٤٠ ﴾ َﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ َّﻥِﺈَﻓ ﻯَﻭْﺄَﻤْﻟﺍ َﻲِﻫ ﴿ ٤١ ﴾ ”Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, Maka
Sesungguhnya nerakalah tempat
tinggal(nya). dan Adapun orang-
orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka
Sesungguhnya syurgalah tempat
tinggal(nya).” (QS. An Nazi’aat : 37 – 41) Manusia tidak akan berdosa atau
dihisab bahkan tidak akan disiksa
terhadap sesuatu yang dia tidak
memiliki pilihan didalamnya, seperti
lupa, dipaksa atau keadaan darurat,
sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah swt telah membebaskan umatku karena
keliru, lupa dan mereka yang
dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi) (Disarikan dari buku
Jawaban Tuntas Masalah Taqdir, DR.
Abdullah Nashih ‘Ulwan) Jadi ketika seorang bunuh diri,
meninggal karena suatu kecelakaan
atau jihad di jalan Allah maka segala
yang tekait dengan perbuatannya itu
sudah diketahui Allah swt dan sudah
dituliskan di Lauh Mahfuzh namun pengetahuan Allah swt ini hanya
bersifat inkisyaf (menyingkap) dan
ilmu-Nya tidaklah bersifat ijbari
(memaksa) dan tatsir
(mempengaruhi). Bukti dari keadilan Allah kepadanya
adalah dengan diberikannya akal
untuk mampu mempertimbangkan
segala efek dari bunuh dirinya itu
atau berjihad dijalan Allah baik dari
sudut pandang agama maupun yang lainnya. Setelah itu ia diberikan
kebebasan menentukan pilihannya
apakah dia meneruskan niatnya
dengan menusukkan pisau ke
perutnya sendiri, menyerang
sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun padahal kondisi tidaklah
memaksa mujahid itu untuk
melakukannya ataukah dia
mengurungkan niatnya tersebut,
bersabar dan mencari solusi yang
diridhoi Allah swt. Apabila dia mengambil pilihan untuk
menusukan pisau ke perutnya
sendiri, meyerang sendirian pasukan
musuh tanpa satu senjata pun
sehingga dia meninggal dunia dan
ketika perbuatan itu terjadi maka ia bertanggung jawab atas
perbuatannya tersebut. Dan terhadap sesuatu yang dimana
manusia tidak memiliki pilihan
atasnya maka dia tidaklah berdosa,
seperti ketika seseorang yang
tengah mengendarai sebuah mobil
secara wajar di sebuah dataran tinggi namun secara tiba-tiba jalan
yang dilaluinya longsor dan ia pun
terhempas ke jurang dan meninggal
dunia. Kalaulah masih ada yang
mengatakan bahwa bunuh diri
dengan pisau atau mati dengan cara
menyerang pasukan musuh
sendirian adalah takdir Allah semata
maka bagaimana pendapatnya jika datang seseorang mendekatinya
dan menampar pipinya kemudian
orang yang menampar itu dengan
mudah mengatakan
kepadanya,”maaf itu semua adalah takdir Allah. ” maka apakah ia akan menerimanya?!! Atau bagaimana pendapatnya jika
orang itu diminta untuk setiap
harinya menetap di rumah saja,
menutup pintu, tidak usah bekerja
dan berusaha hanya menanti rezeki
yang datang ke rumah maka bisakah anak istrinya kenyang,
terpenuhi kebutuhan sandang
pangannya?!! Atau seandainya dia seorang
pemuda dewasa yang belum
memiliki keahlian kerja sama sekali
sementara dia butuh pekerjaan
maka apakah dia akan berpangku
tangan, berdiam diri dan tidak berusaha keras menajamkan
keahliannya sampai pekerjaan yang
diinginkannya datang
menjemputnya?!! Wallahu A’lam
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah /9: 105).
Nonton iklan bentar ya...!!!
Monday, 16 May 2011
apakah ada dasarhukummnya dalam Syariat Islamseorang suami memakai CincinKawin? Apakah Cincin Kawin (TukarCincin seteleh ijab-Qobul) itu juga Syariat Islam?
Pernikahan didalam islam adalah
ibadah dan sebagaimana ibadah-
ibadah lainnya maka ia haruslah
memenuhi dua rukunnya. Pertama :
Ikhlas semata-mata karena Allah
swt. Kedua : Mengikuti sunah Rasulullah saw. Dua hal inilah yang
dimaksud dengan amal yang terbaik
didalam firman Allah swt, َﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍَﻭ َﺕْﻮَﻤْﻟﺍ َﻖَﻠَﺧ ﻱِﺬَّﻟﺍ ﺎًﻠَﻤَﻋ ُﻦَﺴْﺣَﺃ ْﻢُﻜُّﻳَﺃ ْﻢُﻛَﻮُﻠْﺒَﻴِﻟ ُﺭﻮُﻔَﻐْﻟﺍ ُﺰﻳِﺰَﻌْﻟﺍ َﻮُﻫَﻭ ﴿ ٢ ﴾ ”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik
amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun,” (QS. Al Mulk : 2) Rasulullah saw meminta kepada
setiap umatnya untuk mengambil
segala sesuatu yang berasal darinya
didalam setiap ibadahnya sebagai
bukti kecintaan mereka terhadapnya
saw. Siapa saja dari umatnya yang mencintai beliau saw maka dia kelak
bersama Rasulullah saw di surga. Ketika seorang muslim tidak
mengambil sunnahnya dan justru
mengambil cara-cara yang bukan
berasal darinya, baik secara sadar
atau tidak sadar maka dia telah
menganggap apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya tidaklah lebih
baik darinya. Firman Allah swt, َﻥﻮُﻐْﺒَﻳ ِﺔَّﻴِﻠِﻫﺎَﺠْﻟﺍ َﻢْﻜُﺤَﻓَﺃ ﺎًﻤْﻜُﺣ ِﻪّﻠﻟﺍ َﻦِﻣ ُﻦَﺴْﺣَﺃ ْﻦَﻣَﻭ َﻥﻮُﻨِﻗﻮُﻳ ٍﻡْﻮَﻘِّﻟ ﴿ ٥٠ ﴾ ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin ?(QS. Al Maidah : 50) Didalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Anas ra
bahwasanya ada beberapa orang
dari sahabat mendatangi Nabi saw
sebagian mereka mengatakan,”Aku tidak akan menikahi wanita. ’ Sebagian lagi mengatakan,’Aku tidak akan makan daging.’ Dan sebagian lagi mengatakan,’Aku tidak akan tidur diatas tikar.’ Sebagian lagi mengatakan,’Aku akan puasa dan tidak berbuka.’ Maka berita itu sampai ke Rasulullah saw kemudian
bersabda,’Celakalah kaum yang mengatakan ini dan itu,
sesungguhnya aku mengerjakan
shalat, aku berpuasa dan berbuka
dan aku menikahi para wanita. Dan
barangsiapa yang tidak suka
dengan sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhori Muslim) Adapun mengenai cincin
perkawinan yang sudah menjadi
kebiasaan bahkan cenderung
dianggap sebagai hal yang
mendasar didalam suatu acara
tunangan atau pernikahan maka sesungguhnya bukanlah berasal
dari islam. Penggunaan cincin didalam acara
perkawainan ini sudah berlangsung
sejak berabad-abad lalu yang
merupakan tradisi didalam agama
Yunani dan Romawi kuno yang
dianggap sebagai simbol cinta kasih antara laki-laki dan perempuan.
Cincin ini kemudian diadopsi dan
dikembangkan di eropa (barat) dari
mulai model hingga bahan
pembuatannya. Oleh orang-orang Eropa cincin ini
pernah dimodifikasi menjadi bentuk-
bentuk lainnya seperti kunci dan
piramida. Adapun bahan
pembuatannya juga mengalami
perkembangan dari sekedar lempeng besi menjadi kuningan dan
perunggu. Sedangkan para
bangsawan dan raja-raja di Eropa
menggunakan berlian sebagai
bahan pembuatan cincin. Dan
akhirnya yang berkembang dan menyebar di masyarakat dunia pada
umumnya adalah cincin yang terbuat
dari emas atau platinum. Ada yang mengatakan bahwa
pengenaan cincin perkawinan di jari
manis adalah kebiasaan orang-
orang Cina dengan keyakinan
bahwa ibu jari adalah sebagai simbol
orang tua, telunjuk adalah simbol kakak dan adik, kelingking adalah
simbol anak-anak sedang jari manis
adalah simbol suami istri yang akan
selalu bersatu selama hidup. Kesimpulan ini mereka ambil dengan
cara yang sangat sederhana yaitu,
apabila kedua telapak tangan
seseorang dibuka dan jari-jemari
yang ada ditangan kanan
disentuhkan dengan jari-jemari yang ada di tangan kiri (ibu jari bertemu
dengan ibu jari, telunjuk bertemu
dengan telunjuk begitu seterusnya
kecuali kedua jari tengah yang
dilipat bersentuhan) dan jika jari-
jemari itu satu-persatu diangkat dan ditutup kembali maka semua jari bisa
melakukannya kecuali jari manis. Nah.. semua jari yang bisa diangkat
dan ditutup kembali itu diartikan
sebagai simbol untuk orang-orang
sekelilingnya yang akan pergi
sedangkan jari yang tidak bisa
diangkat (jari manis) adalah simbol untuk suami istri yang akan
langgeng selamanya. Jadi penggunaan cincin didalam
suatu acara perkawinan bukanlah
berasal dari islam. Dan Rasulullah
saw bersabda,”Siapa yang meniru- niru suatu kaum maka ia termasuk
golongan kaum itu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Islam memiliki ciri dan karakteristik
tersendiri yang berbeda dengan
agama dan budaya selainnya.
Karakteristik dan ciri islam adalah
karakteristik ilahiyah yang
senantiasa mengingatkannya akan kemuliaan Sang Penciptanya.
Karakteristik yang tidak
membuatnya lalai dari mengingat
Allah swt sehingga ia dinilai sebagai
suatu ibadah dan mendapatkan
pahala dari Allah swt. Kalau seandainya mereka yang
mengatakan bahwa penggunaan
cincin dalam perkawinan juga
berasal dari islam berdasarkan hadits
Rasulullah saw kepada salah
seorang sahabatnya,”Berikanlah mahar, meskipun hanya sebuah
cincin besi,” , (HR. Bukhori) maka tidaklah tepat karena hadits ini
berkaitan dengan mahar seorang
yang ingin menikah. Imam Bukhori memasukan hadits ini
kedalam Bab Mahar dengan Barang
dan Cincin Besi. Artinya bahwa
seseorang yang ingin menikah
sedang ia tidak memiliki kemampuan
dalam menyediakan maharnya maka ia diperbolehkan memberikan mahar
walaupun hanya berupa cincin besi
atau sesuatu yang tidak seberapa
harganya. Wallahu A’lam
ibadah dan sebagaimana ibadah-
ibadah lainnya maka ia haruslah
memenuhi dua rukunnya. Pertama :
Ikhlas semata-mata karena Allah
swt. Kedua : Mengikuti sunah Rasulullah saw. Dua hal inilah yang
dimaksud dengan amal yang terbaik
didalam firman Allah swt, َﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍَﻭ َﺕْﻮَﻤْﻟﺍ َﻖَﻠَﺧ ﻱِﺬَّﻟﺍ ﺎًﻠَﻤَﻋ ُﻦَﺴْﺣَﺃ ْﻢُﻜُّﻳَﺃ ْﻢُﻛَﻮُﻠْﺒَﻴِﻟ ُﺭﻮُﻔَﻐْﻟﺍ ُﺰﻳِﺰَﻌْﻟﺍ َﻮُﻫَﻭ ﴿ ٢ ﴾ ”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik
amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun,” (QS. Al Mulk : 2) Rasulullah saw meminta kepada
setiap umatnya untuk mengambil
segala sesuatu yang berasal darinya
didalam setiap ibadahnya sebagai
bukti kecintaan mereka terhadapnya
saw. Siapa saja dari umatnya yang mencintai beliau saw maka dia kelak
bersama Rasulullah saw di surga. Ketika seorang muslim tidak
mengambil sunnahnya dan justru
mengambil cara-cara yang bukan
berasal darinya, baik secara sadar
atau tidak sadar maka dia telah
menganggap apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya tidaklah lebih
baik darinya. Firman Allah swt, َﻥﻮُﻐْﺒَﻳ ِﺔَّﻴِﻠِﻫﺎَﺠْﻟﺍ َﻢْﻜُﺤَﻓَﺃ ﺎًﻤْﻜُﺣ ِﻪّﻠﻟﺍ َﻦِﻣ ُﻦَﺴْﺣَﺃ ْﻦَﻣَﻭ َﻥﻮُﻨِﻗﻮُﻳ ٍﻡْﻮَﻘِّﻟ ﴿ ٥٠ ﴾ ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin ?(QS. Al Maidah : 50) Didalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Anas ra
bahwasanya ada beberapa orang
dari sahabat mendatangi Nabi saw
sebagian mereka mengatakan,”Aku tidak akan menikahi wanita. ’ Sebagian lagi mengatakan,’Aku tidak akan makan daging.’ Dan sebagian lagi mengatakan,’Aku tidak akan tidur diatas tikar.’ Sebagian lagi mengatakan,’Aku akan puasa dan tidak berbuka.’ Maka berita itu sampai ke Rasulullah saw kemudian
bersabda,’Celakalah kaum yang mengatakan ini dan itu,
sesungguhnya aku mengerjakan
shalat, aku berpuasa dan berbuka
dan aku menikahi para wanita. Dan
barangsiapa yang tidak suka
dengan sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhori Muslim) Adapun mengenai cincin
perkawinan yang sudah menjadi
kebiasaan bahkan cenderung
dianggap sebagai hal yang
mendasar didalam suatu acara
tunangan atau pernikahan maka sesungguhnya bukanlah berasal
dari islam. Penggunaan cincin didalam acara
perkawainan ini sudah berlangsung
sejak berabad-abad lalu yang
merupakan tradisi didalam agama
Yunani dan Romawi kuno yang
dianggap sebagai simbol cinta kasih antara laki-laki dan perempuan.
Cincin ini kemudian diadopsi dan
dikembangkan di eropa (barat) dari
mulai model hingga bahan
pembuatannya. Oleh orang-orang Eropa cincin ini
pernah dimodifikasi menjadi bentuk-
bentuk lainnya seperti kunci dan
piramida. Adapun bahan
pembuatannya juga mengalami
perkembangan dari sekedar lempeng besi menjadi kuningan dan
perunggu. Sedangkan para
bangsawan dan raja-raja di Eropa
menggunakan berlian sebagai
bahan pembuatan cincin. Dan
akhirnya yang berkembang dan menyebar di masyarakat dunia pada
umumnya adalah cincin yang terbuat
dari emas atau platinum. Ada yang mengatakan bahwa
pengenaan cincin perkawinan di jari
manis adalah kebiasaan orang-
orang Cina dengan keyakinan
bahwa ibu jari adalah sebagai simbol
orang tua, telunjuk adalah simbol kakak dan adik, kelingking adalah
simbol anak-anak sedang jari manis
adalah simbol suami istri yang akan
selalu bersatu selama hidup. Kesimpulan ini mereka ambil dengan
cara yang sangat sederhana yaitu,
apabila kedua telapak tangan
seseorang dibuka dan jari-jemari
yang ada ditangan kanan
disentuhkan dengan jari-jemari yang ada di tangan kiri (ibu jari bertemu
dengan ibu jari, telunjuk bertemu
dengan telunjuk begitu seterusnya
kecuali kedua jari tengah yang
dilipat bersentuhan) dan jika jari-
jemari itu satu-persatu diangkat dan ditutup kembali maka semua jari bisa
melakukannya kecuali jari manis. Nah.. semua jari yang bisa diangkat
dan ditutup kembali itu diartikan
sebagai simbol untuk orang-orang
sekelilingnya yang akan pergi
sedangkan jari yang tidak bisa
diangkat (jari manis) adalah simbol untuk suami istri yang akan
langgeng selamanya. Jadi penggunaan cincin didalam
suatu acara perkawinan bukanlah
berasal dari islam. Dan Rasulullah
saw bersabda,”Siapa yang meniru- niru suatu kaum maka ia termasuk
golongan kaum itu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Islam memiliki ciri dan karakteristik
tersendiri yang berbeda dengan
agama dan budaya selainnya.
Karakteristik dan ciri islam adalah
karakteristik ilahiyah yang
senantiasa mengingatkannya akan kemuliaan Sang Penciptanya.
Karakteristik yang tidak
membuatnya lalai dari mengingat
Allah swt sehingga ia dinilai sebagai
suatu ibadah dan mendapatkan
pahala dari Allah swt. Kalau seandainya mereka yang
mengatakan bahwa penggunaan
cincin dalam perkawinan juga
berasal dari islam berdasarkan hadits
Rasulullah saw kepada salah
seorang sahabatnya,”Berikanlah mahar, meskipun hanya sebuah
cincin besi,” , (HR. Bukhori) maka tidaklah tepat karena hadits ini
berkaitan dengan mahar seorang
yang ingin menikah. Imam Bukhori memasukan hadits ini
kedalam Bab Mahar dengan Barang
dan Cincin Besi. Artinya bahwa
seseorang yang ingin menikah
sedang ia tidak memiliki kemampuan
dalam menyediakan maharnya maka ia diperbolehkan memberikan mahar
walaupun hanya berupa cincin besi
atau sesuatu yang tidak seberapa
harganya. Wallahu A’lam
Subscribe to:
Posts (Atom)