Sunday, 26 June 2011

KISAH CINTA SYAIDINA ALI DAN SITI FATHIMAH AZ-ZAHRA.R.A•

rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib
kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang
adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan
kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu
hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi
perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka
dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia
tempelkan ke luka untuk menghentikan darah
ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata
gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka
gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju
Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan
tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang
itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan! ‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika
suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling
akrab dan paling dekat kedudukannya dengan
Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan
harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu
Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu. ”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu
Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih
utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat
dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr
menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya. Lihatlah juga
bagaimana Abu Bakr berda ’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar
Makkah yang masuk Islam karena sentuhan
Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak
kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan
para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab,
keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa
membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau
mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata
Allah menumbuhkan kembali tunas harap di
hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr
ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya
belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki
lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki
yang sejak masuk Islamnya membuat kaum
Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari
takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga
datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun
setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang
menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar
pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua
pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada
kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi
berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi
ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh
yang frustasi karena tak menemukan beliau
Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di
siang hari dia mencari bayang-bayang
gundukan bukit pasir. Menanti dan
bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke
atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung
tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam
pandangan orang banyak, dia pemuda yang
belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah
binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah
keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini
pengorbanan. Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki
Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah,
dua menantu Rasulullah itu sungguh
membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara
Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk
mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat
itu? ”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya
firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu
Baginda Nabi.. ” ”Aku ?”, tanyanya tak yakin. ”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan ?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah
menolongmu!” ’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri,
disampaikannya keinginannya untuk menikahi
Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi
tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya
ada satu set baju besi di sana ditambah
persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk
bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah
menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala
dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah
Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa
maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit
untuk bisa dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi
pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak
sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada
menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati
sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu
menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..” ”Apa maksudmu?” ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” ”Dasar kamu!!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau
mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya.
Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa
Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan
baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi
berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu
hutang. Dengan keberanian untuk
mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk
menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-
nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali !” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak
pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua
adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang
juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam
suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari
(setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh
cinta pada seorang pemuda ” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu ?” Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah
puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka
saksikanlah sesungguhnya aku telah
menikahkannya dengan maskawin empat ratus
Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha
(menerima) mahar tersebut.” Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan
kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)

cerita buku polos

Lembaran kertas putih merasa tak
nyaman ketika baru saja keluar dari
pabrik. Ia merasa bingung dengan
kenyataan dirinya. Tidak ada garis,
tulisan, atau warna apa pun kecuali
putih. Tapi, wujudnya berbentuk buku seperti yang lain. “Kok aku beda ?” tanya si buku polos ke lembaran buku tulis yang lain.
“Beda?” sergah salah satu buku tulis bergaris. “Iya. Coba perhatikan, kamu tercetak dengan garis-garis teratur.
Ada yang kotak-kotak. Yang lainnya
lagi bahkan ada yang tertulis dengan
huruf berwarna disertai kartun lucu,” ucap buku polos bersemangat.
“Sementara aku? Boro-boro kartun lucu, satu garis pun tak ada yang
hinggap!” tambah si buku polos menggugat. “Jadi, kamu tak terima?” tanya buku bergaris teratur, lembut. “Tentu saja! Ini tidak adil!” sergah si buku polos begitu spontan. Semua terdiam. Semua jenis buku tulis
mulai ambil jarak dengan buku polos.
Mereka khawatir kalau ketidakpuasan
bukan sekadar gugatan, tapi berubah
jadi tindakan. Hingga... Seorang anak manusia mengambil
buku polos dengan tangan kecilnya.
Lembaran buku tak bergaris dan
berwarna itu pun dipandangi sang
anak begitu tajam. Entah apa yang
dilakukan, beberapa menit kemudian, buku polos itu tak lagi putih sepi. Ia
sudah berubah menjadi halaman
penuh warna. Ada goresan merah,
hijau, biru, kuning, dan berbagai
perpaduan warna lain. Ketika buku itu ditinggalkan sang
anak, beberapa buku lain datang
menghampiri. Semua terperanjat.
Karena lembaran yang semula polos,
kini berubah menjadi bentuk lukisan
penuh warna. “Aih indahnya!” gumam semua buku tulis begitu kagum. Saat itulah, sang buku polos sadar.
Selama ini, ia salah. Kepolosannya
tanpa garis bukan bentuk penghinaan
terhadap dirinya. Bukan juga
ketidakadilan. Tapi, karena ia akan
menjadi wadah berbagai goresan warna seni yang akan membentuk
karya indah. “Ah, aku ternyata buku gambar!” ucap si buku polos akhirnya. ** ... Sahabat, Hidup ini penuh warna.
Hampir tak ada yang sama pada
ciptaan Allah. Walaupun, masih sama-
sama manusia. Ada yang kaya, cukup,
dan kurang. Ada yang cantik, tampan;
ada pula yang biasa saja. Ada yang berhasil dan sukses, tidak sedikit yang
merasa gagal. Tidak jarang, seorang anak manusia
mengambil pandangan dari sudut yang
sempit. Bahwa, kegagalan adalah
sebuah ketidakberdayaan. Bahwa,
belum tampaknya peluang-peluang
berkarya adalah ketidakadilan. Hingga, jauhnya jodoh buat para lajang
merupakan sebuah hukuman. Cermati dan pelajari. Karena boleh jadi,
di balik kegagalan ada rahasia
kesuksesan. Di balik sempitnya
peluang, ada ujian kemampuan. Di
balik lajang yang berkepanjangan, ada
pendidikan kemandirian. Dan di balik kertas polos, ada peluang warna-warni
keindahan goresan kehidupan. Terimakasih telah membaca