Nonton iklan bentar ya...!!!

Monday, 27 June 2011

Hukum Menikah DenganPasangan Zina

I. Zina Yang Semakin Sering Terjadi Seringkali kita dapati di masa
sekarang ini pasangan muda yang
melakukan zina. Barangkali mereka
tidak berniat pada awalnya untuk
berzina. Namun karena keteldoran
dan tidak mengindahkan larangan untuk berkhalwat dan seterunya,
maka mereka menjadi sasaran empuk
jerat syetan sehingga tanpa disadari
terjerumuslah mereka ke zina yang
diahramkan. Faktanya, berbagai penelitian
menunjukkan bahwa banyak remaja,
pada usia dini sudah terjebak dalam
perilaku reproduksi tidak sehat,
diantaranya adalah seks pra nikah.
Dari data-data yang ada menunjukkan: 1. Antara 10 -31% (N=300 di setiap
kota) remaja yang belum menikah di
12 kota besar di Indonesia
menyatakan pernah melakukan
hubungan seks (YKB,1993). 2. 27% remaja laki-laki dan 9% remaja
perempuan di Medan (15-24 tahun)
mengatakan sudah pernah
melakukan hubungan seksual
(Situmorang, 2001) 3. 75 dan 100 remaja yang belum
menikah di Lampung dilaporkan
sudah pernah melakukan hubungan
seks (studi PKBI, tahun 1997) 4. Di Denpasar Bali, dari 633 pelajar
SLTA kelas II, sebanyak 23,4% (155
remaja) mempunyai pengalaman
hubungan seks, 27% putra dan 18%
putri (Pangkahila, Wempie, Kompas,
19/09/1996) Ada pergeseran nilai mengenai
hubungan seksual sebelum nikah. Hal
ini utamanya terjadi pada kaum
perempuan. Bila sebelumnya ada
anggapan bahwa hubungan seksual
hanya dilakukan jika ada hubungan emosional yang dalam dengan lawan
jenis, namun saat kini kondisi tersebut
telah berubah. Hasil penelitian Shali
dan Zeinik (Dusek, 1996)
menunjukkan baliwa 79,1% kaun
perempuan (usia antara 15-19 tahun) setuju dilakukannya hubungan
seksual walaupun tidak ada rencana
untuk menikah; 54,7% setuju hanya
bila ada rencana menikah; dan 10,7%
tidak setuju adanya hubungan
seksual sebelum menikah. Namun demikian, perilaku seksual
remaja sebenarnya tidak hanya
terbatas pada jenis hubungan seksual
sebelum nikah, tetapi perilaku seksual
yang lain, misalnya petting (90%
remaja terlibat pada “light” petting, 80% remaja terilbat pada “heavy” petting); dan masturbasi,
menunjukkan frekuensi yang tinggi
pula. II. Haramnya Aborsi Pilihan yang paling konyol adalah
mengaborsi anak yang terlanjur
tumbuh dalam janin. Padahal aborsi ini
selain dilaknat Allah dan agama, juga
sangat beresiko besar kepada
keselamatan seorang wanita. Selain itu praktek aborsi adalah
pelangaran hukum dimana bila ada
seseorang ikut membantu proses
aborsi di luar nikah yang syah, bisa
dijerat dengan hukum. (silahkan baca
mata kuliah Fiqih Kontemporer pada judul Hukum Aborsi). III. Hukum Menikahi Pasangan Zina Pilihan lainnya adalah menikahi
pasangan zina yang terlanjur hamil itu.
Namun bagaimana hukumnya dari
sudut pandang syariah ? Bolehkah
menikahi wanita yang telah dizinai ? Ada sebuah ayat yang kemudian
dipahami secara berbeda oleh para
ulama. Meski pun jumhur ulama
memahami bahwa ayat ini bukan
pengharaman untuk menikahi wanita
yang pernah berzina. Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas oran-orang yang
mu`min. (QS. An-Nur : 3) Lebih lanjut perbedaan pendapat itu
adalah sbb : 1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa
yang dipahami dari ayat tersebut
bukanlah mengharamkan untuk
menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan
menikahi wanita yang pezina
sekalipun. Lalu bagaimana dengan
lafaz ayat yang zahirnya
mengharamkan itu ? Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam
hal ini. Dalam hal ini mereka
mengatakan bahwa lafaz `hurrima`
atau diharamkan di dalam ayat itu
bukanlah pengharaman namun tanzih
(dibenci). Selain itu mereka beralasan bahwa
kalaulah memang diharamkan, maka
lebih kepada kasus yang khusus saat
ayat itu diturunkan. Mereka mengatakan bahwa ayat itu
telah dibatalkan ketentuan hukumnya
(dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu : Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi
Maha Mengetahui. (QS> An-Nur : 32). Pendapat ini juga merupakan
pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra
dan Umar bin Al-Khattab ra dan
fuqaha umumnya. Mereka
membolehkan seseorang untuk
menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah
mengharamkan dirinya dari menikah
secara syah. Pendapat mereka ini dikuatkan
dengan hadits berikut : Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW
pernah ditanya tentang seseorang
yang berzina dengan seorang wanita
dan berniat untuk menikahinya, lalu
beliau bersabda,`Awalnya perbuatan
kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa
mengharamkan yang halal`. (HR.
Tabarany dan Daruquthuny). Juga dengan hadits berikut ini : Seseorang bertanya kepada
Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang
yang suka berzina`. Beliau
menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku
takut memberatkan diriku`. `Kalau
begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i) 2. Pendapat Yang Mengharamkan Meski demkikian, memang ada juga
pendapat yang mengharamkan total
untuk menikahi wanita yang pernah
berzina. Paling tidak tercatat ada
Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra`
dan Ibnu Mas`ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang
menzinai wanita maka dia diharamkan
untuk menikahinya. Begitu juga
seorang wanita yang pernah berzina
dengan laki-laki lain, maka dia
diharamkan untuk dinikahi oleh laki- laki yang baik (bukan pezina). Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan
bahwa bila seorang istri berzina, maka
wajiblah pasangan itu diceraikan.
Begitu juga bila yang berzina adalah
pihak suami. Tentu saja dalil mereka
adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3). Selain itu mereka juga berdalil dengan
hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak
punya rasa cemburu bila istrinya
serong dan tetap menjadikannya
sebagai istri. Dari Ammar bin Yasir bahwa
Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan
masuk surga suami yang dayyuts`.
(HR. Abu Daud) 3. Pendapat Pertengahan Sedangkan pendapat yang
pertengahan adalah pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal. Beliau
mengharamkan seseorang menikah
dengan wanita yang masih suka
berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka
nikahnya tidak syah. Namun bila wanita itu sudah berhenti
dari dosanya dan bertaubat, maka
tidak ada larangan untuk
menikahinya. Dan bila mereka
menikah, maka nikahnya syah secara
syar`i. Nampaknya pendapat ini agak
menengah dan sesuai dengan asas
prikemanusiaan. Karena seseroang
yang sudah bertaubat berhak untuk
bisa hidup normal dan mendapatkan
pasangan yang baik

Pengertian zina dan hukumnya..

1.
PENGERTIAN
ZINA Dalam
al-
Mu’jamul Wasith
hal
403
disebutkan,
“Zina ialah seseorang bercampur dengan seorang wanita tanpa melalui akad yang sesuai dengan syar’i.” 2. HUKUM ZINA Zina adalah haram hukumnya, dan ia termasuk dosa besar yang paling besar. Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Israa’: 32) Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata: Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “(Ya Rasulullah), dosa apa yang paling besar?” Jawab Beliau, “Yaitu engkau mengangkat tuhan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” Lalu saya bertanya (lagi), “Kemudian apa lagi?” Jawab Beliau, “Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia makan denganmu.” Kemudian saya bertanya (lagi). “Lalu apa lagi?” Jawab Beliau, “Engkau berzina dengan isteri tetanggamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 114 No. 6811, Muslim I: 90 No. 86, ‘Aunul Ma’bud VI: 422 No. 2293 No. Tirmidzi V: 17 No. 3232). Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Furqaan: 68-70). Dalam hadist Sumarah bin Jundab yang panjang tentang mimpi Nabi saw, Beliau saw bersabda: “Kemudian kami berjalan dan sampai kepada suatu bangunan serupa tungku api dan di situ kedengaran suara hiruk-pikuk. Lalu kami tengok ke dalam, ternyata di situ ada beberapa laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat. Dari bawah mereka datang kobaran api dan apabila kena nyala api itu, mereka memekik. Aku bertanya, “Siapakah orang itu” Jawabnya, “Adapun sejumlah laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat yang berada di dalam bangunan serupa tungku api itu adalah para pezina laki-laki dan perempuan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3462 dan Fathul Bari XII: 438 no: 7047). Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba berzina tatkala ia sebagai seorang mu’min; dan tidaklah ia mencuri, manakala tatkala ia mencuri sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia meneguk arak ketikaia meneguknya sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia membunuh (orang tak berdosa), manakala ia membunuh sebagai seorang beriman.” Dalam lanjutan riwayat di atas disebutkan: Ikrimah berkata, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Bagaimana cara tercabutnya iman darinya?’ Jawab Ibnu Abbas: ‘Begini –ia mencengkeram tangan kanan pada tangan kirinya dan sebaliknya, kemudian ia melepas lagi–, lalu manakala dia bertaubat, maka iman kembali (lagi) kepadanya begini –ia mencengkeramkan tangan kanan pada tangan kirinya (lagi) dan sebaliknya-.’” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7708, Fathul Bari XII: 114 no: 6809 dan Nasa’i VIII: 63). 3. KLASIFIKASI ORANG BERZINA Orang yang berzina adakalanya bikr atau ghairu muhshan (Perawan atau lajang (untuk perempuan) dan perjaka atau bujang (untuk laki-laki)), atau adakalanya muhshan (orang yang sudah beristeri atau bersuami). Jika yang berzina adalah orang merdeka, muhshan, mukallaf dan tanpa paksaan dari siapa pun, maka hukumannya adalah harus dirajam hingga mati. Muhshan ialah orang yang pernah melakukan jima’ melalui akad nikah yang shahih. Sedangkan mukallaf ialah orang yang sudah mencapai usia akil baligh. Oleh sebab itu, anak dan orang gila tidak usah dijatuhi hukuman. Berdasarkan hadist “RUFI’AL QALAM ’AN TSALATSATIN (=diangkat pena dari tiga golongan)”. Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari ra bahwa ada seorang laki-laki dari daerah Aslam datang kepada Nabi saw lalu mengatakan kepada Beliau bahwa dirinya benar-benar telah berzina, lantas ia mepersaksikan atas dirinya (dengan mengucapkan) empat kali sumpah. Maka kemudian Rasulullah saw menyuruh (para sahabat agar mempersiapkannya untuk dirajam), lalu setelah siap, dirajam. Dan ia adalah orang yang sudah pernah nikah. (Shahih: Shahih Abu Daud no: 3725, Tirmidzi II: 441 no: 1454 dan A’unul Ma’bud XII: 112 no: 4407). Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Umar bin Khattab ra pernah berkhutbah di hadapan rakyatnya, yaitu dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw dengan cara yang haq dan Dia telah menurunkan kepadanya kitab al-Qur’an. Di antara ayat Qur’an yang diturunkan Allah ialah ayat rajam, kami telah membacanya, merenungkannya dan menghafalkannya. Rasulullah saw pernah merajam dan kami pun sepeninggal Beliau merajam (juga). Saya khawatir jika zaman yang dilalui orang-orang sudah berjalan lama, ada
seseorang mengatakan, “Wallahi, kami tidak menjumpai ayat rajam dalam Kitabullah.” Sehingga mereka tersesat disebabkan meninggalkan kewajiban yang diturunkan Allah itu, padahal ayat rajam termaktub dalam Kitabullah yang mesti dikenakan kepada orang yang berzina yang sudah pernah menikah, baik laki-laki maupun perempuan, jika bukti sudah jelas, atau hamil atau ada pengakuan.” (Mutafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 144 no: 6830, Muslim III: 1317 no 1691, ‘Aunul Ma’bud XII: 97 no: 4395, Tirmidzi II: 442 no: 1456). 4. HUKUMAN BUDAK YANG BERZINA Apabila yang berzina adalah budak laki-laki ataupun perempuan, maka tidak perlu dirajam. Tetapi cukup didera sebanyak lima puluh kali deraan, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt: “Dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kimpoi, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita- wanita merdeka yang bersuami.” (QS An-Nisaa: 25) Dari Abdullah bin Ayyasy al- Makhzumi, ia berkata, “Saya pernah diperintah Umar bin Khattab ra (melaksanakan hukum cambuk) pada sejumlah budak perempuan karena berzina, lima puluh kali, lima puluh kali
cambukan.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 2345, Muwaththa‘ Malik hal 594 no: 1058 dan Baihaqi VIII: 242) 5. ORANG YANG DIPAKSA BERZINA TIDAK BOLEH DIDERA Dari Abu Abdurahhman as-Silmi ia berkata: “Umar bin Khatab ra pernah dibawakan seorang perempuan yang pernah ditimpa haus dahaga luar biasa, lalu ia melewati seorang penggembala, lantas ia minta air minum kepadanya. Sang penggembala enggan memberikan air minum, kecuali ia menyerahkan kehormatannya kepada seorang penggembala. Kemudian terpaksa ia melaksanakannya. Maka (Umar) pun bermusyawarah dengan para sahabat untuk merajam perempuan itu, kemudian Ali ra menyatakan, ‘Ini dalam kondisi darurat, maka saya berpendapat hendaklah engkau melepaskannya.’ Kemudian Umar melaksanakannya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2313 dan Baihaqi VIII: 236). 6. HUKUMAN BIKR (PERAWAN ATAU PERJAKA) YANG BERZINA Allah swt berfirman:
“Perempuan yang berzina dan laki- laki yang berzina, maka deralah tiap- tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang- orang yang beriman.” (QS An-Nuur: 2). Dari Zaid bin Khalid-al-Juhanni ra, ia berkata, “Saya pernah mendengar Nabi saw mnyuruh orang yang berzina yang belum pernah kimpoi didera seratus kali dan diasingkan selama setahun.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2347 dan Fathul Bari XII: 156 no: 6831) Dari Ubadah bin Shamit ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ambillah dariku, ambillah dariku; sungguh Allah telah menjadikan jalan (keluar) untuk mereka; gadis (berzina) dengan
jejaka dicambuk seratus kali cambukan dan diasingkan setahun, dan duda berzina dengan janda didera seratus kali didera dan dirajam.” (Shahih: Mukthashar Muslim no: 1036, Muslim III: 1316 no: 1690, ’Aunul Ma’bud XII: 93 no: 4392, Tirmidzi II: 445 no: 1461 dan Ibnu Majah II: 852 no: 2550). 7. DENGAN APA HUKUM HAD SAH DILAKSANAKAN?
Hukum had dianggap sah dilaksanakan dengan dua hal: pertama, pengakuan dan kedua, disaksikan oleh para saksi. (Fiqhus Sunnah III: 352). Adapun pengakuan, didasarkan pada waktu Rasulullah saw yang pernah merajam Ma’iz dan perempuan al- Ghamidiyah yang keduanya mengaku telah berzina: Dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Tatkala Ma’iz bin Malik dibawa kepada Nabi saw, maka Beliau bertanya kepadanya, “Barangkali engkau hanya mencium(nya) atau meraba (nya) dengan tanganmu atau sekedar melihat(nya)?” Jawabnya, “Tidak, ya Rasulullah.” Tanya Beliau (lagi), “Apakah engkau telah melakukan sesuatu yang tidak layak diutarakan dengan terus terang?” Maka ketika itu, Beliau menyuruh merajamnya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 3724, Fathul Bari XII: 135 no:
6824 dan ‘Aunul Ma’bud XII: 109 no: 4404) Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya ra bahwa seorang perempuan dari daerah Ghamid dari suku al-Azd datang kepada Nabi saw lalu mengatakan, “Ya Rasulullah, sucikanlah diriku!” Maka sabda Beliau, “Celaka kamu. Kembalilah, lalu beristighfarlah dan bertaubatlah kepada-Nya!” Kemudian ia berkata (lagi), “Saya melihat engkau hendak menolakku, sebagaimana engkau telah menolak Ma’iz bin Malik.” Beliau bertanya kepadanya, “Apa itu?” Jawabnya, “Sesungguhnya saya telah hamil karena berzina.” Tanya Beliau. “Kamu?” Jawabnya, “Ya.” Maka sabda Beliau kepadanya, “(Pulanglah) hingga engkau melahirkan (bayi) yang di perutmu.” Kemudian ada seseorang sahabat dari kawan Anshar
yang mengurusnya hingga ia melahirkan bayinya, lalu ia data kepda Nabi saw dan menginformasikan kepada Beliau bahwa perempuan al- Ghamidiyah itu telah melahirkan. Maka beliau bersabda, “Kalau begitu, kami tidak akan segera merajamnya dan kami tidak akan biarkan anaknya yang masih kecil, tidak ada yang menyusuinya.” Kemudian ada seorang sahabat Anshar bangun lantas berkata, “Ya Nabiyullah, saya akan menanggung penyusuannya.” Kemudian Beliau pun merajamnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1039, Muslim III: 1321 no: 1695). Jika yang bersangkutan ternyata meralat pengakuannya, maka tidak boleh dijatuhi hukuman. Hal ini merujuk pada hadist Nu’aim bin Huzzal: Adalah Ma’iz bin Balik seorang anak yatim yang dulu berada di bawah asuhan ayahku (yaitu Huzzal), kemudian ia pernah berzina dengan seorang budak perempuan dari suatu kampung … sampai pada perkataannya “Kemudian Nabi Saw menyuruh agar Ma’iz dirajam. Lalu dikeluarkanlah Ma'iz ke Padang Pasir. Tatkala dirajam, ia merasakan sakitnya
lemparan batu yang menimpa dirinya, kemudian bersedih hati, lalu ia melarikan diri dengan cepat, lantas bertemu dengan Abdullah bin Unais. Para sahabatnya tidak mampu (menahannya). Kemudian Abdullah bin Unais mencabut tulang betis unta, lalu dilemparkan kepadanya hingga ia meninggal dunia. Kemudian Abdullah bin Unais datang menemui Nabi saw lalu melaporkan kasus tersebut kepadanya, maka Rasulullah berkata kepadanya, “Mengapa kamu tidak biarkan ia, barangkali ia bertaubat lalu Allah menerima taubatnya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no. 3716, ‘Aunul Ma’bud XII: 99 no: 4396) 8. HUKUM ORANG YANG MENGAKU PERNAH BERZINA DENGAN SI FULANAH Apabila seseorang mengaku bahwa dirinya telah berzina dengan fulanah, maka laki-laki yang mengaku tersebut
harus dijatuhi hukuman. Kemudian jika si perempuan, rekan kencannya, mengaku juga, maka ia harus dijatuhi hukuman juga. Jika ternyata si perempuan tidak mau mengakui, maka ia (si perempuan) tidak boleh dijatuhi hukuman. Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid ra bahwa ada dua orang laki-laki yang saling bermusuhan datang kepada nabi saw lalu seorang di antara keduanya menyatakan, “Ya Rasulullah, putuskanlah di antara kami dengan Kitabullah!” Yang satunya lagi --yang paling mengerti di antara mereka berdua-- berkata, “Betul, ya Rasulullah, putuskanlah di antara kami dengan Kitabullah, dan izinkanlah saya untuk mengutarakan sesuatu kepadamu.” Jawab Beliau, "Silakan utarakan!" Ia melanjutkan pengutaraannya, “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pekerja yang diberi upah oleh orang ini, lalu ia pun berzina dengan isterinya. Lalu orang-orang menjelaskan kepadaku bahwa anaku harus dirajam. Oleh sebab itu, saya telah menebusnya dengan memberikan seratus ekor kambing dan seorang budak wanitaku. Kemudian saya pernah bertanya kepada orang-orang alim, lalu mereka menjelaskan kepadaku bahwa anakku harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun lamanya. Sedangkan rajam hanya ditimpahkan kepada isteri ini.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamannya, saya akan benar- benar memutuskan di antara kalian berdua dengan Kitabullah; adapun kambing dan budak perempuanmu itu maka dikembalikan (lagi) kepadamu.” Beliau pun mendera anaknya seratus kali dan mengasingkannya selama setahun. Dan Beliau juga menyuruh Unais al- Aslam agar menemui isteri orang pertama itu; jika ia mengaku telah berzina dengananak itu, maka harus dirajam. Ternyata ia mengaku, lalu dirajam oleh Beliau. (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 136 no: 6827-6828, Muslim III: 1324 no: 1697-1698, ‘Aunul Ma’bud XII: 128 no: 4421, Tirmidzi II: 443 no: 145, Ibnu Majah II: 852 no: 2549 dan Nasa’i VIII: 240). 9. HUKUM HAD HARUS DILAKSANAKAN BILA SAKSINYA KUAT Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nuur: 4) Apabila ada empat laki-laki muslim yang merdeka lagi adil menyaksikan dzakar (penis) si fulan masuk ke dalam farji (vagina) si fulanah seperti pengoles celak mata masuk ke dalam botol tempat celak, dan seperti timba masuk ke dalam sumur, maka kedua- duanya harus dijatuhi hukuman. Manakalah tiga saja yang mengaku menyaksikan, sedang yang keempat justru mengundurkan diri dari kesaksian mereka, maka yang tiga orang itu harus didera dengan dera tuduhan sebagimana yang telah dipaparkan ayat empat An-Nuur itu, dan berdasarkan riwayat berikut: Dari Qasamah bin Zuhair, ia bercerita: Tatkala antara Abu Bakrah dengan al- Mughirah ada permasalahan tuduhan zina yang dilaporkan kepada Umar ra maka kemudian Umar minta didatangkan saksi-saksinya, lalu Abu Bakrah, Syibl bin Ma’bad, dan Abu Abdillah Nafi’ memberikan kesaksiannya. Maka Umar ra pada waktu mereka bertiga usai memberikan kesaksiannya, berkata, "Permasalah Abu Bakrah ini membuat Umar berada dalam posisi yang sulit." Tatkala Ziyad datang, dia berkata, "(Hai Ziyad), jika engkau berani memberikan kesaksian, maka insya Allah tuduhan zina itu benar." Maka kata Ziyad, "Adapun perbuatan zina, maka aku tidak menyaksikan dia berzina. Namun aku melihat sesuatu yang buruk." Makakata Umar, “Allahu Akbar, hukumlah mereka.” Kemudian sejumlah sahabat mendera mereka bertiga. Kemudian Abu Bakrah seusai dicambuk oleh Umar menyatakan, “(Hai Umar), saya bersaksi bahwa sesungguhnya dia (al-Mughirah) berzina.” Kemudian, segera Umar ra hendak menderanya lagi, namun dicegah oleh Ali ra seraya berkata kepada Umar, “Jika engkau menderanya lagi, maka rajamlah rekanmu itu.” Maka Umar pun membatalkan niatnya dan tidak menderanya lagi.” (Sanadnya Shahih: Irwa-ul Ghalil VIII: 29 dan Baihaqi VIII: 334). 10. HUKUM ORANG BERZINA DENGAN MAHRAMNYA Barangsiapa yang berzina dengan mahramnya, maka hukumnya adalah dibunuh, baik ia sudah pernah nikah ataupun belum. Dan apabila ia telah mengawini mahramnya, maka hukumannya ia harus dibunuh dan hartanya harus diserahkan kepada pemerintah. Dari al-Bara’ ra, ia bertutur, “Saya pernah berjumpa dengan pamanku yang sedang membawa pedang, lalu saya tanya, ‘(Wahai Pamanda), Paman hendak kemana?’ jawabnya, ‘Saya diutus oleh Rasulullah saw menemui seorang laki-laki yang telah mengawini isteri bapaknya sesudah ia meninggal dunia, agar saya menebas batang lehernya dan menyita harta bendanya.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2351, Shahih Ibnu Majah no: 2111, 'Aunul Ma'bud XII: 147 no: 4433, Nasa’i VI: 110, namun dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah tanpa lafazh "menyita harta bendanya." Tirmidzi II: 407 no: 1373 dan Ibnu Majah II: 869 no: 2607). 11. HUKUM ORANG YANG MENYETUBUHI
BINATANG Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menyetubui binatang ternak, maka hendaklah kamu bunuh dia dan bunuh (pula) binantang itu.” (Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1176, Tirmidzi III: 1479, 'Aunul Ma'bud XII: 157 no: 4440, Ibnu Majah II: 856 no: 2564) 12. HUKUMAN ORANG YANG MELAKUKAN LIWATH, HOMOSEKSUAL Apabila seorang laki-laki memasukkan penisnya ke dalam dubur laki-laki yang lain, maka hukumannya adalah dibunuh, baik keduanya sudah pernah menikah taupun belum. Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang kalian jumpai melakukan perbuatan kaum (Nabi) Luth, maka bunuhlah fa’il (pelakunya) dan maf’ulbih (korbannya).” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2075, Tirmidzi III: 8 no: 1481, ‘Aunul Ma’bud XII: 153 no: 4438, Ibnu Majah II: 856 no: 2561). Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al- Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As- Sunnah), hlm 820 - 834