Seorang yang mendambakan
kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat harus memiliki pedoman
dalam menapaki kehidupannya di
dunia. Dan pedoman hidup seorang
hamba semua telah diatur dalam syariat Islam. Seorang yang sukses bukanlah orang
yang hidup dengan bersemboyan
‘semau gue’ dengan mengikuti hawa
nafsunya, tapi orang yang sukses
adalah orang yang mengambil Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan
pemahaman As Salafus Shalih sebagai
pengikat aturan hidupnya. Petunjuk
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-
Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ini
tidak mungkin dapat diketahui tanpa menuntut ilmu syar’i. Karena itulah,
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan
setiap Muslim dan Muslimah yang
baligh dan berakal (mukallaf) untuk
menuntut ilmu. Dalam sebuah hadits dari Anas bin
Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Menuntut ilmu wajib bagi setiap
Muslim.” (HR. Ahmad dengan sanad
hasan. Lihat kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi
wa Fadllihi karya Ibnu ‘Abdil Bar,
tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang
membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini) Imam Ahmad rahimahullah
mengatakan bahwa ilmu yang wajib
dituntut di sini adalah ilmu yang dapat
menegakkan agama seseorang,
seperti dalam perkara shalatnya,
puasanya, dan semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib diamalkan
manusia maka wajib pula
mengilmuinya, seperti pokok-pokok
keimanan, syariat Islam, perkara-
perkara haram yang harus dijauhi,
perkara muamalah, dan segala yang dapat menyempurnakan
kewajibannya. Sebagai hamba Allah, seorang
Muslimah wajib mengenal Rabbnya
yang meliputi pengetahuan terhadap
nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan
Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.
Selain itu, ia harus mengetahui bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersendiri
dalam mencipta, mengatur, memiliki,
dan memberi rezeki. Ia pun wajib
menunaikan hak-hak Allah, yaitu beribadah hanya kepada-Nya dan
tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatupun, sebagaimana tujuan
penciptaannya. Allah berfirman : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan untuk beribadah
kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56) Seseorang tidak akan berada di atas
hakikat agamanya sebelum ia berilmu
atau mengenal Allah Ta’ala.
Pengenalan ini tidak akan terjadi
kecuali dengan menuntut ilmu dien
(agama). Di samping mengenal Allah, seorang
Muslimah juga wajib mengenal Nabi-
nya, yaitu Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam, karena beliau
merupakan perantara antara Allah
dengan manusia dalam penyampaian risalah-Nya. Sesuai dengan makna
persaksiannya bahwa Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah
hamba dan Rasul-Nya, maka ia wajib
mentaati segala yang beliau
perintahkan, membenarkan segala yang beliau khabarkan, menjauhi apa
yang beliau larang dan tidak
beribadah kepada Allah kecuali
dengan apa yang beliau syariatkan.
Hal ini sesuai dengan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala : “Apa yang diberikan Rasul kepada
kalian maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya bagi kalian maka
tinggalkanlah, dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah
sangat keras hukumannya.” (Al Hasyr : 7) Ayat ini merupakan kaidah umum
yang agung dan jelas tentang
wajibnya seluruh kaum Muslimin
mengambil sunnah yang telah tetap
dan hadits-hadits shahih dalam
aqidah, ibadah, muamalah, adab, akhlak, seluruhnya. Hal ini tidak akan
diketahui kecuali dengan menuntut
ilmu terlebih dahulu. Selain mengenal Allah dan Rasul-Nya,
seorang Muslimah juga wajib
mengenal agama Islam sebagai
agama yang dianutnya, dengan
memperhatikan dalil-dalil dari Al
Qur’an dan As Sunnah yang shahihah, sehingga ia memiliki pendirian kokoh,
tidak mudah terombang-ambing. Dan
agar ia berada di atas cahaya, bukti,
dan kejelasan dari agamanya. Inilah masalah pertama yang
disebutkan oleh Asy Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah dalam bukunya Al
Ushuluts Tsalatsah, yaitu berilmu
sebelum beramal dan berdakwah. Seorang Muslimah juga wajib
membekali dirinya dengan ilmu
sebelum memasuki jenjang
pernikahan, sehingga ia dapat
menunaikan kewajibannya sesuai
dengan tuntunan syariat. Sebagai isteri, seorang Muslimah
dituntut agar menjadi isteri yang
shalihah, sehingga ia dapat menjadi
perhiasan dunia yang paling baik,
bukan justru menjadi fitnah atau
musuh bagi suaminya. Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam bersabda : “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-
baik perhiasan dunia adalah wanita
yang shalihah.” (HR. Muslim) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
tentang sifat-sifat wanita shalihah : “… maka wanita shalihah, ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh
karena itu Allah telah memelihara
mereka.” (An Nisa’ : 34) Maksud ayat ini diterangkan oleh Asy
Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dan
Asy Syaikh Salim Al Hilali
rahimahumullah bahwa wanita yang
shalihah adalah yang menunaikan
hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentaati-Nya, mentaati Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan
menunaikan hak-hak suaminya
dengan mentaatinya dan
menghormatinya, serta menjaga harta
suami, anak-anak mereka, dan kehormatannya tatkala suaminya
tidak ada. Untuk menjadi wanita shalihah yang
seperti ini, seorang Muslimah
membutuhkan ilmu. Sebagai seorang ibu, ia mempunyai
tanggung jawab mendidik anak-
anaknya agar menjadi anak-anak
yang shalih dan shalihah. Di bawah
kepemimpinan suami, isteri adalah
penjaga rumah tangga suami dan anak-anaknya, sebagaimana dalam
hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu
‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam bahwasanya beliau
bersabda : “Laki-laki adalah pemimpin atas
keluarganya, wanita adalah pemimpin
dalam rumah tangga suaminya dan
anak-anaknya, maka setiap kalian
adalah pemimpin, akan ditanya
tentang yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Hasil didikan seorang ibu terhadap
anak-anaknya inilah yang termasuk
perkara yang akan ditanyakan oleh
Allah kelak di hari kiamat. Karena
itulah Muslimah harus menuntut ilmu
syar’i sebagai bekal mendidik anak- anak sehingga fitrah mereka tetap
terjaga dan menjadi penyejuk hati
karena keshalihan mereka. Di tempat lain, bila seorang Muslimah
belum menikah, maka sebagai anak ia
wajib taat pada orang tuanya selama
tidak memerintahkan kepada maksiat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Kami wasiatkan kepada manusia
supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya… .” (Al Ankabut : Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr
bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,
beliau bersabda : “Dosa-dosa besar ialah
menyekutukan Allah, durhaka pada
orang tua, membunuh jiwa (tanpa
hak), dan sumpah palsu.” (HR.
Bukhari) Untuk dapat berbuat baik dan
menunaikan hak-hak orang tua
dengan benar, seorang Muslimah
tidak bisa lepas dari ilmu. Seluruh kewajiban ini harus dapat
ditunaikan dengan dasar ilmu. Karena
jika tidak, akan terjadi berbagai
kesalahan dan kerusakan. Maka tidak
heran, bila para Muslimah yang bodoh
terhadap agamanya melakukan berbagai praktek kesyirikan dan
kebid’ahan. Akibat kebodohannya
pula, banyak Muslimah yang durhaka
pada suami atau orang tuanya. Atau
terjadi berbagai kesalahan dalam
mendidik anak sehingga muncullah generasi yang berakhlak buruk,
bahkan bisa jadi durhaka pada orang
tua yang telah merawat dan
membesarkannya. Karena
kebodohannya pula, banyak
Muslimah yang tidak mengetahui bagaimana ia harus menjaga
kehormatannya, sehingga ia menjadi
fitnah dan terjerumus dalam
perzinahan dan berbagai
kemaksiatan. Kita berlindung kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dari yang demikian itu. Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma
berkata, telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Aku berdiri di muka pintu Syurga,
maka aku dapatkan mayoritas
penghuninya adalah orang-orang
miskin, sedang orang-orang kaya
masih tertahan oleh perhitungan
kekayaannya. Dan ahli neraka telah diperintahkan masuk neraka. Dan
ketika aku berdiri di dekat pintu
neraka, maka aku dapatkan mayoritas
penghuninya adalah para
wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hanya dengan menuntut ilmu,
seorang Muslimah akan mengetahui
jalan yang selamat. Kaum Muslimah
masa kini akan menjadi baik bila
mereka mau mencontoh para
Muslimah generasi terdahulu (generasi salafuna shalih), mereka
sangat memperhatikan dan
bersemangat dalam menuntut ilmu. Dalam sebuah hadits dari Abi Sa’id Al
Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
“Seorang wanita mendatangi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dan berkata : ‘Wahai Rasulullah! Kaum lelaki telah
membawa haditsmu, maka jadikanlah
bagi kami satu harimu yang kami
datang pada hari tersebut agar
engkau mengajarkan pada kami apa
yang telah diajarkan Allah kepadamu.’ Maka beliau bersabda : ‘Berkumpullah
pada hari ini dan ini di tempat ini.’
Maka mereka pun berkumpul, lalu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
mendatangi mereka dan mengajarkan
apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
pun sangat bersemangat mengajar
para shahabiyah, sampai-sampai
beliau menyuruh wanita yang haid,
baligh, dan merdeka untuk
menyaksikan kumpulan ilmu dan kebaikan. Bahkan beliau Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam memutuskan udzur
wanita yang tidak memiliki hijab,
sebagaimana yang disebutkan dalam
Shahihain dari Ummu ‘Athiyah Al
Anshariyah radhiallahu ‘anha, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam menyuruh kami
mengeluarkan wanita yang merdeka,
yang haid, dan yang dipingit untuk
keluar pada hari Iedul Fithri dan Adha.
Adapun yang haid memisahkan diri dari tempat shalat, dan mereka pun
menyaksikan kebaikan dan dakwah
kaum Muslimin. Aku berkata : ‘Wahai
Rasulullah! Salah seorang dari kami
tidak memiliki jilbab.’ Beliau bersabda :
’Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.’ “ Oleh karena itulah, kita dapatkan
dalam sejarah Islam, di antara mereka
ada yang menjadi ahli fiqih, ahli tafsir,
sastrawati, dan ahli dalam seluruh
bidang ilmu dan bahasa. Sebagai
contoh, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang dididik dalam
madrasah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam sehingga beliau menjadi
wanita yang berilmu dan shalihah. Imam Az Zuhri rahimahullah berkata :
”Seandainya ilmu ‘Aisyah
dikumpulkan dan dibandingkan
dengan ilmu seluruh wanita, maka
ilmu ‘Aisyah lebih afdhal.” Bahkan ‘Aisyah merupakan guru dari
beberapa shahabat, ia menjadi bahan
rujukan mereka dalam masalah hadits,
sunnah, dan fiqih. Urwah bin Az Zubair
berkata : “Aku tidak melihat orang
yang lebih mengetahui ilmu fiqih, pengobatan, dan syi’ir ketimbang
‘Aisyah.” Para wanita dari kalangan tabi’in juga
berdatangan ke rumah ‘Aisyah untuk
belajar, di antara muridnya adalah
Amrah bintu ‘Abdurrahman bin Sa’ad
bin Zurarah. Ibnu Hibban berkata :
“Dia adalah orang yang paling mengetahui hadits-haditsnya ‘Aisyah.” Di antara deretan nama wanita
generasi terdahulu yang cemerlang
dalam ilmu adalah Hafshah bintu Sirin
yang masyhur dengan ibadahnya,
kefaqihannya, bacaan Al Qur’annya,
dan hadits-haditsnya. Begitu pula Ummu Darda Ash Shuqra Hujaimah, ia
seorang yang faqih, ’alimah, banyak
meriwayatkan hadits, cerdas, masyhur
dengan keilmuan, amalan, dan
zuhudnya. Demikianlah –wahai saudariku
Muslimah– mereka adalah contoh
terbaik bagi kita dan telah terbukti
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengangkat derajat orang-orang
yang berilmu sebagaimana firman- Nya : “Allah akan meninggikan orang-
orang yang beriman dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Al Mujadilah : 11) Semoga Allah memudahkan jalan bagi
kita untuk menuntut ilmu dan
memberikan ilmu yang bermanfaat.
Amin. Wallahu A’lam Bis Shawab.
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah /9: 105).
Nonton iklan bentar ya...!!!
Friday, 1 July 2011
sosok bidadari...
Beribu nasehat telah diucap, berjuta
perintah telah tersirat. Tetapi tetap saja
banyak yang gugur ditelan gemerlap
dunia. Semua gemerlap akan sirna
oleh sosok bidadari yang hidup
dengan kesederhanaan. Kini, banyak kita jumpai orang yang
hidup dalam kesempitan, sabar
dengan ujian, dan tabah dalam
menjalani seraya mendekatkan diri
pada Rabb-Nya. Namun, setelah
keadaan berubah, sempit menjadi lapang, derita menjadi bahagia, semua
kebutuhan hidup terpenuhi; namun
banyak yang tidak siap dengan
perubahan tersebut. Tidak sadar
bahwa gemerlap dunia telah
menjebaknya. “Sesungghnya dunia itu manis dan
menawan dan Allah mengangkatmu
sebagai khalifah di dalamnya
sehingga Allah dapat memperhatikan
perbuatanmu. Oleh karena itu
waspadalah terhadap dunia, hati- hatilah terhadap wanita karena
sesungguhnya fitnah pertama yang
menimpa Bani Israil adalah kaum
wanita.” (HR. Muslim). Kedudukan, harta senantiasa
bersanding dengan wanita. Misalnya
di keluarga, kedudukan wanita
sangat berpengaruh baik
kedudukannya sebagai pendamping
suami maupun dalam pemeliharaan harta suami. Seperti kisah rumah
tangga Umar Abdul Azis ra dengan
Fatimah binti Abdul Malik ra
kemewahan berubah menjadi
kesederhanaan. Sebelum Umar
menerima amanat kekhalifahan, dia terkenal dengan gaya hidup yang
serba mewah. Istana megah, pakaian
sutra, permata, dan parfum yang
seharga satu rumah pun dimilikinya.
Semua berubah dengan seketika. Akal
pikiran, hati dan perasaannya telah tergugah, karena hakikat
pengawasan Allah telah hidup dalam
jiwanya. Dengan gaya hidupnya yang baru,
Umar bertekad untuk meniti
kehidupan dengan serba sederhana.
Dia pun segera mengungkapkan
keinginannya pada Fatimah,
“Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-
saudaramu berasal dari hartanya
kaum muslimin. Aku bertekad akan
mengembalikannya pada mereka.
Dan, jika Adinda tidak sabar pada
kesempitan hidup setelah kekuasaan, maka pulanglah ke rumah ayahmu.”
Mendengar itu Fatimah segera
menepis, “Saya tidak akan menyertai
Kakanda dalam keadaan senang
lantas meninggalkan Kakanda dalam
keadaan susah. Saya ridha dengan apa yang Kakanda ridhai.” Kemudian semua hartanya
didermakan dan kini yang dimilikinya
hanya permata peninggalan ayah
Fatimah. Umar pun kembali bertanya,
“Wahai Fatimah engkau tahu bahwa
dulu permata itu diambil oleh ayahmu dari kaum muslimin dan lantas dia
hadiahkan kepadamu. Sesungguhnya
aku tidak suka permata itu tinggal
dirumahku. Karena itu, pilihlah antara
mengembalikan permata itu ke Baitul
Maal atau engkau izinkan aku untuk menceraikanmu.” Fatimah pun
kembali memenuhi permintaan
suaminya, “Demi Allah, tentu aku akan
memilihmu daripada permata ini,
bahkan berlipat-lipat dari yang
kumiliki.” Dengan kesederhanaanlah Umar dan
Fatimah mulai mengikuti realita
kehidupan sebenarnya. Sang khalifah
mulai memerdekakan budak,
mengembalikan seluruh harta yang
dimiliki ke Baitul Maal. Begitu juga dengan Fatimah mulai menanggalkan
permata yang dipakainya. Mereka
lebih memilih tinggal di rumah yang
sangat sederhana. Dengan kata lain,
mereka dengan sikap
kesederhanaannya berhasil menghancurkan belenggu
kemewahan yang mengikat jiwanya
dan mematahkan jembatan yang
mengantarkan pada fitnah dunia. Fatimah dalam hal ini bisa disebut
sosok bidadari yang turun ke bumi.
Sebab ia berani melepaskan semua
kemewahan dunia dan lebih memilih
hidup sederhana bersama suami yang
justru setelah mendapat amanat besar sebagai khalifah. Juga memilih
kesederhanaan sebagai jalan
hidupnya. Begitu halnya dengan
sosok Aisyah ra Ummul Mukminin.
Kezuhudan terhadap dunia menjadi
teladan bagi umat. Hampir tidak ada harta di tangannya. Dia bagikan
seluruh hartanya kepada kaum-kaum
miskin. Di antara kedermawanannya
adalah membagikan seratus ribu
dirham, sementara ia sendiri dalam
keadaan shaum. Umar bin Zubair ra juga pernah mengisahkan
kedermawanan dan kesederhanaan
Aisyah, “Aku pernah melihat Aisyah
membagi-bagikan harta sebanyak
tujuh ratus ribu dirham sementara dia
sendiri menjahit bajunya.” Subhanallah, merenungi kedua kisah
di atas betapa mulianya sosok Fatimah
dan Aisyah. Ya, dengan
kesederhanaannya menjadikan
mereka sosok bidadari yang turun ke
bumi. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengikuti jejak Fatimah
dan Aisyah? Siapkah kita tanggalkan
semua kemewahan dunia hingga kita
siap menyandang gelar bidadari? Dalam buku Tamasya ke Surga, Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah mengisahkan
tentang bidadari surga. Mereka itu
adalah wanita suci yang
menyenangkan dipandang mata,
menyejukkan dilihat, dan menentramkan hati. Jadi bidadari
adalah wanita shalehah yang
senantiasa tawadhu, tidak bermewah-
mewah dengan keindahan dunia,
bersikap sederhana. Seandainya
berperan sebagai istri maka ia taat kepada suaminya, menjaga harta
suami, mendidik anak-anaknya dan
memotivasi agar istiqamah dalam
membela agama Allah. “Tidakkah mau aku kabarkan kepada
kalian tentang sesuatu yang paling
baik dijadikan bekal seseorang?
wanita yang baik (shalihah); jika
dilihat suami ia menyenangkan; jika
diperintah ia mentaatinya; dan jika suami meninggalkannya ia menjaga
diri dan harta
suaminya.” (Diriwayatkan Abu Daud
dan An-Nasai). Wahai muslimah, kisah di atas
mewakili dari sebagian kisah para
sahabiyah, begitu juga dengan
untaian riwayat yang tersirat. Namun,
apalah artinya sebuah kisah bila kita
tidak bisa mengambil ibrah. Dan apalah artinya seuntai riwayat jika kita
tidak mau belajar darinya. Untuk itu
selamat berjuang, siapkan diri menjadi
sosok bidadari, sosok yang menapaki
kehidupan dengan kezuhudan, dan
kesederhanaan.
perintah telah tersirat. Tetapi tetap saja
banyak yang gugur ditelan gemerlap
dunia. Semua gemerlap akan sirna
oleh sosok bidadari yang hidup
dengan kesederhanaan. Kini, banyak kita jumpai orang yang
hidup dalam kesempitan, sabar
dengan ujian, dan tabah dalam
menjalani seraya mendekatkan diri
pada Rabb-Nya. Namun, setelah
keadaan berubah, sempit menjadi lapang, derita menjadi bahagia, semua
kebutuhan hidup terpenuhi; namun
banyak yang tidak siap dengan
perubahan tersebut. Tidak sadar
bahwa gemerlap dunia telah
menjebaknya. “Sesungghnya dunia itu manis dan
menawan dan Allah mengangkatmu
sebagai khalifah di dalamnya
sehingga Allah dapat memperhatikan
perbuatanmu. Oleh karena itu
waspadalah terhadap dunia, hati- hatilah terhadap wanita karena
sesungguhnya fitnah pertama yang
menimpa Bani Israil adalah kaum
wanita.” (HR. Muslim). Kedudukan, harta senantiasa
bersanding dengan wanita. Misalnya
di keluarga, kedudukan wanita
sangat berpengaruh baik
kedudukannya sebagai pendamping
suami maupun dalam pemeliharaan harta suami. Seperti kisah rumah
tangga Umar Abdul Azis ra dengan
Fatimah binti Abdul Malik ra
kemewahan berubah menjadi
kesederhanaan. Sebelum Umar
menerima amanat kekhalifahan, dia terkenal dengan gaya hidup yang
serba mewah. Istana megah, pakaian
sutra, permata, dan parfum yang
seharga satu rumah pun dimilikinya.
Semua berubah dengan seketika. Akal
pikiran, hati dan perasaannya telah tergugah, karena hakikat
pengawasan Allah telah hidup dalam
jiwanya. Dengan gaya hidupnya yang baru,
Umar bertekad untuk meniti
kehidupan dengan serba sederhana.
Dia pun segera mengungkapkan
keinginannya pada Fatimah,
“Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-
saudaramu berasal dari hartanya
kaum muslimin. Aku bertekad akan
mengembalikannya pada mereka.
Dan, jika Adinda tidak sabar pada
kesempitan hidup setelah kekuasaan, maka pulanglah ke rumah ayahmu.”
Mendengar itu Fatimah segera
menepis, “Saya tidak akan menyertai
Kakanda dalam keadaan senang
lantas meninggalkan Kakanda dalam
keadaan susah. Saya ridha dengan apa yang Kakanda ridhai.” Kemudian semua hartanya
didermakan dan kini yang dimilikinya
hanya permata peninggalan ayah
Fatimah. Umar pun kembali bertanya,
“Wahai Fatimah engkau tahu bahwa
dulu permata itu diambil oleh ayahmu dari kaum muslimin dan lantas dia
hadiahkan kepadamu. Sesungguhnya
aku tidak suka permata itu tinggal
dirumahku. Karena itu, pilihlah antara
mengembalikan permata itu ke Baitul
Maal atau engkau izinkan aku untuk menceraikanmu.” Fatimah pun
kembali memenuhi permintaan
suaminya, “Demi Allah, tentu aku akan
memilihmu daripada permata ini,
bahkan berlipat-lipat dari yang
kumiliki.” Dengan kesederhanaanlah Umar dan
Fatimah mulai mengikuti realita
kehidupan sebenarnya. Sang khalifah
mulai memerdekakan budak,
mengembalikan seluruh harta yang
dimiliki ke Baitul Maal. Begitu juga dengan Fatimah mulai menanggalkan
permata yang dipakainya. Mereka
lebih memilih tinggal di rumah yang
sangat sederhana. Dengan kata lain,
mereka dengan sikap
kesederhanaannya berhasil menghancurkan belenggu
kemewahan yang mengikat jiwanya
dan mematahkan jembatan yang
mengantarkan pada fitnah dunia. Fatimah dalam hal ini bisa disebut
sosok bidadari yang turun ke bumi.
Sebab ia berani melepaskan semua
kemewahan dunia dan lebih memilih
hidup sederhana bersama suami yang
justru setelah mendapat amanat besar sebagai khalifah. Juga memilih
kesederhanaan sebagai jalan
hidupnya. Begitu halnya dengan
sosok Aisyah ra Ummul Mukminin.
Kezuhudan terhadap dunia menjadi
teladan bagi umat. Hampir tidak ada harta di tangannya. Dia bagikan
seluruh hartanya kepada kaum-kaum
miskin. Di antara kedermawanannya
adalah membagikan seratus ribu
dirham, sementara ia sendiri dalam
keadaan shaum. Umar bin Zubair ra juga pernah mengisahkan
kedermawanan dan kesederhanaan
Aisyah, “Aku pernah melihat Aisyah
membagi-bagikan harta sebanyak
tujuh ratus ribu dirham sementara dia
sendiri menjahit bajunya.” Subhanallah, merenungi kedua kisah
di atas betapa mulianya sosok Fatimah
dan Aisyah. Ya, dengan
kesederhanaannya menjadikan
mereka sosok bidadari yang turun ke
bumi. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengikuti jejak Fatimah
dan Aisyah? Siapkah kita tanggalkan
semua kemewahan dunia hingga kita
siap menyandang gelar bidadari? Dalam buku Tamasya ke Surga, Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah mengisahkan
tentang bidadari surga. Mereka itu
adalah wanita suci yang
menyenangkan dipandang mata,
menyejukkan dilihat, dan menentramkan hati. Jadi bidadari
adalah wanita shalehah yang
senantiasa tawadhu, tidak bermewah-
mewah dengan keindahan dunia,
bersikap sederhana. Seandainya
berperan sebagai istri maka ia taat kepada suaminya, menjaga harta
suami, mendidik anak-anaknya dan
memotivasi agar istiqamah dalam
membela agama Allah. “Tidakkah mau aku kabarkan kepada
kalian tentang sesuatu yang paling
baik dijadikan bekal seseorang?
wanita yang baik (shalihah); jika
dilihat suami ia menyenangkan; jika
diperintah ia mentaatinya; dan jika suami meninggalkannya ia menjaga
diri dan harta
suaminya.” (Diriwayatkan Abu Daud
dan An-Nasai). Wahai muslimah, kisah di atas
mewakili dari sebagian kisah para
sahabiyah, begitu juga dengan
untaian riwayat yang tersirat. Namun,
apalah artinya sebuah kisah bila kita
tidak bisa mengambil ibrah. Dan apalah artinya seuntai riwayat jika kita
tidak mau belajar darinya. Untuk itu
selamat berjuang, siapkan diri menjadi
sosok bidadari, sosok yang menapaki
kehidupan dengan kezuhudan, dan
kesederhanaan.
Subscribe to:
Posts (Atom)