Nonton iklan bentar ya...!!!

Friday 1 July 2011

sosok bidadari...

Beribu nasehat telah diucap, berjuta
perintah telah tersirat. Tetapi tetap saja
banyak yang gugur ditelan gemerlap
dunia. Semua gemerlap akan sirna
oleh sosok bidadari yang hidup
dengan kesederhanaan. Kini, banyak kita jumpai orang yang
hidup dalam kesempitan, sabar
dengan ujian, dan tabah dalam
menjalani seraya mendekatkan diri
pada Rabb-Nya. Namun, setelah
keadaan berubah, sempit menjadi lapang, derita menjadi bahagia, semua
kebutuhan hidup terpenuhi; namun
banyak yang tidak siap dengan
perubahan tersebut. Tidak sadar
bahwa gemerlap dunia telah
menjebaknya. “Sesungghnya dunia itu manis dan
menawan dan Allah mengangkatmu
sebagai khalifah di dalamnya
sehingga Allah dapat memperhatikan
perbuatanmu. Oleh karena itu
waspadalah terhadap dunia, hati- hatilah terhadap wanita karena
sesungguhnya fitnah pertama yang
menimpa Bani Israil adalah kaum
wanita.” (HR. Muslim). Kedudukan, harta senantiasa
bersanding dengan wanita. Misalnya
di keluarga, kedudukan wanita
sangat berpengaruh baik
kedudukannya sebagai pendamping
suami maupun dalam pemeliharaan harta suami. Seperti kisah rumah
tangga Umar Abdul Azis ra dengan
Fatimah binti Abdul Malik ra
kemewahan berubah menjadi
kesederhanaan. Sebelum Umar
menerima amanat kekhalifahan, dia terkenal dengan gaya hidup yang
serba mewah. Istana megah, pakaian
sutra, permata, dan parfum yang
seharga satu rumah pun dimilikinya.
Semua berubah dengan seketika. Akal
pikiran, hati dan perasaannya telah tergugah, karena hakikat
pengawasan Allah telah hidup dalam
jiwanya. Dengan gaya hidupnya yang baru,
Umar bertekad untuk meniti
kehidupan dengan serba sederhana.
Dia pun segera mengungkapkan
keinginannya pada Fatimah,
“Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-
saudaramu berasal dari hartanya
kaum muslimin. Aku bertekad akan
mengembalikannya pada mereka.
Dan, jika Adinda tidak sabar pada
kesempitan hidup setelah kekuasaan, maka pulanglah ke rumah ayahmu.”
Mendengar itu Fatimah segera
menepis, “Saya tidak akan menyertai
Kakanda dalam keadaan senang
lantas meninggalkan Kakanda dalam
keadaan susah. Saya ridha dengan apa yang Kakanda ridhai.” Kemudian semua hartanya
didermakan dan kini yang dimilikinya
hanya permata peninggalan ayah
Fatimah. Umar pun kembali bertanya,
“Wahai Fatimah engkau tahu bahwa
dulu permata itu diambil oleh ayahmu dari kaum muslimin dan lantas dia
hadiahkan kepadamu. Sesungguhnya
aku tidak suka permata itu tinggal
dirumahku. Karena itu, pilihlah antara
mengembalikan permata itu ke Baitul
Maal atau engkau izinkan aku untuk menceraikanmu.” Fatimah pun
kembali memenuhi permintaan
suaminya, “Demi Allah, tentu aku akan
memilihmu daripada permata ini,
bahkan berlipat-lipat dari yang
kumiliki.” Dengan kesederhanaanlah Umar dan
Fatimah mulai mengikuti realita
kehidupan sebenarnya. Sang khalifah
mulai memerdekakan budak,
mengembalikan seluruh harta yang
dimiliki ke Baitul Maal. Begitu juga dengan Fatimah mulai menanggalkan
permata yang dipakainya. Mereka
lebih memilih tinggal di rumah yang
sangat sederhana. Dengan kata lain,
mereka dengan sikap
kesederhanaannya berhasil menghancurkan belenggu
kemewahan yang mengikat jiwanya
dan mematahkan jembatan yang
mengantarkan pada fitnah dunia. Fatimah dalam hal ini bisa disebut
sosok bidadari yang turun ke bumi.
Sebab ia berani melepaskan semua
kemewahan dunia dan lebih memilih
hidup sederhana bersama suami yang
justru setelah mendapat amanat besar sebagai khalifah. Juga memilih
kesederhanaan sebagai jalan
hidupnya. Begitu halnya dengan
sosok Aisyah ra Ummul Mukminin.
Kezuhudan terhadap dunia menjadi
teladan bagi umat. Hampir tidak ada harta di tangannya. Dia bagikan
seluruh hartanya kepada kaum-kaum
miskin. Di antara kedermawanannya
adalah membagikan seratus ribu
dirham, sementara ia sendiri dalam
keadaan shaum. Umar bin Zubair ra juga pernah mengisahkan
kedermawanan dan kesederhanaan
Aisyah, “Aku pernah melihat Aisyah
membagi-bagikan harta sebanyak
tujuh ratus ribu dirham sementara dia
sendiri menjahit bajunya.” Subhanallah, merenungi kedua kisah
di atas betapa mulianya sosok Fatimah
dan Aisyah. Ya, dengan
kesederhanaannya menjadikan
mereka sosok bidadari yang turun ke
bumi. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengikuti jejak Fatimah
dan Aisyah? Siapkah kita tanggalkan
semua kemewahan dunia hingga kita
siap menyandang gelar bidadari? Dalam buku Tamasya ke Surga, Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah mengisahkan
tentang bidadari surga. Mereka itu
adalah wanita suci yang
menyenangkan dipandang mata,
menyejukkan dilihat, dan menentramkan hati. Jadi bidadari
adalah wanita shalehah yang
senantiasa tawadhu, tidak bermewah-
mewah dengan keindahan dunia,
bersikap sederhana. Seandainya
berperan sebagai istri maka ia taat kepada suaminya, menjaga harta
suami, mendidik anak-anaknya dan
memotivasi agar istiqamah dalam
membela agama Allah. “Tidakkah mau aku kabarkan kepada
kalian tentang sesuatu yang paling
baik dijadikan bekal seseorang?
wanita yang baik (shalihah); jika
dilihat suami ia menyenangkan; jika
diperintah ia mentaatinya; dan jika suami meninggalkannya ia menjaga
diri dan harta
suaminya.” (Diriwayatkan Abu Daud
dan An-Nasai). Wahai muslimah, kisah di atas
mewakili dari sebagian kisah para
sahabiyah, begitu juga dengan
untaian riwayat yang tersirat. Namun,
apalah artinya sebuah kisah bila kita
tidak bisa mengambil ibrah. Dan apalah artinya seuntai riwayat jika kita
tidak mau belajar darinya. Untuk itu
selamat berjuang, siapkan diri menjadi
sosok bidadari, sosok yang menapaki
kehidupan dengan kezuhudan, dan
kesederhanaan.

No comments: