Nonton iklan bentar ya...!!!

Friday, 9 March 2012

apakah tahajjud harus tidur ???

Tanya : –Mengantuk termasuk salah satu syarat sembahyang Tahajjud.Kalau kita tidur dengan tiada mengantuk, bolehkah kita bertahajjud ?. Apakah mengantuk merupakan syarat yang diberatkan? Jawab : Yang disyaratkan bagi Shalat Tahhajud, bukan mengantuk sebagaimana yang anda terakan. Tapi naum artinya, tidur dalam pengertian yang sesungguhnya. Tegasnya mengenai Shalat Tahajjud dapat pengasuh sampaikan sbb: Telah ijma’ ulama, hukum Shalat Tahajjud, adalah sunat. Dalilnya antara lain, firman Allah SWT dalam surat Al- Israa, ayat 79: Dan pada sebahagian malam, shalat Tahajjudlah kamu, sebagai ibadah tambahan bagimu, Mudah mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji.Dan Rasulullah selalu melakukannya di malam hari setelah beliau terbangun dari tidur. Juga Al- Baihaqy meriwayatkan dari Asmaa binti Yaziid, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pada hari qiamat, Allah menghimpunkan manusia, banyak sekali, lalu ada yang memanggil : Siapa yang lambungnya tidak selalu melekat di tempat tidur (maksudnya, yang sering melaksanakan shalat Tahajjud), lalu mereka datang. Jumlah meraka relatif sedikit. Kemudian mereka diantar ke surga, sementara manusia yang lain dipersilakan menuju ke tempat perhitungan amal (hisab). Dari keterangan di atas, para ulama menyimpulkan, diantara syarat shalat Tahajjud ialah terbangun dari tidur nyenyak. Terbangun itu sudah dalam waktu Isyaa. Tahajjud dilakukan sesudah menunaikan shalat Isyaa. Dengan demikian, mengantuk tidak dapat dimasukkan kedalam tidur yang menjadi syarat shalat Tahajjud. Lebih jauh masalah ini dapat dikaji dalam berbagai kitab Fiqh, antara lain, Nihayatul Muhtaaj, karangan Ar- Ramaly, Juzu’ 2, hal. 131. –Pernah Abu Bakar berselisih dgn Umar masalah shalat tahajud itu musti tidur dulu atau tidak. Keduanya kemudian menghadap kepada Rasulullah dan menceritakan masalahnya, yaitu bahwa Abu Bakar suka bertahajud tanpa tidur dulu, sedangkan Umar tidur dulu. Rasulullah hanya menjelaskan bahwa Abu Bakar adalah orang yg hati2 (karena gak pengen tahajudnya terlewat), sedangkan Umar yg tidur dulu itu adalah orang yg kuat.

Monday, 5 March 2012

"..BILA CINTA TAK SAMPAI.."

Allah menciptakan keselarasan dan keserasian antara satu pribadi dengan pribadi lain yang perangainya serupa. Ia pun menciptakan rasa ketertarikan antara siapa saja yang tabiatnya sesuai. Sedangkan tumbuhnya rasa cinta disebabkan oleh kekosongan hati akan cinta itu sendiri. Kekosongan cinta itulah yang membuka ruang-ruang untuk bersemayamnya sebuah cinta baru. Hati yang kosong akan cinta dan kasih kepada Allah, akan dihinggapi oleh rasa cinta dan kasih kepada selain-Nya. Sedangkan pupuk yang dapat menyuburkan pohon-pohon cinta adalah: anggapan baik terhadap pribadi yang dicintai dan keinginan kuat untuk mendapatkannya. Jika salah satu atau kedua unsur tersebut hilang, maka cinta itu tak akan bisa tumbuh sempurna. Penyebab Cinta Bertepuk Sebelah Tangan Ada beberapa hal yang menyebabkan cinta tak datang dari kedua belah pihak atau bahkan hilangnya cinta yang pernah tumbuh di hati, antara lain: 1. Cacatnya cinta dari salah satu atau kedua belah pihak. Cinta yang cacat ini dapat disebabkan karena cinta sesaat, bukan cinta sejati. 2. Ada penghalang dari pihak yang mencintai sehingga cintanya tidak sampai pada sasaran. Penghalang ini dapat berupa faktor fisik, faktor karakter, cara hidup, perbuatan, sosok dan sejenisnya. 3. Ada penghalang pada diri yang dicintai yang membuat tak dapat membalas cinta dari orang yang mencintai. Mengobati Sakit Hati Jika penghalang-penghalang di atas tidak ada dan cinta uang tumbuh adalah cinta sejati, bukan cinta yang cacat, maka cinta akan datang dari kedua belah pihak. Sebaliknya, jika muncul salah satu atau ketiga macam penyebab tersebut di atas, maka cintanya tak akan bersambut. Untuk mengobati keadaan hati yang seperti itu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Tahap pertama yaitu menghadirkan rasa putus asa akan dibalasnya cinta tersebut. Dengan rasa putus asa ini, maka hati akan nyaman dan tidak terus-menerus berambisi mendapat buruannya tersebut. Bila kondisi keputusasaan tersebut tidak mampu menahan gejolak hati, maka dapat ditanggulangi dengan menamnamkan kesadaran bahwa ketergantungan pada sesuatu yang tidak mungkin dicapai adalah sebuah kegilaan. Sikap-sikap pengharapan yang berlebihan ini hanya dilakukan oleh orang-orang gila. Bila hati terus bergejolak karena tidak memperoleh kekasih dengan cara yang disyariatkan dan sesuai dengan kemampuan, maka berusahalah berprasangkan baik kepada Allah dengan menempatkan diri sebagai orang yang berudzur. Munculkanlah kesan bahwa apa yang dicari sejatinya tidak pernah ada atau mustahil didapat. Jika nafsu masih tetap tidak mau menerima keadaan ini, maka cobalah sekuat tenaga untuk meninggalkan angan-nagan tersebut karena dua hal: Takut kepada Allah atau keyakinan bahwa hilangnya apa yang dicari adalah lebih baik, lebih berguna, dan lebih berfaidah, bahkan dapat menuntunnya menemukan cinta yang lebih besar dan lebih menggembirakan, cinta sejati. Bisa jadi dengan terus mengejar sasrannya itu hanya akan menjerumuskannya ke dalam dua musibah sekaligus: hilangnya sesuatu yang lebih besar dari kekasihnya tersebut dan terjadinya kesusahan yang lebih parah daripada hilangnya sang kekasih hati. Andaikata usaha-usaha di atas belum dapat mengusir cinta itu dari hati, maka cobalah berfikir tentang keburukan yang akan ditimbulkan dari tindakan yang menurutkan syahwat. Betapa banyak kemaslahatan yang akan hilang karenanya. Sebab, menuruti syahwat akan menghalangi seseorang menggunakan kecerdasannya. Kalau hati masih saja belum dapat disembuhkan, maka teruslah mengingat-ingat keburukan dari sang kekasih hati dan segala hal yang dapat membuat benci sang kekasih hati. Alihkan dari sekadar pandangan luar (fisik) ke dalam perilaku buruknya. Menyeberanglah dari kecantikan lahiriah menuju kebusukan hati dan jiwanya. Bila tetap tidak tersembuhkan, maka pasrah dan berdoalah kepada Allah, memohon keselamatan kepada-Nya. Namun, hendaknya seseorang yang cintanya bertepuk sebelah tangan tidak mudah menyebut kekasihnya dan mencelanya di hadapan orang banyak. Jika itu dilakukan, maka ia telah berbuat zalim dan melampaui batas. Disarikan dari: Ibnu Qayyim Al- Jauziyah, Zadul Ma’ad: Bekal Perjalanan Akhirat, Jilid 5