Langit ditaburi bintang-bintang
yang gemerlapan dan bulan yang
muncul malu-malu dari
peraduannya menambah
syahdunya malam ini. Tifa termangu
dimuka jendela kamarnya, tiupan angin sepoi-sepoi menyapu
wajahnya. Sesekali gadis itu
menghela nafas, sementara
tatapannya menerawang jauh. Malam yang telah larut serasa lebih
senyap dan panjang dari biasanya,
dan perasaan yang berkecamuk di
hatinya membuat semuanya
menjadi lengkap. Masih terngiang
kata-kata lembut ibunya tadi siang. " Belajar, Fa. Sesalmu tak akan ada
arti lagi nanti, semua akan percuma
kalau sudah kejadian. " " Fa nggak bisa, Bu." " Bukan tidak bisa, tapi belum bisa.
Makanya belajar, pelan-pelan saja.
Ibu yakin seiring waktu kamu pasti
bisa! " " Fa nggak yakin, Bu. Fa benci.
Karena dia lebih memilih
kebahagiaannya sendiri, dia nggak
peduli dengan perasaan kita. Dan
kini, setelah sekian lama, bahkan
saat Fa nyaris bisa melupakan sosoknya, dia tiba-tiba muncul dan
dengan mudahnya mengatakan
rindu pada Fa, dan meminta maaf
atas semua yang di namakannya
khilaf. " " Ibu tahu ini sangat tidak mudah
buat kamu, tapi... membenci orang
yang kita cintai tidak akan
menolong perasaanmu, Nak.
Karena sebenarnya kita tetap dan
akan terus mencintainya. " ucap ibu lembut. ”Maafkanlah, Nak, Kesalahannya. Terimalah sebagai
ketidaksempurnaan manusia.
Ikhlaskanlah semua, biar badai itu
reda. Oya, ini alamatnya. " Tifa terdiam. ”Mengapa aku merasa diriku yang egois sekarang,
benarkah?” Bisiknya dalam hati. DIa bangkit dari sisi jendela bersiap
untuk tidur, di atas meja masih
tergeletak alamat Rumah Sakit yang
diberikan ibunya tadi. " Tunggu aku, Ayah. Aku juga
sangat merindukanmu. " bisik Tifa
lirih. *** Sahabat, memaafkan itu sesuatu
yang sangat mudah diucapkan,
tetapi terkadang sangat sukar
untuk dilaksanakan. Memberi maaf
bukan hanya bisa meredakan
ketegangan dan mengembalikan senyuman untuk orang yang
menadahkan maaf, tetapi bagi kita
yang berkenan membuka pintu
maaf, memberi maaf itu
menyenangkan, menenangkan,
melapangkan jiwa dan membuat diri kita mempesona. Apalagi
memberikan maaf untuk orang-
orang yang kita cintai. Karena cinta
itu memberi, lihatlah cinta tulus
kedua orang tua kita, dia seperti
kandungan energi yang terus mengalir ke dalam diri kita, tanpa
pernah keduanya berusaha
mengambil kembali pemberiannya. Sahabat, siapapun di dunia ini pasti
pernah melakukan kesalahan,
karena salah dan khilaf adalah sifat
alami manusia. Seseorang yang
pernah berbuat salah tidak lantas
menjadikan semua sisi hidupnya buruk kemudian kita perlu
membencinya. Apalagi yang kita
benci adalah orang yang harusnya
kita cintai, tentu saja itu berlawanan
dengan fitrah jiwa kita yang
menginginkan rasa damai. Sebenci apapun perasaan kita pada orang
yang telah mengalirkan cinta tanpa
henti, kita tidak akan sanggup
melawan kekuatan cinta mereka.
Sungguh tidak mudah memelihara
dua perasaan yang bertentangan, cinta dan benci, di dalam satu jiwa. Sahabat, perlu energi yang sangat
besar untuk memelihara kebencian
dalam diri kita. Kebencian akan
mengungkung hidup kita. Bahkan
kebencian yang terpendam bisa
mendatangkan penyakit-penyakit fisik seperti kanker dalam hidup
kita. Sedangkan memaafkan dapat
merubah masa lalu menuju harapan
masa depanmu yang lebih cerah.
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah /9: 105).
Nonton iklan bentar ya...!!!
Thursday, 21 April 2011
kisa tentang seorang ibu..
Ini kisah tentang Yu Timah.
Siapakah dia? Yu Timah adalah
tetangga kami. Dia salah seorang
penerima program Subsidi
Langsung Tunai (SLT) yang kini
sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun
jumlah uang yang diterima Yu
Timah dari pemerintah sebesar Rp
1,2 juta. Yu Timah adalah penerima
SLT yang sebenarnya. Maka
rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak
punya sumur sendiri. Bahkan status
tanah yang di tempati gubuk Yu
Timah adalah bukan milik sendiri.
Usia Yu Timah sekitar lima puluhan,
berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi
tubuhnya yang kurus, sangat
miskin, ditambah yatim sejak kecil,
maka Yu Timah tidak menarik
lelaki manapun. Jadilah Yu Timah
perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja
Yu Timah bekerja sebagai
pembantu rumah tangga di
Jakarta. Namun, seiring usianya
yang terus meningkat, tenaga Yu
Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia
kembali ke kampung kami. Para
tetangga bergotong royong
membuatkan gubuk buat Yu Timah
bersama emaknya yang sudah
sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia
menampung anak dan emak yang
sangat miskin itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu
Timah ingin mandiri. Maka ia
berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang
sedang mondok di pesantren
kampung kami. Tentu hasilnya tak
seberapa. Tapi Yu Timah bertahan.
Dan nyatanya dia bisa hidup
bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya
meninggal Yu Timah mengasuh
seorang kemenakan. Dia biayai
anak itu hingga tamat SD. Tapi ini
zaman apa. Anak itu harus cari
makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah
tangga dan lagi-lagi terdampar di
Jakarta. Sudah empat tahun
terakhir ini Yu Timah kembali hidup
sebatang kara dan mencukupi
kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di
kampung kami ada pesantren kecil.
Para santrinya adalah anak-anak
petani yang biasa makan nasi
seperti yang dijual Yu Timah.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira
pasti dia mau bicara soal tabungan.
Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu
Timah masih bisa menabung di
bank perkreditan rakyat syariah di
mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang
ke kantor. Katanya, malu sebab dia
orang miskin dan buta huruf. Dia
menabung Rp 5.000 atau Rp 10
ribu setiap bulan. Namun setelah
menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250
ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu
Timah memakai cincin emas. Yah,
emas. Untuk orang seperti Yu
Timah, setitik emas di jari adalah
persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp
650 ribu.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila
berhadapan dengan saya. Malah
maunya bersimpuh di lantai,
namun selalu saya cegah. ''Pak, saya mau mengambil
tabungan,'' kata Yu Timah dengan
suaranya yang kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu
dan sudah sore. Bank kita sudah
tutup. Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya
tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''
Yu Timah tidak segera menjawab.
Menunduk, sambil tersenyum
malu-malu. ''Saya mau beli
kambing kurban, Pak. Kalau enam
ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup
untuk beli satu kambing.''
Saya tahu Yu Timah amat
menunggu tanggapan saya.
Bahkan dia mengulangi kata-
katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah
mengira saya tidak akan
memberikan uang tabungannya.
Padahal saya lama terdiam karena
sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.
''Iya, Yu. Senin besok uang Yu
Timah akan diberikan sebesar
enam ratus ribu. Tapi Yu,
sebenarnya kamu tidak wajib
berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-
saudara kita yang lebih berada.
Jadi, apakah niat Yu Timah benar-
benar sudah bulat hendak membeli
kambing kurban?''
''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban.
Selama ini memang saya hanya
jadi penerima. Namun sekarang
saya ingin jadi pemberi daging
kurban.''
''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang.
Senyumnya ceria. Matanya
berbinar. Lalu minta diri, dan
dengan langkah-langkah panjang
Yu Timah pulang. Setelah Yu Timah pergi, saya
termangu sendiri. Kapankah Yu
Timah mendengar, mengerti,
menghayati, lalu menginternalisasi
ajaran kurban yang ditinggalkan
oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam
itu bisa punya keikhlasan demikian
tinggi sehingga rela mengurbankan
hampir seluruh hartanya?
Pertanyaan ini muncul karena
umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak
mengubah watak orangnya.
Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu
Timah, saya jadi malu. Kamu yang
belum naik haji, atau tidak akan
pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka
berkurban. Kamu sangat miskin,
tapi uangmu tidak kaubelikan
makanan, televisi, atau pakaian
yang bagus. Uangmu malah kamu
belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter
makan daging kambing, tapi kali ini
akan saya langgar. Saya ingin
menikmati daging kambingmu
yang sepertinya sudah berbau
surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.
Salam,
Siapakah dia? Yu Timah adalah
tetangga kami. Dia salah seorang
penerima program Subsidi
Langsung Tunai (SLT) yang kini
sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun
jumlah uang yang diterima Yu
Timah dari pemerintah sebesar Rp
1,2 juta. Yu Timah adalah penerima
SLT yang sebenarnya. Maka
rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak
punya sumur sendiri. Bahkan status
tanah yang di tempati gubuk Yu
Timah adalah bukan milik sendiri.
Usia Yu Timah sekitar lima puluhan,
berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi
tubuhnya yang kurus, sangat
miskin, ditambah yatim sejak kecil,
maka Yu Timah tidak menarik
lelaki manapun. Jadilah Yu Timah
perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja
Yu Timah bekerja sebagai
pembantu rumah tangga di
Jakarta. Namun, seiring usianya
yang terus meningkat, tenaga Yu
Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia
kembali ke kampung kami. Para
tetangga bergotong royong
membuatkan gubuk buat Yu Timah
bersama emaknya yang sudah
sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia
menampung anak dan emak yang
sangat miskin itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu
Timah ingin mandiri. Maka ia
berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang
sedang mondok di pesantren
kampung kami. Tentu hasilnya tak
seberapa. Tapi Yu Timah bertahan.
Dan nyatanya dia bisa hidup
bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya
meninggal Yu Timah mengasuh
seorang kemenakan. Dia biayai
anak itu hingga tamat SD. Tapi ini
zaman apa. Anak itu harus cari
makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah
tangga dan lagi-lagi terdampar di
Jakarta. Sudah empat tahun
terakhir ini Yu Timah kembali hidup
sebatang kara dan mencukupi
kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di
kampung kami ada pesantren kecil.
Para santrinya adalah anak-anak
petani yang biasa makan nasi
seperti yang dijual Yu Timah.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira
pasti dia mau bicara soal tabungan.
Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu
Timah masih bisa menabung di
bank perkreditan rakyat syariah di
mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang
ke kantor. Katanya, malu sebab dia
orang miskin dan buta huruf. Dia
menabung Rp 5.000 atau Rp 10
ribu setiap bulan. Namun setelah
menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250
ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu
Timah memakai cincin emas. Yah,
emas. Untuk orang seperti Yu
Timah, setitik emas di jari adalah
persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp
650 ribu.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila
berhadapan dengan saya. Malah
maunya bersimpuh di lantai,
namun selalu saya cegah. ''Pak, saya mau mengambil
tabungan,'' kata Yu Timah dengan
suaranya yang kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu
dan sudah sore. Bank kita sudah
tutup. Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya
tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''
Yu Timah tidak segera menjawab.
Menunduk, sambil tersenyum
malu-malu. ''Saya mau beli
kambing kurban, Pak. Kalau enam
ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup
untuk beli satu kambing.''
Saya tahu Yu Timah amat
menunggu tanggapan saya.
Bahkan dia mengulangi kata-
katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah
mengira saya tidak akan
memberikan uang tabungannya.
Padahal saya lama terdiam karena
sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.
''Iya, Yu. Senin besok uang Yu
Timah akan diberikan sebesar
enam ratus ribu. Tapi Yu,
sebenarnya kamu tidak wajib
berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-
saudara kita yang lebih berada.
Jadi, apakah niat Yu Timah benar-
benar sudah bulat hendak membeli
kambing kurban?''
''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban.
Selama ini memang saya hanya
jadi penerima. Namun sekarang
saya ingin jadi pemberi daging
kurban.''
''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang.
Senyumnya ceria. Matanya
berbinar. Lalu minta diri, dan
dengan langkah-langkah panjang
Yu Timah pulang. Setelah Yu Timah pergi, saya
termangu sendiri. Kapankah Yu
Timah mendengar, mengerti,
menghayati, lalu menginternalisasi
ajaran kurban yang ditinggalkan
oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam
itu bisa punya keikhlasan demikian
tinggi sehingga rela mengurbankan
hampir seluruh hartanya?
Pertanyaan ini muncul karena
umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak
mengubah watak orangnya.
Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu
Timah, saya jadi malu. Kamu yang
belum naik haji, atau tidak akan
pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka
berkurban. Kamu sangat miskin,
tapi uangmu tidak kaubelikan
makanan, televisi, atau pakaian
yang bagus. Uangmu malah kamu
belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter
makan daging kambing, tapi kali ini
akan saya langgar. Saya ingin
menikmati daging kambingmu
yang sepertinya sudah berbau
surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.
Salam,
Subscribe to:
Posts (Atom)