Nonton iklan bentar ya...!!!

Thursday 21 April 2011

kisa tentang seorang ibu..

Ini kisah tentang Yu Timah.
Siapakah dia? Yu Timah adalah
tetangga kami. Dia salah seorang
penerima program Subsidi
Langsung Tunai (SLT) yang kini
sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun
jumlah uang yang diterima Yu
Timah dari pemerintah sebesar Rp
1,2 juta. Yu Timah adalah penerima
SLT yang sebenarnya. Maka
rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak
punya sumur sendiri. Bahkan status
tanah yang di tempati gubuk Yu
Timah adalah bukan milik sendiri.
Usia Yu Timah sekitar lima puluhan,
berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi
tubuhnya yang kurus, sangat
miskin, ditambah yatim sejak kecil,
maka Yu Timah tidak menarik
lelaki manapun. Jadilah Yu Timah
perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja
Yu Timah bekerja sebagai
pembantu rumah tangga di
Jakarta. Namun, seiring usianya
yang terus meningkat, tenaga Yu
Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia
kembali ke kampung kami. Para
tetangga bergotong royong
membuatkan gubuk buat Yu Timah
bersama emaknya yang sudah
sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia
menampung anak dan emak yang
sangat miskin itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu
Timah ingin mandiri. Maka ia
berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang
sedang mondok di pesantren
kampung kami. Tentu hasilnya tak
seberapa. Tapi Yu Timah bertahan.
Dan nyatanya dia bisa hidup
bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya
meninggal Yu Timah mengasuh
seorang kemenakan. Dia biayai
anak itu hingga tamat SD. Tapi ini
zaman apa. Anak itu harus cari
makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah
tangga dan lagi-lagi terdampar di
Jakarta. Sudah empat tahun
terakhir ini Yu Timah kembali hidup
sebatang kara dan mencukupi
kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di
kampung kami ada pesantren kecil.
Para santrinya adalah anak-anak
petani yang biasa makan nasi
seperti yang dijual Yu Timah.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira
pasti dia mau bicara soal tabungan.
Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu
Timah masih bisa menabung di
bank perkreditan rakyat syariah di
mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang
ke kantor. Katanya, malu sebab dia
orang miskin dan buta huruf. Dia
menabung Rp 5.000 atau Rp 10
ribu setiap bulan. Namun setelah
menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250
ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu
Timah memakai cincin emas. Yah,
emas. Untuk orang seperti Yu
Timah, setitik emas di jari adalah
persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp
650 ribu.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila
berhadapan dengan saya. Malah
maunya bersimpuh di lantai,
namun selalu saya cegah. ''Pak, saya mau mengambil
tabungan,'' kata Yu Timah dengan
suaranya yang kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu
dan sudah sore. Bank kita sudah
tutup. Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya
tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''
Yu Timah tidak segera menjawab.
Menunduk, sambil tersenyum
malu-malu. ''Saya mau beli
kambing kurban, Pak. Kalau enam
ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup
untuk beli satu kambing.''
Saya tahu Yu Timah amat
menunggu tanggapan saya.
Bahkan dia mengulangi kata-
katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah
mengira saya tidak akan
memberikan uang tabungannya.
Padahal saya lama terdiam karena
sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.
''Iya, Yu. Senin besok uang Yu
Timah akan diberikan sebesar
enam ratus ribu. Tapi Yu,
sebenarnya kamu tidak wajib
berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-
saudara kita yang lebih berada.
Jadi, apakah niat Yu Timah benar-
benar sudah bulat hendak membeli
kambing kurban?''
''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban.
Selama ini memang saya hanya
jadi penerima. Namun sekarang
saya ingin jadi pemberi daging
kurban.''
''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang.
Senyumnya ceria. Matanya
berbinar. Lalu minta diri, dan
dengan langkah-langkah panjang
Yu Timah pulang. Setelah Yu Timah pergi, saya
termangu sendiri. Kapankah Yu
Timah mendengar, mengerti,
menghayati, lalu menginternalisasi
ajaran kurban yang ditinggalkan
oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam
itu bisa punya keikhlasan demikian
tinggi sehingga rela mengurbankan
hampir seluruh hartanya?
Pertanyaan ini muncul karena
umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak
mengubah watak orangnya.
Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu
Timah, saya jadi malu. Kamu yang
belum naik haji, atau tidak akan
pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka
berkurban. Kamu sangat miskin,
tapi uangmu tidak kaubelikan
makanan, televisi, atau pakaian
yang bagus. Uangmu malah kamu
belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter
makan daging kambing, tapi kali ini
akan saya langgar. Saya ingin
menikmati daging kambingmu
yang sepertinya sudah berbau
surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.
Salam,

No comments: