Nonton iklan bentar ya...!!!

Wednesday, 27 April 2011

Sifat-Sifat Isteri Yang Solehah

1. Tidak melihat dan mencari aib
wanita lain, tidak menceritakan
keadaan tubuh wanita lain kepada
suaminya, khuatir jika suaminya
tertarik dan ini akan menimbulkan
kerosakan. Al-Bukhari berkata: “Rasulullali s.a.w. melarang seorang Wanita berada dalam satu selimut
dengan wanita lain, agar dia tidak
menceritakan kepada suaminya.” 2. Memakai hijab di hadapan lelaki
yang bukan muhramnya, termasuk
lelaki buta. Rasulullah s.a.w,
memerintahkan para wanita berhijab
di hadapan orang yang buta dengan
bersabda: “Pakailah hijab di hadapannya.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah dia buta?” Baginda bersabda: “Apakah kedua mata kamu buta. Bukankah kamu
melihatnya?” (Riwayat Abu Daud, at- Tirmizi dan Ahmad. Menurut at-Tirmizi,
hadis ini Hasan) 3. Berhias, bersolek dan memakai
minyak wangi di dalam rumah untuk
suaminya. Ini dilakukan agar
suaminya gembira dan mencegahnya
melakukan perkara yang haram. Isteri
yang solehah tidak boleh keluar rumah dalam keadaan bersolek dan
membuat sesuatu yang menarik
perhatian lelaki lain. Rasulullah s.a.w.
bersabda yang bermaksud: “Allah melaknat lelaki yang seperti wanita
(waria) dan wanita seperti lelaki.
Usirlah mereka dari rumah
kamu.” (Riwayat al-Bukhari, at-Tirmizi, Ibnu Majah dan Abu Daud). 4. Isteri yang solehah tidak menolak
ajakan suaminya di tempat tidur.
Rasulullah s.a.w. bersabda yang
bermaksud: “Jika wanita menjauhi keinginan suaminya di malam hari,
maka para malaikat melaknatnya
sehingga dia kembali.” (Riwayat al- Bukhari dan Muslim) 5. Dalam keadaan ini, dia bersekutu
dengan syaitan. Sedangkan wanita
solehah ialah yang bersama dengan
suaminya untuk menghadapi syaitan.
Sabda Nabi s.a.w. yang bermaksud:
“Jika seorang lelaki mengajak isterinya berjimak, maka hendaklah
dia memenuinya, sekalipun dia
sedang berada berhampiran tungku
api.” (Riwayat at-Tirmizi dan Ahmad) 6. Wanita solehah ialah yang tidak
mengutuk dan mengingkari nikmat
yang diterima daripada suaminya,
berdasarkan sabda baginda:
“Bersedekahlah kamu, kerana kebanyakan di antara kamu akan
menjadi kayu bakar Jahanam.” Ada seorang wanita yang bertanya:
“Wahai Rasulullah, mengapa sedemikian?” “Kerana kamu suka mengutuk dan mengingkari
suami.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim). 7. Wanita solehah ialah yang tidak
membocorkan rahsia suaminya. Isteri
ialah wadah suami dan orang yang
paling rapat dengannya.
Membocorkan rahsia seseorang
merupakan sifat tercela, lebih-lebih lagi seorang isteri yang membocorkan
rahsia suaminya. Perbuatan ini
merupakan dosa besar dan
merbahaya. Kerana itu tatkala ada
seorang isteri Nabi s.a.w. yang
membocorkan rahsianya, baginda bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya di
sisi Allah pada hari kiamat ialah lelaki
yang mencampuri isterinya dan
wanita yang mencampuri suaminya,
kemudian salah seorang di antara
keduanya membocorkan rahsia yang lainnya.” (Riwayat Muslim). 8. Wanita solehah ialah yang tidak
berkhalwat dengan lelaki yang bukan
mahramnya, sebagaimana ia juga
dilarang kepada suami yang soleh.
Sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang
bermaksud: “Ingatlah, janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan
seorang wanita, kerana yang ketiga
ialah syaitan.” (Riwayat at-Tirmizi, Ahmad, al-Hakim dan Ibnu Hibban) 9. Wanita solehah ialah yang
mengetahui bahawa suaminya
merupakan seorang pemimpin,
berhak menyuruh dan melarang
dalam rumahnya. Sabda baginda yang
bermaksud: “Tidak dibenarkan manusia bersujud kepada manusia
lain. Andaikan manusia dibenarkan
sujud kepada yang lain, maka akan
aku perintahkan wanita bersujud
kepada suaminya kerana besarnya
hak suami ke atas dirinya.” (Riwayat Ahmad, al-Bazzar dan al-Haithami) 10.Wanita sholehah ialah”Yang taat jika suami memerintahnya, yang
menyenangkan jika suami
memandangnya, yang menjaga
kehormatan diri suami dan hartanya.” (Riwayat an-Nasa’i, Ahmad dan al- Baihaqi)Sifat-Sifat Isteri Yang Solehah

Hukum Wanita Haid MasukMasjid, Potong kuku & Rambut

Hukum Wanita Haid Masuk
Masjid, Potong kuku & Rambut Assalamu’alaikum wr.wb. Saya pernah mendengar bahwa wanita haidh, nifas, atau junub,
dilarang masuk masjid. Tapi ada rekan
saya yang bersikukuh mengatakan
bahwa hal itu hukumnya boleh. Lalu
saya tanyakan kepada salah satu guru
agama yang mengajar di sebuah majelis ta’lim, ia juga mengatakan boleh. Hingga saat ini, terus terang, saya masih penasaran untuk
mendapatkan keterangan tentang
larangan akan hal itu. Tapi,
alhamdulillah, sejak awal tahun 2009
di majalah alkisah ada rubrik fiqhun
nisa’, dan kebetulan ada pembahasan yang sangat saya perlukan itu. Saya
pun menjadi semakin yakin dengan
yang selama ini saya telah yakini. Kemudian saya punya pertanyaan, apa betul wanita haidh
atau nifas dilarang memotong kuku
dan rambut, hingga bahkan rambut
yang putus pun harus dikimpulkan
dan dimandikan ketika mandi
janabat? Terima kasih, semoga Antum selalu dalam lindungan Allah SWT.
Amin…… Wassalamu’alaikum wr.wb. Irma Aljufri Blok Kaum No. 225, Kalijati Barat, Subang,41271 Wa’alaikumussalam wr.wb Memang benar yang anti dengar dari ustadz tersebut
bahwasanya menurut pendapat
sebagian imam madzhab, seperti imam
Ahmad bin Hanbal RA dan juga
Madzhab Imam Dawud Azh-Zhahiri
RA, diperbolehkan seorang wanita yang sedang haidh, nifas, atau junub,
masuk ke dalam masjid. Tapi itu
bukan pendapat Madzhab yang kita
anut, yaitu Madzhab Imam Syafi’i RA, Madzhab mayoritas kaum muslimin di
Negara kita, Indonesia, yang kita
warisi sejak zaman walisanga. Dalam kapasitas kita sebagai muqallid (orang yang bertalqid/
mengikuti madzhab tertentu ), kita
wajib konsisten mengikuti pendapat
madzhab yang kita anut dan tidak
diperkenankan mencampuradukkan
pendapat para imam madzhab. Sebagaimana dalam pembahasan
pada edisi yang telah lewat, dala
madzhab kita, yaitu Madzhab Imam
Syafi’I, seorang wanita haidh, nifas, atau junub, tidak diperbolehkan
masuk kedalam masjid. Kita memang dibebaskan untuk mengikuti salah satu madzhab
dari empat madzhab fiqih Ahlussunah
wal jama’ah. Tapi, kita tidak diperbolehkan mentalfik, yaitu
mengikuti sebagian pendapat
seorang imam dan mengambil bagian
pendapat imam lainnya, alias
mengambil yang enak-enak saja,
sesuai dengan selera kita. Berdasarkan kesepakatan para ulama,
hal itu tidak diperbolehkan, kecuali
dalam masalah –masalah tertentu dalam madzhab kita di mana dalam
mengerjakannya kita merasakan
sempit atau berat. Contoh dalam hal itu misalnya ketika melaksanakan thawaf. Jika kita
mengambil pendapat madzhab kita
yang menyatakan bahwa batalnya
wudhu jika tersentuh kulit perempuan
yang bukan mahram, akan sulit bagi
kita untuk menerapkannya dalam ibadah haji, yang diikuti oleh begitu
banyak orang pada saat itu dan
jauhnya tempat untuk berwudhu.
Dalam kondisi seperti itu
diperkenankan berpindah kepada
madhzab lainnya, dengan catatan memenuhi beberapa persyaratan
sebagaimana yang disebutkan dalam
kitab Bughyatul Mustarsyidin, karya
habib Abdurrahman Al-Mayshur. Pertama, harus memahami dengan jelas masalah tersebut dalam
madhzab yang sedang dianut, baik
syarat-syaratnya, maupun hal-hal
lainnya.Kedua, tidak mengambil pendapat yang lebih memudahkan
baginya dari madzhab-madzhab yang
empat. Ketiga, tidak mencampur - adukkan hukum, pada satu masalah,
di antara beberapa pendapat imam
madzhab. Misalnya seseorang yang
berwudhu dengan mengikuti tata cara
wudhu madzhab Imam Syafi’I, kemudian ia mengikuti madzhab
Imam Malik, yang menyatakan
wudhunya tidak batal saat
bersentuhan kulit dengan seorang
wanita yang bukan mahram.
Akibatnya dalam kondisi seperti itu, menurut madzhab Imam Syafi’I, wudhunya batal (karena bersentuhan
kulit dengan perempuan bukan
mahram), dan menurut madzhab
Imam Malik wudhunya dianggap tidak
sah, karena dalam madzhab Maliki
seseorang yang berwudhu harus mengusap semua bagian kepala dan
rambutnya, harus menekan setiap kali
membasuh anggota wudhu, serta
harus melakukan Muwalah (berturut- turut tidak diselingi kegiatan yang
lain) ketika berwudhu, dan ini tidak
dipersyaratkan dalam tata cara wudhu
dalam madzhab Imam Syafi’i. Jadi kesimpulannya, jika tidak mau
wudhunya batal dengan mengikuti
madzhab Imam Malik, tata cara
wudhunya pun harus dengan tata
cara wudhu dalam madzhab Imam
Malik. Keempat, masalah yang untuk sementara waktu ia sedang bertaqlid
kepada pendapat madzhab lainnya itu
bukan masalah yang membatalkan
keputusan seorang hakim. Adapun masalah MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU KETIKA SEDANG
HAID ATAU JUNUB, memang sebaiknya dipotongnya setelah suci
dari haid atau junubnya. Tetapi kalau
ada sesuatu keperluan yang
memaksa, hokum memotong pada
saat itu tidak mengapa dan tidak perlu
disimpan untuk nantinya disucikan bersamaan ketika mandi suci. Memang
ada sebuah Hadits berisikan ancaman
bagi mereka yang tidak menyucikan
bagian anggota badannya ketika
bersuci seperti disebutkan di bawah
ini : َﻝﺎَﻗ ُﻪْﻨَﻋ ُﻪﻠﻟَﺍ َﻲِﺿَﺭ ٍّﻲِﻠَﻋ ْﻦَﻋ : َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﻠﻟﺍ َّﻞَﺻ ِﻪﻠﻟﺍ َﻝْﻮُﺳَﺭ ُﺖْﻌِﻤَﺳ ْﻢَﻟ ٍﺔَﺑﺎَﻨَﺟ ْﻦِﻣ ٍﺓَﺮْﻌَﺷ َﻊِﺿْﻮَﻣ َﻙَﺮَﺗ ْﻦَﻣ ُﻝْﻮُﻘَﻳ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ َﻦِﻣ ﺍَﺬَﻛ َﻭ ﺍَﺬَﻛ ِﻪِﺑ ُﻪﻠﻟﺍ َﻞَﻌَﻓ ُﺀﺎَﻤْﻟﺍ ﺎَﻬْﺒِﺼُﻳ , ﻱِﺮْﻌَﺷ ُﺖْﻳَﺩﺎَﻋ َّﻢُﺛ ْﻦِﻤَﻓ ٌّﻲِﻠَﻋ َﻝﺎَﻗ , َﻥﺎَﻛَﻭ ِﻪْﻳِﺰْﺠُﻳ ) َﺩُﻭﺍَﺩ ﻮُﺑَﺍ َﻭ ُﺪَﻤْﺣَﺍ ُﻩﺍَﻭَﺭ ) Berkata Sayyidina Ali RA, “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
‘Barang siapa meninggalkan satu tempat dari rambutnya hingga tidak
terkena air ketika mandi dari janabah,
Allah akan memberinya siksaan
sedemikian rupa dalam neraka.’ Maka Berkata Imam Ali, “Mulai saat itu aku gunduli kepalaku,
lantaran takut ancaman tersebut.” (HR Ahmad dan Abu Dawud ). Akan Tetapi hadis tersebut tidak diambil sebagai dalil oleh Imam
Syafi’i RA. Jadi hukumnya tidak apa- apa memotong kuku atau rambut
pada waktu haidh atau junub, hanya
saja memang lebih baik
mengakhirkannya hingga ia suci dari
haidh atau junubnya. Semoga penjelasan ini dapat membuka wawasan beragama kita,
sehingga kita tidak menjadi seorang
yang fanatik dengan Madzhab kita
dengan meremehkan atau bahkan
menyalahkan Madzhab lainnya.