Nonton iklan bentar ya...!!!

Wednesday 27 April 2011

Hukum Wanita Haid MasukMasjid, Potong kuku & Rambut

Hukum Wanita Haid Masuk
Masjid, Potong kuku & Rambut Assalamu’alaikum wr.wb. Saya pernah mendengar bahwa wanita haidh, nifas, atau junub,
dilarang masuk masjid. Tapi ada rekan
saya yang bersikukuh mengatakan
bahwa hal itu hukumnya boleh. Lalu
saya tanyakan kepada salah satu guru
agama yang mengajar di sebuah majelis ta’lim, ia juga mengatakan boleh. Hingga saat ini, terus terang, saya masih penasaran untuk
mendapatkan keterangan tentang
larangan akan hal itu. Tapi,
alhamdulillah, sejak awal tahun 2009
di majalah alkisah ada rubrik fiqhun
nisa’, dan kebetulan ada pembahasan yang sangat saya perlukan itu. Saya
pun menjadi semakin yakin dengan
yang selama ini saya telah yakini. Kemudian saya punya pertanyaan, apa betul wanita haidh
atau nifas dilarang memotong kuku
dan rambut, hingga bahkan rambut
yang putus pun harus dikimpulkan
dan dimandikan ketika mandi
janabat? Terima kasih, semoga Antum selalu dalam lindungan Allah SWT.
Amin…… Wassalamu’alaikum wr.wb. Irma Aljufri Blok Kaum No. 225, Kalijati Barat, Subang,41271 Wa’alaikumussalam wr.wb Memang benar yang anti dengar dari ustadz tersebut
bahwasanya menurut pendapat
sebagian imam madzhab, seperti imam
Ahmad bin Hanbal RA dan juga
Madzhab Imam Dawud Azh-Zhahiri
RA, diperbolehkan seorang wanita yang sedang haidh, nifas, atau junub,
masuk ke dalam masjid. Tapi itu
bukan pendapat Madzhab yang kita
anut, yaitu Madzhab Imam Syafi’i RA, Madzhab mayoritas kaum muslimin di
Negara kita, Indonesia, yang kita
warisi sejak zaman walisanga. Dalam kapasitas kita sebagai muqallid (orang yang bertalqid/
mengikuti madzhab tertentu ), kita
wajib konsisten mengikuti pendapat
madzhab yang kita anut dan tidak
diperkenankan mencampuradukkan
pendapat para imam madzhab. Sebagaimana dalam pembahasan
pada edisi yang telah lewat, dala
madzhab kita, yaitu Madzhab Imam
Syafi’I, seorang wanita haidh, nifas, atau junub, tidak diperbolehkan
masuk kedalam masjid. Kita memang dibebaskan untuk mengikuti salah satu madzhab
dari empat madzhab fiqih Ahlussunah
wal jama’ah. Tapi, kita tidak diperbolehkan mentalfik, yaitu
mengikuti sebagian pendapat
seorang imam dan mengambil bagian
pendapat imam lainnya, alias
mengambil yang enak-enak saja,
sesuai dengan selera kita. Berdasarkan kesepakatan para ulama,
hal itu tidak diperbolehkan, kecuali
dalam masalah –masalah tertentu dalam madzhab kita di mana dalam
mengerjakannya kita merasakan
sempit atau berat. Contoh dalam hal itu misalnya ketika melaksanakan thawaf. Jika kita
mengambil pendapat madzhab kita
yang menyatakan bahwa batalnya
wudhu jika tersentuh kulit perempuan
yang bukan mahram, akan sulit bagi
kita untuk menerapkannya dalam ibadah haji, yang diikuti oleh begitu
banyak orang pada saat itu dan
jauhnya tempat untuk berwudhu.
Dalam kondisi seperti itu
diperkenankan berpindah kepada
madhzab lainnya, dengan catatan memenuhi beberapa persyaratan
sebagaimana yang disebutkan dalam
kitab Bughyatul Mustarsyidin, karya
habib Abdurrahman Al-Mayshur. Pertama, harus memahami dengan jelas masalah tersebut dalam
madhzab yang sedang dianut, baik
syarat-syaratnya, maupun hal-hal
lainnya.Kedua, tidak mengambil pendapat yang lebih memudahkan
baginya dari madzhab-madzhab yang
empat. Ketiga, tidak mencampur - adukkan hukum, pada satu masalah,
di antara beberapa pendapat imam
madzhab. Misalnya seseorang yang
berwudhu dengan mengikuti tata cara
wudhu madzhab Imam Syafi’I, kemudian ia mengikuti madzhab
Imam Malik, yang menyatakan
wudhunya tidak batal saat
bersentuhan kulit dengan seorang
wanita yang bukan mahram.
Akibatnya dalam kondisi seperti itu, menurut madzhab Imam Syafi’I, wudhunya batal (karena bersentuhan
kulit dengan perempuan bukan
mahram), dan menurut madzhab
Imam Malik wudhunya dianggap tidak
sah, karena dalam madzhab Maliki
seseorang yang berwudhu harus mengusap semua bagian kepala dan
rambutnya, harus menekan setiap kali
membasuh anggota wudhu, serta
harus melakukan Muwalah (berturut- turut tidak diselingi kegiatan yang
lain) ketika berwudhu, dan ini tidak
dipersyaratkan dalam tata cara wudhu
dalam madzhab Imam Syafi’i. Jadi kesimpulannya, jika tidak mau
wudhunya batal dengan mengikuti
madzhab Imam Malik, tata cara
wudhunya pun harus dengan tata
cara wudhu dalam madzhab Imam
Malik. Keempat, masalah yang untuk sementara waktu ia sedang bertaqlid
kepada pendapat madzhab lainnya itu
bukan masalah yang membatalkan
keputusan seorang hakim. Adapun masalah MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU KETIKA SEDANG
HAID ATAU JUNUB, memang sebaiknya dipotongnya setelah suci
dari haid atau junubnya. Tetapi kalau
ada sesuatu keperluan yang
memaksa, hokum memotong pada
saat itu tidak mengapa dan tidak perlu
disimpan untuk nantinya disucikan bersamaan ketika mandi suci. Memang
ada sebuah Hadits berisikan ancaman
bagi mereka yang tidak menyucikan
bagian anggota badannya ketika
bersuci seperti disebutkan di bawah
ini : َﻝﺎَﻗ ُﻪْﻨَﻋ ُﻪﻠﻟَﺍ َﻲِﺿَﺭ ٍّﻲِﻠَﻋ ْﻦَﻋ : َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﻠﻟﺍ َّﻞَﺻ ِﻪﻠﻟﺍ َﻝْﻮُﺳَﺭ ُﺖْﻌِﻤَﺳ ْﻢَﻟ ٍﺔَﺑﺎَﻨَﺟ ْﻦِﻣ ٍﺓَﺮْﻌَﺷ َﻊِﺿْﻮَﻣ َﻙَﺮَﺗ ْﻦَﻣ ُﻝْﻮُﻘَﻳ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ َﻦِﻣ ﺍَﺬَﻛ َﻭ ﺍَﺬَﻛ ِﻪِﺑ ُﻪﻠﻟﺍ َﻞَﻌَﻓ ُﺀﺎَﻤْﻟﺍ ﺎَﻬْﺒِﺼُﻳ , ﻱِﺮْﻌَﺷ ُﺖْﻳَﺩﺎَﻋ َّﻢُﺛ ْﻦِﻤَﻓ ٌّﻲِﻠَﻋ َﻝﺎَﻗ , َﻥﺎَﻛَﻭ ِﻪْﻳِﺰْﺠُﻳ ) َﺩُﻭﺍَﺩ ﻮُﺑَﺍ َﻭ ُﺪَﻤْﺣَﺍ ُﻩﺍَﻭَﺭ ) Berkata Sayyidina Ali RA, “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
‘Barang siapa meninggalkan satu tempat dari rambutnya hingga tidak
terkena air ketika mandi dari janabah,
Allah akan memberinya siksaan
sedemikian rupa dalam neraka.’ Maka Berkata Imam Ali, “Mulai saat itu aku gunduli kepalaku,
lantaran takut ancaman tersebut.” (HR Ahmad dan Abu Dawud ). Akan Tetapi hadis tersebut tidak diambil sebagai dalil oleh Imam
Syafi’i RA. Jadi hukumnya tidak apa- apa memotong kuku atau rambut
pada waktu haidh atau junub, hanya
saja memang lebih baik
mengakhirkannya hingga ia suci dari
haidh atau junubnya. Semoga penjelasan ini dapat membuka wawasan beragama kita,
sehingga kita tidak menjadi seorang
yang fanatik dengan Madzhab kita
dengan meremehkan atau bahkan
menyalahkan Madzhab lainnya.

No comments: