1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil? 2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu? 3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)? Jawab : Kami jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al-’Alim Al-Hakim sebagai berikut : 1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam : Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil. Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini Wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini. Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. Ath- Tholaq : 4). Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya”. (QS. Al-Baqarah : 235). Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir- nya tentang makna ayat ini : “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah- nya”. Kemudian beliau berkata : “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah”. (Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.) Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim Al- Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut : Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan
dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama. Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina. Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista. Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama : Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid. Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah. Tarjih Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 : “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla : “Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin”. (QS. An-Nur : 3). Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata : “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wassallam lalu saya berkata : “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq ?”.Martsad berkata : “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : “Jangan kamu nikahi dia”. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At- Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At- Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul). Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : “Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya”. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh- Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan- jalannya) Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau
mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy- Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115. Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al- Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585. Catatan : Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof
8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini. Tapi Ibnu Qudamah dalam Al- Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak
halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?”. Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat : 1. Ikhlash karena Allah. 2. Menyesali perbuatannya. 3. Meninggalkan dosa tersebut. 4. Ber’azam (bertekad) dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya. 5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahariterbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan. Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam. Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah. Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat : Pertama : Wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al- Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats- Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih. Kedua : Tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaannantara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina
dan boleh nber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil. Tarjih Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini : 1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos : “Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al- Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al- Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena
hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan- jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187). 2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda : “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain”. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At- Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad
dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al- Albany dalam Al-Irwa` no. 2137). 3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : “Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : “Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?”. (Para sahabat) menjawab : “Benar”. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya”. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau
ia seorang budak-pent.), syubhat
(yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar- samaran-pent.) atau karena zina”. Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy- Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam. Catatan : Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza Wa Jalla : “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. Ath- Tholaq : 4). Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak. Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al- Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu : “Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid)”. (QS. Al-Baqarah : 228). Kesimpulan Pembahasan : 1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah- nya. 2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut : • Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. • Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam. Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al- Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850. 2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughny 11/242. Kalau ada yang bertanya : “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”. Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para ‘ulama. Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat : “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya”. Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr). 3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya,dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”. (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam
Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al- Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/ no.698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad- Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As- Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At- Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840). Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya. Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala : “Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan” (QS. An-Nisa` : 4). Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban”.(QS.An-Nisa` : 24) Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam. Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma’ad 5/104-105. Sumbr: Tulisan Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah /9: 105).
Nonton iklan bentar ya...!!!
Monday, 5 September 2011
Saturday, 3 September 2011
laki2 harus bertanggung jawab di hadapan allah swt
“Dan di antara tanda-tanda
keagungan Allah adalah Dia
menciptakan bagimu dari
jenismu sendiri pasangan-
pasangan, supaya kamu hidup
tentram bersamanya; dan dijadikan Allah bagimu cinta dan
kasih sayang. Sesungguhnya
dalam hal itu terdapat tanda-
tanda bagi orang yang mau
berfikir (Qs.30:21). Menyimak rangkaian sebelum
ayat ini, Allah swt. menyatakan
bahwa semua ciptaanNya itu
hanya untuk kebahagiaan
manusia, termasuk keberadaan
pasangan kita. Allah tahu adanya getar dan bisik rindu dalam hati
kita, maka itu diciptakanlah bagi
kita pasangannya. Mengapa?
Karena kita tak mampu hidup
sendiri. Acapkali kita
memerlukan seseorang yang mau berdiri di samping kita
untuk menentramkan kita. Kita
perlu seseorang yang mau
mendengar bukan saja kata
yang diungkapkan, tetapi jeritan
hati yang tidak terungkapkan. Acap kali kita diharu-biru
persoalan hidup, dihempas
gelombang lautan kehidupan,
diguncang topan-badai, yang
menggambarkan betapa
nestapanya kehidupan kita ini. Pada saat itulah, kita butuh
seseorang yang mampu untuk
meniupkan kedamaian,
menopang tubuh yang lemah,
memperkuat hati dan jiwa kita.
Hidup ini tidak mudah, karena hidup merupakan jalan yang
mendaki, berbatu dan terjal,
penuh onak dan duri, banyak
tantangan, rintangan yang harus
kita lalui. Acapkali kita putus asa
menghadapinya, karena tidak tahu bagaimana jalan keluarnya. Di sinilah Allah tidak
menghendaki kita putus asa dan
frustasi. Di sinilah Allah
menghendaki kita hidup
bahagia, karena itulah Allah
menciptakan bagi kita pasangan yang diikat oleh ikatan suci, yaitu
akad nikah. Melalui ijab dan
qabul terjadilah perubahan
besar: yang haram menjadi halal,
yang maksiat menjadi kesucian,
kebebasan menjadi tanggung jawab. Begitu besar perubahan
yang terjadi sehingga Al Quran
menyebut hal ini dengan
mitsaqan ghalidhan (perjanjian
yang berat). Ananda, Peristiwa akad nikah bukan
merupakan perkara kecil di
hadapan Allah. Akad ini sama
tingginya dengan perjanjian para
rasul, sama dahsyatnya dengan
perjanjian Bani Israil yang digantungkan di atas mereka
bukit Thursina. Peristiwa ini tidak
hanya disaksikan oleh kedua
orang tua, kerabat, para sahabat
anda; tetapi disaksikan oleh para
malaikat, dan terutama oleh Allah Rabbul alamin, Sang Penguasa
alam semesta. Jika ananda sia-siakan perjanjian
ini, jika ananda cerai-beraikan
ikatan yang sudah terpatri ini,
maka bukan saja ananda harus
bertanggung jawab kepada
mereka yang hadir saat ini, tetapi ananda harus bertanggung
jawab di hadapan Allah swt. Oleh
sebab itu Rasulullah saw.
bersabda: “laki-laki adalah
pemimpin di tengah keluarganya
dan ia harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu.
Wanita adalah pemimpin di
rumah suaminya dan ia harus
bertanggung jawab ata
kepemimpinan-nya itu” (HR.
Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu Rasulullah saw. mengukur
baik-buruknya seseorang itu
dari cara ia memperlakukan
keluarganya. “Yang paling baik
di antara kalian adalah yang
paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya” Tentu kita bertanya, mengapa
Allah dan RasulNya mewasiatkan
agar kita memelihara akad nikah
yang suci ini? Mengapa
kebaikkan manusia diukur dari
cara ia memperlakukan keluarganya? Mengapa suami-
isteri harus bertanggung jawab
di hadapan Allah? Jawabnya
sederhanya, yaitu Karena Allah
tahu bahwa kebahagiaan dan
penderitaan manusia sangat tergantung pada hubungan
mereka dengan orang-orang
yang mereka cintai, yaitu
keluarganya. Jika di dunia ini
terdapat surga maka surga itu
adalah pernikahan yang bahagia; tetapi jika di dunia ini
terdapat neraka maka neraka itu
adalah pernikahan yang gagal. Ananda, izinkan saya
menyampaikan amanat, pertama
kepada ananda yang harus
memikul wasiat nabi: 1. Niatkan pernikahan ini
untuk ibadah. Jangan
sekali-kali karena
kecantikan atau
ketampanannya. Atau
karena harta-kekayaan, pangkat-jabatan, dan
kedudukan. Cantik dan
akan dimakan usia, tidak
abadi. Harta benar sulit
dicari, tapi gampang
pergi dan hilangnya. Pangkat dan jabatan sulit
diperoleh, tetapi mudah
sirnanya. Oleh sebab itu,
niatkan nikah ini untuk
ibadah, sebab dengan
ibadah akan tercipta sakinah wa rahmah,
ketentraman lahir dan
batin. Yakinlah.
Perhatikan nasihat
Luqmanul Hakim kepada
anaknya: ” Wahai anakku, sesungguhnya
dunia ini bagaikan
samudera sangat yang
sangat luas dan dalam.
Telah banyak orang yang
karam dan tenggelam di dalamnya. Maka
jadikanlah ketaqwaan
kepada Allah SWT.
sebagai perahu dalam
mengarungi lautan
tersebut.” Dunia acapkali menipu dan hanyalah
fatamorgana, ketiadaan
keimanan dan
ketakwaan
menyebabkan manusia
kehilangan pegangan dalam hidupnya. Ia akan
terombang-ambing
dalam lautan nafsu yang
selalu haus minta untuk
dipenuhi. Keimanan dan
ketaqwaan memberikan arah, bahwa hidup ini
sementara dan ada
akhirnya. Hidup ini
adalah hanya untuk
beribadah kepadaNya,
karena Dia adalah tujuan dari segalanya. Jadikan
iman-islam dan taqwa
sebagai perahu kita,
karena kita akan selamat
sampai ke tujuan. 2. Ananda, pernikahan itu
adalah tanggung jawab
dan cermin. Perlakukan
isteri dengan ma’ruf,
dengan yang terbaik.
Ananda, seorang isteri yang akan mendampingi
hidup ananda bukanlah
segumpal daging yang
dapat ananda kerat
dengan tindakan
semena-mena. Ia bukan pula budak belian atau
pembantu yang dapat
diperlakukan dengan
sewenang-wenang. Ia
adalah wanita yang Allah
anugerahkan untuk menjadikan hidup
ananda bermakna. Ia
adalah amanah Allah
yang harus
dipertanggung
jawabkan. Rasulullah bersabda: “Ada dua dosa
yang didahulukan
siksanya di dunia, yaitu
albaghyu dan durhaka
kepada orang tua” (HR.
Turmudzi, Bukahri dan Thabrani). Al Baghyu
adalah berbuat
sewenang-wenang,
berbuat zalim, dan
mengananiaya orang
lain; dan Al baghyu yang paling dimurkai adalah
berbuat zalim terhadap
isteri sendiri. Termasuk Al
baghyu adalah
menelantarkan isteri,
menyakiti hatinya, merampas kehangatan
cintanya, merendahkan
kehormatannya,
mengabaikannya dalam
mengambil keputusan,
dan mencabut haknya untuk memperoleh
kebahagiaan hidup
bersama ananda. Karena
itulah Rasulullah saw.
mengukur tinggi -
rendahnya martabat seorang laki-laki adalah
dari cara ia bergaul
dengan isterinya.
“Tidaklah memuliakan
wanita kecuali laki-laki
mulia dan tidaklah merendahkan wanita
kecuali laki-laki yang
rendah juga”. 3. Hormati orang tua dan
mertua. Agama
memerintahkan kita
untuk mem-perlakukan
keduanya dengan
sebaik-baiknya. Karena berkat merekalah kita
ada. Kewajiban kita
terhadap keduanya
adalah menjaga
keduanya dan
mendoakan keduanya agar Allah melindungi
mereka, mengampuni
setiap kesalahan mereka,
memberikan kasih
sayangNya kepada
mereka. Berdoalah khusus untuk keduanya. 4. Jika suatu saat kelak
Allah menganugerahkan
keturunan maka didiklah
mereka dengan ajaran
agama. Jadikanlah dan
didiklah anak-anak sebagai generasi Rabbiy
Radliya (generasi yang
Allah ridlai). 5. Ananda harus memiliki
planning (rencana)
rumah tangga.
Jadikanlah RT sebagai
rumah ibadah,
pendidikan keluarga, sosial, perjuangan
mengemban amanah
Islam. Bukalah pintu
rumah kita untuk
siapapun yang berharap
pertolongan kita, jangan tutup rapat pintu
rumahmu. Karena Allah
akan meudahkan hidup
kita selama kita
memudahkan urusan
orang lain. 6. Bangun segala hal dalam
rumah tangga dengan
asas ajaran agama;
bukan dengan asas
materi atau kepentingan.
Dengan asas agama, kita akan hidup dan beramal
dnegan keikhlasan-
ketulusan. Tapi dengan
asas yang lain akan
menjadikan hidup kita
lelah dan letih dan menjadikan kita nestapa,
karena kepentingan
tidak pernah habisnya. Ananda dengan seizin ananda,
perkenankanlah saya sekarang
menyampaikan wasiat Rasulullah
saw. kepada wanita yang berada
di samping anda. Rasul bersabda:
“Seandainya aku boleh memerintahkan manusia
bersujud kepada manusia
lainnya, maka akan aku
perintahkan isteri untuk
bersujud kepada suaminya,
karena besarnya hak suami yang dianugerahkan Allah atas
mereka” (HR. Abu Daud, Al
Hakim, dan Turmudzi). Banyak isteri menuntut suami
agar membahagiakan mereka.
Jarang terpikirkan bagaimana ia
berusaha membahagiakan
suaminya. Cinta dan kasih
sayang tumbuh dalam suasana memberi, bukan mengambil.
Cinta adalah sharing (saling
berbagi). Anda tidak akan
memperoleh cinta jika yang anda
tebarkan itu adalah kebencian.
Anda tidak akan memetik kasih sayang jika yang anda tanamkan
adalah kemarahan. Anda tidak
akan meraih ketenangan jika
yang anda suburkan adalah
dendam dan kekecewaan. Ananda, Anda boleh memberi
apa saja yang ananda miliki.
Tetapi buat suami anda, tidak ada
pemberian isteri yang paling
indah dan membahagiakan hati
selain hati yang selalu siap berbagi kesenangan dan
penderitaan. Di Luar, suami anda
menemukan wajah-wajah tegar,
kasar, mata-mata tajam, ucapan
kasar, dan pergumulan hidup
yang sangat berat. Ia ingin ketika kembali ke rumah,
ditemukannya wajah yang ceria,
ucapan yang lembut,dan ia
berlindung di dalam keteduhan
kasih sayang anda. Suami anda
ingin mencairkan seluruh beban jiwa raganya dengan
kehangatan kasih sayang anda.
Rasul yang mulai bersabda:
“Isteri yang paling baik adalah
yang paling membahagiakanmu
jika kamu memandangnya, yang mematuhimu jika kamu
menyuruhnya, dan memelihara
kehormatan dirinya dan hartamu
jika kamu tidak ada (di
rumah)” (HR. Thabrani). Rasul
yang mulia bersabda bahwa surga terletak di bawah kaki
kaum ibu. Apakah rumah tangga
yang anda bangun hari ini akan
menjadi surga ataukah neraka,
semua itu tergantung kepada
anda sebagai Ibu Rumah tangga. Rumah tangga akan menjadi
surga jika di situ anda hiaskan
kesabaran, kesetiaan, dan
kesucian. Ananda, jika kelak perahu RT
anda bertabrakan dengan kerikil
tajam, jika impian indah berganti
dengan kepahitan, jika harapan
diguncang cobaan; kami (yang
hadir si sini) ingin melihat anda tetap teguh berada di samping
suami anda tercinta. Anda tetap
tersenyum walaupun langit
semakin mendung. Pada saat
seperti itu, mungkin tidak ada
yang paling menyejukkan suami anda selain melihat isterinya
bangun malam, shalat malam dan
duduk di atas sajadah; sujud
memohon pertolongan Allah.
Suaranya gemetar, ia sedang
bermohon agar Allah menganugerahkan pertolongan
bagi suaminya. Pada saat seperti
itu, suami anda akan
mengangkat tangan ke langit
dan bersamaan dengan tetes-
tetes air matanya ia berdoa: “Yaa Allah, karunikanlah kami isteri
dan keturunan kami yang
menentramkan hati kami dan
jadikanlah kami penghulu orang
bertakwa” Ananda, membangun rumah itu
jelas berbeda dengan membina
dan membangun rumah tangga.
Dalam membangun rumah, asal
punya dana, buat perencanaan,
lalu panggil tukang insinyur, maka rumah pun akan terwujud
dengan mudah. Adapun,
membangun dan membina
rumah tangga jelas sangat sulit.
Dalam membangun rumah
tangga terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan, di
antaranya ada segenggam cinta,
ada sejumput rindu, ada sekilas
cemburu, ada rasa benci, dan ada
sejuta rasa yang lain. Itu bahan-bahan komponen.
Tinggal kepandaian meramunya
bagaimana? Seperti sebuah
masakan, ada garam, ada gula,
ada pedas, ada asam, ada manis.
Jika satu komponen lebih banyak dari yang lain maka akan
terasa pedas, asin, dll. Niatkan nikah untuk ibadah.
Jangan sekali-kali karena
kecantikan atau ketampanannya.
Atau harta, kekayayaan, pangkat
dan kedudukan. Cantik dan
ganteng akan dimakan usia, tidak abadi. Harta sulit dicari
gampang perginya dan
hilangnyta. Pangkat dan jabtan
sulit diperoleh dan gampang
turun. Oleh sebab itu, niatkan
untuk ibadah, sebab dengan ibadah akan tercipta sakinah wa
rahmah. Nasihat Luqmanul Hakim sepada
anaknya: ” Wahai anaku,
sesungguhnya dunia itu
bagaikan samudera sangat luas
dan dalam. Telah banyak orang
yang karam dan tenggelam di dalamnya. Maka jadikanlah
Ketaqwaan kepada Allah sebagai
perahu dalam mengarungi lautan
tersebut.” Perhatikan rumah tangga Charles
dan Lady Di, setgala ada dan
tersedia, tetapi berantakan. Untuk membina RT perlu rumus.
Nabi menyatakan: ”Innnaloha
idza arada bi ahli baitin khairan:
faq qahahum fid diin, ”
Sesungguhnya Allah jika
menghendaki kebaikan bagi seuah rumah tangga hidup
bahagia, maka keluarga itru
memamhami mengetahui dan
mau mengamalkan ajaran
agama, suami menyayangi istri
dan istri patuh pada suami”
keagungan Allah adalah Dia
menciptakan bagimu dari
jenismu sendiri pasangan-
pasangan, supaya kamu hidup
tentram bersamanya; dan dijadikan Allah bagimu cinta dan
kasih sayang. Sesungguhnya
dalam hal itu terdapat tanda-
tanda bagi orang yang mau
berfikir (Qs.30:21). Menyimak rangkaian sebelum
ayat ini, Allah swt. menyatakan
bahwa semua ciptaanNya itu
hanya untuk kebahagiaan
manusia, termasuk keberadaan
pasangan kita. Allah tahu adanya getar dan bisik rindu dalam hati
kita, maka itu diciptakanlah bagi
kita pasangannya. Mengapa?
Karena kita tak mampu hidup
sendiri. Acapkali kita
memerlukan seseorang yang mau berdiri di samping kita
untuk menentramkan kita. Kita
perlu seseorang yang mau
mendengar bukan saja kata
yang diungkapkan, tetapi jeritan
hati yang tidak terungkapkan. Acap kali kita diharu-biru
persoalan hidup, dihempas
gelombang lautan kehidupan,
diguncang topan-badai, yang
menggambarkan betapa
nestapanya kehidupan kita ini. Pada saat itulah, kita butuh
seseorang yang mampu untuk
meniupkan kedamaian,
menopang tubuh yang lemah,
memperkuat hati dan jiwa kita.
Hidup ini tidak mudah, karena hidup merupakan jalan yang
mendaki, berbatu dan terjal,
penuh onak dan duri, banyak
tantangan, rintangan yang harus
kita lalui. Acapkali kita putus asa
menghadapinya, karena tidak tahu bagaimana jalan keluarnya. Di sinilah Allah tidak
menghendaki kita putus asa dan
frustasi. Di sinilah Allah
menghendaki kita hidup
bahagia, karena itulah Allah
menciptakan bagi kita pasangan yang diikat oleh ikatan suci, yaitu
akad nikah. Melalui ijab dan
qabul terjadilah perubahan
besar: yang haram menjadi halal,
yang maksiat menjadi kesucian,
kebebasan menjadi tanggung jawab. Begitu besar perubahan
yang terjadi sehingga Al Quran
menyebut hal ini dengan
mitsaqan ghalidhan (perjanjian
yang berat). Ananda, Peristiwa akad nikah bukan
merupakan perkara kecil di
hadapan Allah. Akad ini sama
tingginya dengan perjanjian para
rasul, sama dahsyatnya dengan
perjanjian Bani Israil yang digantungkan di atas mereka
bukit Thursina. Peristiwa ini tidak
hanya disaksikan oleh kedua
orang tua, kerabat, para sahabat
anda; tetapi disaksikan oleh para
malaikat, dan terutama oleh Allah Rabbul alamin, Sang Penguasa
alam semesta. Jika ananda sia-siakan perjanjian
ini, jika ananda cerai-beraikan
ikatan yang sudah terpatri ini,
maka bukan saja ananda harus
bertanggung jawab kepada
mereka yang hadir saat ini, tetapi ananda harus bertanggung
jawab di hadapan Allah swt. Oleh
sebab itu Rasulullah saw.
bersabda: “laki-laki adalah
pemimpin di tengah keluarganya
dan ia harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu.
Wanita adalah pemimpin di
rumah suaminya dan ia harus
bertanggung jawab ata
kepemimpinan-nya itu” (HR.
Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu Rasulullah saw. mengukur
baik-buruknya seseorang itu
dari cara ia memperlakukan
keluarganya. “Yang paling baik
di antara kalian adalah yang
paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya” Tentu kita bertanya, mengapa
Allah dan RasulNya mewasiatkan
agar kita memelihara akad nikah
yang suci ini? Mengapa
kebaikkan manusia diukur dari
cara ia memperlakukan keluarganya? Mengapa suami-
isteri harus bertanggung jawab
di hadapan Allah? Jawabnya
sederhanya, yaitu Karena Allah
tahu bahwa kebahagiaan dan
penderitaan manusia sangat tergantung pada hubungan
mereka dengan orang-orang
yang mereka cintai, yaitu
keluarganya. Jika di dunia ini
terdapat surga maka surga itu
adalah pernikahan yang bahagia; tetapi jika di dunia ini
terdapat neraka maka neraka itu
adalah pernikahan yang gagal. Ananda, izinkan saya
menyampaikan amanat, pertama
kepada ananda yang harus
memikul wasiat nabi: 1. Niatkan pernikahan ini
untuk ibadah. Jangan
sekali-kali karena
kecantikan atau
ketampanannya. Atau
karena harta-kekayaan, pangkat-jabatan, dan
kedudukan. Cantik dan
akan dimakan usia, tidak
abadi. Harta benar sulit
dicari, tapi gampang
pergi dan hilangnya. Pangkat dan jabatan sulit
diperoleh, tetapi mudah
sirnanya. Oleh sebab itu,
niatkan nikah ini untuk
ibadah, sebab dengan
ibadah akan tercipta sakinah wa rahmah,
ketentraman lahir dan
batin. Yakinlah.
Perhatikan nasihat
Luqmanul Hakim kepada
anaknya: ” Wahai anakku, sesungguhnya
dunia ini bagaikan
samudera sangat yang
sangat luas dan dalam.
Telah banyak orang yang
karam dan tenggelam di dalamnya. Maka
jadikanlah ketaqwaan
kepada Allah SWT.
sebagai perahu dalam
mengarungi lautan
tersebut.” Dunia acapkali menipu dan hanyalah
fatamorgana, ketiadaan
keimanan dan
ketakwaan
menyebabkan manusia
kehilangan pegangan dalam hidupnya. Ia akan
terombang-ambing
dalam lautan nafsu yang
selalu haus minta untuk
dipenuhi. Keimanan dan
ketaqwaan memberikan arah, bahwa hidup ini
sementara dan ada
akhirnya. Hidup ini
adalah hanya untuk
beribadah kepadaNya,
karena Dia adalah tujuan dari segalanya. Jadikan
iman-islam dan taqwa
sebagai perahu kita,
karena kita akan selamat
sampai ke tujuan. 2. Ananda, pernikahan itu
adalah tanggung jawab
dan cermin. Perlakukan
isteri dengan ma’ruf,
dengan yang terbaik.
Ananda, seorang isteri yang akan mendampingi
hidup ananda bukanlah
segumpal daging yang
dapat ananda kerat
dengan tindakan
semena-mena. Ia bukan pula budak belian atau
pembantu yang dapat
diperlakukan dengan
sewenang-wenang. Ia
adalah wanita yang Allah
anugerahkan untuk menjadikan hidup
ananda bermakna. Ia
adalah amanah Allah
yang harus
dipertanggung
jawabkan. Rasulullah bersabda: “Ada dua dosa
yang didahulukan
siksanya di dunia, yaitu
albaghyu dan durhaka
kepada orang tua” (HR.
Turmudzi, Bukahri dan Thabrani). Al Baghyu
adalah berbuat
sewenang-wenang,
berbuat zalim, dan
mengananiaya orang
lain; dan Al baghyu yang paling dimurkai adalah
berbuat zalim terhadap
isteri sendiri. Termasuk Al
baghyu adalah
menelantarkan isteri,
menyakiti hatinya, merampas kehangatan
cintanya, merendahkan
kehormatannya,
mengabaikannya dalam
mengambil keputusan,
dan mencabut haknya untuk memperoleh
kebahagiaan hidup
bersama ananda. Karena
itulah Rasulullah saw.
mengukur tinggi -
rendahnya martabat seorang laki-laki adalah
dari cara ia bergaul
dengan isterinya.
“Tidaklah memuliakan
wanita kecuali laki-laki
mulia dan tidaklah merendahkan wanita
kecuali laki-laki yang
rendah juga”. 3. Hormati orang tua dan
mertua. Agama
memerintahkan kita
untuk mem-perlakukan
keduanya dengan
sebaik-baiknya. Karena berkat merekalah kita
ada. Kewajiban kita
terhadap keduanya
adalah menjaga
keduanya dan
mendoakan keduanya agar Allah melindungi
mereka, mengampuni
setiap kesalahan mereka,
memberikan kasih
sayangNya kepada
mereka. Berdoalah khusus untuk keduanya. 4. Jika suatu saat kelak
Allah menganugerahkan
keturunan maka didiklah
mereka dengan ajaran
agama. Jadikanlah dan
didiklah anak-anak sebagai generasi Rabbiy
Radliya (generasi yang
Allah ridlai). 5. Ananda harus memiliki
planning (rencana)
rumah tangga.
Jadikanlah RT sebagai
rumah ibadah,
pendidikan keluarga, sosial, perjuangan
mengemban amanah
Islam. Bukalah pintu
rumah kita untuk
siapapun yang berharap
pertolongan kita, jangan tutup rapat pintu
rumahmu. Karena Allah
akan meudahkan hidup
kita selama kita
memudahkan urusan
orang lain. 6. Bangun segala hal dalam
rumah tangga dengan
asas ajaran agama;
bukan dengan asas
materi atau kepentingan.
Dengan asas agama, kita akan hidup dan beramal
dnegan keikhlasan-
ketulusan. Tapi dengan
asas yang lain akan
menjadikan hidup kita
lelah dan letih dan menjadikan kita nestapa,
karena kepentingan
tidak pernah habisnya. Ananda dengan seizin ananda,
perkenankanlah saya sekarang
menyampaikan wasiat Rasulullah
saw. kepada wanita yang berada
di samping anda. Rasul bersabda:
“Seandainya aku boleh memerintahkan manusia
bersujud kepada manusia
lainnya, maka akan aku
perintahkan isteri untuk
bersujud kepada suaminya,
karena besarnya hak suami yang dianugerahkan Allah atas
mereka” (HR. Abu Daud, Al
Hakim, dan Turmudzi). Banyak isteri menuntut suami
agar membahagiakan mereka.
Jarang terpikirkan bagaimana ia
berusaha membahagiakan
suaminya. Cinta dan kasih
sayang tumbuh dalam suasana memberi, bukan mengambil.
Cinta adalah sharing (saling
berbagi). Anda tidak akan
memperoleh cinta jika yang anda
tebarkan itu adalah kebencian.
Anda tidak akan memetik kasih sayang jika yang anda tanamkan
adalah kemarahan. Anda tidak
akan meraih ketenangan jika
yang anda suburkan adalah
dendam dan kekecewaan. Ananda, Anda boleh memberi
apa saja yang ananda miliki.
Tetapi buat suami anda, tidak ada
pemberian isteri yang paling
indah dan membahagiakan hati
selain hati yang selalu siap berbagi kesenangan dan
penderitaan. Di Luar, suami anda
menemukan wajah-wajah tegar,
kasar, mata-mata tajam, ucapan
kasar, dan pergumulan hidup
yang sangat berat. Ia ingin ketika kembali ke rumah,
ditemukannya wajah yang ceria,
ucapan yang lembut,dan ia
berlindung di dalam keteduhan
kasih sayang anda. Suami anda
ingin mencairkan seluruh beban jiwa raganya dengan
kehangatan kasih sayang anda.
Rasul yang mulai bersabda:
“Isteri yang paling baik adalah
yang paling membahagiakanmu
jika kamu memandangnya, yang mematuhimu jika kamu
menyuruhnya, dan memelihara
kehormatan dirinya dan hartamu
jika kamu tidak ada (di
rumah)” (HR. Thabrani). Rasul
yang mulia bersabda bahwa surga terletak di bawah kaki
kaum ibu. Apakah rumah tangga
yang anda bangun hari ini akan
menjadi surga ataukah neraka,
semua itu tergantung kepada
anda sebagai Ibu Rumah tangga. Rumah tangga akan menjadi
surga jika di situ anda hiaskan
kesabaran, kesetiaan, dan
kesucian. Ananda, jika kelak perahu RT
anda bertabrakan dengan kerikil
tajam, jika impian indah berganti
dengan kepahitan, jika harapan
diguncang cobaan; kami (yang
hadir si sini) ingin melihat anda tetap teguh berada di samping
suami anda tercinta. Anda tetap
tersenyum walaupun langit
semakin mendung. Pada saat
seperti itu, mungkin tidak ada
yang paling menyejukkan suami anda selain melihat isterinya
bangun malam, shalat malam dan
duduk di atas sajadah; sujud
memohon pertolongan Allah.
Suaranya gemetar, ia sedang
bermohon agar Allah menganugerahkan pertolongan
bagi suaminya. Pada saat seperti
itu, suami anda akan
mengangkat tangan ke langit
dan bersamaan dengan tetes-
tetes air matanya ia berdoa: “Yaa Allah, karunikanlah kami isteri
dan keturunan kami yang
menentramkan hati kami dan
jadikanlah kami penghulu orang
bertakwa” Ananda, membangun rumah itu
jelas berbeda dengan membina
dan membangun rumah tangga.
Dalam membangun rumah, asal
punya dana, buat perencanaan,
lalu panggil tukang insinyur, maka rumah pun akan terwujud
dengan mudah. Adapun,
membangun dan membina
rumah tangga jelas sangat sulit.
Dalam membangun rumah
tangga terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan, di
antaranya ada segenggam cinta,
ada sejumput rindu, ada sekilas
cemburu, ada rasa benci, dan ada
sejuta rasa yang lain. Itu bahan-bahan komponen.
Tinggal kepandaian meramunya
bagaimana? Seperti sebuah
masakan, ada garam, ada gula,
ada pedas, ada asam, ada manis.
Jika satu komponen lebih banyak dari yang lain maka akan
terasa pedas, asin, dll. Niatkan nikah untuk ibadah.
Jangan sekali-kali karena
kecantikan atau ketampanannya.
Atau harta, kekayayaan, pangkat
dan kedudukan. Cantik dan
ganteng akan dimakan usia, tidak abadi. Harta sulit dicari
gampang perginya dan
hilangnyta. Pangkat dan jabtan
sulit diperoleh dan gampang
turun. Oleh sebab itu, niatkan
untuk ibadah, sebab dengan ibadah akan tercipta sakinah wa
rahmah. Nasihat Luqmanul Hakim sepada
anaknya: ” Wahai anaku,
sesungguhnya dunia itu
bagaikan samudera sangat luas
dan dalam. Telah banyak orang
yang karam dan tenggelam di dalamnya. Maka jadikanlah
Ketaqwaan kepada Allah sebagai
perahu dalam mengarungi lautan
tersebut.” Perhatikan rumah tangga Charles
dan Lady Di, setgala ada dan
tersedia, tetapi berantakan. Untuk membina RT perlu rumus.
Nabi menyatakan: ”Innnaloha
idza arada bi ahli baitin khairan:
faq qahahum fid diin, ”
Sesungguhnya Allah jika
menghendaki kebaikan bagi seuah rumah tangga hidup
bahagia, maka keluarga itru
memamhami mengetahui dan
mau mengamalkan ajaran
agama, suami menyayangi istri
dan istri patuh pada suami”
Subscribe to:
Posts (Atom)