Nonton iklan bentar ya...!!!

Tuesday 6 September 2011

Saat Nyawa Dicabut

Sakaratul maut adalah peristiwa sakitnya kematian. Penderitaan yang paling akhir bagi seorang yang hidup. Sebelum nyawa manusia dicabut, terlebih dahulu ia akan mengalami pedihnya sakaratul maut. Itulah proses kematian anak Adam, yaitu ketika terjadi perpisahan antara raga dan nyawa. Setiap anggota tubuhnya akan saling mengucapkan selamat berpisah kepada satu sama lain. Proses itu sungguh menyakitkan dan suatu peristiwa yang sangat dahsyat. Allah Swt berfirman, “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat pada saat orang-orang zhalim berada dalam tekanan sakaratul maut” ( Al- an’am 93 ) Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya semua manusia pasti mengalami sakaratul maut. Dan sesungguhnya sendi-sendi tulangnya, masing-masing mengucapkan salam perpisahan kepada yang lain seraya berkata, “Semoga kamu sejahtera. Kamu berpisah dariku, dan aku pun berpisah darimu sampai hari kiamar.” ( dikeluarkan oleh Said bin Mansur ). Sungguh sakaratul maut adalah perkara yang sangat menyakitkan. Lebih sakit dari pada dipenggal dengan pedang, atau dingergaji dengan gergaji atau digunting dengan gunting. Jangankan kita sebagai manusia biasa, para Nabi pun mengalami kejadian yang sama saat nyawa mereka dicabut. Allah bertanya kepada Roh Nabi Ibrahim as, bagaimanakah rasanya kematian? Jawab Ibrahim as, “Bagaikan batang besi pemanggang daging yang dipanaskan, dimasukan ke dalam wol basah, lalu ditarik dengan keras.” Allah berfirman, “Padahal sungguh, Kami telah meringankannya untukmu, wahai Ibrahim,” Begitu juga ketika roh
Nabi Musa as. ditanya bagaimanakah rasanya kematian? Musa as menjawab,”Kurasakan diriku seperti seekor burung kecil yang digoreng hidup-hidup di wajan. Tidak mati, maka akhirnya bisa tenang, dan tidak pula selamat, maka akhirnya bisa terbang.” Dalam riwayat lain, Nabi Musa as berkata, “Kurasakan diriku seperti seekor kambing yang dikuliti hidup-hidup oleh tukang jagal ( Al- Muhasibi dalam Ar-Ri’ayah). Nabi saw bersabda demi Allah yang menggenggam jiwaku, sesungguhnya melihat malaikat maut itu lebih dahsyat dari pada seribu kali pukulan pedang.” . Malaikat maut itu sendiri ketika Allah mencabut nyawanya kelak, setelah kematian seluruh makhluk, maka ia berkata , “Demi keagungan-Mu, andaikan aku tahu betapa pedih sakaratul maut seperti yang kurasakan kini. Niscaya aku tidak akan mencabut nyawa seorang mukmin pun “ Diriwayatkan dari Abu Maysarah secara marfu’, “Andaikan sakitnya seutas rambut dari orang yang meninggal dunia itu diberikan kepada penduduk langit dan bumi, niscaya mereka akan mati semua. Al-Qurtubi rah.a menulis dalam At- Tadzkirah-nya, “Saya mendengar, Wallahu a’lam wa ahkam, bahwa malaikat maut itu memandang wajah setiap Bani Adam sebanyak 366 kali. Dan bahwa malaikat maut memandang ke setiap rumah yang berada dibawah naungan langit sebanyak 600 kali. Dan saya mendengar malaikat maut itu mencabut nyawa anak Adam dari bawah setiap anggota tubuhnya, yaitu
dari kuku-kukunya, urat-uratnya, dan rambutnya . Dan setiap kali nyawa itu sampai dari sendir-sendi yang lainnya, maka rasa sakitnya lebih dasyat dari pada dipukul 1000 kali.’ Wallahu a’lam. Semoga Allah Swt dengan kasih sayangnya memberikan kemudahan kepada kita semua dalam menghadapi sakaratul maut. “ Ya Allah lindungilah kami dari azab kubur , azab jahanam , fitnah dajjal dan kami berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati.”

Pahala Kaum Hawa di Akhirat

Ketika membaca Al Quran kita dapat
menemukan dalam berbagai ayat
memberikan berita gembira kepada
laki-laki yang beriman dengan
bidadari yang sangat cantik dan
berbagai kenikmatan lainnya atas pasangan atau bidadari tersebut.
Namun bagaimana dengan kaum
perempuan, apakah mereka
mempunyai teman atau pasangan
selain suaminya karena sebagian
besar pernyataan mengenai pahala di akhirat ditujukan kepada laki-laki
yang beriman? apakah pahala bagi
perempuan yang beriman lebih sedikit
daripada yang diperoleh laki-laki
yang beriman?
Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa pahala di akhirat nanti
rndiberikan kepada laki-laki dan
perempuan. Hal ini berdasarkan
firman Alloh ‘Azza wa Jalla, yang
artinya: ''Sesungguhnya Alloh tidak
akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu baik
laki-laki maupun perempuan'' (QS: Al
Imran: 195) ''Dan barangsiapa yang mengerjakan
amal saleh baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman,
sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik'' (QS:
An Nahl: 97) ''Dan barangsiapa yang mengerjakan
amal-amal shaleh, baik laki-laki
maupun perempuan sedang ia orang
beriman, mereka itu akan masuk
surga'' (QS: An Nisa’: 124) ''Sesungguhnya laki- laki dan
perempuan muslim laki-laki dan
perempuan yang beriman ...hingga…
Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang
besar'' (QS: Al Ahzab: 35) Dalam ayat yang lain Alloh ‘Azza wa
Jalla menyebutkan, yang artinya:
"Mereka laki-laki dan perempuan,
masuk surga bersama-sama, 'Mereka
dan isteri-isteri mereka terdapat di
tempat yang teduh'' (QS: Yasiin: 56) ''Masuklah kamu ke dalam surga,
kamu dan isteri isteri kamu
digembirakan'' (QS: Al Zuhruf: 70) Alloh ‘Azza wa Jalla juga
menyebutkan bahwa dia akan
menciptakan perempuan dengan
penciptaan khusus: ''Sesungguhnya
kami menciptakan mereka (para
bidadari) dengan penciptaan yang khusus dan kami jadikan mereka
perawan" (QS: Al Waqiah: 35-36) Keterangan di atas menyebutkan
bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla akan
menciptakan kembali perempuan
yang sudah tua menjadi bidadari, dan
membuat mereka perawan, begitu
juga laki-laki yang sudah tua akan diciptakan kembali menjadi pemuda
dan beberapa hadits ditunjukkan
bahwa perempuan yang masih hidup
mempunyai kelebihan dari bidadari
karena peribadatan dan kepatuhan
mereka. Oleh karena itu perempuan yang
beriman akan memasuki surga
sebagaimana laki-laki yang beriman.
Jika seseorang perempuan
mempunyai sejumlah suami setelah
kawin cerai dan dia masuk bersama mereka dan akan memilih yang
berkelakuan paling baik.

Berzikir

Allah SWT Berfirman Dalam surat Al –
ahzab 41- 42 yang Artinya : "Wahai
Orang-oran gyang beriman sebut-
sebutlah nama Allah SWT sebanyak- banyaknya. Sucikanlah nama
tuhannya pagi maupun sore hari. “ Dalam Ayat lain Q.S Al – Anfal 45 yang
artinya : "Maka sebutlah nama Allah SWT sebanyak – banyaknya demikian itu akan melembutkan
dirimu. " Q.S Al – Imran 141 yang artinya : " Dan
mrk ygmenyebut² namaAllah dalam
keadaan berdiri dan duduk
mengharap ampunan dari Allah SWT." Bersabda nabi Muhammad SAW yang diwahyukan dari Abu Darda,
berkata Rasullah SAW : " Maka Ketahuilah amalan yang paling terbaik
dari amal kalian & mengangkat derajat
kalian setelah kalian mendirikan solat,
berzakat, berpuasa dan berhaji ada
yang lebih dari pada itu. “ Berkata Sahabat :"Apa itu ya Rasululla SAW..? " Maka Rasulullah SAW bersabda : "Ingat kepada Allah dalam keadaan
terang-terangan maupun
tersembunyi". Dari Abu Daut Al-Khudri bertanya
kepada Rasulullah SAW : "Apakah amalan yang lebih utama nanti di hari
kiamat..?" Bersabda Rasulullah SAW : "memperbanyak menyebut-nyebut
nama Allah SWT". Bertanya lagi Sahabat: "Bagai mana dengan jihad fi sabilillah ya
Rasulullah…?". Bersabda Rasulullah SAW : "Walaupun mereka memukulkan
pedangnya sehingga keluar darah
kepada musuhnya lebih afdol berzikir
kepada Allah SWT atas nya dan di angkat derajatnya oleh Allah SWT". Diriwayatkan dari Turmidzi dari
Abdullah bin Umar radiallahuanhuma,
sesunguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : "Tidaklah seseorang
menyebut di muka bumi Allah SWT ini subahanallah walhamdulillah wa
lailahailallah wallahuakbar, tanpa
kecuali terleburlah semua
kesalahanya walaupun dosanya
seluas lautan". (riwayat Hakim
shohih). Menyebut-nyebut nama Allah SWT dan memperbanyak menyebut nama- Nya di dalam membaca Al-Qur'an maupun asmaul husna menjadikan
orang tersebut dari kerugian di hari
kiamat sebagai mana yang
diriwayatkan dari Baihaqi dari Aisah
radiallahanha bersabda Rasulullah SAW: "Tidak lah semua anak cucu adam dalam keadaan rugi di hari
kiamat kecuali orang yang
mengingat-gingat Allah SWT di dalam dunia". Ketahuilah hati itu bagaikan batu
cincin maka gosoklah iya dengan
berzikir ke pada Alah SWT sehingga iya mengeluarkan cahaya/kilauan,
maka orang yang meninggalkan zikir
dia akan mendapatkan dua
kegelapan hati : 1. Kegelapan gugurnya dosa 2. Kerasnya hati Tidaklah keduanya akan sirna kecuali
dengan berzikir kepada Allah SWT. Ayat Allah SWT di dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Haj 46 yang artinya :
“Sesunguhnya mata-mata mereka
tidak buta akan tetapi mata-mata
mereka melihat”, apa yang
menyebabkan mereka buta
mengingat Allah SWT, yang menyebabkan mereka buta adalah
mata hati mereka yang ada di dalam
dada mereka dalam mengingat Allah SWT”. Kesimpulan : Ayat Al-Qur’an & Hadits Rasulullah SAW di atas trelah cukup agar kita sebagai hamba Allah SWT tidak lalai untuk mengingat apa yang telah Allah SWT berikan kepada kita sekalian sebagai hamba-hambanya. Berzikir berarti salah satu cara
bersyukur atas apa yangtelah
diberikan Allah SWT kepada hamba- nya. Mengingat Allah SWT adalah salah satu tanda terimakasih kita kepada- NYa, sesunguhnya kita tidak bias menghitung nikmat-nikmat yang telah
di berikannya yang terasa maupun
yang tak terasa , yang terlihat maupun
yang tak terlihat, yang terdengar
maupun yang tak terdengar, begitu
banyak nikmat yang telah di berikan Allah SWT kepada hambanya yang di jadikan di muka bumi ini seperti para
Nabi, Sahabat, Sholihin mereka
dijadikan oleh Allah SWT sebagai kekasihnya dikarenakan mereka
banyak mengingat-ingat nama-Nya dan mensiarkan agama-Nya. Maka ajarkan hati kita , dirikita,
keluarga kita, anak kita, sahabat kita,
dan seluruh manusia untuk
mengingat Allah SWT (Berzikir)

Monday 5 September 2011

Hukum Nikah DalamKeadaan Hamil

1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil? 2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu? 3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)? Jawab : Kami jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al-’Alim Al-Hakim sebagai berikut : 1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam : Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil. Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini Wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini. Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. Ath- Tholaq : 4). Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya”. (QS. Al-Baqarah : 235). Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir- nya tentang makna ayat ini : “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah- nya”. Kemudian beliau berkata : “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah”. (Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.) Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim Al- Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut : Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan
dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama. Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina. Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista. Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama : Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid. Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah. Tarjih Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 : “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla : “Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin”. (QS. An-Nur : 3). Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata : “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wassallam lalu saya berkata : “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq ?”.Martsad berkata : “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : “Jangan kamu nikahi dia”. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At- Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At- Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul). Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : “Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya”. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh- Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan- jalannya) Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau
mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy- Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115. Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al- Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585. Catatan : Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof
8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini. Tapi Ibnu Qudamah dalam Al- Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak
halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?”. Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat : 1. Ikhlash karena Allah. 2. Menyesali perbuatannya. 3. Meninggalkan dosa tersebut. 4. Ber’azam (bertekad) dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya. 5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahariterbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan. Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam. Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah. Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat : Pertama : Wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al- Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats- Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih. Kedua : Tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaannantara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina
dan boleh nber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil. Tarjih Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini : 1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos : “Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al- Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al- Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena
hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan- jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187). 2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda : “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain”. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At- Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad
dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al- Albany dalam Al-Irwa` no. 2137). 3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : “Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : “Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?”. (Para sahabat) menjawab : “Benar”. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya”. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau
ia seorang budak-pent.), syubhat
(yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar- samaran-pent.) atau karena zina”. Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy- Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam. Catatan : Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza Wa Jalla : “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. Ath- Tholaq : 4). Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak. Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al- Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu : “Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid)”. (QS. Al-Baqarah : 228). Kesimpulan Pembahasan : 1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah- nya. 2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut : • Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. • Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam. Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al- Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850. 2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughny 11/242. Kalau ada yang bertanya : “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”. Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para ‘ulama. Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat : “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya”. Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr). 3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya,dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”. (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam
Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al- Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/ no.698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad- Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As- Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At- Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840). Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya. Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala : “Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan” (QS. An-Nisa` : 4). Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban”.(QS.An-Nisa` : 24) Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam. Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma’ad 5/104-105. Sumbr: Tulisan Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad

Saturday 3 September 2011

laki2 harus bertanggung jawab di hadapan allah swt

“Dan di antara tanda-tanda
keagungan Allah adalah Dia
menciptakan bagimu dari
jenismu sendiri pasangan-
pasangan, supaya kamu hidup
tentram bersamanya; dan dijadikan Allah bagimu cinta dan
kasih sayang. Sesungguhnya
dalam hal itu terdapat tanda-
tanda bagi orang yang mau
berfikir (Qs.30:21). Menyimak rangkaian sebelum
ayat ini, Allah swt. menyatakan
bahwa semua ciptaanNya itu
hanya untuk kebahagiaan
manusia, termasuk keberadaan
pasangan kita. Allah tahu adanya getar dan bisik rindu dalam hati
kita, maka itu diciptakanlah bagi
kita pasangannya. Mengapa?
Karena kita tak mampu hidup
sendiri. Acapkali kita
memerlukan seseorang yang mau berdiri di samping kita
untuk menentramkan kita. Kita
perlu seseorang yang mau
mendengar bukan saja kata
yang diungkapkan, tetapi jeritan
hati yang tidak terungkapkan. Acap kali kita diharu-biru
persoalan hidup, dihempas
gelombang lautan kehidupan,
diguncang topan-badai, yang
menggambarkan betapa
nestapanya kehidupan kita ini. Pada saat itulah, kita butuh
seseorang yang mampu untuk
meniupkan kedamaian,
menopang tubuh yang lemah,
memperkuat hati dan jiwa kita.
Hidup ini tidak mudah, karena hidup merupakan jalan yang
mendaki, berbatu dan terjal,
penuh onak dan duri, banyak
tantangan, rintangan yang harus
kita lalui. Acapkali kita putus asa
menghadapinya, karena tidak tahu bagaimana jalan keluarnya. Di sinilah Allah tidak
menghendaki kita putus asa dan
frustasi. Di sinilah Allah
menghendaki kita hidup
bahagia, karena itulah Allah
menciptakan bagi kita pasangan yang diikat oleh ikatan suci, yaitu
akad nikah. Melalui ijab dan
qabul terjadilah perubahan
besar: yang haram menjadi halal,
yang maksiat menjadi kesucian,
kebebasan menjadi tanggung jawab. Begitu besar perubahan
yang terjadi sehingga Al Quran
menyebut hal ini dengan
mitsaqan ghalidhan (perjanjian
yang berat). Ananda, Peristiwa akad nikah bukan
merupakan perkara kecil di
hadapan Allah. Akad ini sama
tingginya dengan perjanjian para
rasul, sama dahsyatnya dengan
perjanjian Bani Israil yang digantungkan di atas mereka
bukit Thursina. Peristiwa ini tidak
hanya disaksikan oleh kedua
orang tua, kerabat, para sahabat
anda; tetapi disaksikan oleh para
malaikat, dan terutama oleh Allah Rabbul alamin, Sang Penguasa
alam semesta. Jika ananda sia-siakan perjanjian
ini, jika ananda cerai-beraikan
ikatan yang sudah terpatri ini,
maka bukan saja ananda harus
bertanggung jawab kepada
mereka yang hadir saat ini, tetapi ananda harus bertanggung
jawab di hadapan Allah swt. Oleh
sebab itu Rasulullah saw.
bersabda: “laki-laki adalah
pemimpin di tengah keluarganya
dan ia harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu.
Wanita adalah pemimpin di
rumah suaminya dan ia harus
bertanggung jawab ata
kepemimpinan-nya itu” (HR.
Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu Rasulullah saw. mengukur
baik-buruknya seseorang itu
dari cara ia memperlakukan
keluarganya. “Yang paling baik
di antara kalian adalah yang
paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya” Tentu kita bertanya, mengapa
Allah dan RasulNya mewasiatkan
agar kita memelihara akad nikah
yang suci ini? Mengapa
kebaikkan manusia diukur dari
cara ia memperlakukan keluarganya? Mengapa suami-
isteri harus bertanggung jawab
di hadapan Allah? Jawabnya
sederhanya, yaitu Karena Allah
tahu bahwa kebahagiaan dan
penderitaan manusia sangat tergantung pada hubungan
mereka dengan orang-orang
yang mereka cintai, yaitu
keluarganya. Jika di dunia ini
terdapat surga maka surga itu
adalah pernikahan yang bahagia; tetapi jika di dunia ini
terdapat neraka maka neraka itu
adalah pernikahan yang gagal. Ananda, izinkan saya
menyampaikan amanat, pertama
kepada ananda yang harus
memikul wasiat nabi: 1. Niatkan pernikahan ini
untuk ibadah. Jangan
sekali-kali karena
kecantikan atau
ketampanannya. Atau
karena harta-kekayaan, pangkat-jabatan, dan
kedudukan. Cantik dan
akan dimakan usia, tidak
abadi. Harta benar sulit
dicari, tapi gampang
pergi dan hilangnya. Pangkat dan jabatan sulit
diperoleh, tetapi mudah
sirnanya. Oleh sebab itu,
niatkan nikah ini untuk
ibadah, sebab dengan
ibadah akan tercipta sakinah wa rahmah,
ketentraman lahir dan
batin. Yakinlah.
Perhatikan nasihat
Luqmanul Hakim kepada
anaknya: ” Wahai anakku, sesungguhnya
dunia ini bagaikan
samudera sangat yang
sangat luas dan dalam.
Telah banyak orang yang
karam dan tenggelam di dalamnya. Maka
jadikanlah ketaqwaan
kepada Allah SWT.
sebagai perahu dalam
mengarungi lautan
tersebut.” Dunia acapkali menipu dan hanyalah
fatamorgana, ketiadaan
keimanan dan
ketakwaan
menyebabkan manusia
kehilangan pegangan dalam hidupnya. Ia akan
terombang-ambing
dalam lautan nafsu yang
selalu haus minta untuk
dipenuhi. Keimanan dan
ketaqwaan memberikan arah, bahwa hidup ini
sementara dan ada
akhirnya. Hidup ini
adalah hanya untuk
beribadah kepadaNya,
karena Dia adalah tujuan dari segalanya. Jadikan
iman-islam dan taqwa
sebagai perahu kita,
karena kita akan selamat
sampai ke tujuan. 2. Ananda, pernikahan itu
adalah tanggung jawab
dan cermin. Perlakukan
isteri dengan ma’ruf,
dengan yang terbaik.
Ananda, seorang isteri yang akan mendampingi
hidup ananda bukanlah
segumpal daging yang
dapat ananda kerat
dengan tindakan
semena-mena. Ia bukan pula budak belian atau
pembantu yang dapat
diperlakukan dengan
sewenang-wenang. Ia
adalah wanita yang Allah
anugerahkan untuk menjadikan hidup
ananda bermakna. Ia
adalah amanah Allah
yang harus
dipertanggung
jawabkan. Rasulullah bersabda: “Ada dua dosa
yang didahulukan
siksanya di dunia, yaitu
albaghyu dan durhaka
kepada orang tua” (HR.
Turmudzi, Bukahri dan Thabrani). Al Baghyu
adalah berbuat
sewenang-wenang,
berbuat zalim, dan
mengananiaya orang
lain; dan Al baghyu yang paling dimurkai adalah
berbuat zalim terhadap
isteri sendiri. Termasuk Al
baghyu adalah
menelantarkan isteri,
menyakiti hatinya, merampas kehangatan
cintanya, merendahkan
kehormatannya,
mengabaikannya dalam
mengambil keputusan,
dan mencabut haknya untuk memperoleh
kebahagiaan hidup
bersama ananda. Karena
itulah Rasulullah saw.
mengukur tinggi -
rendahnya martabat seorang laki-laki adalah
dari cara ia bergaul
dengan isterinya.
“Tidaklah memuliakan
wanita kecuali laki-laki
mulia dan tidaklah merendahkan wanita
kecuali laki-laki yang
rendah juga”. 3. Hormati orang tua dan
mertua. Agama
memerintahkan kita
untuk mem-perlakukan
keduanya dengan
sebaik-baiknya. Karena berkat merekalah kita
ada. Kewajiban kita
terhadap keduanya
adalah menjaga
keduanya dan
mendoakan keduanya agar Allah melindungi
mereka, mengampuni
setiap kesalahan mereka,
memberikan kasih
sayangNya kepada
mereka. Berdoalah khusus untuk keduanya. 4. Jika suatu saat kelak
Allah menganugerahkan
keturunan maka didiklah
mereka dengan ajaran
agama. Jadikanlah dan
didiklah anak-anak sebagai generasi Rabbiy
Radliya (generasi yang
Allah ridlai). 5. Ananda harus memiliki
planning (rencana)
rumah tangga.
Jadikanlah RT sebagai
rumah ibadah,
pendidikan keluarga, sosial, perjuangan
mengemban amanah
Islam. Bukalah pintu
rumah kita untuk
siapapun yang berharap
pertolongan kita, jangan tutup rapat pintu
rumahmu. Karena Allah
akan meudahkan hidup
kita selama kita
memudahkan urusan
orang lain. 6. Bangun segala hal dalam
rumah tangga dengan
asas ajaran agama;
bukan dengan asas
materi atau kepentingan.
Dengan asas agama, kita akan hidup dan beramal
dnegan keikhlasan-
ketulusan. Tapi dengan
asas yang lain akan
menjadikan hidup kita
lelah dan letih dan menjadikan kita nestapa,
karena kepentingan
tidak pernah habisnya. Ananda dengan seizin ananda,
perkenankanlah saya sekarang
menyampaikan wasiat Rasulullah
saw. kepada wanita yang berada
di samping anda. Rasul bersabda:
“Seandainya aku boleh memerintahkan manusia
bersujud kepada manusia
lainnya, maka akan aku
perintahkan isteri untuk
bersujud kepada suaminya,
karena besarnya hak suami yang dianugerahkan Allah atas
mereka” (HR. Abu Daud, Al
Hakim, dan Turmudzi). Banyak isteri menuntut suami
agar membahagiakan mereka.
Jarang terpikirkan bagaimana ia
berusaha membahagiakan
suaminya. Cinta dan kasih
sayang tumbuh dalam suasana memberi, bukan mengambil.
Cinta adalah sharing (saling
berbagi). Anda tidak akan
memperoleh cinta jika yang anda
tebarkan itu adalah kebencian.
Anda tidak akan memetik kasih sayang jika yang anda tanamkan
adalah kemarahan. Anda tidak
akan meraih ketenangan jika
yang anda suburkan adalah
dendam dan kekecewaan. Ananda, Anda boleh memberi
apa saja yang ananda miliki.
Tetapi buat suami anda, tidak ada
pemberian isteri yang paling
indah dan membahagiakan hati
selain hati yang selalu siap berbagi kesenangan dan
penderitaan. Di Luar, suami anda
menemukan wajah-wajah tegar,
kasar, mata-mata tajam, ucapan
kasar, dan pergumulan hidup
yang sangat berat. Ia ingin ketika kembali ke rumah,
ditemukannya wajah yang ceria,
ucapan yang lembut,dan ia
berlindung di dalam keteduhan
kasih sayang anda. Suami anda
ingin mencairkan seluruh beban jiwa raganya dengan
kehangatan kasih sayang anda.
Rasul yang mulai bersabda:
“Isteri yang paling baik adalah
yang paling membahagiakanmu
jika kamu memandangnya, yang mematuhimu jika kamu
menyuruhnya, dan memelihara
kehormatan dirinya dan hartamu
jika kamu tidak ada (di
rumah)” (HR. Thabrani). Rasul
yang mulia bersabda bahwa surga terletak di bawah kaki
kaum ibu. Apakah rumah tangga
yang anda bangun hari ini akan
menjadi surga ataukah neraka,
semua itu tergantung kepada
anda sebagai Ibu Rumah tangga. Rumah tangga akan menjadi
surga jika di situ anda hiaskan
kesabaran, kesetiaan, dan
kesucian. Ananda, jika kelak perahu RT
anda bertabrakan dengan kerikil
tajam, jika impian indah berganti
dengan kepahitan, jika harapan
diguncang cobaan; kami (yang
hadir si sini) ingin melihat anda tetap teguh berada di samping
suami anda tercinta. Anda tetap
tersenyum walaupun langit
semakin mendung. Pada saat
seperti itu, mungkin tidak ada
yang paling menyejukkan suami anda selain melihat isterinya
bangun malam, shalat malam dan
duduk di atas sajadah; sujud
memohon pertolongan Allah.
Suaranya gemetar, ia sedang
bermohon agar Allah menganugerahkan pertolongan
bagi suaminya. Pada saat seperti
itu, suami anda akan
mengangkat tangan ke langit
dan bersamaan dengan tetes-
tetes air matanya ia berdoa: “Yaa Allah, karunikanlah kami isteri
dan keturunan kami yang
menentramkan hati kami dan
jadikanlah kami penghulu orang
bertakwa” Ananda, membangun rumah itu
jelas berbeda dengan membina
dan membangun rumah tangga.
Dalam membangun rumah, asal
punya dana, buat perencanaan,
lalu panggil tukang insinyur, maka rumah pun akan terwujud
dengan mudah. Adapun,
membangun dan membina
rumah tangga jelas sangat sulit.
Dalam membangun rumah
tangga terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan, di
antaranya ada segenggam cinta,
ada sejumput rindu, ada sekilas
cemburu, ada rasa benci, dan ada
sejuta rasa yang lain. Itu bahan-bahan komponen.
Tinggal kepandaian meramunya
bagaimana? Seperti sebuah
masakan, ada garam, ada gula,
ada pedas, ada asam, ada manis.
Jika satu komponen lebih banyak dari yang lain maka akan
terasa pedas, asin, dll. Niatkan nikah untuk ibadah.
Jangan sekali-kali karena
kecantikan atau ketampanannya.
Atau harta, kekayayaan, pangkat
dan kedudukan. Cantik dan
ganteng akan dimakan usia, tidak abadi. Harta sulit dicari
gampang perginya dan
hilangnyta. Pangkat dan jabtan
sulit diperoleh dan gampang
turun. Oleh sebab itu, niatkan
untuk ibadah, sebab dengan ibadah akan tercipta sakinah wa
rahmah. Nasihat Luqmanul Hakim sepada
anaknya: ” Wahai anaku,
sesungguhnya dunia itu
bagaikan samudera sangat luas
dan dalam. Telah banyak orang
yang karam dan tenggelam di dalamnya. Maka jadikanlah
Ketaqwaan kepada Allah sebagai
perahu dalam mengarungi lautan
tersebut.” Perhatikan rumah tangga Charles
dan Lady Di, setgala ada dan
tersedia, tetapi berantakan. Untuk membina RT perlu rumus.
Nabi menyatakan: ”Innnaloha
idza arada bi ahli baitin khairan:
faq qahahum fid diin, ”
Sesungguhnya Allah jika
menghendaki kebaikan bagi seuah rumah tangga hidup
bahagia, maka keluarga itru
memamhami mengetahui dan
mau mengamalkan ajaran
agama, suami menyayangi istri
dan istri patuh pada suami”

Thursday 1 September 2011

Membiasakan puasa setelahRamadhan memiliki banyakmanfaat

Sahabat Fillah, karena masih dalam
bulan Syawal, tidak terlambat
rasanya kalau saya membahas
PUASA SYAWAL Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu
'anhu meriwayatkan, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda : "Barangsiapa berpuasa penuh di
bulan Ramadhan lalu
menyambungnya dengan (puasa)
enam hari di bulan Syawal, maka
(pahalanya) seperti ia berpuasa
selama satu tahun . (HR. Muslim). Imam Ahmad dan An-Nasa'i,
meriwayatkan dari Tsauban, Nabi
shallallahu 'alaihi wasalllam
bersabda: "Puasa Ramadhan (ganjarannya)
sebanding dengan (puasa) sepuluh
bulan, sedangkan puasa enam hari
(di bulan Syawal, pahalanya)
sebanding dengan (puasa) dua
bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun
penuh." ( Hadits riwayat Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam
"Shahih" mereka.) Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa berpuasa Ramadham
lantas disambung dengan enam hari
di bulan Syawal, maka ia bagaikan
telah berpuasa selama setahun.
" (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri
berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.") Pahala puasa Ramadhan yang
dilanjutkan dengan puasa enam hari
di bulan Syawal menyamai pahala
puasa satu tahun penuh, karena
setiap hasanah (tebaikan) diganjar
sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits
Tsauban di muka. Membiasakan puasa setelah
Ramadhan memiliki banyak
manfaat, di antaranya : 1. Puasa enam hari di buian Syawal
setelah Ramadhan, merupakan
pelengkap dan penyempurna
pahala dari puasa setahun penuh. 2. Puasa Syawal dan Sya'ban
bagaikan shalat sunnah rawatib,
berfungsi sebagai penyempurna dari
kekurangan, karena pada hari
Kiamat nanti perbuatan-perbuatan
fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-
perbuatan sunnah. Sebagaimana
keterangan yang datang dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam di
berbagai riwayat. Mayoritas puasa
fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan
ketidak sempurnaan, maka hal itu
membutuhkan sesuatu yang
menutupi dan
menyempurnakannya. 3. Membiasakan puasa setelah
Ramadhan menandakan
diterimanya puasa Ramadhan,
karena apabila Allah Ta'ala
menerima amal seorang hamba,
pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik
setelahnya. Sebagian orang bijak
mengatakan: "Pahala'amal
kebaikan adalah kebaikan yang
ada sesudahnya." Oleh karena itu
barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan
kebaikan lain, maka hal itu
merupakan tanda atas terkabulnya
amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika
seseorang melakukan suatu
kebaikan lalu diikuti dengan yang
buruk maka hal itu merupakan
tanda tertolaknya amal yang
pertama. 4. Puasa Ramadhan -sebagaimana
disebutkan di muka- dapat
mendatangkan maghfirah atas
dosa-dosa masa lain. Orang yang
berpuasa Ramadhan akan
mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari
pembagian hadiah, maka
membiasakan puasa setelah 'Idul
Fitri merupakan bentuk rasa syukur
atas nikmat ini. Dan sungguh tak
ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa. Oleh karena itu termasuk sebagian
ungkapan rasa syukur seorang
hamba atas pertolongan dan
ampunan yang telah dianugerahkan
kepadanya adalah dengan berpuasa
setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan
perbuatan maksiat maka ia
termasuk kelompok orang yang
membalas kenikmatan dengan
kekufuran. Apabila ia berniat pada
saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi,
maka puasanya tidak akan
terkabul, ia bagaikan orang yang
membangun sebuah bangunan
megah lantas menghancurkannya
kembali. Allah Ta'ala berfirman: "Dan janganlah kamu seperti
seorang perempuan yang
menguraikan benangnya yang
sudah dipintal dengan kuat menjadi
cerai berai kembali "(An-Nahl: 92) 5. Dan di antara manfaat puasa
enam hari bulan Syawal adalah
amal-amal yang dikerjakan seorang
hamba untuk mendekatkan diri
kepada Tuhannya pada bulan
Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia
masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan
berpuasa bagaikan orang yang
cepat-cepat kembali dari
pelariannya, yakni orang yang baru
lari dari peperangan fi sabilillah
lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia
dengan berlalunya Ramadhan sebab
mereka merasa berat, jenuh dan
lama berpuasa Ramadhan. Barangsiapa merasa demikian maka
sulit baginya untuk bersegera
kembali melaksanakan puasa,
padahal orang yang bersegera
kembali melaksanakan puasa
setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah
puasa, ia tidak merasa bosam dan
berat apalagi benci. Seorang Ulama salaf ditanya
tentang kaum yang bersungguh-
sungguh dalam ibadahnya pada
bulan Ramadhan tetapi jika
Ramadhan berlalu mereka tidak
bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar: "Seburuk-buruk kaum adalah yang
tidak mengenal Allah secara benar
kecuali di bulan Ramadhan saja,
padahal orang shalih adalah yang
beribadah dengan sungguh-
sunggguh di sepanjang tahun." Oleh karena itu sebaiknya orang
yang memiliki hutang puasa
Ramadhan memulai membayarnya
di bulan Syawal, karena hal itu
mempercepat proses pembebasan
dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam
hari puasa Syawal, dengan
demikian ia telah melakukan puasa
Ramadhan dan mengikutinya
dengan enam hari di bulan Syawal. Ketahuilah, amal perbuatan seorang
mukmin itu tidak ada batasnya
hingga maut menjemputnya. Allah
Ta'ala berfirman : "Dan sembahlah Tuhanmu sampai
datang kepadamu yang diyakini
(ajal) " (Al-Hijr: 99) Dan perlu diingat pula bahwa shalat-
shalat dan puasa sunnah serta
sedekah yang dipergunakan
seorang hamba untuk mendekatkan
diri kepada Allah Ta'ala pada bulan
Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu
mengandung berbagai macam
manfaat, di antaranya; ia sebagai
pelengkap dari kekurangan yang
terdapat pada fardhu, merupakan
salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah
(kecintaan) Allah kepada hamba-
Nya, sebab terkabulnya doa,
demikian pula sebagai sebab
dihapusnya dosa dan
dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya
kedudukan. Hanya kepada Allah tempat
memohon pertolongan, shalawat
dan salam semoga tercurahkan
selalu Puasa Syawal, Puasa Seperti
Setahun Penuh Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa berpuasa enam hari
setelah hari raya Idul Fitri, maka dia
seperti berpuasa setahun penuh.
[Barang siapa berbuat satu
kebaikan, maka baginya sepuluh
kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Irwa’ul Gholil) Orang yang melakukan satu
kebaikan akan mendapatkan
sepuluh kebaikan yang semisal.
Puasa ramadhan adalah selama
sebulan berarti akan semisal dengan
puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan
semisal dengan 60 hari yang sama
dengan 2 bulan. Oleh karena itu,
seseorang yang berpuasa ramadhan
kemudian berpuasa enam hari di
bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat
Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56
dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465).
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan nikmat ini bagi umat
Islam. Apakah Puasa Syawal Harus
Berurutan dan Dilakukan di Awal
Ramadhan ? Imam Nawawi dalam Syarh Muslim,
8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i
mengatakan bahwa paling afdhol
(utama) melakukan puasa syawal
secara berturut-turut (sehari) setelah
shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak
berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap
mendapatkan keutamaan puasa
syawal setelah sebelumnya
melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja
seseorang berpuasa syawal tiga hari
setelah Idul Fithri misalnya, baik
secara berturut-turut ataupun tidak,
karena dalam hal ini ada
kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga
keluar waktu (bulan Syawal)
karena bermalas-malasan maka dia
tidak akan mendapatkan ganjaran
puasa syawal. Catatan: Apabila seseorang memiliki
udzur (halangan) seperti sakit,
dalam keadaan nifas, sebagai
musafir, sehingga tidak berpuasa
enam hari di bulan syawal, maka
boleh orang seperti ini meng- qodho’ (mengganti) puasa syawal
tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini
tidaklah mengapa. (Lihat Syarh
Riyadhus Sholihin, 3/466) Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan)
Puasa Terlebih Dahulu Lebih baik bagi seseorang yang
masih memiliki qodho’ puasa
Ramadhan untuk menunaikannya
daripada melakukan puasa Syawal.
Karena tentu saja perkara yang
wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah.
Alasan lainnya adalah karena dalam
hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan,“Barang
siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi
apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada
tanggungan puasa, maka
tanggungan tersebut harus
ditunaikan terlebih dahulu agar
mendapatkan pahala semisal puasa
setahun penuh. Apabila seseorang menunaikan
puasa Syawal terlebih dahulu dan
masih ada tanggungan puasa, maka
puasanya dianggap puasa sunnah
muthlaq (puasa sunnah biasa) dan
tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tadi, “Barang siapa
berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul
Mumthi’, 3/89, 100) Catatan: Adapun puasa sunnah
selain puasa Syawal, maka boleh
seseorang mendahulukannya dari
mengqodho’ puasa yang wajib
selama masih ada waktu lapang
untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya
tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi
perlu diingat bahwa menunaikan
qodho’ puasa tetap lebih utama
daripada melakukan puasa sunnah.
Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin -semoga Allah merahmati
beliau- dalam kitab beliau Syarhul
Mumthi’, 3/89 karena seringnya
sebagian orang keliru dalam
permasalahan ini. Kita ambil permisalan dengan shalat
dzuhur. Waktu shalat tersebut
adalah mulai dari matahari bergeser
ke barat hingga panjang bayangan
seseorang sama dengan tingginya.
Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur
(halangan). Dalam waktu ini
bolehkah dia melakukan shalat
sunnah kemudian melakukan shalat
wajib? Jawabnya boleh, karena
waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan
tidak berdosa. Namun hal ini
berbeda dengan puasa syawal
karena puasa ini disyaratkan
berpuasa ramadhan untuk
mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka
perhatikanlah perbedaan dalam
masalah ini! Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh
Membatalkan Puasa Ketika
Melakukan Puasa Sunnah Permasalahan pertama ini dapat
dilihat dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah masuk menemui
keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu
(yang bisa dimakan, pen)?” Mereka
berkata, “tidak” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, “Kalau begitu
sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di
siang hari ketika melakukan puasa
sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga terkadang berpuasa sunnah
kemudian beliau membatalkannya
sebagaimana dikatakan oleh
Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul
Ma’ad, 2/79) Semoga dengan sedikit penjelasan
ini dapat mendorong kita
melakukan puasa enam hari di
bulan Syawal, semoga amalan kita
diterima dan bermanfaat pada hari
yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa
shallallaahu ‘alaa nabiyyina
sayyidina Muhammad wa ‘alaa
aalihi wa shohbihi wa sallam.

Membiasakan puasa setelahRamadhan memiliki banyakmanfaatMembiasakan puasa setelahRamadhan memiliki banyakmanfaat

Sahabat Fillah, karena masih dalam
bulan Syawal, tidak terlambat
rasanya kalau saya membahas
PUASA SYAWAL Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu
'anhu meriwayatkan, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda : "Barangsiapa berpuasa penuh di
bulan Ramadhan lalu
menyambungnya dengan (puasa)
enam hari di bulan Syawal, maka
(pahalanya) seperti ia berpuasa
selama satu tahun . (HR. Muslim). Imam Ahmad dan An-Nasa'i,
meriwayatkan dari Tsauban, Nabi
shallallahu 'alaihi wasalllam
bersabda: "Puasa Ramadhan (ganjarannya)
sebanding dengan (puasa) sepuluh
bulan, sedangkan puasa enam hari
(di bulan Syawal, pahalanya)
sebanding dengan (puasa) dua
bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun
penuh." ( Hadits riwayat Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam
"Shahih" mereka.) Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa berpuasa Ramadham
lantas disambung dengan enam hari
di bulan Syawal, maka ia bagaikan
telah berpuasa selama setahun.
" (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri
berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.") Pahala puasa Ramadhan yang
dilanjutkan dengan puasa enam hari
di bulan Syawal menyamai pahala
puasa satu tahun penuh, karena
setiap hasanah (tebaikan) diganjar
sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits
Tsauban di muka. Membiasakan puasa setelah
Ramadhan memiliki banyak
manfaat, di antaranya : 1. Puasa enam hari di buian Syawal
setelah Ramadhan, merupakan
pelengkap dan penyempurna
pahala dari puasa setahun penuh. 2. Puasa Syawal dan Sya'ban
bagaikan shalat sunnah rawatib,
berfungsi sebagai penyempurna dari
kekurangan, karena pada hari
Kiamat nanti perbuatan-perbuatan
fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-
perbuatan sunnah. Sebagaimana
keterangan yang datang dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam di
berbagai riwayat. Mayoritas puasa
fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan
ketidak sempurnaan, maka hal itu
membutuhkan sesuatu yang
menutupi dan
menyempurnakannya. 3. Membiasakan puasa setelah
Ramadhan menandakan
diterimanya puasa Ramadhan,
karena apabila Allah Ta'ala
menerima amal seorang hamba,
pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik
setelahnya. Sebagian orang bijak
mengatakan: "Pahala'amal
kebaikan adalah kebaikan yang
ada sesudahnya." Oleh karena itu
barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan
kebaikan lain, maka hal itu
merupakan tanda atas terkabulnya
amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika
seseorang melakukan suatu
kebaikan lalu diikuti dengan yang
buruk maka hal itu merupakan
tanda tertolaknya amal yang
pertama. 4. Puasa Ramadhan -sebagaimana
disebutkan di muka- dapat
mendatangkan maghfirah atas
dosa-dosa masa lain. Orang yang
berpuasa Ramadhan akan
mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari
pembagian hadiah, maka
membiasakan puasa setelah 'Idul
Fitri merupakan bentuk rasa syukur
atas nikmat ini. Dan sungguh tak
ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa. Oleh karena itu termasuk sebagian
ungkapan rasa syukur seorang
hamba atas pertolongan dan
ampunan yang telah dianugerahkan
kepadanya adalah dengan berpuasa
setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan
perbuatan maksiat maka ia
termasuk kelompok orang yang
membalas kenikmatan dengan
kekufuran. Apabila ia berniat pada
saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi,
maka puasanya tidak akan
terkabul, ia bagaikan orang yang
membangun sebuah bangunan
megah lantas menghancurkannya
kembali. Allah Ta'ala berfirman: "Dan janganlah kamu seperti
seorang perempuan yang
menguraikan benangnya yang
sudah dipintal dengan kuat menjadi
cerai berai kembali "(An-Nahl: 92) 5. Dan di antara manfaat puasa
enam hari bulan Syawal adalah
amal-amal yang dikerjakan seorang
hamba untuk mendekatkan diri
kepada Tuhannya pada bulan
Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia
masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan
berpuasa bagaikan orang yang
cepat-cepat kembali dari
pelariannya, yakni orang yang baru
lari dari peperangan fi sabilillah
lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia
dengan berlalunya Ramadhan sebab
mereka merasa berat, jenuh dan
lama berpuasa Ramadhan. Barangsiapa merasa demikian maka
sulit baginya untuk bersegera
kembali melaksanakan puasa,
padahal orang yang bersegera
kembali melaksanakan puasa
setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah
puasa, ia tidak merasa bosam dan
berat apalagi benci. Seorang Ulama salaf ditanya
tentang kaum yang bersungguh-
sungguh dalam ibadahnya pada
bulan Ramadhan tetapi jika
Ramadhan berlalu mereka tidak
bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar: "Seburuk-buruk kaum adalah yang
tidak mengenal Allah secara benar
kecuali di bulan Ramadhan saja,
padahal orang shalih adalah yang
beribadah dengan sungguh-
sunggguh di sepanjang tahun." Oleh karena itu sebaiknya orang
yang memiliki hutang puasa
Ramadhan memulai membayarnya
di bulan Syawal, karena hal itu
mempercepat proses pembebasan
dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam
hari puasa Syawal, dengan
demikian ia telah melakukan puasa
Ramadhan dan mengikutinya
dengan enam hari di bulan Syawal. Ketahuilah, amal perbuatan seorang
mukmin itu tidak ada batasnya
hingga maut menjemputnya. Allah
Ta'ala berfirman : "Dan sembahlah Tuhanmu sampai
datang kepadamu yang diyakini
(ajal) " (Al-Hijr: 99) Dan perlu diingat pula bahwa shalat-
shalat dan puasa sunnah serta
sedekah yang dipergunakan
seorang hamba untuk mendekatkan
diri kepada Allah Ta'ala pada bulan
Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu
mengandung berbagai macam
manfaat, di antaranya; ia sebagai
pelengkap dari kekurangan yang
terdapat pada fardhu, merupakan
salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah
(kecintaan) Allah kepada hamba-
Nya, sebab terkabulnya doa,
demikian pula sebagai sebab
dihapusnya dosa dan
dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya
kedudukan. Hanya kepada Allah tempat
memohon pertolongan, shalawat
dan salam semoga tercurahkan
selalu Puasa Syawal, Puasa Seperti
Setahun Penuh Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa berpuasa enam hari
setelah hari raya Idul Fitri, maka dia
seperti berpuasa setahun penuh.
[Barang siapa berbuat satu
kebaikan, maka baginya sepuluh
kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Irwa’ul Gholil) Orang yang melakukan satu
kebaikan akan mendapatkan
sepuluh kebaikan yang semisal.
Puasa ramadhan adalah selama
sebulan berarti akan semisal dengan
puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan
semisal dengan 60 hari yang sama
dengan 2 bulan. Oleh karena itu,
seseorang yang berpuasa ramadhan
kemudian berpuasa enam hari di
bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat
Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56
dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465).
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan nikmat ini bagi umat
Islam. Apakah Puasa Syawal Harus
Berurutan dan Dilakukan di Awal
Ramadhan ? Imam Nawawi dalam Syarh Muslim,
8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i
mengatakan bahwa paling afdhol
(utama) melakukan puasa syawal
secara berturut-turut (sehari) setelah
shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak
berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap
mendapatkan keutamaan puasa
syawal setelah sebelumnya
melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja
seseorang berpuasa syawal tiga hari
setelah Idul Fithri misalnya, baik
secara berturut-turut ataupun tidak,
karena dalam hal ini ada
kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga
keluar waktu (bulan Syawal)
karena bermalas-malasan maka dia
tidak akan mendapatkan ganjaran
puasa syawal. Catatan: Apabila seseorang memiliki
udzur (halangan) seperti sakit,
dalam keadaan nifas, sebagai
musafir, sehingga tidak berpuasa
enam hari di bulan syawal, maka
boleh orang seperti ini meng- qodho’ (mengganti) puasa syawal
tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini
tidaklah mengapa. (Lihat Syarh
Riyadhus Sholihin, 3/466) Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan)
Puasa Terlebih Dahulu Lebih baik bagi seseorang yang
masih memiliki qodho’ puasa
Ramadhan untuk menunaikannya
daripada melakukan puasa Syawal.
Karena tentu saja perkara yang
wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah.
Alasan lainnya adalah karena dalam
hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan,“Barang
siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi
apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada
tanggungan puasa, maka
tanggungan tersebut harus
ditunaikan terlebih dahulu agar
mendapatkan pahala semisal puasa
setahun penuh. Apabila seseorang menunaikan
puasa Syawal terlebih dahulu dan
masih ada tanggungan puasa, maka
puasanya dianggap puasa sunnah
muthlaq (puasa sunnah biasa) dan
tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tadi, “Barang siapa
berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul
Mumthi’, 3/89, 100) Catatan: Adapun puasa sunnah
selain puasa Syawal, maka boleh
seseorang mendahulukannya dari
mengqodho’ puasa yang wajib
selama masih ada waktu lapang
untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya
tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi
perlu diingat bahwa menunaikan
qodho’ puasa tetap lebih utama
daripada melakukan puasa sunnah.
Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin -semoga Allah merahmati
beliau- dalam kitab beliau Syarhul
Mumthi’, 3/89 karena seringnya
sebagian orang keliru dalam
permasalahan ini. Kita ambil permisalan dengan shalat
dzuhur. Waktu shalat tersebut
adalah mulai dari matahari bergeser
ke barat hingga panjang bayangan
seseorang sama dengan tingginya.
Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur
(halangan). Dalam waktu ini
bolehkah dia melakukan shalat
sunnah kemudian melakukan shalat
wajib? Jawabnya boleh, karena
waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan
tidak berdosa. Namun hal ini
berbeda dengan puasa syawal
karena puasa ini disyaratkan
berpuasa ramadhan untuk
mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka
perhatikanlah perbedaan dalam
masalah ini! Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh
Membatalkan Puasa Ketika
Melakukan Puasa Sunnah Permasalahan pertama ini dapat
dilihat dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah masuk menemui
keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu
(yang bisa dimakan, pen)?” Mereka
berkata, “tidak” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, “Kalau begitu
sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di
siang hari ketika melakukan puasa
sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga terkadang berpuasa sunnah
kemudian beliau membatalkannya
sebagaimana dikatakan oleh
Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul
Ma’ad, 2/79) Semoga dengan sedikit penjelasan
ini dapat mendorong kita
melakukan puasa enam hari di
bulan Syawal, semoga amalan kita
diterima dan bermanfaat pada hari
yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa
shallallaahu ‘alaa nabiyyina
sayyidina Muhammad wa ‘alaa
aalihi wa shohbihi wa sallam.

Wednesday 31 August 2011

Sejarah pernikahan

nikah menurut bahasa ialah
berkumpul dan bercampur. Menurut
istilah syarak pula ialah ijab dan
qabul (‘aqad) yang menghalalkan
persetubuhan antara lelaki dan
perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan
nikah, menurut peraturan yang
ditentukan oleh Islam[1].
Perkataan zawaj digunakan di
dalam al-Quran bermaksud
pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud
perkahwinan Allah s.w.t.
menjadikan manusia itu
berpasang-pasangan,
menghalalkan perkahwinan dan
mengharamkan zina. Sejarah perkahwinan Agama-agama wahyu memperakui
bahawa perkahwinan pertama di
kalangan manusia berlaku antara
Nabi Adam a.s. bersama Hawa.
Perkahwinan ini berlaku dengan
suatu cara perhubungan yang dibenarkan oleh Allah s.w.t kepada
mereka berdua. Ini merupakan
suatu sistem perkahwinan yang
disyariatkan bagi membiakkan
manusia untuk memerintah Bumi
dan mendudukinya buat sementara waktu. Selain al-Quran dan hadith,
Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru turut menceritakan kejadian
Adam dan Hawa sebagai pasangan
pertama. Di dalam Perjanjian Lama
atau Taurat, telah diselitkan beberapa ayat, antaranya yang
bermaksud, “Tuhan telah berkata
tidak baik Adam berkeseorangan
sahaja, maka Aku jadikan seorang
penolong sepertinya”. [2] Berkenaan dengan perkahwinan
anak-anak Adam sendiri tidaklah
dapat diketahui bagaimanakah
sistemnya yang sebenar. Di dalam
Tafsir Ibn Kathir, apa yang
diriwayatkan oleh Ibn Jarir daripada Ibn Masi’ud dari beberapa
orang sahabat yang lain,bahawa
mereka berkata yang bermaksud,
“Sesungguhnya tidak
diperanakkan bagi Adam anak
lelaki melainkan diperanakkan beserta anak perempuan,
kemudian anak lelaki kandungan
ini dikahwinkan dengan anak
perempuan dari kandungan lain,
dan anak perempuan bagi
kandungan ini dikahwinkan dengan anak lelaki dari kandungan
yang lain itu.” Pada masa itu,
perkahwinan berlainan kandungan
boleh dijadikan seperti
perkahwinan berlainan keturunan. Jenis-jenis perkahwinan * Poligami adalah perkahwinan
lelaki dengan ramai wanita. Ia
diamalkan oleh hampir kesemua
bangsa di dunia ini. Mereka
mengamalkan poligami tanpa had
dan batas. Contohnya ada agama di negara China yang membolehkan
perkahwinan sehingga 130 orang
isteri. Pada syariat Yahudi, poligami
dibenarkan tanpa batas dan
menurut Islam, poligami hanya
dibenarkan sehingga empat orang isteri dengan syarat-syarat yang
tertentu. * Poliandri merupakah
perkahwinan yang berlaku antara
seorang perempuan dengan
beberapa orang lelaki (konsep
songsang dari poligami).
Perkahwinan ini sangat jarang berlaku kecuali di Tibet, orang-
orang bukit di India dan
masyarakat jahiliah Arab.
Contohnya masyarakat
Juansuwaris apabila saudara lelaki
yang tua mengahwini seorang wanita, wanita itu menjadi isteri
untuk semua saudara-saudaranya.
Amalan ini merujuk kepada kitab
Mahabhrata. * Monogami merupakan cara
perkahwinan tunggal iaitu
perkahwinan antara seorang lelaki
dengan seorang perempuan sahaja.
Sesetengah agama seperti Kristian
mengamalkan perkahwinan jenis ini kerana menganggap
perkahwinan antara seorang lelaki
dan seorang perempuan adalah
untuk sepanjang zaman. Oleh
kerana itulah penceraian tidak
diiktiraf sama sekali (seperti mazhab Katolik). Kedudukan perkahwinan dalam
Islam * Wajib kepada orang yang
mempunyai nafsu yang kuat
sehingga boleh menjatuhkan ke
lembah maksiat (zina dan
sebagainya) sedangkan ia seorang
yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar
mahar(mas berkahminan/dower)
dan mampu nafkah kepad bakal
isterinya. Dalam permasalahan ini
boleh didahulukan perkahwinan
dari naik haji kerana gusar penzinaan akan berlaku, tetapi jika
dapat dikawal nafsu, maka ibadat
haji yang wajib perlu didahulukan
kerana beliau seorang yang
berkemampuan dalam segala
aspek. * Sunat kepada orang yang mampu
tetapi dapat mengawal nafsunya. * Harus kepada orang yang tidak
ada padanya galakan dan
bantahan untuk berkahwin dan ini
merupakan hukum asal
perkahwinan * Makruh kepada orang yang tidak
berkemampuan dari segi nafkah
batin dan lahir tetapi sekadar tidak
memberi kemudaratan kepada
isteri, samaada ia kaya atai tiada
nafsu yang kuat * Haram kepada orang yang tidak
berkempuan untuk memberi
nafkah batin dan lahir dan ia
sendiri tidak berkuasa (lemah),
tidak punya keinginan berkahwin
serta akan menganiaya isteri jika dia berkahwin. Hikmah perkahwinan * cara yang halal untuk
menyalurkanm nafsu seks.melalui
ini perzinan .liwat dan pelacuran
sebagainya dpat dielakan. * Untuk memperoleh ketenangan
hidup, kasih sayang dan
ketenteraman * Memelihara kesucian diri * Melaksanakan tuntutan syariat * Menjaga keturunan * Sebagai media pendidikan: Islam
begitu teliti dalam menyediakan
persekitaran yang sihat bagi
membesarkan anak-anak.Kanak-
kanak yang dibesarkan tanpa
perhubungan ibu bapa akan memudahkan si anak terjerumus
dalam kegiatan tidak bermoral.
Oleh itu, institusi kekeluargaan
yang disyorkan Islam dilihat
medium yang sesuai sebagai
petunjuk dan pedoman kepada anak-anak * Mewujudkan kerjasama dan
tanggungjawab * Dapat mengeratkan silaturahim Dalil pensyariatan * Surah An-Nisaa’: ayat 1 & 3 * Surah An-Nuur: ayat 32 * Surah An-Nahl: ayat 72 * Surah Yaasin: ayat 36 * Surah Ar-Rum: ayat 21 * Surah Adz-Dzariyaat: ayat 49 * Surah Luqman: ayat 10 * Surah Qaf: ayat 7 * Surah Asy-Syu’araa: ayat 7 Pemilihan calon Islam ada menggariskan beberapa
ciri-ciri bakal suami dan bakal isteri
yang dituntut di dalam Islam.
Namun, ia hanyalah panduan dan
tiada paksaan untuk mengikut
panduan-panduan ini. Ciri-ciri bakal suami Sekadar gambar hiasan :
Perkahwinan antara Datuk Siti
Nurhaliza bersama Datuk Khalid * beriman & bertaqwa kepada Allah
s.w.t * bertanggungjawab terhadap
semua benda * memiliki akhlak-akhlak yang
terpuji * berilmu agama agar dapat
membimbing bakal isteri dan anak-
anak ke jalan yang benar * tidak berpenyakit yang berat
seperti gila, AIDS dan sebagainya * rajin berusaha untuk kebaikan
rumahtangga seperti mencari
rezeki yang halal untuk
kebahagiaan keluarga. Ciri-ciri bakal isteri * beriman & solehah * rupa paras yang cantik dan elok * memiliki akhlak-akhlak yang
terpuji * menentukan mas kahwin yang
rendah * wanita yang subur * masih dara * berasal dari keturunan yang baik * bukan keturunan terdekat Sebab haram nikah * Perempuan yang diharamkan
berkahwin oleh lelaki disebabkan
keturunannya (haram selamanya)
dan ia dijelaskan dalam surah an-
Nisa: Ayat 23 yang bermaksud,
“Diharamkan kepada kamu mengahwini ibu kamu, anak kamu,
adik-beradik kamu, emak saudara
sebelah bapa, emak saudara
sebelah ibu, anak saudara
perempuan bagi adik-beradik
lelaki, dan anak saudara perempuan bagi adik-beradik
perempuan.”: o Ibu o Nenek sebelah ibu mahupun bapa o Anak perempuan & keturunannya o Adik-beradik perempuan seibu
sebapa atau sebapa atau seibu o Anak perempuan kepada adik-
beradik lelaki mahupun
perempuan, iaitu semua anak
saudara perempuan o Emak saudara sebelah bapa
(adik-beradik bapa) o Emak saudara sebelah ibu (adik-
beradik ibu) * Perempuan yang diharamkan
kahwin oleh lelaki disebabkan
oleh susuan ialah: o Ibu susuan o Nenek dari sebelah ibu susuan o Adik-beradik perempuan susuan o Anak perempuan kepada adik-
beradik susuan lelaki atau
perempuan o Emak saudara sebelah ibu susuan
atau bapa susuan * Perempuan mahram bagi lelaki
kerana persemendaan ialah: o Ibu mentua dan ke atas o Ibu tiri o Nenek tiri o Menantu perempuan o Anak tiri perempuan dan
keturunannya o Adik ipar perempuan dan
keturunannya o Emak saudara kepada isteri * Anak saudara perempuan kepada
isteri dan keturunannya Peminangan Pertunangan atau bertunang
merupakan suatu ikatan janji pihak
lelaki dan perempuan untuk
melangsungkan perkahwinan
mengikut tarikh yang dipersetujui
oleh kedua-dua pihak. Meminang merupakan adat kebiasaan
masyarakat Melayu yang diterima
oleh Islam. Peminangan adalah
permulaan proses perkahwinan.
Hukum peminangan adalah harus
dan hendaklah bukan isteri orang, bukan mahram sendiri, tidak dalam
idah, dan bukan tunangan orang.
Pemberian seperti cincin kepada
wanita semasa peminangan
merupakan tanda ikatan
pertunangan. Apabila berlaku keingkaran yang disebabkan oleh
lelaki, pemberian tidak perlu
dikembalikan dan jika disebabkan
oleh wanita, maka hendaklah
dikembalikan, namun persetujuan
hendaklah dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat
bakal suami dan bakal isteri adalah
sunat, kerana tidak mahu
penyesalan berlaku setelah
berumahtangga. Anggota yang
harus dilihat bagi seorang wanita ialah muka dan kedua-dua tangan
sahaja. Hadis Rasullullah berkenaan
kebenaran untuk merisik(melihat
tunang)dan meminang: “Daripada Abu Hurairah RA
berkata,sabda Rasullullah SAW
kepada seorang lelaki yang
hendak berkahwin dengan seorang
perempuan: “Adakah kamu telah
melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada
Rasullullah).Pergilah melihatnya
supaya perkahwinan kamu
terjamin berkekalan.” (Hadis
Riwayat Tarmizi dan Nasai) Hadis Rasullullah berkenaan
larangan meminang wanita yang
telah bertunang: “Daripada Ibnu Umar RA bahawa
Rasullullah SAW telah bersabda:
“Kamu tidak boleh meminang
tunang saudara kamu sehingga dia
(membuat ketetapan untuk)
memutuskannya”. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-
Syaikhan)) Nikah Rukun nikah * Pengantin lelaki * Pengantin perempuan * Wali * Dua orang saksi * Ijab dan kabul (akad nikah) Syarat bakal suami * Islam * Lelaki yang tertentu * Bukan lelaki mahram dengan
bakal isteri * Mengetahui wali yang sebenar
bagi akad nikah tersebut * Bukan dalam ihram haji atau
umrah * Dengan kerelaan sendiri dan
bukan paksaan * Tidak mempunyai empat orang
isteri yang sah dalam satu masa * Mengetahui bahawa perempuan
yang hendak dikahwini adalah sah
dijadikan isteri Syarat bakal isteri * Islam * Perempuan yang tertentu * Bukan perempuan mahram
dengan bakal suami * Bukan seorang khunsa * Bukan dalam ihram haji atau
umrah * Tidak dalam idah * Bukan isteri orang Syarat wali * Islam, bukan kafir dan murtad * Lelaki dan bukannya perempuan * Baligh * Dengan kerelaan sendiri dan
bukan paksaan * Bukan dalam ihram haji atau
umrah * Tidak fasik * Tidak cacat akal fikiran, terlalu
tua dan sebagainya * Merdeka * Tidak ditahan kuasanya daripada
membelanjakan hartanya Sebaiknya bakal isteri perlulah
menyetujui perkahwinannya
dengan bakal suami agar tidak
timbul sebarang masalah selepas
menjalani kehidupan sebagai
suami isteri.Ini juga bertujuan untuk menjaga hak asasi kaum
wanita itu sendiri.Sebab itu
juga,sebelum akad nikah(lafaz ijab
qabul berlangsung antara Wali/
wakil Wali).Wali/wakil Wali perlu
mendapatkan pengesahan/ kepastian sebenar dari bakal isteri/
wanita yang hendak dikahwinkan
tentang status kerelaannya untuk
disatukan. Jenis-jenis wali * Wali mujbir: Wali dari bapa
sendiri atau datuk sebelah bapa
(bapa kepada bapa) mempunyai
kuasa mewalikan perkahwinan
anak perempuannya atau cucu
perempuannya dengan persetujuannya atau tidak
(sebaiknya perlu mendapatkan
kerelaan bakal isteri yang hendak
dikahwinkan) * Wali aqrab: Wali terdekat
mengikut susunan yang layak dan
berhak menjadi wali * Wali ab’ad: Wali yang jauh
sedikit mengikut susunan yang
layak menjadi wali, jika ketiadaan
wali aqrab berkenaan. Wali ab’ad
ini akan berpindah kepada wali
ab’ad lain seterusnya mengikut susuna tersebut jika tiada yang
terdekat lagi. * Wali raja/hakim: Wali yang
diberi kuasa atau ditauliahkan oleh
pemerintah atau pihak berkuasa
negeri kepada orang yang telah
dilantik menjalankan tugas ini
dengan sebab-sebab tertentu Syarat-syarat saksi * Sekurang-kurangya dua orang * Islam * Berakal * Baligh * Lelaki * Memahami kandungan lafaz ijab
dan qabul * Boleh mendengar, melihat dan
bercakap * Adil (Tidak melakukan dosa-dosa
besar dan tidak berterusan
melakukan dosa-dosa kecil) * Merdeka Syarat ijab * Pernikahan nikah hendaklah
tepat * Tidak boleh menggunakan
perkataan sindiran * Diucapkan oleh wali atau
wakilnya * Tidak diikatkan dengan tempoh
waktu seperti mutaah(nikah
kontrak e.g.perkahwinan(ikatan
suami isteri) yang sah dalam
tempoh tertentu seperti yang
dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah) * Tidak secara taklik(tiada sebutan
prasyarat sewaktu ijab dilafazkan) Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil
Wali berkata kepada bakal
suami:”Aku nikahkan/kahwinkan
engkau dengan Diana Binti Daniel
dengan mas kahwinnya/bayaran
perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai”. Syarat qabul * Ucapan mestilah sesuai dengan
ucapan ijab * Tiada perkataan sindiran * Dilafazkan oleh bakal suami atau
wakilnya (atas sebab-sebab
tertentu) * Tidak diikatkan dengan tempoh
waktu seperti mutaah(seperti
nikah kontrak) * Tidak secara taklik(tiada sebutan
prasyarat sewaktu qabul
dilafazkan) * Menyebut nama bakal isteri * Tidak diselangi dengan
perkataan lain Contoh sebuatan qabul(akan
dilafazkan oleh bakal suami):”Aku
terima nikah/perkahwinanku
dengan Diana Binti Daniel dengan
mas kahwinnya/bayaran
perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai” ATAU “Aku terima
Diana Binti Daniel sebagai isteriku”. Selepas qabul dilafazkan Wali/
wakil Wali akan mendapatkan
pengikhtirafan/kesaksian dari para
hadirin khususnya dari saksi
perkahwinan dengan cara meminta
saksi mengatakan lafaz “Sah” atau perkataan lain yang sama maksud
dengan perkataan itu. Selanjutnya Wali/wakil Wali akan
membaca doa selamat agar
perkahwinan suami isteri itu
berkekalan dan berbahagia
sepanjang kehidupan mereka serta
doa itu akan diAmeenkan oleh para hadirin Sejurus itu,mas kahwan/bayaran
perkawinan/mahar akan
diserahkan kepada pihak isteri dan
selalunya sebentuk cincin akan
disarungkan kepada jari manis
isteri oleh suami sebagai tanda permulaan ikatan kekeluargaan
atau simbol pertalian kebahagian
suami isteri.Aktiviti ini diteruskan
dengan suami mengucup/mencium
isteri.Aktiviti ini disebut sebagai
“Pembatalan Wuduk”.Ini kerana sebelum akad nikah dijalankan
suami dan isteri itu diminta untuk
berwuduk terlebih dahulu. Suami isteri juga diminta untuk
solat sunat nikah sebagai tanda
kesyukuran selepas perkahwinan
berlangsung.Perkahwinan Islam
sememangnya mudah kerana ia
tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak
aset-aset perkahwinan disamping
mas kahwin,hantaran atau majlis
keramaian(walimatul urus)yang
tidak perlu membebankan atau
membazir.Jadi mengapa perlu menyusahkan dalam hal berkaitan
perkahwinan dan mengapakah
perlu melakukan zina? Wakil Wali/ Qadi Wakil wali/Qadi adalah orang
yang dipertanggungjawabkan oleh
institusi Masjid atau jabatan/pusat
Islam untuk menerima tuntutan
para Wali untuk menikahkan/
mengahwinkan bakal isteri dengan bakal suami.Segala urusan
perkahwinan,penyedian aset
perkahwian seperti mas
kahwin,barangan hantaran
(hadiah),penyedian tempat
berkahwin,jamuan makanan kepada para hadirin dan lain-lain
adalah tanggungan pihak suami
isteri itu. Qadi hanya perlu
memastikan aset-aset itu telah
disediakan supaya urusan
perkahwinan berjalan lancar.Disamping
tanggungjawabnya
mengahwinkan suami isteri
berjalan dengan dengan
sempurna,Qadi perlu
menyempurnakan dokumen- dokumen berkaitan perkahwinan
seperti sijil perkahwinan dan
pengesahan suami isteri di pihak
tertinggi seperti jabatan Islam dan
jabatan pendaftaran negara.Ini
bagi memastikan status resume suami isteri itu sentiasa sulit dan
terpelihara.Qadi selalunya dilantik
dari kalangan orang-orang alim
(yang mempunyai pengetahuan
dalam agama Islam dengan luas)
seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga
mesti merupakan seorang lelaki
Islam yang sudah merdeka dan
akhil baligh. Mahar Mahar ialah pemberian yang wajib
diberikan oleh lelaki kepada
perempuan yang bakal menjadi
isterinya. Ia juga disebut sebagai
mas kahwin. Hukumnya adalah
wajib berdasarkan surah an-Nisa: ayat 4. Jumlah mahar yang wajib
dibayar akan ditentukan oleh
walinya jika perempuan itu masih
kecil, tetapi sudah baligh atau
janda boleh ditentukan oleh
perempuan itu sendiri. Mahar boleh dibayar dengan pelbagai cara yang
mempunyai nilai atau faedah
tertentu berdasarkan persetujuan
bersama seperti rumah, kebun,
mengajar atau membaca al-Quran,
mengajar ilmu agama, senaskah kitab al-Quran, sejadah
sembahyang, pakaian sembahyang
atau sebagainya. Malah ia boleh
dibayar secara tunai, bertangguh
atau berhutang. Jika mahar
berhutang, suami wajib membayarnya setelah melakukan
persetubuhan atau persetubuhan
secara syubhah atau salah seorang
mati. Jika suaminya mati, waris
suami wajib membayarnya kepada
ahli waris isterinya. Jika diceraikan sebelum bersetubuh, hutang mahar
wajib dibayar separuh daripada
nilainya kepada bekas isterinya,
jika sudah dibayar tetapi belum
bersetubuh, maka isteri wajib
memulangkan separuh daripadanya. Jika isteri meminta
fasakh, mereka belum bersetubuh,
dan mahar masih berhutang,
suaminya tidak wajib
membayarnya. Jika sudah dibayar,
bekas isteri wajib memulangkan kesemua jumlah mahar tersebut. Jenis mahar * Mahar misil : mahar yang dinilai
berdasarkan mahar saudara
perempuan yang telah berkahwin
sebelumnya * Mahar muthamma : mahar yang
dinilai berdasarkan keadaan,
kedudukan, atau ditentukan oleh
perempuan atau walinya. Walimatulurus Walimatulurus atau kenduri
kahwin sunat(seperti majlis
santapan makanan)diadakan dan
menerima jemputannya adalah
wajib (terdapat ulama mengatakan
sunat). Ia bertujuan untuk menghebahkan kepada orang
ramai mengenai perkahwinan
tersebut, mengelakkan sangkaan
buruk orang ramai sekiranya
terjadi sesuatu perkata dan
saudara mara dapat menyaksikan sendiri pernikahan mereka dan
mendoakan kebahagiaan
rumahtangga mereka. Terdapat
beberapa adab dalam
walimatulurus seperti dilakukan
selepas akad nikah; menjemput jemputan mengikut keutamaan
seperti didahulukan saudara-mara,
kaum kerabat dari kedua-dua
pihak, jiran dan rakan kenalan;
bagi pengantin wanita hendaklah
mengikut sunah Nabi MuhammadSAW dengan cara
bersederhana dan tidak unsur
mehah, maksiat dan kemungkaran;
dilarang sama sekali berhutang
yang membebankan.Dalam
menganjurkan agenda berkaitan Walimatulurus,etika berbudaya
mengikut adat resam bangsa
masing-masing adalah
dibolehkan,namun perlu diingat
agar penganjurannya perlulah
selari dengan apa yang dianjurkan oleh Islam tanpa mempunyai rasa
gharar(was-was)dalamnya.Juga
tidak mempunyai pengaruh adat
berunsur keagamaan dan
kepercayaan yang dicedok dari
agama lain.Islammelarang aktiviti persandingan seperti yang menjadi
adat kebiasaan dalam masyarakat
melayu khususnya kerana
perbuatan tersebut telah
menampakkan pengaruh Hindu-
Buddha seperti aktiviti merenjis dan menepung tawar,selain
memperlihatkan pasangan
pengantin yang bergaya dan
bersolek secara terus kepada
hadirin.Hal ini akan pasti akan
menimbulkan rasa bangga oleh pasangan pengantin dan
menimbulkan rasa(seperti
cemburu,gersang dan was-was)dari
kalangan hadirin yang melihat
aktiviti persandingan tersebut. Konsep yang diharamkan dalam
Islam Konsep rahbaniyah Perkataan rahbaniyah bermasud
kerahiban atau kependetaan, atau
kehidupan paderi. Di dalam Islam,
membujang tidak dianggap sebagi
satu etika atau cara bagi
mendekatkan diri dengan Tuhan seperti yang dilakukan oleh agama
Kristian, Buddha, Jain dan
sebagainya. Sebagai contoh, agama
Buddha ada menyebut tiga aspek
yang perlu dimiliki oleh seorang
sami iaitu kefakiran, ketabahan dan kelanjangan (membujang).
Mengikut agama Buddha, jika
seseorang mahu membebaskan
dirinya dari nafsu duniawi dan
keperluan jasmaniah maka ia akan
sampai kepada hakikat diri yang sebenarnya dan dapatlah ia masuk
ke dalam Nirwana Dalam agama Kristian ada ajaran
yang menggalakkan penganutnya
mengamalkan hidup membujang.
Sejak abad ke-5 lagi, orang begitu
kagum dengan golongan paderi
yang hidup membujang dan sekiranya golongan paderi mahu
dihormati dan mengekalkan kuasa
mereka, amatlah berfaedah
sekiranya mereka memisahkan diri
mereka dari orang biasa dengan
cara menjauhkan diri dari perkahwinan. Mereka juga
berpendapat bahawa paderi yang
berkahwin lebih rendah tarafnya
dari paderi yang terus membujang
kerana perkahwinan bererti
tunduk kepada nafsu. Saint Paul berkata, “Sekiranya mereka tidak
boleh tahan, biarlah mereka
berkahwin akan tetapi seseorang
yang benar-benar suci mesti
sanggup menahan diri dari
berkahwin.” Oleh yang demikian, taraf membujang di kalangan
paderi dianggap memelihara moral
gereja . Selain itu, perkahwinan juga
ditolak oleh golongan bukan paderi
mahupun sami seperti golongan
yang terlalu sibuk mengejar
kekayaan material dan memberi
alasan kesibukan bekerja sebagai penghalang membina
rumahtangga. Konsep ibahiyah Istilah ibahiyah diambil dari
perkataan yang bermaksud
membolehkan. Selain itu, ibahiyah
membawa maksud membolehkan
atau membebaskan tanpa batas
seperti pergaulan seks bebas, homoseksual, lesbian dan
sebagainya. Gejala sebegini wujud
kerana sikap mereka yang
menolak konsep institusi
perkahwinan. Pergaulan bebas: Pendirian Islam
dalam pertemuan antara lelaki dan
perempuan adalah tidak
diharamkan sebaliknya ia
diharuskan atau dituntut jika ia
menjurus kepada matlamat yang mulia seperti mencari ilmu yang
bermanfaat, amal ibadat, perkara
kebajikan, jihad dan perkara-
perkara lain yang memerlukan
pengembelingan tenaga antara
kedua-duanya. Namun setelah meluaskan arus pemikiran Barat
dan seruan kebebasan wanita,
pergaulan bebas telah digariskan
oleh al-Qardhawi sebagai * keruntuhan akhlak * wujudnya anak-anak yang tidak
sah tarafnya (anak luar nikah) * Merebaknya pelbagai penyakit
membahaya * Banyaknya terdapat andartu
serta lelaki yang terus membujang * Berlakunya keruntuhan
rumahtangga kerana perkara-
perkara yang remeh Amalan seks bebas: Kegilaan Barat
yang memilih cara hidup
‘hidonistik’ iaitu mementingkan
keseronokan dan tidak terikat
dengan tanggungjawab
menyebabkan amalan seks rambang dan bebas berleluasa dan
mempengaruhi masyarakat dari
benua lain untuk bersama mereka
mengejar keseronokan duniawi
tanpa mempedulikan dunia selepas
mati. Menurut perangkaan Kementerian Kesihatan Singapura
(MOH) sebanyak 18.7% daripada
13,753 kes pengguguran
kandungan dilakukan di Singapura
pada tahun 1999 melibatkan
wanita Melayu atau Islam. Menurut MOH lagi, hampir 41% pengguguran
dilakukan oleh wanita dari semua
kaum dan agama yang belum
berkahwin, janda dan berpisah
dengan suami Homoseksual & Lesbian: Pasangan
homoseksual atau gay lebih
dikenali sebagai perhubungan
antara lelaki dengan lelaki dan
lesbian sebagai perhubungan
antara wanita dengan wanita. Mereka menjalani hidup seperti
suami isteri dan beberapa negara
Barat telah menghalalkan
perkahwinan sejenis. Bahkan
sesetengah gereja dan paderi terus
meraikan perkahwinan yang sememangnya dihalang oleh
semua agama termasuk Kristian
sendiri. Manakala di Malaysia,
pertubuhan seperti Human Right
Watch bagi rantau Asia menyeru
supaya Malaysia menghalalkan homoseksualiti dan lesbian. Artikel
seperti “Homosexuality is not a
Sin”menjelaskan hujah-hujah yang
dilihat secara sepintas lalu ianya
boleh menyakinkan orang ramai..
Selain itu akhbar The Star pada 26 Mei 1998 pernah melaporkan
semasa pelancaran ‘Women’s
Agenda For Change’, Avy Joseph
ada menyebut bahawa kita perlu
membenarkan lesbianisme sebagai
tanda masyarakat yang toleran

Tuesday 30 August 2011

Apakah kita akan jumpa lg d bulan ramadhan berikutny ?Wa'allah wualam

Ya Allah, betapa kami
tak bisa berbuat
lebih
banyak di ramadhan
ini. Betapa kami hanya mampu
untuk mereguk
nikmat, mereguk senang, tanpa bisa
sedikit pun berikan yang terbaik
untukMu. Di bulan ini kami lebih
banyak meminta ketimbang
mengerjakan seruanMu. Ramadhan bagi sebagian dari kami, tak ubahnya
sebuah pesta. Ramadhan bagi
segolongan dari kami, sekadar
ekstravaganza ibadah. Nyaris hanya
secuil yang bisa kami maknai
kemuliaannya. Ya Allah, kami ingin mengadu kepadaMu. Meski kami malu
karena selalu memalingkan wajah dari
perintahMu. Kami mencoba meng-
hempaskan beban yang kami derita.
Kami ber-upaya untuk membuang
semua penat di jiwa kami. Di akhir ramadhan ini kami cuma bisa
mengeluh. Bahkan adakalanya
keluhan itu bersumber dari kebodohan
kami yang buta atas titahMu. Sepertinya
kami tak pantas berbagi dengan-Mu.
Terlalu banyak persoalan yang sebenarnya bersumber dari
kesombongan kami, kejahilan kami,
dan dari bebalnya kami. Ya Allah,
ijinkan kami untuk bersimpuh di
hadapan-Mu. Melunturkan dosa dan
memudarkan penyakit yang berkarat di hati. Meski kami malu membeberkan
luka-luka ini. Karena luka yang kami
miliki, juga akibat kami belum mampu
memenuhi syariatMu. Kami merasa
berada di dalam sebuah lorong yang
gelap, dingin, sepi dan sunyi. Hati kami terasa
kering, meski setiap hari dibasuh
dengan kalimat-kalimatMu yang sejuk.
Jiwa kami berdebu, meski setiap detik
disapu firmanMu. Ramadhan bagi kami,
ternyata hanya menyisakan luka, perih, dan sepi. Sebagian dari kami tak bisa
memanfaatkan kesempatan di bulan
suci ini. Kami lebih suka menjadikannya
sebagai sarana memupuk popularitas
dan kekayaan. Kami pilu, ketika
sebagian dari kami, umat Nabi Muhammad saw. ini, lebih menikmati
ramadhan dengan gemerlap di layar
kaca. Mereka menutupi wajahnya
dengan topeng. Bahkan berani menipu
kami. Memenjarakan kami ke ruang
gelap sebuah kenistaan. Itu sebabnya, hari- hari kami sepanjang ramadhan
ini, lebih banyak dihabiskan untuk
menemani mereka di layar kaca
membawakan program-program
spesial ramadhan yang dikemas amat
menghibur. Di akhir ramadhan ini, luluskanlah permintaan kami untuk
menyampaikan sesuatu, meski apa
yang akan kami sampaikan Engkau
pasti sudah mengetahuinya. Kami
mencoba meraih sisa-sisa kekuatan
kami yang nyaris musnah ditelan kesombongan kami. Mungkin sebagian
dari kami merasa memiliki sesuatu
yang berharga untuk
menjadi bekal setelah ramadhan. Tapi
sebagian lagi dari kami, hanya
membawa beban di akhir ramadhan ini. Bagi sebagian dari kami, Ramadhan
ternyata tidak membuahkan takwa,
ramadhan hanya berlalu dan diisi
dengan kekosongan. Dari Jabir r.a.
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika
malam Ramadhan berakhir, seluruh makhluk-makhluk besar, di segenap
langit, dan bumi, beserta malaikat ikut
menangis. Mereka bersedih karena
bencana yang menimpa umat
Muhammad saw. Para sahabat
bertanya, bencana apakah ya Rasul? Jawab Nabi. Kepergian bulan
Ramadhan. Sebab di dalam bulan
Ramadhan segala doa terkabulkan.
Semua sedekah diterima. Dan amalan-
amalan baik dilipatgandakan
pahalanya, penyiksaan sementara di hapus.” Duh...kalau Nabi Muhammad
saja bersedih hati ketika Ramadhan
berakhir, lalu kenapa kita malah
bersuka-cita ? Ya Allah....Kami mohon
ampun kepadaMu, dan berikanlah
kekuatan kepada kami untuk terus melaju melawan kedzaliman dan hawa
nafsu kami dibulan lainnya.
Allaahummaa innii a'uudzu bika min
qalbin laa yakhsya', wa min 'ilmin laa
yanfa', wa min 'ainin laa tadma', wa min
du'aa'in laa yusma', wa min dzaalikal arba' Ya Allah, saya berlindung
kepadamu dari hati yang tidak
khusyu', ilmu yang tidak bermanfa'at,
mata yang tidak bisa meneteskan air
mata/ menangis, doa yang tidak
dikabulkan, sungguh kami berlindung dari ke empat hal itu Allahumma inni
as’alukal huda wattuqa wal afafa wal
ghina Ya Allah, aku memohon
petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri
dan kecukupan kepada-Mu [HR. Muslim
2721, Tirmidzi 3489] Allahumma alhimni rusydi waqini syarra nafsi Ya
Allah, anugerahkanlah kebenaran
kepadaku dan lindungilah aku dari
kejahatan hawa nafsuku [HR. Tirmidzi
3483, al-Misykat 2476] Ya Muqallibal
qulub tsabbit qalbi ala dinika Wahai Dzat yang Maha Membolak- balikkan
hati, tetapkanlah hatiku pada agama-
Mu [HR. Ahmad 11697, Ibnu Majah
3834, Tirmidzi 2140] Rabbanaa fagh fir
lanaa dzunuubanaa wa kaffir 'annaa
say-yi-aatinaa wa tawaffanaa ma'al abraar Ya Tuhan kami ampunilah dosa-
dosa kami dan hapuskanlah dari pada
kami kesalahan-kesalahan kami dan
matikanlah kami bersama orang yang
baik-baik Rabbanaa wa aatinaa maa
wa'attanaa 'alaa rusulika wa laa tukhzinaa yaumal qiyaamati innaka laa
tukhliful mii'aad Ya Tuhan kami, berilah
kami apa yang Engkau janjikan kepada
kami melalui Rasul-Rasul-Mu, dan
janganlah Engkau hinakan kami pada
hari kiamat.Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.

Apakah kita akan jumpa lg d bulan ramadhan berikutny ?
Wa'allah wualam ya allah .jumpakan lah kami d bulan
ramadhan2 berikutny & ampuni dosa
kami yg telah lalu..sesungguhny
engkau maha pengampun lagi maha
pemaaf.
amiin Allahuakbar. . .allahuakbar. . .
Allahuakbar. . .
Laillahhaillalah huallahuakbar. . .
Allahuakbar walillahiilham.