Nonton iklan bentar ya...!!!

Thursday 1 September 2011

Membiasakan puasa setelahRamadhan memiliki banyakmanfaat

Sahabat Fillah, karena masih dalam
bulan Syawal, tidak terlambat
rasanya kalau saya membahas
PUASA SYAWAL Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu
'anhu meriwayatkan, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda : "Barangsiapa berpuasa penuh di
bulan Ramadhan lalu
menyambungnya dengan (puasa)
enam hari di bulan Syawal, maka
(pahalanya) seperti ia berpuasa
selama satu tahun . (HR. Muslim). Imam Ahmad dan An-Nasa'i,
meriwayatkan dari Tsauban, Nabi
shallallahu 'alaihi wasalllam
bersabda: "Puasa Ramadhan (ganjarannya)
sebanding dengan (puasa) sepuluh
bulan, sedangkan puasa enam hari
(di bulan Syawal, pahalanya)
sebanding dengan (puasa) dua
bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun
penuh." ( Hadits riwayat Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam
"Shahih" mereka.) Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa berpuasa Ramadham
lantas disambung dengan enam hari
di bulan Syawal, maka ia bagaikan
telah berpuasa selama setahun.
" (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri
berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.") Pahala puasa Ramadhan yang
dilanjutkan dengan puasa enam hari
di bulan Syawal menyamai pahala
puasa satu tahun penuh, karena
setiap hasanah (tebaikan) diganjar
sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits
Tsauban di muka. Membiasakan puasa setelah
Ramadhan memiliki banyak
manfaat, di antaranya : 1. Puasa enam hari di buian Syawal
setelah Ramadhan, merupakan
pelengkap dan penyempurna
pahala dari puasa setahun penuh. 2. Puasa Syawal dan Sya'ban
bagaikan shalat sunnah rawatib,
berfungsi sebagai penyempurna dari
kekurangan, karena pada hari
Kiamat nanti perbuatan-perbuatan
fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-
perbuatan sunnah. Sebagaimana
keterangan yang datang dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam di
berbagai riwayat. Mayoritas puasa
fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan
ketidak sempurnaan, maka hal itu
membutuhkan sesuatu yang
menutupi dan
menyempurnakannya. 3. Membiasakan puasa setelah
Ramadhan menandakan
diterimanya puasa Ramadhan,
karena apabila Allah Ta'ala
menerima amal seorang hamba,
pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik
setelahnya. Sebagian orang bijak
mengatakan: "Pahala'amal
kebaikan adalah kebaikan yang
ada sesudahnya." Oleh karena itu
barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan
kebaikan lain, maka hal itu
merupakan tanda atas terkabulnya
amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika
seseorang melakukan suatu
kebaikan lalu diikuti dengan yang
buruk maka hal itu merupakan
tanda tertolaknya amal yang
pertama. 4. Puasa Ramadhan -sebagaimana
disebutkan di muka- dapat
mendatangkan maghfirah atas
dosa-dosa masa lain. Orang yang
berpuasa Ramadhan akan
mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari
pembagian hadiah, maka
membiasakan puasa setelah 'Idul
Fitri merupakan bentuk rasa syukur
atas nikmat ini. Dan sungguh tak
ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa. Oleh karena itu termasuk sebagian
ungkapan rasa syukur seorang
hamba atas pertolongan dan
ampunan yang telah dianugerahkan
kepadanya adalah dengan berpuasa
setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan
perbuatan maksiat maka ia
termasuk kelompok orang yang
membalas kenikmatan dengan
kekufuran. Apabila ia berniat pada
saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi,
maka puasanya tidak akan
terkabul, ia bagaikan orang yang
membangun sebuah bangunan
megah lantas menghancurkannya
kembali. Allah Ta'ala berfirman: "Dan janganlah kamu seperti
seorang perempuan yang
menguraikan benangnya yang
sudah dipintal dengan kuat menjadi
cerai berai kembali "(An-Nahl: 92) 5. Dan di antara manfaat puasa
enam hari bulan Syawal adalah
amal-amal yang dikerjakan seorang
hamba untuk mendekatkan diri
kepada Tuhannya pada bulan
Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia
masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan
berpuasa bagaikan orang yang
cepat-cepat kembali dari
pelariannya, yakni orang yang baru
lari dari peperangan fi sabilillah
lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia
dengan berlalunya Ramadhan sebab
mereka merasa berat, jenuh dan
lama berpuasa Ramadhan. Barangsiapa merasa demikian maka
sulit baginya untuk bersegera
kembali melaksanakan puasa,
padahal orang yang bersegera
kembali melaksanakan puasa
setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah
puasa, ia tidak merasa bosam dan
berat apalagi benci. Seorang Ulama salaf ditanya
tentang kaum yang bersungguh-
sungguh dalam ibadahnya pada
bulan Ramadhan tetapi jika
Ramadhan berlalu mereka tidak
bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar: "Seburuk-buruk kaum adalah yang
tidak mengenal Allah secara benar
kecuali di bulan Ramadhan saja,
padahal orang shalih adalah yang
beribadah dengan sungguh-
sunggguh di sepanjang tahun." Oleh karena itu sebaiknya orang
yang memiliki hutang puasa
Ramadhan memulai membayarnya
di bulan Syawal, karena hal itu
mempercepat proses pembebasan
dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam
hari puasa Syawal, dengan
demikian ia telah melakukan puasa
Ramadhan dan mengikutinya
dengan enam hari di bulan Syawal. Ketahuilah, amal perbuatan seorang
mukmin itu tidak ada batasnya
hingga maut menjemputnya. Allah
Ta'ala berfirman : "Dan sembahlah Tuhanmu sampai
datang kepadamu yang diyakini
(ajal) " (Al-Hijr: 99) Dan perlu diingat pula bahwa shalat-
shalat dan puasa sunnah serta
sedekah yang dipergunakan
seorang hamba untuk mendekatkan
diri kepada Allah Ta'ala pada bulan
Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu
mengandung berbagai macam
manfaat, di antaranya; ia sebagai
pelengkap dari kekurangan yang
terdapat pada fardhu, merupakan
salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah
(kecintaan) Allah kepada hamba-
Nya, sebab terkabulnya doa,
demikian pula sebagai sebab
dihapusnya dosa dan
dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya
kedudukan. Hanya kepada Allah tempat
memohon pertolongan, shalawat
dan salam semoga tercurahkan
selalu Puasa Syawal, Puasa Seperti
Setahun Penuh Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa berpuasa enam hari
setelah hari raya Idul Fitri, maka dia
seperti berpuasa setahun penuh.
[Barang siapa berbuat satu
kebaikan, maka baginya sepuluh
kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Irwa’ul Gholil) Orang yang melakukan satu
kebaikan akan mendapatkan
sepuluh kebaikan yang semisal.
Puasa ramadhan adalah selama
sebulan berarti akan semisal dengan
puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan
semisal dengan 60 hari yang sama
dengan 2 bulan. Oleh karena itu,
seseorang yang berpuasa ramadhan
kemudian berpuasa enam hari di
bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat
Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56
dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465).
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan nikmat ini bagi umat
Islam. Apakah Puasa Syawal Harus
Berurutan dan Dilakukan di Awal
Ramadhan ? Imam Nawawi dalam Syarh Muslim,
8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i
mengatakan bahwa paling afdhol
(utama) melakukan puasa syawal
secara berturut-turut (sehari) setelah
shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak
berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap
mendapatkan keutamaan puasa
syawal setelah sebelumnya
melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja
seseorang berpuasa syawal tiga hari
setelah Idul Fithri misalnya, baik
secara berturut-turut ataupun tidak,
karena dalam hal ini ada
kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga
keluar waktu (bulan Syawal)
karena bermalas-malasan maka dia
tidak akan mendapatkan ganjaran
puasa syawal. Catatan: Apabila seseorang memiliki
udzur (halangan) seperti sakit,
dalam keadaan nifas, sebagai
musafir, sehingga tidak berpuasa
enam hari di bulan syawal, maka
boleh orang seperti ini meng- qodho’ (mengganti) puasa syawal
tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini
tidaklah mengapa. (Lihat Syarh
Riyadhus Sholihin, 3/466) Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan)
Puasa Terlebih Dahulu Lebih baik bagi seseorang yang
masih memiliki qodho’ puasa
Ramadhan untuk menunaikannya
daripada melakukan puasa Syawal.
Karena tentu saja perkara yang
wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah.
Alasan lainnya adalah karena dalam
hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan,“Barang
siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi
apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada
tanggungan puasa, maka
tanggungan tersebut harus
ditunaikan terlebih dahulu agar
mendapatkan pahala semisal puasa
setahun penuh. Apabila seseorang menunaikan
puasa Syawal terlebih dahulu dan
masih ada tanggungan puasa, maka
puasanya dianggap puasa sunnah
muthlaq (puasa sunnah biasa) dan
tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tadi, “Barang siapa
berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul
Mumthi’, 3/89, 100) Catatan: Adapun puasa sunnah
selain puasa Syawal, maka boleh
seseorang mendahulukannya dari
mengqodho’ puasa yang wajib
selama masih ada waktu lapang
untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya
tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi
perlu diingat bahwa menunaikan
qodho’ puasa tetap lebih utama
daripada melakukan puasa sunnah.
Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin -semoga Allah merahmati
beliau- dalam kitab beliau Syarhul
Mumthi’, 3/89 karena seringnya
sebagian orang keliru dalam
permasalahan ini. Kita ambil permisalan dengan shalat
dzuhur. Waktu shalat tersebut
adalah mulai dari matahari bergeser
ke barat hingga panjang bayangan
seseorang sama dengan tingginya.
Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur
(halangan). Dalam waktu ini
bolehkah dia melakukan shalat
sunnah kemudian melakukan shalat
wajib? Jawabnya boleh, karena
waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan
tidak berdosa. Namun hal ini
berbeda dengan puasa syawal
karena puasa ini disyaratkan
berpuasa ramadhan untuk
mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka
perhatikanlah perbedaan dalam
masalah ini! Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh
Membatalkan Puasa Ketika
Melakukan Puasa Sunnah Permasalahan pertama ini dapat
dilihat dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah masuk menemui
keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu
(yang bisa dimakan, pen)?” Mereka
berkata, “tidak” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, “Kalau begitu
sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di
siang hari ketika melakukan puasa
sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga terkadang berpuasa sunnah
kemudian beliau membatalkannya
sebagaimana dikatakan oleh
Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul
Ma’ad, 2/79) Semoga dengan sedikit penjelasan
ini dapat mendorong kita
melakukan puasa enam hari di
bulan Syawal, semoga amalan kita
diterima dan bermanfaat pada hari
yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa
shallallaahu ‘alaa nabiyyina
sayyidina Muhammad wa ‘alaa
aalihi wa shohbihi wa sallam.

No comments: