Nonton iklan bentar ya...!!!

Sunday 14 August 2011

Dosa Meninggalkan Sholat

Para pembaca yang semoga selalu
dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua
pasti tahu bahwa shalat adalah
perkara yang amat penting. Bahkan
shalat termasuk salah satu rukun
Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita
yang ada di tengah umat ini sungguh
sangat berbeda. Kalau kita melirik
sekeliling kita, ada saja orang yang
dalam KTP-nya mengaku Islam,
namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara
mereka, ada yang hanya
melaksanakan shalat sekali sehari, itu
pun kalau ingat. Mungkin ada pula
yang hanya melaksanakan shalat
sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak
sedikit yang hanya ingat dan
melaksanakan shalat dalam setahun
dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan
Idul Adha saja.
Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang
mengaku Islam di KTP, namun
kelakuannya semacam ini. Oleh
karena itu, pada tulisan yang singkat
ini kami akan mengangkat
pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah
memudahkannya dan memberi taufik
kepada setiap orang yang membaca
tulisan ini. Para ulama sepakat bahwa
meninggalkan shalat termasuk
dosa besar yang lebih besar dari
dosa besar lainnya Ibnu Qayyim Al Jauziyah –
rahimahullah- mengatakan, “Kaum
muslimin bersepakat bahwa
meninggalkan shalat lima waktu
dengan sengaja adalah dosa besar
yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh,
merampas harta orang lain, berzina,
mencuri, dan minum minuman keras.
Orang yang meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan kemurkaan
Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal.
7) Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al
Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah-
berkata, “Tidak ada dosa setelah
kejelekan yang paling besar daripada
dosa meninggalkan shalat hingga
keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang
bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25) Adz Dzahabi –rahimahullah- juga
mengatakan, “Orang yang
mengakhirkan shalat hingga keluar
waktunya termasuk pelaku dosa
besar. Dan yang meninggalkan shalat
secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang
berzina dan mencuri. Karena
meninggalkan shalat atau luput
darinya termasuk dosa besar. Oleh
karena itu, orang yang
meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai
dia bertaubat. Sesungguhnya orang
yang meninggalkan shalat termasuk
orang yang merugi, celaka dan
termasuk orang mujrim (yang berbuat
dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27) Apakah orang yang meninggalkan
shalat, kafir alias bukan muslim? Dalam point sebelumnya telah
dijelaskan, para ulama bersepakat
bahwa meninggalkan shalat termasuk
dosa besar bahkan lebih besar dari
dosa berzina dan mencuri. Mereka
tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi
masalah selanjutnya, apakah orang
yang meninggalkan shalat masih
muslim ataukah telah kafir? Asy Syaukani -rahimahullah-
mengatakan bahwa tidak ada beda
pendapat di antara kaum muslimin
tentang kafirnya orang yang
meninggalkan shalat karena
mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena
malas dan tetap meyakini shalat lima
waktu itu wajib -sebagaimana kondisi
sebagian besar kaum muslimin saat
ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan
pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369). Mengenai meninggalkan shalat
karena malas-malasan dan tetap
meyakini shalat itu wajib, ada tiga
pendapat di antara para ulama
mengenai hal ini. Pendapat pertama mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan
shalat harus dibunuh karena
dianggap telah murtad (keluar dari
Islam). Pendapat ini adalah pendapat
Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu
‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani,
‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin
Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib
(ulama Malikiyyah), pendapat
sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan
oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar
bin Al Khothob (sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz
bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu
Hurairah, dan sahabat lainnya. Pendapat kedua mengatakan bahwa
orang yang meninggalkan shalat
dibunuh dengan hukuman had,
namun tidak dihukumi kafir. Inilah
pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah
satu pendapat Imam Ahmad. Pendapat ketiga mengatakan bahwa
orang yang meninggalkan shalat
karena malas-malasan adalah fasiq
(telah berbuat dosa besar) dan dia
harus dipenjara sampai dia mau
menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah
Al Kuwaitiyah, 22/186-187) Jadi, intinya ada perbedaan pendapat
dalam masalah ini di antara para
ulama termasuk pula ulama madzhab.
Bagaimana hukum meninggalkan
shalat menurut Al Qur’an dan As
Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya. Pembicaraan orang yang
meninggalkan shalat dalam Al
Qur’an Banyak ayat yang membicarakan hal
ini dalam Al Qur’an, namun yang kami
bawakan adalah dua ayat saja. Allah Ta’ala berfirman, َﺓﺎَﻠَّﺼﻟﺍ ﺍﻮُﻋﺎَﺿَﺃ ٌﻒْﻠَﺧ ْﻢِﻫِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ َﻒَﻠَﺨَﻓ
ْﻦَﻣ ﺎَّﻟِﺇ ﺎًّﻴَﻏ َﻥْﻮَﻘْﻠَﻳ َﻑْﻮَﺴَﻓ ِﺕﺍَﻮَﻬَّﺸﻟﺍ ﺍﻮُﻌَﺒَّﺗﺍَﻭ
ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ َﻞِﻤَﻋَﻭ َﻦَﻣَﺁَﻭ َﺏﺎَﺗ “Maka datanglah sesudah mereka,
pengganti (yang jelek) yang menyia-
nyiakan shalat dan memperturutkan
hawa nafsunya, maka mereka kelak
akan menemui al ghoyya, kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma
mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam
ayat tersebut adalah sungai di
Jahannam yang makanannya sangat
menjijikkan, yang tempatnya sangat
dalam. (Ash Sholah, hal. 31) Dalam ayat ini, Allah menjadikan
tempat ini –yaitu sungai di Jahannam-
sebagai tempat bagi orang yang
menyiakan shalat dan mengikuti
syahwat (hawa nafsu). Seandainya
orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat
biasa, tentu dia akan berada di neraka
paling atas, sebagaimana tempat
orang muslim yang berdosa. Tempat
ini (ghoyya) yang merupakan bagian
neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat
orang-orang kafir. Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah
mengatakan, ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ َﻞِﻤَﻋَﻭ َﻦَﻣَﺁَﻭ َﺏﺎَﺗ ْﻦَﻣ ﺎَّﻟِﺇ “kecuali orang yang bertaubat,
beriman dan beramal saleh.” Maka
seandainya orang yang menyiakan
shalat adalah mukmin, tentu dia tidak
dimintai taubat untuk beriman. Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala
berfirman, َﺓﺎَﻛَّﺰﻟﺍ ﺍُﻮَﺗَﺁَﻭ َﺓﺎَﻠَّﺼﻟﺍ ﺍﻮُﻣﺎَﻗَﺃَﻭ ﺍﻮُﺑﺎَﺗ ْﻥِﺈَﻓ
ِﻦﻳِّﺪﻟﺍ ﻲِﻓ ْﻢُﻜُﻧﺍَﻮْﺧِﺈَﻓ “Jika mereka bertaubat, mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, maka
(mereka itu) adalah saudara-
saudaramu seagama.” (QS. At Taubah
[9]: 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala
mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti
jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah
saudara seiman. Konsekuensinya
orang yang meninggalkan shalat
bukanlah mukmin karena orang
mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, ٌﺓَﻮْﺧِﺇ َﻥﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ ﺎَﻤَّﻧِﺇ “Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al
Hujurat [49]: 10) Pembicaraan orang yang
meninggalkan shalat dalam Hadits Terdapat beberapa hadits yang
membicarakan masalah ini. Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِﺓَﻼَّﺼﻟﺍ ُﻙْﺮَﺗ ِﺮْﻔُﻜْﻟﺍَﻭ ِﻙْﺮِّﺸﻟﺍ َﻦْﻴَﺑَﻭ ِﻞُﺟَّﺮﻟﺍ َﻦْﻴَﺑ “(Pembatas) antara seorang muslim
dan kesyirikan serta kekafiran adalah
meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no.
257) Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -
bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam-, beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ﺍَﺫِﺈَﻓ ُﺓﺎَﻠَّﺼﻟﺍ ِﻥﺎَﻤْﻳِﻹﺍَﻭ ِﺮْﻔُﻜﻟﺍ َﻦْﻴَﺑَﻭ ِﺪْﺒَﻌﻟﺍ َﻦْﻴَﺑ
َﻙَﺮْﺷَﺃ ْﺪَﻘَﻓ ﺎَﻬَﻛَﺮَﺗ “Pemisah Antara seorang hamba
dengan kekufuran dan keimanan
adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia
melakukan kesyirikan.” (HR. Ath
Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits
ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa
At Tarhib no. 566). Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ُﺓَﻼَّﺼﻟﺍ ُﻩُﺩﻮُﻤَﻋَﻭ ُﻡَﻼْﺳِﻹﺍ ِﺮْﻣَﻷﺍ ُﺱْﺃَﺭ “Inti (pokok) segala perkara adalah
Islam dan tiangnya (penopangnya)
adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan
At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama
Islam ini adalah seperti penopang
(tiang) yang menegakkan kemah.
Kemah tersebut bisa roboh (ambruk)
dengan patahnya tiangnya. Begitu
juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat. Para sahabat ber-
ijma’ (bersepakat) bahwa
meninggalkan shalat adalah kafir Umar mengatakan, َﺓَﻼَّﺼﻟﺍ َﻙَﺮَﺗ ْﻦَﻤِﻟ َﻡَﻼْﺳِﺇ َﻻ “Tidaklah disebut muslim bagi orang
yang meninggalkan shalat.” Dari jalan yang lain, Umar berkata, َﺓَﻼَّﺼﻟﺍ َﻙَﺮَﺗ ْﻦَﻤِﻟ ِﻡَﻼْﺳِﻻﺍ ﻲِﻓ َّﻆَﺣَﻻﻭ “Tidak ada bagian dalam Islam bagi
orang yang meninggalkan
shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik.
Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di
Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam
Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya,
juga Ibnu ‘Asakir. Hadits ini shohih,
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al
Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209).
Saat Umar mengatakan perkataan di
atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun
yang mengingkarinya. Oleh karena
itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat
sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah. Mayoritas sahabat Nabi menganggap
bahwa orang yang meninggalkan
shalat dengan sengaja adalah kafir
sebagaimana dikatakan oleh seorang
tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau
mengatakan, ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ُﺏﺎَﺤْﺻَﺃ َﻥﺎَﻛ - ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ - َﻻ
َﺮْﻴَﻏ ٌﺮْﻔُﻛ ُﻪُﻛْﺮَﺗ ِﻝﺎَﻤْﻋَﻷﺍ َﻦِﻣ ﺎًﺌْﻴَﺷ َﻥْﻭَﺮَﻳ
ِﺓَﻼَّﺼﻟﺍ “Dulu para shahabat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
pernah menganggap suatu amal yang
apabila ditinggalkan menyebabkan
kafir kecuali shalat.” Perkataan ini
diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang
tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa
hadits ini bersambung dengan
menyebut Abu Hurairah di dalamnya.
Dan sanad (periwayat) hadits ini
adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab,
hal. 52) Dari pembahasan terakhir ini terlihat
bahwasanya Al Qur’an, hadits dan
perkataan sahabat bahkan ini adalah
ijma’ (kesepakatan) mereka
menyatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah
pendapat yang terkuat dari pendapat
para ulama yang ada. Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah
seseorang itu malu dengan
mengingkari pendapat bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah
kafir, padahal hal ini telah
dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan
sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya
Allah-lah yang dapat memberi
taufik).” (Ash Sholah, hal. 56) Berbagai kasus orang yang
meninggalkan shalat [Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan
mengingkari kewajibannya
sebagaimana mungkin perkataan
sebagian orang, “Sholat oleh, ora
sholat oleh.” [Kalau mau shalat boleh-
boleh saja, tidak shalat juga tidak apa- apa]. Jika hal ini dilakukan dalam
rangka mengingkari hukum wajibnya
shalat, orang semacam ini dihukumi
kafir tanpa ada perselisihan di antara
para ulama. [Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan
menganggap gampang dan tidak
pernah melaksanakannya. Bahkan
ketika diajak untuk
melaksanakannya, malah enggan.
Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang menunjukkan
kafirnya orang yang meninggalkan
shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad,
Ishaq, mayoritas ulama salaf dari
shahabat dan tabi’in. [Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak
rutin dalam melaksanakan shalat yaitu
kadang shalat dan kadang tidak.
Maka dia masih dihukumi muslim
secara zhohir (yang nampak pada
dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu
hendaklah bersikap lemah lembut
terhadap orang semacam ini hingga
dia kembali ke jalan yang benar. Wal
‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya
dilihat dari keadaan akhir hidupnya]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Jika seorang hamba
melakukan sebagian perintah dan
meninggalkan sebagian, maka
baginya keimanan sesuai dengan
perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa
jadi pada seorang hamba ada iman
dan nifak sekaligus. …Sesungguhnya
sebagian besar manusia bahkan
mayoritasnya di banyak negeri,
tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak
meninggalkan secara total. Mereka
terkadang shalat dan terkadang
meninggalkannya. Orang-orang
semacam ini ada pada diri mereka
iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir
seperti pada masalah warisan dan
semacamnya. Hukum ini (warisan)
bisa berlaku bagi orang munafik
tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku
bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa,
7/617) [Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat
dan tidak mengetahui bahwa
meninggalkan shalat membuat orang
kafir. Maka hukum bagi orang
semacam ini adalah sebagaimana
orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya
kejahilan pada dirinya yang dinilai
sebagai faktor penghalang untuk
mendapatkan hukuman. [Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat
hingga keluar waktunya. Dia selalu
rutin dalam melaksanakannya, namun
sering mengerjakan di luar waktunya.
Maka orang semacam ini tidaklah
kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela
sebagaimana Allah berfirman, َﻦﻴِّﻠَﺼُﻤْﻠِﻟ ٌﻞْﻳَﻭ (4) ْﻢِﻬِﺗﺎَﻠَﺻ ْﻦَﻋ ْﻢُﻫ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻥﻮُﻫﺎَﺳ 5) ) “Maka kecelakaanlah bagi orang-
orang yang shalat, (yaitu) orang-
orang yang lalai dari shalatnya.” (QS.
Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al
Manhajus Salafi ‘inda Syaikh
Nashiruddin Al Albani, 189-190) Penutup Sudah sepatutnya kita menjaga shalat
lima waktu. Barangsiapa yang selalu
menjaganya, berarti telah menjaga
agamanya. Barangsiapa yang sering
menyia-nyiakannya, maka untuk
amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Amirul Mukminin, Umar bin Al
Khoththob –radhiyallahu ‘anhu-
mengatakan, “Sesungguhnya di
antara perkara terpenting bagi kalian
adalah shalat. Barangsiapa menjaga
shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-
nyiakannya, maka untuk amalan
lainnya akan lebih disia-siakan lagi.
Tidak ada bagian dalam Islam, bagi
orang yang meninggalkan shalat.” Imam Ahmad –rahimahullah- juga
mengatakan perkataan yang serupa,
“Setiap orang yang meremehkan
perkara shalat, berarti telah
meremehkan agama. Seseorang
memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya
terhadap shalat lima waktu. Seseorang
yang dikatakan semangat dalam Islam
adalah orang yang betul-betul
memperhatikan shalat lima waktu.
Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau
menemui Allah, sedangkan engkau
tidak memiliki bagian dalam Islam.
Kadar Islam dalam hatimu, sesuai
dengan kadar shalat dalam
hatimu.” (Lihat Ash Sholah, hal. 12) Oleh karena itu, seseorang bukanlah
hanya meyakini (membenarkan)
bahwa shalat lima waktu itu wajib.
Namun haruslah disertai dengan
melaksanakannya (inqiyad). Karena
iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula
disertai dengan inqiyad
(melaksanakannya dengan anggota
badan). Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman
adalah dengan membenarkan
(tashdiq). Namun bukan hanya
sekedar membenarkan (meyakini)
saja, tanpa melaksanakannya
(inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu
iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum
sholeh, dan orang Yahudi yang
membenarkan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah (mereka meyakini
hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka
semua akan disebut orang yang
beriman (mu’min-mushoddiq).” Al Hasan mengatakan, “Iman
bukanlah hanya dengan angan-
angan (tanpa ada amalan). Namun
iman adalah sesuatu yang menancap
dalam hati dan dibenarkan dengan
amal perbuatan.” (Lihat Ash Sholah, 35-36) Semoga tulisan yang singkat ini
bermanfaat bagi kaum muslimin.
Semoga kita dapat mengingatkan
kerabat, saudara dan sahabat kita
mengenai bahaya meninggalkan
shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad
wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. ***

No comments: