Nonton iklan bentar ya...!!!

Tuesday 6 September 2011

Agar Pernikahan MembawaBerkah

Di saat seseorang melaksanakan aqad
pernikahan, maka ia akan
mendapatkan banyak ucapan do’a
dari para undangan dengan do’a
keberkahan sebagaimana diajarkan
oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan
keberkahan atasmu, dan
mengumpulkan kalian berdua dalam
kebaikan.” Do’a ini sarat dengan
makna yang mendalam, bahwa
pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan
bagi pelakunya. Namun
kenyataannya, kita mendapati banyak
fenomena yang menunjukkan tidak
adanya keberkahan hidup berumah
tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun
di kalangan keluarga du’at (kader
dakwah). Wujud ketidakberkahan
dalam pernikahan itu bisa dilihat dari
berbagai segi, baik yang bersifat
materil ataupun non materil. Munculnya berbagai konflik dalam
keluarga tidak jarang berawal dari
permasalahan ekonomi. Boleh jadi
ekonomi keluarga yang selalu
dirasakan kurang kemudian
menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya
mungkin juga secara materi
sesungguhnya sangat mencukupi,
akan tetapi melimpahnya harta dan
kemewahan tidak membawa
kebahagiaan dalam pernikahannya. Seringkali kita juga menemui
kenyataan bahwa seseorang tidak
pernah berkembang kapasitasnya
walau pun sudah menikah. Padahal
seharusnya orang yang sudah
menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan
pemahaman makin luas dan
mendalam, dari segi fisik makin sehat
dan kuat, secara emosi makin matang
dan dewasa, trampil dalam berusaha,
bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas
kehidupannya sehingga dirasakan
manfaat keberadaannya bagi
keluarga dan masyarakat di
sekitarnya. Realitas lain juga menunjukkan
adanya ketidakharmonisan dalam
kehidupan keluarga, sering muncul
konflik suami isteri yang berujung
dengan perceraian. Juga muncul
anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga
terperangkap dalam pergaulan bebas
dan narkoba. Semua itu menunjukkan
tidak adanya keberkahan dalam
kehidupan berumah tangga. Memperhatikan fenomena kegagalan
dalam menempuh kehidupan rumah
tangga sebagaimana tersebut di atas,
sepatutnya kita melakukan
introspeksi (muhasabah) terhadap diri
kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh
rambu-rambu berikut agar tetap
mendapatkan keberkahan dalam
meniti hidup berumah tangga ? 1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun
Niyat) Motivasi menikah bukanlah semata
untuk memuaskan kebutuhan
biologis/fisik. Menikah merupakan
salah satu tanda kebesaran Allah SWT
sebagaimana diungkap dalam
Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah
juga merupakan perintah-Nya (QS.
An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas
yang bernilai ibadah dan merupakan
Sunnah Rasul dalam kehidupan
sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang
dimudahkan baginya untuk menikah,
lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia
termasuk golonganku” (HR.At-
Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena
nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju
pernikahan, tata cara (prosesi)
pernikahan dan bahkan kehidupan
pasca pernikahan harus mencontoh
Rasul. Misalnya saat hendak
menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan
kriteria ad Dien (agama/akhlaq)
sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/
ketampanan, keturunan, dan harta);
dalam prosesi pernikahan (walimatul
‘urusy) hendaknya juga dihindari hal- hal yang berlebihan (mubadzir),
tradisi yang menyimpang (khurafat)
dan kondisi bercampur baur
(ikhtilath). Kemudian dalam
kehidupan berumah tangga pasca
pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan
akhlaq seperti yang dicontohkan
Rasulullah saw. Menikah merupakan upaya menjaga
kehormatan dan kesucian diri, artinya
seorang yang telah menikah
semestinya lebih terjaga dari
perangkap zina dan mampu
mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an
kepada mereka yang mengambil
langkah ini; “ Tiga golongan yang
wajib Aku (Allah) menolongnya, salah
satunya adalah orang yang menikah
karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi) Menikah juga merupakan tangga
kedua setelah pembentukan pribadi
muslim (syahsiyah islamiyah) dalam
tahapan amal dakwah, artinya
menjadikan keluarga sebagai ladang
beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami)
yang diwarnai akhlak Islam dalam
segala aktifitas dan interaksi seluruh
anggota keluarga, sehingga mampu
menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi
masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim
pembawa rahmat diharapkan dapat
terwujud komunitas dan lingkungan
masyarakat yang sejahtera. 2. Sikap saling terbuka (Mushorohah) Secara fisik suami isteri telah
dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling
terbuka saat jima’ (bersenggama),
padahal sebelum menikah hal itu
adalah sesuatu yang diharamkan.
Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi
kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah),
dan sikap (mauqif) serta tingkah laku
(suluk), sehingga masing-masing
dapat secara utuh mengenal hakikat
kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya
(tsiqoh) di antara keduanya. Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri
saling terbuka dalam segala hal
menyangkut perasaan dan keinginan,
ide dan pendapat, serta sifat dan
kepribadian. Jangan sampai terjadi
seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada
pasangannya karena prasangka
buruk, atau karena kelemahan/
kesalahan yang ada pada suami/isteri.
Jika hal yang demikian terjadi hal
yang demikian, hendaknya suami/ isteri segera introspeksi
(bermuhasabah) dan mengklarifikasi
penyebab masalah atas dasar cinta
dan kasih sayang, selanjutnya mencari
solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan
maka dapat menyebabkan interaksi
suami/isteri menjadi tidak sehat dan
potensial menjadi sumber konflik
berkepanjangan. 3. Sikap toleran (Tasamuh) Dua insan yang berbeda latar
belakang sosial, budaya, pendidikan,
dan pengalaman hidup bersatu dalam
pernikahan, tentunya akan
menimbulkan terjadinya perbedaan-
perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan,
cara bersikap/bertindak, juga selera
(makanan, pakaian, dsb). Potensi
perbedaan tersebut apabila tidak
disikapi dengan sikap toleran
(tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu
masing-masing suami/isteri harus
mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya,
kemudian berusaha untuk
memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya.
Layaknya sebagai pakaian (seperti
yang Allah sebutkan dalam QS.
Albaqarah:187), maka suami/isteri
harus mampu mem-percantik
penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada
(capacity building); dan menutup
aurat artinya berupaya meminimalisir
kelemahan/kekurangan yang ada. Prinsip “hunna libasullakum wa antum
libasullahun (QS. 2:187) antara suami
dan isteri harus selalu dipegang,
karena pada hakikatnya suami/isteri
telah menjadi satu kesatuan yang
tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada
pada suami merupakan kebaikan bagi
isteri, begitu sebaliknya; dan
kekurangan/ kelemahan apapun
yang ada pada suami merupakan
kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul
rasa tanggung jawab bersama untuk
memupuk kebaikan yang ada dan
memperbaiki kelemahan yang ada. Sikap toleran juga menuntut adanya
sikap mema’afkan, yang meliputi 3
(tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu
yaitu mema’afkan orang jika memang
diminta, (2) As-Shofhu yaitu
mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah
yaitu memintakan ampun pada Allah
untuk orang lain. Dalam kehidupan
rumah tangga, seringkali sikap ini
belum menjadi kebiasaan yang
melekat, sehingga kesalahan- kesalahan kecil dari pasangan suami/
isteri kadangkala menjadi awal konflik
yang berlarut-larut. Tentu saja
“mema’afkan” bukan berarti
“membiarkan” kesalahan terus terjadi,
tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan
peningkatan. 4. Komunikasi (Musyawarah) Tersumbatnya saluran komunikasi
suami-isteri atau orang tua-anak
dalam kehidupan rumah tangga akan
menjadi awal kehidupan rumah
tangga yang tidak harmonis.
Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan
cinta kasih juga menghindari
terjadinya kesalahfahaman. Kesibukan masing-masing jangan
sampai membuat komunikasi suami-
isteri atau orang tua-anak menjadi
terputus. Banyak saat/kesempatan
yang bisa dimanfaatkan, sehingga
waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan
mendalam yaitu dengan cara
memberikan perhatian (empati),
kesediaan untuk mendengar, dan
memberikan respon berupa jawaban
atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat
berjama’ah, saat bersama belajar, saat
bersama makan malam, saat bersama
liburan (rihlah), dan saat-saat lain
dalam interaksi keseharian, baik
secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan
sarana telekomunikasi berupa surat,
telephone, email, dsb. Alqur’an dengan indah
menggambarkan bagaimana proses
komunikasi itu berlangsung dalam
keluarga Ibrahim As sebagaimana
dikisahkan dalam QS.As-
Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata; Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu,
insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”. Ibrah yang dapat diambil dalam kisah
tersebut adalah adanya komunikasi
yang timbal balik antara orang tua-
anak, Ibrahim mengutarakan dengan
bahasa dialog yaitu meminta
pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya
keyakinan kuat atas kekuasaan Allah,
adanya sikap tunduk/patuh atas
perintah Allah, dan adanya sikap
pasrah dan tawakkal kepada Allah;
sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana
dengan kehendak Allah yang
menggantikan Ismail dengan seekor
kibas yang sehat dan besar. 5. Sabar dan Syukur Allah SWT mengingatkan kita dalam
Alqur’an surat At Taghabun ayat 14:
”Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya diantara istri-istrimu
dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika
kamu mema’afkan dan tidak
memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” Peringatan Allah tersebut nyata dalam
kehidupan rumah tangga dimana
sikap dan tindak tanduk suami/istri
dan anak-anak kadangkala
menunjukkan sikap seperti seorang
musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah
dakwah walaupun tidak secara
langsung, tuntutan uang belanja yang
nilainya di luar kemampuan, menuntut
perhatian dan waktu yang lebih,
prasangka buruk terhadap suami/ isteri, tidak merasa puas dengan
pelayanan/nafkah yang diberikan
isteri/suami, anak-anak yang aktif dan
senang membuat keributan,
permintaan anak yang berlebihan,
pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak
dihadapi dengan kesabaran dan
keteguhan hati, bukan tidak mungkin
akan membawa pada jurang
kehancuran rumah tangga. Dengan kesadaran awal bahwa isteri
dan anak-anak dapat berpeluang
menjadi musuh, maka sepatutnya kita
berbekal diri dengan kesabaran.
Merupakan bagian dari kesabaran
adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan
suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan
terhadap suami/isteri harus penuh
sebagai satu “paket”, dia dengan
segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima
secara utuh, begitupun penerimaan
kita kepada anak-anak dengan segala
potensi dan kecenderungannya.
Ibaratnya kesabaran dalam
kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk
mencapai keberkahan, sebagaimana
ungkapan bijak berikut:“Pernikahan
adalah Fakultas Kesabaran dari
Universitas Kehidupan”. Mereka yang
lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan. Syukur juga merupakan bagian yang
tak dapat dipisahkan dalam
kehidupan berumah tangga.
Rasulullah mensinyalir bahwa banyak
di antara penghuni neraka adalah
kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya. Mensyukuri rezeki yang diberikan
Allah lewat jerih payah suami
seberapapun besarnya dan bersyukur
atas keadaan suami tanpa perlu
membanding-bandingkan dengan
suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun
syukur terhadap keberadaan anak-
anak dengan segala potensi dan
kecenderungannya, adalah modal
masa depan yang harus dipersiapkan. Dalam keluarga harus dihidupkan
semangat “memberi” kebaikan, bukan
semangat “menuntut” kebaikan,
sehingga akan terjadi surplus
kebaikan. Inilah wujud tambahnya
kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Aku akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih
(QS. Ibrahim:7). Mensyukuri kehadiran keturunan
sebagai karunia Allah, harus
diwujudkan dalam bentuk mendidik
mereka dengan pendidikan Rabbani
sehingga menjadi keturunan yang
menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien
ini untuk masa mendatang, maka
jangan pernah bosan untuk selalu
memanjatkan do’a: Ya Rabb kami karuniakanlah kami
isteri dan keturunan yang sedap
dipandang mata, dan jadikanlah kami
pemimpin orang yang bertaqwa. Ya Rabb kami karuniakanlah kami
anak-anak yang sholeh. Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari
sisi Engkau keturunan yang baik. Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari
sisi Engkau keturunan yang Engkau
Ridha-i. Ya Rabb kami jadikanlah kami dan
keturunan kami orang yang
mendirikan shalat. Do’a diatas adalah ungkapan harapan
para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat
(muwashshofat) ketuturunan
(dzurriyaat) yang diinginkan,
sebagaimana diabadikan Allah dalam
Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash- Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS.
Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40).
Pada intinya keturun-an yang
diharapkan adalah keturunan yang
sedap dipandang mata (Qurrota
a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna
(thoyyiba), ruhaniyah yang baik
(sholih), diridhai Allah karena misi
risalah dien yang diperjuangkannya
(wali radhi), dan senantiasa dekat dan
bersama Allah (muqiimash-sholat). Demikianlah hendaknya harapan kita
terhadap anak, agar mereka memiliki
muwashofaat tersebut, disamping
upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/
sekolah yang baik, lingkungan yang
sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai,
keteladanan dalam keseharian, dsb;
hendaknya kita selalu memanjatkan
do’a tersebut. 6. Sikap yang santun dan bijak
(Mu’asyarah bil Ma’ruf) Merawat cinta kasih dalam keluarga
ibaratnya seperti merawat tanaman,
maka pernikahan dan cinta kasih
harus juga dirawat agar tumbuh
subur dan indah, diantaranya dengan
mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik
orang diantara kamu adalah orang
yang paling baik terhadap isterinya,
dan aku (Rasulullah) adalah orang
yang paling baik terhadap
isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi) Sikap yang santun dan bijak dari
seluruh anggota keluarga dalam
interaksi kehidupan berumah tangga
akan menciptakan suasana yang
nyaman dan indah. Suasana yang
demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan
(maknawiyah) anak-anak dan
pengkondisian suasana untuk betah
tinggal di rumah. Ungkapan yang menyatakan “Baiti
Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan
semata dapat diwujudkan dengan
lengkapnya fasilitas dan luasnya
rumah tinggal, akan tetapi lebih
disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-
anak yang penuh santun dan
bijaksana, sehingga tercipta kondisi
yang penuh keakraban, kedamain,
dan cinta kasih. Sikap yang santun dan bijak
merupakan cermin dari kondisi
ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi
ruhiyah seseorang labil maka
kecenderungannya ia akan bersikap
emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah
mempengaruhinya. Oleh karena itu
Rasulullah saw mengingatkan secara
berulang-ulang agar jangan marah
(Laa tagdlob). Bila muncul amarah
karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan
beristigfar dan mohon perlindungan
Allah (ta’awudz billah), bila masih
merasa marah hendaknya berwudlu
dan mendirikan shalat. Namun bila
muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri
dan berilah ma’af, karena Allah
menyukai orang yang suka
mema’afkan. Ingatlah, bila karena
sesuatu hal kita telanjur marah
kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah
sehingga kesan (atsar) buruk dari
marah bisa hilang. Sesungguhnya
dampak dari kemarahan sangat tidak
baik bagi jiwa, baik orang yang marah
maupun bagi orang yang dimarahi. 7. Kuatnya hubungan dengan Allah
(Quwwatu shilah billah) Hubungan yang kuat dengan Allah
dapat menghasilkan keteguhan hati
(kemapanan ruhiyah), sebagaimana
Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28.
“Ketahuilah dengan mengingat Allah,
hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan
rumah tangga sangat dipengaruhi
oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa,
yang bergantung hanya kepada Allah
saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya
kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat
mewujudkan tuntutan-tuntutan besar
dalam kehidupan rumah tangga.
Rasulullah saw sendiri selalu
memanjatkan do’a agar mendapatkan
keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika
wa’ala thoo’atika” (wahai yang
membolak-balikkan hati, teguhkanlah
hatiku untuk tetap konsisten dalam
dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu). Keteguhan hati dapat diwujudkan
dengan pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah), sehingga ia
merasakan kebersamaan Allah dalam
segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan
selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya
(muraqobatullah). Perasaan tersebut
harus dilatih dan ditumbuhkan dalam
lingkungan keluarga, melalui
pembiasaan keluarga untuk
melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama,
seperti : tilawah, shalat tahajjud,
shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll.
Pembiasaan dalam aktifitas tersebut
dapat menjadi sarana menjalin
keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga,
dan yang penting dapat menjadi
sarana mencapai taqwa dimana Allah
swt menjamin orang-orang yang
bertaqwa, sebagaimana firman-Nya
dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3. “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan bagi-
nya jalan keluar (solusi) dan
memberinya rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangka. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupi (keperluan) nya.” Wujud indahnya keberkahan
keluarga Keberkahan dari Allah akan muncul
dalam bentuk kebahagiaan hidup
berumah tangga, baik kebahagiaan di
dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak
selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan
yang serba lux. Hati yang selalu
tenang (muthma’innah), fikiran dan
perasaan yang selalu nyaman adalah
bentuk kebahagiaan yang tidak bisa
digantikan dengan materi/ kemewahan. Kebahagiaan hati akan semakin
lengkap jika memang bisa kita
sempurnakan dengan 4 (empat) hal
seperti dinyatakan oleh Rasulullah,
yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2)
Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik. Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas
rumah yang luas dan kendaraan yang
nyaman tanpa harus memiliki,
misalnya di saat-saat rihlah, safar,
silaturahmi, atau menempati rumah
dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak
sampai mengurangi kebahagiaan
yang dirasakan, karena pemilik hakiki
adalah Allah swt yang telah
menyediakan syurga dengan segala
kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa,
dan menjadikan segala apa yang ada
di dunia ini sebagai cobaan. Kebahagiaan yang lebih penting
adalah kebahagiaan hidup di akhirat,
dalam wujud dijauhkannya kita dari
api neraka dan dimasukkannya kita
dalam syurga. Itulah hakikat sukses
hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185 “Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Dan sesungguhnya
pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka
dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.” Selanjutnya alangkah indahnya ketika
Allah kemudian memanggil dan
memerintahkan kita bersama-sama
isteri/suami dan anak-anak untuk
masuk kedalam syurga; sebagaimana
dikhabarkan Allah dengan firman- Nya: “Masuklah kamu ke dalam syurga,
kamu dan isteri-isteri kamu
digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70) “Dan orang-orang yang beriman dan
yang anak cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan, kami
hubungkan (pertemukan) anak cucu
mereka dengan mereka (di syurga),
dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa
yang dikerjakannya. (QS. Ath-
Thuur:21).

No comments: