Nonton iklan bentar ya...!!!

Sunday 11 September 2011

Sikap Seorang Muslim KetikaSedang Menderita Sakit

Setiap orang yang beriman pasti
akan diberikan ujian oleh Allah
subhanahu wata’ala. Ujian tersebut
beragam bentuknya, sesuai kondisi
dan kadar keimanan seseorang.
Ujian bisa berupa kesenangan dan bisa pula berupa kesusahan. Dan
salah satu dari bentuk ujian
tersebut adalah tertimpanya
seseorang dengan suatu penyakit
yang menggerogoti dirinya. Sebagaimana yang Allah
subhanahu wata’ala sebutkan
dalam surat Al-‘Ankabut ayat
1sampai 3, bahwa hikmah
diberikannya ujian kepada kaum
mukminin adalah untuk mengetahui[1] siapa yang jujur dan
siapa yang dusta dalam pengakuan
iman mereka tersebut. Demikian juga ketika sakit,
seseorang akan teruji tingkat
kejujuran iman dan aqidah dia.
Sangat disayangkan, ternyata di
sana masih banyak terjadi
pelanggaran-pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh orang yang
sedang tertimpa penyakit. Di antara mereka ada yang tidak
menerima bahkan menolak takdir
Allah yang sedang dia rasakan
tersebut. Bahkan ada yang
mengatakan dan mengklaim
bahwa Allah tidak adil kepada dirinya, Allah telah berbuat zhalim
kepadanya, dan sebagainya,
na’udzubillah min dzalik. Ada pula
yang tidak sabar dan putus asa
dengan keadaannya tersebut
sehingga dia sangat berharap ajal segera menjemputnya. Dan bahkan
ada pula yang nekad melakukan
upaya bunuh diri dengan harapan
penderitaannya segera berakhir.
Ini semua menunjukkan lemahnya
iman dan kurang jujurnya dia dalam ikrar keimanannya tersebut. Lalu bagaimana bimbingan syari’at
yang mulia dan sempurna ini dalam
menyikapi permasalahan-
permasalahan seperti itu? Solusi apa yang seharusnya
dilakukan oleh setiap hamba yang
mengaku beriman kepada Allah
‘azza wajalla, Rasul-Nya dan hari
akhir jika tertimpa suatu penyakit
agar iman dan aqidah ini senantiasa terjaga? Maka kali ini insya Allah akan
kami tengahkan kepada anda,
bagaimana syari’at membimbing
anda tentang sikap yang
seharusnya dilakukan oleh
seseorang yang sedang mengalami sakit agar dia dikatakan sebagai
seorang yang jujur dalam
keimanan dan aqidahnya. Di antara sikap tersebut adalah[2]: 1. Hendaknya dia merasa ridha
dengan takdir dan ketentuan Allah
subhanahu wata’ala tersebut,
bersabar dengannya dan berbaik
sangka kepada Allah subhanahu
wata’ala dengan apa yang sedang dia rasakan. Karena segala yang
dia terima adalah merupakan
sesuatu terbaik yang Allah
subhanahu wata’ala berikan
padanya. Ini merupakan sikap
seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan
keimanan yang benar. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sungguh sangat menakjubkan urusan seorang mukmin, karena
segala urusannya adalah berupa
kebaikan. Dan tidaklah didapatkan
keadaan yang seperti ini kecuali
pada diri seorang mukmin saja.
Ketika dia mendapatkan kebahagiaan, dia segera
bersyukur. Maka itu menjadi
kebaikan baginya. Dan ketika dia
mendapatkan kesusahan dia
bersabar. Maka itu menjadi
kebaikan baginya.” (HR. Muslim dari shahabat Shuhaib bin Sinan
radhiyallahu ‘anhu) Beliau juga bersabda: “Janganlah salah seorang diantara
kalian meninggal kecuali dalam
keadaan dia berbaik sangka
kepada Allah.” (HR. Muslim dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma) 2. Hendaknya dia memiliki sikap
raja’ (berharap atas rahmat Allah
subhanahu wata’ala) dan rasa
khauf (takut dan cemas dari adzab
Allah subhanahu wata’ala) “Suatu ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
mendatangi seorang pemuda yang
sedang sakit. kemudian beliau
bertanya kepadanya: “Bagaimana
keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Demi Allah ya
Rasulullah, sungguh saya sangat
mengharapkan rahmat Allah dan
saya takut akan siksa Allah
dikarenakan dosa-dosa saya.”
Maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tidaklah dua sifat
tersebut ada pada seorang hamba
yang dalam keadaan seperti ini,
kecuali Allah akan memberikan
apa yang dia harapkan dan akan memberi rasa aman dengan apa
yang dia takutkan.” (HR. At- Tirmidzi dan Ibnu Majah dari
shahabat Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu). 3. Tidak diperbolehkan baginya
untuk mengharapkan kematian
segera menjemputnya ketika
penyakitnya ternyata semakin
menjadi parah dan memburuk. “Suatu ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
mendatangi pamannya ‘Abbas
yang sedang sakit. Dia mengeluh
dan berharap kematian segera
datang menjemputnya. Maka beliau bersabda kepadanya:
“Wahai pamanku, janganlah
engkau berharap kematian itu
datang. Jika engkau adalah orang
baik, maka engkau bisa menambah
kebaikanmu, dan itu baik untukmu. Namun jika engkau adalah orang
yang banyak melakukan
kesalahan, maka engkau dapat
mengingkari dan membenahi
kesalahanmu itu, dan itu baik
bagimu. maka janganlah berharap akan kematian.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari shahabiyyah Ummul
Fadhl radhiyallahu ‘anha) Namun ketika ternyata dia tidak
bisa bersabar dan harus
melakukannya, maka hendaknya
dia mengucapkan: “Ya Allah hidupkanlah aku apabila
kehidupan itu lebih baik bagiku.
Dan matikanlah aku apabila
kematian itu lebih baik
bagiku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu) 4. Hendaknya dia berwasiat ketika
merasa ajalnya telah dekat untuk
dipersiapkan dan dilakukan
pengurusan jenazahnya nanti
sesuai dengan bimbingan syari’at
dan tidak melakukan perbuatan- perbuatan bid’ah. Hal ini sebagai
bentuk pengamalan firman Allah
subhanahu wata’ala : “Wahai orang-orang yang beriman
jagalah diri kalian dan keluarga
kalian dari api neraka.” (At-Tahrim: 6) Dan di sana banyak kisah- kisah
para sahabat yang mereka
berwasiat dengan hal ini ketika
merasa ajal segera menjemputnya.
Salah satunya adalah kisah
shahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang pernah berwasiat
ketika dia merasa ajal telah dekat.
Dia berkata: “Jika aku mati, janganlah kalian mengumumkannya. aku takut
kalau perbuatan tersebut termasuk
na’i (mengumumkan kematian
yang dilarang sebagaimana
dilakukan orang-orang jahiliyyah),
karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah melarang
perbuatan na’i tersebut.” (HR. At- Tirmidzi) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata dalam kitabnya Al-Adzkar:
“Sangat dianjurkan bagi seorang
muslim untuk berwasiat kepada
keluarganya agar meninggalkan
kebiasaan atau adat yang ada dari berbagai bentuk kebid’ahan dalam
penyelenggaraan jenazah. Dan
hendaknya dia menekankan
permasalahan itu.” Wallahu A’lam. Diringkas dari Kitab Ahkamul Jana-iz
karya Al-‘Allamah Al-Muhaddits
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah oleh Al-Ustadz Abdullah
Imam. [1] Dan Allah subhanahu wata’ala
Maha Mengetahui kadar dan tingkat
kejujuran iman seseorang walaupun
tidak memberikan ujian kepada
hamba-Nya itu. [2] Diringkas dari kitab Ahkamul Jana-
iz karya Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu
ta’ala.

No comments: