Nonton iklan bentar ya...!!!

Monday 11 April 2011

sejarah islam d indonesia

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi,
hanya berselang sekitar 20 tahun dari
wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah
Utsman ibn Affan RA mengirim
delegasi ke Cina untuk
memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan
yang memakan waktu empat tahun
ini, para utusan Utsman ternyata
sempat singgah di Kepulauan
Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan
dagang di pantai barat Sumatera.
Inilah perkenalan pertama penduduk
Indonesia dengan Islam. Sejak itu
para pelaut dan pedagang Muslim
terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri
nan hijau ini sambil berdakwah. Lambat laun penduduk pribumi mulai
memeluk Islam meskipun belum
secara besar-besaran. Aceh, daerah
paling barat dari Kepulauan
Nusantara, adalah yang pertama
sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di
Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita
dari Marcopolo menyebutkan bahwa
pada saat persinggahannya di Pasai
tahun 692 H / 1292 M, telah banyak
orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah,
pengembara Muslim dari Maghribi.,
yang ketika singgah di Aceh tahun
746 H / 1345 M menuliskan bahwa di
Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i.
Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia
terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa
komplek makam Islam, yang salah
satu diantaranya adalah makam
seorang Muslimah bernama Fathimah
binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu
pada jaman Kerajaan Singasari.
Diperkirakan makam-makam ini
bukan dari penduduk asli, melainkan
makam para pedagang Arab. Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M,
belum ada pengislaman penduduk
pribumi Nusantara secara besar-
besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14
M, penduduk pribumi memeluk Islam
secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya
penduduk Nusantara secara besar-
besaran pada abad tersebut
disebabkan saat itu kaum Muslimin
sudah memiliki kekuatan politik yang
berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan
bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh
Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon,
serta Ternate. Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini berdarah
campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang
Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad
ke-14 dan 15 M antara lain juga
disebabkan oleh surutnya kekuatan
dan pengaruh kerajaan-kerajaan
Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam The Preaching
of Islam mengatakan bahwa
kedatangan Islam bukanlah sebagai
penakluk seperti halnya bangsa
Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai,
tidak dengan pedang, tidak dengan
merebut kekuasaan politik. Islam
masuk ke Nusantara dengan cara
yang benar-benar menunjukkannya
sebagai rahmatan lil'alamin. Dengan masuk Islamnya penduduk
pribumi Nusantara dan terbentuknya
pemerintahan-pemerintahan Islam di
berbagai daerah kepulauan ini,
perdagangan dengan kaum Muslimin
dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang
bermigrasi ke Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar diantaranya
adalah berasal dari Hadramaut,
Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut,
migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah
Hadramaut. Namun setelah bangsa-
bangsa Eropa Nasrani berdatangan
dan dengan rakusnya menguasai
daerah-demi daerah di Nusantara,
hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke
17 dan 18 Masehi. Penyebabnya,
selain karena kaum Muslimin
Nusantara disibukkan oleh
perlawanan menentang penjajahan,
juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis.
Setiap kali para penjajah - terutama
Belanda - menundukkan kerajaan
Islam di Nusantara, mereka pasti
menyodorkan perjanjian yang isinya
melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia
luar kecuali melalui mereka. Maka
terputuslah hubungan ummat Islam
Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin
beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat
Islam Nusantara dengan akarnya,
juga terlihat dari kebijakan mereka
yang mempersulit pembauran antara
orang Arab dengan pribumi. Semenjak awal datangnya bangsa
Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi
ke kepulauan subur makmur ini,
memang sudah terlihat sifat rakus
mereka untuk menguasai. Apalagi
mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah
memeluk Islam, agama seteru mereka,
sehingga semangat Perang Salib pun
selalu dibawa-bawa setiap kali
mereka menundukkan suatu daerah.
Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-
kerajaan pribumi yang masih
menganut Hindu / Budha. Satu
contoh, untuk memutuskan jalur
pelayaran kaum Muslimin, maka
setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama
dengan Kerajaan Sunda Pajajaran
untuk membangun sebuah
pangkalan di Sunda Kelapa. Namun
maksud Portugis ini gagal total setelah
pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa
bahu membahu menggempur mereka
pada tahun 1527 M. Pertempuran
besar yang bersejarah ini dipimpin
oleh seorang putra Aceh berdarah
Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al- Pasai, yang lebih terkenal dengan
gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi
orang penting di tiga kerajaan Islam
Jawa, yakni Demak, Cirebon dan
Banten, Fathahillah sempat berguru di
Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari
serbuan Turki Utsmani. Kedatangan kaum kolonialis di satu
sisi telah membangkitkan semangat
jihad kaum muslimin Nusantara,
namun di sisi lain membuat
pendalaman akidah Islam tidak
merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami
keislaman, itupun biasanya terbatas
pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada
kaum Muslimin kebanyakan, terjadi
percampuran akidah dengan tradisi
pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah
terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi
seperti ini setidaknya masih terjadi
hingga sekarang. Terlepas dari hal ini,
ulama-ulama Nusantara adalah orang-
orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak
diantara mereka yang berasal dari
kalangan tarekat, namun justru
kalangan tarekat inilah yang sering
bangkit melawan penjajah. Dan meski
pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik,
namun sejarah telah mencatat jutaan
syuhada Nusantara yang gugur pada
berbagai pertempuran melawan
Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-
kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu
(Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa,
Makassar, Ternate, hingga perlawanan
para ulama di abad 18 seperti Perang
Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa
(Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku
Umar). (Bersambung)

No comments: