Nonton iklan bentar ya...!!!

Friday 8 July 2011

MATEMATIKA GAJI DAN LOGIKASEDEKAH

Dalam satu kesempatan tak terduga,
saya bertemu pria ini. Orang-orang
biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya
tertarik dengan falsafah hidupnya,
yang menurut saya, sudah agak jarang
di zaman ini, di Jakarta ini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar. Kami bertemu dalam satu forum
pelatihan profesi keguruan yang
diprogram sebuah LSM bekerja sama
dengan salah satu departemen di
dalam negeri. Tapi, saya justru
mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari pelatihan itu. Melainkan dari
pria ini. Saya menduga ia berasal dari kelas
sosial terpandang dan mapan. Karena
penampilannya rapih, menarik dan
wajah yang tampan. Namun tidak
seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal
dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras
kenyataan hidup yang dialaminya
dengan sikap hidup yang dijalaninya.
Sangat jelas saya lihat dan saya pahami
dari beberapa kali perbincangan yang
kami bangun. Satu kali kami bicara tentang
penghasilan sebagai guru. Bertukar
informasi dan memperbandingkan
nasib kami satu dengan yang lain, satu
sekolah dengan sekolah lainnya. Kami
bercerita tentang dapur kami masing- masing. Hampir tidak ada perbedaan
mencolok. Kami sama-sama bernasib
"guru" yang katanya pahlawan tanpa
tanda jasa. Yang membedakan sangat
mencolok antara saya dan Mas Ajy
adalah sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai
di balik materi. Penghasilannya sebulan sebagai guru
kontrak tidak logis untuk membiayai
seorang isteri dan dua orang putra-
putrinya. Dia juga masih memiliki
tanggungan seorang adik yang harus
dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi
belanja kedua ibu bapaknya yang tak
lagi berpenghasilan. Menurutnya,
hitungan matematika gajinya barulah
bisa mencukupi untuk hidup
sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya. "Tapi, hidup kita tidak seluruhnya
matematika dan angka-angka. Ada
dimensi non matematis dan di luar
angka-angka logis." "Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak
ngerti?" "Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji,
kita akan menjadi orang pelit.
Individualis. Bahkan bisa jadi tamak,
loba. Karena berapapun sebenarnya
nilai gaji setiap orang, dia tidak akan
pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah,
untuk kita saja kurang." "Kenyataannya memang begitu kan
Mas?", kata saya mengiayakan. "Mana
mungkin dengan gaji sebesar itu, kita
bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa
berbagi." Saya mencoba menegaskan
pernyataan awalnya. "Ya, karena kita masih menggunakan
pola pikir matematis. Cobalah keluar
dari medium itu. Oke, sakarang jawab
pertanyaan saya. Kita punya uang
sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu.
Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa
uang kita?" "Tidak ada. Habis." jawab saya
spontan. "Tapi saya jawab masih ada. Kita masih
memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu
rupiah itu abadi. Bahkan memancing
rezeki yang tidak terduga." Saya mencoba mencerna lebih dalam
penjelasannya. Saya agak tercenung
pada jawaban pasti yang
dilontarkannya. Bagaimana mungkin
masih tersisa uang seribu rupiah? Dari
mana sisanya? "Mas, bagaimana bisa. Uang yang
terakhir seribu rupiah itu, kan sudah
diberikan pada pengemis ", saya tak
sabar untuk mendapat jawabannya. "Ya memang habis, karena kita masih
memakai logika matematis. Tapi
cobalah tinggalkan pola pikir itu dan
beralihlah pada logika sedekah. Uang
yang seribu itu dinikmati pengemis.
Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa’ keberkahan untuk kita
keluar dari mulut pengemis itu atas
pemberian kita. Itu baru satu
pengemis. Bagaimana jika kita
memberikannya lebih. Itu dicatat
malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan
menjadi penolong di akhirat.
Sesungguhnya yang seribu itulah milik
kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso
dan es campur itu, ujung-ujungnya
masuk WC." Subhanallah. Saya hanya terpaku
mendapat jawaban yang
dilontarkannya. Sebegitu dalam
penghayatannya atas sedekah melalui
contoh kecil yang hidup di tengah-
tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah
menurutnya hanya sanggup dilakukan
oleh orang yang telah merasa cukup,
bukan orang kaya. Orang yang
berlimpah harta tapi tidak mau
sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang
serta sayang untuk memberi dan
berbagi. Penekanan arti keberkahan sedekah
diutarakannya lebih panjang melalui
pola hubungan anak dan orang tua.
Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin
menggarisbawahi, bahwa berapapun
nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua,
belum bisa membayar lunas jasa-
jasanya. Air susunya, dekapannya,
buaiannya, kecupan sayangnya dan
sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di
saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan
menggantinya berlipat-lipat. “Terus, gimana caranya Mas, agar bisa
menyeimbangkan nilai metematis
dengan dimensi sedekah itu?”. “Pertama, ingat, sedekah tidak akan
membuat orang jadi miskin, tapi
sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua,
jangan terikat dengan keterbatasan
gaji, tapi percayalah pada keluasan
rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir,
padukanlah nilai qona’ah, ridha dan
syukur”. Saya semakin tertegun Dalam hati kecil, saya meraba semua
garis hidup yang telah saya habiskan.
Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy.
Terlalu kerdil selama ini pandangan
saya tentang materi. Ada
keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua
penjelasan yang dilontarkannya
menutup rapat egoisme kecongkakan
saya dan membukakan perlahan-lahan
kesadaran batin yang telah lama
diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan
ini. Saya ingin segera pulang dan
mencari butir-butir mutiara lain yang
masih berserak dan belum sempat saya
kumpulkan. *** Sepulang berjamaah saya membuka
kembali Al-Qur'an. Telah beberapa
waktu saya acuhkan. Ada getaran
seolah menarik saya untuk meraih dan
membukanya. Spontan saya buka
sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan
saya kembali: "Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah
[2] 261

No comments: