Nonton iklan bentar ya...!!!

Tuesday 8 March 2011

apakah anda terjangkiti penyakit riya..?

Penyakit yang sangat berbahaya
ini … mengakibatkan hancurnya
amalan dan menjadikannya seperti
debu yang berterbangan tidak
bernilai. Betapa banyak amalan
yang telah dikumpulkan oleh
seseorang selama bertahun-tahun –
dan bisa jadi puluhan tahun- dan
bisa jadi sudah bertumpuk amalan
tersebut setinggi gunung yang
menjulang ke langit … akan tetapi
ternyata semuanya hancur lebur
tidak bernilai sama sekali di sisi
Allah.
Allah berfirman :
ﻛَﺎﻟَّﺬِﻱ ﻳُﻨْﻔِﻖُ ﻣَﺎﻟَﻪُ ﺭِﺋَﺎﺀَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﻻ ﻳُﺆْﻣِﻦُ
ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻓَﻤَﺜَﻠُﻪُ ﻛَﻤَﺜَﻞِ ﺻَﻔْﻮَﺍﻥٍ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺗُﺮَﺍﺏٌ ﻓَﺄَﺻَﺎﺑَﻪُ ﻭَﺍﺑِﻞٌ ﻓَﺘَﺮَﻛَﻪُ ﺻَﻠْﺪًﺍ ﻻ
ﻳَﻘْﺪِﺭُﻭﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻲْﺀٍ ﻣِﻤَّﺎ ﻛَﺴَﺒُﻮﺍ
Seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya kepada
manusia dan Dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian.
Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya
ada tanah, kemudian batu itu
ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah
Dia bersih (tidak bertanah). mereka
tidak menguasai sesuatupun dari
apa yang mereka usahakan (QS Al-
Baqoroh : 264)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,
"Yaitu hujan yang deras tersebut
menjadikan batu yang licin tersebut
bersih, yaitu tanpa tersisa sedikitpun
tanah sama sekali, bahkan seluruh
tanah telah sirna. Maka demikianlah
amalan-amalannya orang-orang
yang riyaa' akan hancur dan sirna di
sisi Allah, meskipun yang nampak
pada orang-orang mereka memiliki
amal sebagaimana tanah (yang
nampak di atas batu licin tadi -pen).
Oleh karenanya Allah berfirman
((mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan))" (Tafsir Ibnu Katsiir
1/319)
Sungguh ini merupakan permisalan
yang sangat menghinakan orang-
orang yang beramal karena riyaa'.
Mereka menyangka bahwasanya
mereka telah mengumpulkan amal
yang banyak. Bahkan bukan hanya
mereka yang menyangka
demikian, tetapi orang-orang lain
yang melihat mereka juga
menyangka demikian, menyangka
bahwa mereka adalah orang-orang
sholeh yang memiliki banyak
amalan. Akan tetapi ternyata
amalan mereka dimusnahkan oleh
Allah dengan sekejap bahkan tidak
tersisa sama sekali seperti tanah
yang nampak bertumpuk di atas
batu yang licin lantas tersiram
dengan hujan yang sangat deras
sekali, sehingga hilanglah tanah
tersebut dan tidak tersisa sama
sekali. Na'uudzu billaahi min dzaalik,
kita berlindung kepada Allah dari
kehinaan ini.
Inilah hal yang sangat
menyedihkan dan sangat
menyakitkan serta sangat
menghinakan, tatkala orang yang
beramal dengan riyaa' menyangka
bahwasanya ia telah
mengumpulkan amal dengan
sebanyak-banyaknya, dan ia telah
berbangga dengan hal itu, bahkan
masyarakat menyangka dirinya
sebgai orang sholeh dan
memujinya, namun ternyata pada
hakekatnya amalannya tidak
bernilai sama sekali di sisi Allah. Oleh
karenanya disebutkan dalam hadits
tentang tiga orang riyaa' yang
pertama kali didzab di neraka (yaitu
orang yang mati syahid, orang yang
berilmu, dan orang yang
dermawan), maka Allah
mengatakan kepada mereka
bertiga, "Apa yang kalian lakukan
dengan kenikmatan yang telah Aku
berikan kepada kalian?", maka
mereka bertiga menjawab, "Kami
beramal ikhlas karena Engkau yaa
Allah". Maka Allah membantah
mereka dengan berkata, "Kalian
dusta, akan tetapi kalian beramal
supaya dikatakan (oleh
masyarakat) sebagai pemberani…,
supaya dikatakan sebagai orang
alim …, supaya dikatakan sebaga
dermawan, dan sungguh telah
dikatakan demikian …" (lihat HR
Muslim no 1905)
Sungguh masyarakat benar-benar
menyangka mereka bertiga adalah
orang-orang sholeh yang banyak
beramal, dan masyarakat
menyebut-nyebut mereka, akan
tetapi semua itu hanyalah semu,
karena pada hakekatnya amalan
mereka tidak bernilai sama sekali.
Bahkan…bukan hanya tidak bernilai
akan tetapi malah menyebabkan
mereka menjadi orang-orang yang
pertama diadzab di neraka
jahanam.
Yang menjadi permasalahan besar
adalah penyakit ini sangat sulit
untuk dideteksi, sungguh betapa
banyak orang yang merasa diri
mereka ikhlas namun pada
kenyataannya ia telah terjangkiti
penyakit berbahaya ini. Oleh
karenanya Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam sangat mengkhawatirkan
penyakit ini. Beliau bersabda :
ﺇِﻥَّ ﺃَﺧْﻮَﻑَ ﻣﺎ ﺃَﺧَﺎﻑُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙُ ﺍﻷَﺻْﻐَﺮُ
ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻭﻣﺎ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙُ ﺍﻷَﺻْﻐَﺮُ ﻳﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﺮِّﻳَﺎﺀُ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻟﻬﻢ ﻳﻮﻡ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
ﺇﺫﺍ ﺟُﺰِﻯَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑِﺄَﻋْﻤَﺎﻟِﻬِﻢْ ﺍﺫْﻫَﺒُﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗﺮﺍﺅﻭﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﺎﻧْﻈُﺮُﻭﺍ ﻫﻞ
ﺗَﺠِﺪُﻭﻥَ ﻋِﻨْﺪَﻫُﻢْ ﺟَﺰَﺍﺀً
"Sesungguhnya perkara yang paling
aku khawatirkan menimpa kalian
ada syirik kecil", mereka (para
sahabat) berkata, "Wahai Rasulullah,
apa itu syirik kecil?", beliau berkata,
"Riyaa', pada hari kiamat tatkala
manusia dibalas amal perbuatan
mereka maka Allah berkata kepada
orang-orang yang riyaa', "Pergilah
kaliah kepada orang-orang yang
dahulu kalian riyaa' kepada mereka
(mencari pujian mereka -pen)
semasa di dunia, maka lihatlah
apakah kalian akan mendapatkan
ganjaran kalian dari mereka?" (HR
Ahmad dalam musnadnya 5/428 no
23680 dan dishahihkan oleh Syaikh
Albani dalam As-Shahihah no 951)
Rasulullah juga bersabda :
ﺃَﻻَ ﺃُﺧْﺒِﺮُﻛُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﻫﻮ ﺃَﺧْﻮَﻑُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪِﻱ
ﻣﻦ ﺍﻟْﻤَﺴِﻴﺢِ ﺍﻟﺪَّﺟَّﺎﻝِ ﻗﺎﻝ ﻗُﻠْﻨَﺎ ﺑَﻠَﻰ ﻓﻘﺎﻝ
ﺍﻟﺸِّﺮْﻙُ ﺍﻟْﺨَﻔِﻲُّ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮﻡَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻳُﺼَﻠِّﻲ
ﻓَﻴُﺰَﻳِّﻦُ ﺻَﻠَﺎﺗَﻪُ ﻟِﻤَﺎ ﻳَﺮَﻯ ﻣﻦ ﻧَﻈَﺮِ ﺭَﺟُﻞٍ
"Maukah aku kabarkan kepada
kalian tentang perkara yang lebih
aku takutkan menimpa kalian
daripada Dajjal?", kami (para
sahabat) berkata, "Tentu wahai
Rasulullah", beliau berkata, "Syirik
yang samar, yaitu seseorang berdiri
melakukan sholat lalu ia perindah
sholatnya karena dia tahu ada
orang lain yang sedang melihatnya
sholat" (HR Ahmad 3/30 no 11270
dan Ibnu Majah no 4204 dan
dihasankan oleh Syaikh Albani)
Finahnya riyaa' lebih ditakuti Nabi
menimpa sahabat lebih daripada
fitnahnya Dajjal karena dua
perkara:
- Karena sulitnya seseorang
untuk menyelamatkan hatinya dari
riyaa. Syaikh Utsaimin berkata,
"Fitnah yang laing besar di dunia ini
adalah fitnahnya Dajjaal, akan
tetapi ketakutan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam terhadap fitnahnya
syirik yang samar ini (riyaa'-pen)
lebih besar daripada ketakutan
beliau terhadap fitnahnya Dajaal.
Hal ini dikarenakan sangat sulitnya
menghindarkan diri dari
riyaa'" (Majmuu' Fataawaa wa
Rosaail syaikh Al-'Utsaimiin 10/712)
- Karena ftinah Dajjal hanya
muncul di akhir zaman menjelang
hari kiamat, adapun fitnah riyaa'
senantiasa dan selalu mengancam.
(lihat Mirqootul Mafaatiih 15/262)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menamakan riyaa' dengan syirik
yang samar, yang tidak nampak
oleh orang lain, dan juga menimpa
seseorang terkadang tanpa ia
sadari.
Sahl bin Abdillah At-Tusturi pernah
berkata,
ﻻَ ﻳَﻌْﺮِﻑُ ﺍﻟﺮِّﻳَﺎﺀَ ﺇِﻻَّ ﻣُﺨْﻠِﺺٌ، ﻭَﻻَ ﺍﻟﻨِّﻔَﺎﻕَ ﺇِﻻَّ
ﻣُﺆْﻣِﻦٌ، ﻭَﻻَ ﺍﻟْﺠَﻬْﻞَ ﺇِﻻَّ ﻋَﺎﻟِﻢٌ، ﻭَﻻَ ﺍﻟْﻤَﻌْﺼِﻴَﺔَ
ﺇِﻻَّ ﻣُﻄِﻴْﻊٌ
"Tidaklah mengetahui riyaa' kecuali
orang yang ikhlash, tidak
mengetahui kemunafikan kecuali
orang mukmin, tidak mengetahui
kejahilan kecuali orang yang 'alim,
dan tidak mengetahui kemaksiatan
kecuali orang yang ta'at" (Syu'ab Al-
Iiman karya Al-Baihaqi 1/188 no
6480)
Sungguh benar… memang hanya
orang yang berusaha meraih
keikhlasan yang senantiasa
memperhatikan gerak-gerik
hatinya, senantiasa mengecek
kondisi hatinya, apakah hatinya
berpenyakit riyaa? Apakah
berpenyakit ujub?.
Kecintaan Manusia terhadap Pujian
Merupakan perkara yang semakin
menjadikan seseorang mudah
terjangkiti penyakit riyaa' yaitu
karena sifat dasar manusia adalah
ingin dipuji dan ingin dihargai.
Sungguh kenikmatan yang
dirasakan seseorang tatkala dipuji
dan dihormati sangatlah besar …
sangatlah lezaat…, jauh lebih besar
dari kenikmatan-kenikmatan yang
lain.. bahkan jauh lebih nikmat dari
nikmatnya seseorang yang memiliki
harta berlimpah.
Oleh karenanya tidaklah
mengherankan jika didapati
seseorang yang mengorbankan
hartanya yang begitu banyak untuk
disedekahkan –bahkan mungkin
hingga ratusan juta, atau bahkan
sampai miliayaran- hanya demi
untuk dihormati dan dipuji dan
dikatakan sebagai dermawan.
Demikian juga tidaklah
mengherankan jika didapati
seseorang yang menghabiskan
waktunya siang dan malam tidak
kenal lelah selama bertahun-tahun
untuk mempelajari ilmu dan
mendakwahkannya, atau untuk
mempelajari Al-Quran,
menghafalkannya dan
mengajarkannya, hanya demi
untuk dikenal oleh masyarakat
bahwasanya ia adalah seorang
yang 'alim atau seorang qoori' yang
ahli baca Al-Qur'an.
Bahkan yang lebih dari ini semua
adalah tidak mengherankan jika
didapati seseorang yang telah
mengorbankan sesuatu yang paling
berharga yang ia miliki di dunia ini,
yaitu ruhnya dan nyawanya hanya
agar dipuji oleh masyarakat dan
dikenal sebagai pahlawan
pemberani. Bukankah tidak semua
orang yang meninggal di medan
pertempuran adalah seorang yang
mati syahiid?
Ada seseorang bertanya kepada
Nabi :
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﺣَﻤِﻴَّﺔً ﻭَﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﺷَﺠَﺎﻋَﺔً
ﻭَﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﺭِﻳَﺎﺀً ﻓَﺄَﻱُّ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ؟
"Seseorang berperang karena
membela sukunya, ada yang
berperang karena menampakan
keberaniannya, dan ada yang
berperang karena riyaa', maka
manakah diantara mereka yang fi
sabiilillah?"
(Dalam riwayat yang lain ﻓﺈﻥ ﺃَﺣَﺪَﻧَﺎ
ﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﻏَﻀَﺒًﺎ "Sesungguhnya salah
seorang di antara kami ada yang
berperang karena marah? (HR Al-
Bukhari no 123), dalam riwayat
yang lain ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﻟِﻠْﻤَﻐْﻨَﻢِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ
ﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﻟِﻴُﺬْﻛَﺮَ ﻭَﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﻟِﻴُﺮَﻯ ﻣَﻜَﺎﻧُﻪُ ﻣﻦ ﻓﻲ
ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ "Seseorang berperang
untuk mencari gonimah (harta
rampasan perang), seseorang
berperang agar dikenang, dan
seseorang berperang agar nampak
kedudukannya (dalam hal
keberanian dan kepahlawanannya -
pen), maka manakah di antara
mereka yang fi sabiilillah?" (HR Al-
Bukhari 2958)
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam berkata :
ﻣﻦ ﻗَﺎﺗَﻞَ ﻟِﺘَﻜُﻮﻥَ ﻛَﻠِﻤَﺔُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻫِﻲَ ﺍﻟْﻌُﻠْﻴَﺎ ﻓَﻬُﻮَ
ﻓﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
"Barangsiapa yang berperang agar
perkataannya Allahlah yang
tertinggi maka itulah yang fi
sabiilillah" (HR Al-Bukhari no 7020)
Memang ketenaran dan popularitas
suatu kenikmatan yang sangat
ledzat, yang senantiasa dikejar-
kejar oleh banyak orang dengan
melalui banyak pengorbanan …
bahkan mengorbankan jiwa raga…
Mereka menyangka bahwasanya
dengan terseohornya mereka dan
dikenalnya mereka sebagai seorang
yang alim -atau seorang yang rajin
ibadah, atau seorang pemberani,
atau seorang dermawan-
merupakan puncak kemuliaan dan
kebahagiaan. Apakah mereka tidak
tahu bahwasanya mencari
ketenaran merupukan puncak dari
kehinaan dan keterpurukan..???
Ikhlas atau Riyaa? (Uji diri sendiri!!!)
Keikhlasan merupakan amalan hati
tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Allah, bahkan terkadang
seseorang merasa dirinya telah
ikhlas namun ternyata ia tidak
ikhlas, bahkan ternyata ia telah
terjangkiti penyakit riyaa' tanpa ia
sadari. Oleh karenanya seorang
muslim hendaknya senantiasa
mengecek kondisi relung-relung
hatinya pada lubuk hatinya yang
paling dalam.
Berikut ini beberapa pertanyaan
yang membantu kita –baik para
pembaca sekalian maupun si penulis
sendiri- untuk mengetahui jauh
dekatnya diri kita dari keikhlasan,
demikian untuk mengetahui juga
parah tidaknya penyakit riyaa'
yang telah menjangkiti kita. Dan
diharapkan pertanyaan-pertanyaan
berikut dijawab dengan jujur dan
teliti.
Pertama : Apakah engkau
senantiasa berhenti sejenak
sebelum beramal apapun (baik
sebelum sholat, sebelum
berdakwah, sebelum menulis
sebuah tulisan ilmiyah, sebelum
menulis status maupun catatan,
atau memberi komentar di
facebook, dll) untuk mengecek
apakah niatku sudah benar ikhlas
karena Allah atau tidak?? (Selalu –
sering – terkadang –jarang – hampir
tidak pernah
)
Untuk menjawab pertanyaan ini ada
sebaiknya kita merenungkan atsar
berikut ini :
Ada orang yang berkata kepada
Naafi' bin Jubair rahimahullah, ﺃَﻻَ
ﺗَﺸْﻬَﺪُ ﺟَﻨَﺎﺯَﺓً؟ , "Apakah engkau tidak
menghadiri janazah?" maka
beliaupun berkata, ﻛَﻤَﺎ ﺃَﻧْﺖَ ﺣَﺘَّﻰ ﺃﻧْﻮِﻱَ
"Tetaplah di tempatmu hingga aku
berniat". Beliaupun berfikir sejenak
lantas beliau berkata, "Mari kita
jalan" (Jaami'ul 'Uluum wal Hikam
29).
Kedua : Apakah engkau senantiasa
berusaha menjadikan kecintaan dan
kebencianku pada seseorang adalah
karena Allah bukan karena perkara
dunia apapun? (Selalu –sering –
terkadang –jarang –hampir tidak
pernah
)
Untuk menjawab pertanyaan ini ada
baiknya kita renungkan yang
berikut ini :
Kita semua mengetahui akan
keutamaan cinta dan benci karena
Allah. Betapa indahnya tatkala kita
mengucapkan kepada saudara kita
Uhibbuka fillah (Aku mencintaimu
karena Allah), lantas saudara kita
menjawab Ahabbakallahu aldzii
ahbatnii fiih (Semoga Allah –yang
engkau mencintaiku karenaNya-
juga mencintaimu). Kita semua
sudah mengetahui sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam:
ﺃَﻭْﺛَﻖُ ﻋُﺮَﻯ ﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥِ ﺍﻟْﻤُﻮَﺍﻻَﺓُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﻪِ
ﻭَﺍﻟْﻤُﻌَﺎﺩَﺍﺓُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﺤُﺐُّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﻪِ
ﻭِﺍﻟْﺒُﻐْﺾُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﻪِ
"Tali keimanan yang paling kuat
adalah berwalaa' karena Allah dan
memusuhi karena Allah, cinta
karena Allah dan benci karena
Allah" (Dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albani dalam As-Shahihah no 998)
Bukankah kita tahu bahwasanya
yang hanya boleh dibenci secara
mutlak seratus persen hanyalah
orang kafir, sedangkan seorang
muslim yang bercampur pada
dirinya maksiat dan ketaatan maka
tidak boleh kita membencinya
secara total. Demikian juga seorang
muslim yang tercampur pada
dirinya sunnah dan bid'ah maka
tidak boleh kita membencinya
secara total. Akan tetapi kita
mencintainya sesuai dengan kadar
ketaatan dan sunnah yang
dilakukannya dan kita
membencinya sesuai dengan kadar
maksiat dan bid'ah yang
dilakukannya. (lihat penjelasan Ibnu
Taimiyyah dalam Majmuu' Al-
Fataawaa) Inilah penerapan yang
benar dari kaidah Al-Walaa wal
Baroo'.
Namun sering kita dapati :
- Ternyata terkadang kita
sangat membenci saudara kita yang
menyelisihi kita dalam beberapa
perkara, padahal perkara-perkara
tersebut merupakan perkara
khilafiah ijtihadiah
- Terkadang kita membenci
saudara kita secara total padahal
saudara kita tersebut hanya
terjerumus dalam sebuah bid'ah dan
kita telah mengetahui semangatnya
dalam melaksanakan sunnah dan
ketaatan kepada Allah.
- Terkadang kita ikut-ikutan
mentahdziir dan menghajr saudara
kita sesama ahlus sunnah bukan
karena Allah, akan tetapi lantaran
kita takut kalau kita tidak ikut
mentahdzir maka kitalah yang kena
tahdzir dan dihajr, padahal batin kita
menolak hal tersebut???!!!. Ini
berarti kita beramal karena selain
Allah, mentahdzir bukan karena
takut kepada Allah akan tetapi
karena takut kepada manusia.
Ketiga : Apakah engkau senantiasa
bergembira tatkala ada orang lain
(dari manapun juga dia, dan dari
pondok atau yayasan atau lulusan
manupun) yang ikut menyebarkan
dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah?
(selalu – sering – terkadang – jarang
– hampir tidak pernah
).
Suatu penyakit yang sering
menimpa seorang da'i tatkala
datang seorang da'i yang lain yang
lebih berilmu atau lebih pandai
berceramah bahkan lebih disukai
oleh para pendengar atau pemirsa.
Terkadang seseorang berdakwah
selama bertahun-tahun dan berhasil
mengumpulkan banyak pengikut,
dan selama itu ia merasa bahwa
dirinya telah ikhlas dalam
berdakwah. Namun kebenaran
keikhlasannya teruji tatkala datang
seorang da'i yang lebih piawai
daripada dirinya. Di sinilah akan
nampak apakah ia ikhlas ataukah
tidak. Jika dia ikhlas tentunya ia
akan sangat bergembira karena ada
dai yang lain yang membantunya
dalam menyebarkan dakwah Ahlus
Sunnah wal Jama'ah, terlebih lagi
akan bertambah kegembiraannya
tatkala ia tahu bahwasanya dai
tersebut sangat pandai dalam
berdakwah.
Akan tetapi jika ternyata selama ini
dakwah yang ia bangun bukan di
atas keikhlasan maka yang timbul
adalah rasa hasad dan dengki yang
amat sangat terhadap dai tersebut.
Syaikh Utsaimin rahimahullah
berkata, "Orang yang berdakwah
kepada selain Allah terkadang
berdakwah kepada dirinya sendiri,
ia berdakwah kepada al-haq
(kebenaran) agar ia diagungkan di
hadapan masyarakat dan
dihormati" (Al-Qoul Al-Mufiid 1/126)
Beliau juga berkata, "Banyak orang
yang kalau berdakwah kepada
kebenaran mereka berdakwah
kepada diri mereka sendiri" (Al-Qoul
Al-Mufiid 1/136)
Cukuplah bagi kita kisah berharga
yang pernah di alami oleh Al-Imam
Al-Bukhari, dimana beliau ditahdzir
dan dihajr oleh gurunya sendiri
karena hasad (sebagaimana yang
dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim dalam
As-Sowaa'iq Al-Mursalah dan juga
Ibnu Hajr dalam Hadyu As-Saari).
Padahal sebelum kedatangan Imam
Al-Bukhari maka gurunya tersebut
banyak memuji beliau dan
menganjurkan murid-muridnya
untuk menghadiri majelis Imam Al-
Bukhari. Namun tatkala majelis
Imam Al-Bukhari ternyata dihadiri
banyak orang maka timbullah
hasad dalam diri sang guru tersebut.
Keempat : Apakah engkau
senantiasa mengecek niatmu di
tengah amalmu? (selalu – sering –
terkadang – jarang – hampir tidak
pernah
)
Kita harus menyadari bahwasanya
meraih keikhlasan adalah perkara
yang sulit, akan tetapi lebih sulit lagi
adalah menjaga keikhlasan
tersebut. Ada dua bentuk menjaga
kelanggengan keikhlasan
- Menjaga keikhlasan agar
tetap langgeng pada amalan-
amalan berikutnya.
- Menjaga keikhlasan tatkala
sedang beramal. Yaitu sebagaimana
kita ikhlas tatkala memulai amalan
(di awal amalan) demikian juga kita
berusaha menjaga keikhlasan
tersebut tatkala melakukan amalan.
Sufyan At-Tsauri pernah berkata,
ﻣَﺎ ﻋَﺎﻟَﺠْﺖُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺃَﺷَﺪَّ ﻋَﻠَﻲَّ ﻣِﻦْ ﻧِﻴَّﺘِﻲ ﻷَﻧَّﻬَﺎ
ﺗَﺘَﻘَﻠَّﺐُ ﻋَﻠَﻲَّ
"Tidak pernah aku meluruskan
sesuatu lebih berat dari meluruskan
niatku, karena niatku selalu
berbolak-balik padaku" (jaami'ul
'Uluum wal Hikam 29)
Sungguh benar perkataan Sufyan,
niat selalu berbolak-balik dan
berubah-ubah. Sulaiman bin Dawud
Al-Haasyimi berkata,
ﺭُﺑَّﻤَﺎ ﺃُﺣَﺪِّﺙُ ﺑِﺤَﺪِﻳْﺚٍ ﻭَﻟِﻲَ ﻓِﻴﻪِ ﻧِﻴَّﺔٌ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﺗَﻴْﺖُ
ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﻀِﻪِ ﺗَﻐَﻴَّﺮَﺕْ ﻧِﻴَّﺘِﻲ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚُ
ﺍﻟْﻮَﺍﺣِﺪُ ﻳَﺤْﺘَﺎﺝُ ﺇِﻟَﻰ ﻧِﻴَّﺎﺕٍ
"Terkadang aku menyampaikan
sebuah hadits dan aku memiliki niat
yang benar dalam menyampaikan
hadits tersebut. Maka tatkala aku
menyampaikan sepenggal dari
hadits tersebut berubahlah niatku.
Ternyata untuk menyampaikan
satu hadits membutuhkan banyak
niat" (Jaami'ul 'Uluum wal Hikam 41)
Kelima : Apakah engkau selalu
berusaha menyembunyikan segala
amalan sholehmu? (selalu – sering –
terkadang – jarang – hampir tidak
pernah
)
Menyembunyikan amalan
merupakan perkara yang sulit
sekali, karena memang hati kita
berusaha dan gembira tatkala ada
orang yang mengetahui amalan
sholeh kita, sehingga orang tersebut
akan tahu kedudukan kita. Akan
tetapi barangsiapa yang berusaha
untuk menyembunyikan amalan
sholehnya serta membiasakan
dirinya dengan hal itu maka akan
dimudahkan oleh Allah. Para salaf
dahulu berusaha untuk
menyembunyikan amalan mereka
(silahkan lihat http://
www.firanda.com/index.php/
artikel/aqidah/1-ikhlas-dan-bahaya-
riya?start=2 )
Keenam : Apakah engkau selalu
tidak terpengaruh dengan pujian
dan celaan masyarakat, karena
yang engkau perhatikan hanyalah
penilaian Allah dan bukan penilaian
manusia? (Selalu – sering –
terkadang – jarang – hampir tidak
pernah
)
Inilah hakekat inti dari keikhlasan,
yaitu seseorang hanya menyibukan
hatinya untuk mengetahui
bagaimana penilaian Allah terhadap
amal sholeh yang ia kerjakan, dan
tidak peduli dengan penilaian
masyarakat. Sungguh ini
merupakan perkara yang sulit dan
butuh perjuangan yang sangat
berat untuk bisa mencapai hal ini.
Oleh karenanya di antara definisi
ikhlas adalah :
ﻧِﺴْﻴَﺎﻥُ ﺭُﺅْﻳَﺔِ ﺍﻟْﺨَﻠْﻖِ ﺑِﺪَﻭَﺍﻡِ ﺍﻟﻨَّﻈْﺮِ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟْﺨَﺎﻟِﻖِ
"Melupakan pandangan makhluq
(manusia) dengan selalu
memandang kepada Maha
Pencipta" (Tazkiyatun Nafs 13)
Pertanyaan-pertanyaan di atas
hanyalah sebagai renungan bagi
kita semua, yang mungkin selama
ini di antara kita ada yang telah
merasa ikhlas dan terlepas dari
riyaa' maka hendaknya kita
bermuhasabah dengan pertanyaan-
pertanyaan di atas.

No comments: