Nonton iklan bentar ya...!!!

Thursday 3 March 2011

SEJARAH MAULID NABI –Shalallahualaihi wa salam-

Orang yang memperhatikan sejarah Nabi saw,
serta sejarah para sahabat dan para tabi ’in serta
atba’ tabi’in bahkan hingga generasi sesudah
tahun 350 H, tidak akan mendapatkan
seorangpun dari umat Islam yang mengadakan
mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau
memerintahkannya, atau bahkan
membicarakannya. Imam al-Hafizh as-Sakhawi
al-Syafi ’i dalam fatawanya berkata: “Perayaan
maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salaf
shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi hal
itu terjadi setelah itu. ” (Mengutip dari Subulul
Huda war-Rasyad (1/439), karya al-Shalihi,
cetakan Kementrian Waqaf Mesir.)
Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik adalah:
Sejak kapan Perayaan Maulid ini ada? Apakah
diadakan oleh para ulama, atau para raja, atau
oleh para khulafa` ahlus sunnah yang dipercaya
agamanya? Ataukah dari orang-orang yang
menyimpang dan memusuhi sunnah? (Nashir ibn
Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi,
Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh) ( www.saaid.net/
mktarat/Maoled/1.htm)
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam,
diantaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah
Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui seorangpun
yang mereyakan Maulid Nabi sebelum Dinasti
Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh
Ustadz Hasan as-Sandubi.
Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan
pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah
besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana
yang dikatakan oleh al-Qalqasandi dalam kitabnya
Shubhul A ’sya.” Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan
urutan sejarah maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Fathimiyyah merayakan
berbagai macam maulid untuk ahlul bait. Yang
pertama kali melakukan adalah al-Muiz lidinillah
(341-365) pada tahun 362 H. Mereka juga
merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana
dikatakan oleh al-Maqrizi as-Syafi ’i dalam kitab as-
Suluk Limakrifati Dualil Muluk. Kemudian Maulid
Nabi- begitu pula maulid-maulid yang lain- pada
tahun 488 H karena khalifah al-Musta ’li billah
mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn Amirul
Juyusy Badr al-Jamali sebagai mentri. Ia adalah
orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam
kitabnya al-Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung
hingga kementrian diganti oleh al-Makmun al-
Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk
melepas shadaqat (zakat) pada tanggal 13 Rabiul
Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh
Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa al-Azhar: 8/255)
Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi al-Syafi’i (854
H) dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan
sesudahnya) berkata:
“Menyebut hari-hari di mana para khalifah
Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya
dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat
dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk
mereka. ”
Lalu dia mengatakan:
“Adalah para khalifah Fathimiyyah di sepanjang
tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar,
yaitu: Hari Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`,
Hari Raya Maulid Nabi saw, Hari Raya Maulid Ali
ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan Husain as,
Maulid Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang
sedang berkuasa), Malam Awal Rajab, Malam
Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah
(awal) Ramadhan, Simath (tengah) Ramadhan,
Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya
Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-
Syita` (pakaian musim hujan), Kiswah as-Shaif
(pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan
Teluk, Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia), Hari
Raya al-Ghuthas, Hari Raya Kelahiran, Hari Raya
Khamis al-Adas (khamis al-ahd, 3 hari sebelum
Paskah), dan hari-hari Rukubat. ”
Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48)
al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) “Pada bulan
Rabiul Awal manusia dipaksa untuk menyalakan
kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-
rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir. ” Di
tempat lain (3/99) ia berkata: (pada tahun 517 H)
”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid
Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti
biasa. ” Untuk keterangan lebih lanjut mengenai
apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan
besarnya walimah maka silakan merujuk pada al-
khuthath; 1/432-433; Syubul A ’sya, karya al-
Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh
Nashir ibn Yahya al-Hanini penulis al-Maulid an-
Nabawi menyimpulkan: “Dari kutipan di atas,
renungkanlah bersama saya. Bagaimana Maulid
Nabi dikumpulkan bersama bid ’ah-bid’ah besar
seperti:
a) Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap
ahlul bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid
Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
b) Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas,
dan hari maulid Isa (natal), yang kesemuanya
adalah hari raya Kristen. Ibnul Turkmani dalam
kitabnya al-Luma ’ fil Hawadits wal
Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya
milik Nashari tersebut: “Pasal, termasuk bid’ah
dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh
kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik
Nasrani dan hari-hari besar mereka, yaitu ikut
menambah uang belanja (lebih dari hari
biasanya). ” Ia berkata,
“Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan
keburukannya akan kembali kepada orang yang
mengeluarkannya, cepat atau lambat. ”
Lalu dia berkata, “Di antara sedikitnya taufiq dan
kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh
orang muslim yang buruk pada hari yang disebut
dengan hari Natal (kelahiran/ maulid Isa). ”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama
Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan
perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka
ia kafir seperti mereka.
Kemudia ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang
biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil.
Dia menjelaskan keharamannya berdasarkan al-
Quran dan Sunnah melalui kaedah-kaedah
syariat. Dengan demikian, maka yang pertama
kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid
yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyiin.
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang
dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi
menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir al-
Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M )
maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum
Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah,
kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari
Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid ini
kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik,
pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh al-
Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika
Orang-Orang Turki Usmani memasuki Mesir
maka mereka meniadakan maulid ini. Namun
setelah itu muncul kembali. Demikian yang
dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan
maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui
sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn
Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni
(bukan Syi ’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin). Dia
membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan
menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari
itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan
hiburan qarquz, Gubernur menjadikannya
sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa
menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah
kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai
pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar
Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah,
mendengarkan irama musik dan melihat segala
yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid
pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada
tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari
sebelum maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan
kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor
menuju lapangan untuk disembelih sebagai
hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab al-
Ba ’irts ala Inkaril Bida’ wal-Hawadits mengatakan:
Orang yang pertama melakukan hal tersebut di
Mosul (Mushil) adalah syaikh Umar ibn
Muhammad al-Mulla salah seorang shalih yang
terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau. ”
Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam
Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan maulid
yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri
oleh kaum shufi, melalui acara sama ’ (pembacaan
qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan
kaum shufi) dari waktu zhuhur hingga fajar, dia
sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam
joget-ala shufi). Dihidangkan 5000 kambing
guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah
(semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya
yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya-
sebesar 300.000 Dinar. Syaikh Umar ibn
Muhammad al-Mulla yang menjadi panutan
sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap
tahun mengadakan perayaan maulid dengan
mengundang umara, wuzara (para mentri) dan
ulama (shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari
berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di
Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-
bid’ah yang ada di dalamnya.” (Al-Madkhal:
2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak
ditulis, seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal
di Mesir w. 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang
wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu
Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H,
dan Ahmad al- ’Azli bersama putranya
Muhammad yang wafat tahun 677 H. Karena
banyaknya bid ’ah-bid’ah yang menyertai acara
maulid maka para ulama mengingkarinya,
bahkan mengingkari hukum asal maulid. Di
antara mereka adalah al-Fakih al-Maliki Tajuddin
Umar ibn Ali al-Lakhami al-Iskandari yang dikenal
dengan sebutan al-Fakihani yang wafat tahun 731
H. Dia menuliskannya dalam risalah al-Maurid fil
Kalam alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam
Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil ibn Asyur
berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara
manusia berselisih antara yang membolehkan
dan melarang. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
(773-852), as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-
Haitami (909-974) menganggap baik, dengan
pengingkaran mereka terhadap bid ’ah-bid’ah
yang menempel pada acara maulid. Mereka
menyandarkan pendapat mereka pada firman
Allah yang artinya:
“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari
Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam
Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi dalam
Syu ’abul Iman dari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi saw,
beliau menafsiri hari-hari Allah dengan nikmat-
nikmat Alah dan karunia-Nya. ” (Ruhul Ma’ani,
karya al-Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi saw
adalah nikmat Allah yang besar.
Saya katakan:
Betul, mengingatkan nikmat-nikmat Allah
termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi saw
melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan,
bukan dengan hari raya dan perayaan atau pesta
atau idul milad atau mauludan.
Penutup
Pembaca yang mulia, setelah kita mengetahui asal
muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum
bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dsar
akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan
syiar-syiar kaum salib. Maka di sini kita perlu
mengatakan kepada orang-orang yang menilai
masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
“Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang
seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar
agama kita ?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi:
“Sesungguhnya abad-abad awal yang
diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -
salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi
adanya ibadah semacam ini, apakah dari
ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya.
Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup
bagi mereka, salafus shalih itu

No comments: