Nonton iklan bentar ya...!!!

Tuesday 1 March 2011

kaum hawa yang terjajah...

Tolong,
jangan
bilang
aku
pelacur,
jangan
bilang
aku
PSK,
jangan
bilang
aku
perek,
jangan bilang aku wanita nakal,
aku cuma jual lubang labirin,
aku cuma jual kelamin,
karena ini adalah sebuah
keterpaksaan,
karena ini adalah satu-satunya
pilihan,
dari pada aku mati lapar,
dari pada bapak ibuku mati
terkapar,
dari pada aku mencuri nasi setiap
hari lalu masuk
bui,
atau lebih parah lagi dengan resiko
dipukuli,
atau dari pada aku mencoba bunuh
diri.
Yah …. Lebih baik aku begini,
setiap malam terbang di sisi jalan,
setiap malam dihinggapi binatang
seperti serigala
yang haus akan kepuasan,
setiap malam jual lubang labirin,
atau setiap malam rasakan sedikit
sakit di
selangkangan.
Aku terlahir sebagai kaum hawa,
kaum yang
selama ini katanya masih terjajah.
Aku terlahir
sebagai kaum anjal, yang dulu
bersekolah
ditempat yang tak biasanya murid
belajar. Aku
belajar disanggar seorang
sukarelawan yang rela
memberikan waktunya pada kami
yang
terkadang kurang ajar. untuk itu ia
mengajarkan
hal ajar pada kami.
Anak anjal yang tak punya masa
depan. Aku
seorang anak tunggal, kami
sekeluarga tidak
punya siapa-siapa kecuali tetangga
yang selalu
berganta-ganti.
Kami hidup serba timpang.
Kebutuhan kami
sering sekali kami cukupi dengan
berhutang kalau
bapak dapat hasil memperihatinkan
atau lubang
labirinku tak termasuki binatang.
Kami benar-
benar hidup serba kekurangan,
rumah kami
selalu digusur oleh petugas
pemerintah
keamanan sebab kami selalu
mengganggu
ketertiban, atau merusak tata kota
yang katanya
indah. Seketika aku merasa kami
seolah-olah
bangkai yang merusak bau wangi
kota yang
harum, kami seolah-olah sampah
yang harus
dikubur dalam-dalam atau paling
tidak dibakar,
agar bau yang dikeluarkannya
segera hilang atau
musnah. Kami selalu hidup
berpindah-pindah
seolah-olah kami seorang
gereliyawan negara,
pengguni selokan atau kolom
jembatan yang
sering dikatakan bapakku adalah
tanah rindang
yang kita cari dan aku selalu
menganggukkan
kepala untuk menyenangkannya,
dan berkata,
“ Iya benar-benar rindang seperti di
surga!”.
Dan aku selalu takut, benar-benar
takut, takut
ibuku tahu aku bekerja melayani
kepuasan para
binatang, takut jika bapakku tahu
akan hal itu, usia
orang tuaku sudah rentah, tapi
bapakku masih
tetap bekerja, bekerja sebagai
pedagang kaki lima
di jalanan kampung, menjual es
legen untuk
bocah-bocah, wanita pekerja yang
haus
kerongkongan atau bapak-bapak
yang lelah
setelah pulang bekerja.
Dan aku selalu menumpahkan air
mata keruh
ketika melihat keringat itu jatuh
satu
persatu, dari
wajah keriputnya, kurus kering
apalagi ketika
keringat itu tumpah tanpa hasil apa-
apa. Aku tak
bisa membendung air mata.
Sesekali
aku merasa
aku lebih baik tinggal di neraka dari
pada melihat
orang tuaku seperti itu.
“ Ya, Tuhan inikah derita!”, kataku
lirih
pada langit
yang seolah-olah bungkam tak
bersuara.
Kata orang ada banyak cara untuk
hidup, tapi
apa?, selalu yang kutemukan
jawabannya adalah
terpaksa jual lubang labirin saja!!.
Kata Negara gelandangan pengemis
anak terlantar
atau kaum miskin seperti kami
dipelihara oleh
Negara, tapi mana buktinya, kenapa
harus kami
yang masuk neraka hanya kami
terlahir tidak tahu
apa-apa, terlahir sebagai penghuni
sampah
Negara.
“ Dengarlah Tuhan, cobaan hidup ini
makin lama
makin menekan jiwa”, sesalku pada
Tuhan yang
entah dia maha tahu, atau juga
entah maha kasih.
Aku masih ragu.
By : kaum binatang yang turut
bersedih akan
kaum hawa yang terjajah

No comments: