Nonton iklan bentar ya...!!!

Friday 24 June 2011

Hukum Cadar: Dalil-DalilUlama yang TidakMewajibkan

sampaikan dalil-dalil
para ulama yang mewajibkan
cadar bagi wanita. Sekarang -
insya Allah- akan disampaikan
dalil-dalil para ulama yang tidak
mewajibkannya. Dalil-Dalil yang Tidak
Mewajibkan Inilah secara ringkas dalil-dalil
para ulama yang tidak
mewajibkan cadar bagi wanita. Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala, ﺎَﻬْﻨِﻣ َﺮَﻬَﻇ ﺎَﻣ َّﻻِﺇ َّﻦُﻬَﺘَﻨﻳِﺯ َﻦﻳِﺪْﺒُﻳ َﻻَﻭ “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari mereka.” (QS. An Nuur: 31) Tentang perhiasan yang biasa
nampak ini, Ibnu Abbas berkata,
“Wajah dan telapak tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Jilbab Al Mar ’ah Al Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al
Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I.
Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu
Abbas tentang penafsiran ini
dilemahkan oleh Syeikh
Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-
riwayat shahih dari perkataan
sebagian tabi’in. Wallahu a’lam). Perkataan serupa juga
diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Ibnu Umar. (Riwayat
ini dishahihkan oleh Syeikh Al
Albani dalam Jilbab Al Mar ’ah Al Muslimah, hal. 59-60).
Berdasarkan penafsiran kedua
sahabat ini jelas bahwa wajah
dan telapak tangan wanita boleh
kelihatan, sehingga bukan
merupakan aurat yang wajib ditutup. Kedua, firman Allah, َّﻦِﻬِﺑﻮُﻴُﺟ ﻰَﻠَﻋ َّﻦِﻫِﺮُﻤُﺨِﺑ َﻦْﺑِﺮْﻀَﻴْﻟَﻭ “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31) Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
“Allah ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar
(kerudung) pada belahan-
belahan baju (dada dan
lehernya), maka ini merupakan
nash menutupi aurat, leher dan
dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya
membuka wajah, tidak mungkin
selain itu.” (Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al
Mar’ah Al Muslimah, hal. 73). Karena memang makna khimar
(kerudung) adalah penutup
kepala. Demikian diterangkan
oleh para ulama, seperti tersebut
dalam An Nihayah karya Imam
Ibnul Atsir, Tafsir Al Qur ’an Al ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al Qadir karya
Asy Syaukani, dan lainnya. (Lihat
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72-73). Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala, ْﻢِﻫِﺭﺎَﺼْﺑَﺃ ْﻦِﻣ ﺍﻮُّﻀُﻐَﻳ َﻦﻴِﻨِﻣْﺆُﻤْﻠِّﻟ ْﻞُﻗ َّﻥِﺇ ْﻢُﻬَﻟ ﻰَﻛْﺯَﺃ َﻚِﻟَﺫ ْﻢُﻬَﺟﻭُﺮُﻓ ﺍﻮُﻈَﻔْﺤَﻳَﻭ َﻥﻮُﻌَﻨْﺼَﻳﺎَﻤِﺑ ٌﺮﻴِﺒَﺧ َﻪﻠﻟﺍ } 30 { ﻞُﻗَﻭ َّﻦِﻫِﺭﺎَﺼْﺑَﺃ ْﻦِﻣ َﻦْﻀُﻀْﻐَﻳ ِﺕﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻠِّﻟ َّﻦُﻬَﺟﻭُﺮُﻓ َﻦْﻈَﻔْﺤَﻳَﻭ “Katakanlah kepada orang laki- laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada
wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari
padanya.” (QS. An Nur: 30,31) Ayat ini menunjukkan bahwa
pada diri wanita ada sesuatu
yang terbuka dan mungkin
untuk dilihat. Sehingga Allah
memerintahkan untuk menahan
pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu
wajah dan kedua telapak tangan.
(Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna
dengan ayat tersebut ialah
hadits-hadits yang
memerintahkan menahan
pandangan dari wanita dan
larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur
memandang dengan tidak
sengaja. Di antaranya, ِﻪﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ َّﻥَﺃ ِّﻱِﺭْﺪُﺨْﻟﺍ ٍﺪﻴِﻌَﺳ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ﺍﻮُﻟﺎَﻗ ِﺕﺎَﻗُﺮُّﻄﻟﺎِﺑ َﺱﻮُﻠُﺠْﻟﺍَﻭ ْﻢُﻛﺎَّﻳِﺇ َﻝﺎَﻗ ﺎَﻨِﺴِﻟﺎَﺠَﻣ ْﻦِﻣ ﺎَﻨَﻟ َّﺪُﺑ ﺎَﻣ ِﻪﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﻳ ْﻢُﺘْﻴَﺑَﺃ ْﻥِﺇ ِﻪﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻝﺎَﻘَﻓ ﺎَﻬﻴِﻓ ُﺙَّﺪَﺤَﺘَﻧ ُّﻖَﺣ ﺎَﻣَﻭ ﺍﻮُﻟﺎَﻗ ُﻪَّﻘَﺣ َﻖﻳِﺮَّﻄﻟﺍ ﺍﻮُﻄْﻋَﺄَﻓ ِﺮَﺼَﺒْﻟﺍ ُّﺾَﻏ َﻝﺎَﻗ ِﻪﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﻳ ِﻖﻳِﺮَّﻄﻟﺍ ُﺮْﻣَﻷْﺍَﻭ ِﻡَﻼَّﺴﻟﺍ ُّﺩَﺭَﻭ ﻯَﺫَﻷﺍ ُّﻒَﻛَﻭ ِﺮَﻜْﻨُﻤْﻟﺍ ِﻦَﻋ ُﻲْﻬَّﻨﻟﺍَﻭ ِﻑﻭُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ Dari Abu Said Al Khudri
radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan ”. Maka para Sahabat berkata,
“Kami tidak dapat meninggalkannya, karena
merupakan tempat kami untuk
bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di
jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan,
menjawab salam,
memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no.
1150, Muslim, Abu Dawud
(4816). Lihat Silsilah Al Ahadits
Ash Shahihah 6/11-13) Juga sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu, َﻚَﻟ َّﻥِﺈَﻓ َﺓَﺮْﻈَّﻨﻟﺍ َﺓَﺮْﻈَّﻨﻟﺍ ِﻊِﺒْﺘُﺗ ﺎَﻟ ُّﻲِﻠَﻋ ﺎَﻳ ُﺓَﺮِﺧﺂْﻟﺍ َﻚَﻟ ْﺖَﺴْﻴَﻟَﻭ ﻰَﻟﻭُﺄْﻟﺍ “Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama)
dengan pandangan (kedua),
karena engkau berhak (yakni,
tidak berdosa) pada pandangan
(pertama), tetapi tidak berhak
pada pandangan (kedua).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan
lainnya. Dihasankan oleh Syaikh
Al Albani dalam Jilbab Al Mar ’ah Al Muslimah, hal. 77) Jarir bin Abdullah berkata, َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ ُﺖْﻟَﺄَﺳ َﻙَﺮَﺼَﺑ ْﻑِﺮْﺻﺍ َﻝﺎَﻘَﻓ ِﺓَﺄْﺠَﻔْﻟﺍ ِﺓَﺮْﻈَﻧ ْﻦَﻋ Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba
(tidak sengaja), maka beliau
bersabda, “Palingkan pandanganmu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya.
Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 78) Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat
hujjah (argumen) bahwa wanita
tidak wajib menutupi wajahnya
di jalan, tetapi hal itu adalah
sunah yang disukai. Dan yang
wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita
dalam segala keadaan, kecuali
untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu
disebutkan oleh Muhyiddin An
Nawawi, dan beliau tidak
menambahinya.” (Adab Asy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77). Keempat, Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, ﻰَﻠَﻋ ْﺖَﻠَﺧَﺩ ٍﺮْﻜَﺑ ﻲِﺑَﺃ َﺖْﻨِﺑ َﺀﺎَﻤْﺳَﺃ َّﻥَﺃ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﻬْﻨَﻋ َﺽَﺮْﻋَﺄَﻓ ٌﻕﺎَﻗِﺭ ٌﺏﺎَﻴِﺛ ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋَﻭ َﻝﺎَﻗَﻭ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﺾﻴِﺤَﻤْﻟﺍ ِﺖَﻐَﻠَﺑ ﺍَﺫِﺇ َﺓَﺃْﺮَﻤْﻟﺍ َّﻥِﺇ ُﺀﺎَﻤْﺳَﺃ ﺎَﻳ ﺍَﺬَﻫَﻭ ﺍَﺬَﻫ ﺎَّﻟِﺇ ﺎَﻬْﻨِﻣ ﻯَﺮُﻳ ْﻥَﺃ ْﺢُﻠْﺼَﺗ ْﻢَﻟ ﺩُﻭﺍَﺩ ﻮُﺑَﺃ َﻝﺎَﻗ ِﻪْﻴَّﻔَﻛَﻭ ِﻪِﻬْﺟَﻭ ﻰَﻟِﺇ َﺭﺎَﺷَﺃَﻭ ْﻙِﺭْﺪُﻳ ْﻢَﻟ ٍﻚْﻳَﺭُﺩ ُﻦْﺑ ُﺪِﻟﺎَﺧ ٌﻞَﺳْﺮُﻣ ﺍَﺬَﻫ ﺎَﻬْﻨَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻲِﺿَﺭ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan
berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita
itu, jika telah mendapatkan
haidh, tidak pantas terlihat dari
dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua
telapak tangannya. (HR. Abu
Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari
‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai
ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu
Dawud berkata setelah
meriwayatkannya, “Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak
bertemu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah.”) Hadits ini sesungguhnya lemah,
tetapi Syaikh Al Albani
menyatakan bahwa hadits ini
dikuatkan dengan beberapa
penguat (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 58). (1) Riwayat mursal shahih dari
Qatadah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda. “Jika seorang gadis kecil telah haidh,
maka tidak pantas terlihat
sesuatu darinya kecuali
wajahnya dan tangannya sampai
pergelangan.” (Tetapi kemungkinan riwayat ini sama
sanadnya dengan riwayat di atas,
yaitu Qatadah mendapatkan
hadits ini dari Khalid bin Duraik,
sehingga tidak dapat
menguatkan. Wallahu a’lam). (2) Diriwayatkan oleh Thabrani
dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu
Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar
Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari
bapaknya, aku menyangka dari
Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi
Bakar. Asma memakai pakaian
buatan Syam yang longgar
lengan bajunya. Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit
lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat perkara yang
tidak beliau sukai. Maka Asma
menyingkir. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya
kenapa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar).
Maka beliau menjawab,
“Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya
seorang wanita muslimah itu
tidak boleh tampak darinya
kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan
bajunya dan menutupkan pada
kedua telapak tangannya,
sehingga yang nampak hanyalah
jari-jarinya, kemudian
meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua
pelipisnya sehingga yang
nampak hanyalah wajahnya.” Al-Baihaqi menyatakan,
“Sanadnya dha’if.” Kelemahan hadits ini karena perawi yang
bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan
dengan hafalannya, yang
sebelumnya dia seorang yang
utama dan terpercaya ketika
menceritakan dengan bukunya.
Syaikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat
dijadikan penguat. (Lihat Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59). (3) Pendapat sebagian sahabat
(seperti Ibnu Abbas dan Ibnu
Umar) yang menjelaskan
perhiasan yang biasa nampak
yang boleh tidak ditutup, yaitu
wajah dan telapak tangan. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59). Kelima, Jabir bin Abdillah berkata, ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻝﻮُﺳَﺭ َﻊَﻣ ُﺕْﺪِﻬَﺷ ِﺓﺎَﻠَّﺼﻟﺎِﺑ َﺃَﺪَﺒَﻓ ِﺪﻴِﻌْﻟﺍ َﻡْﻮَﻳ َﺓﺎَﻠَّﺼﻟﺍ َﻢَّﻠَﺳَﻭ َّﻢُﺛ ٍﺔَﻣﺎَﻗِﺇ ﺎَﻟَﻭ ٍﻥﺍَﺫَﺃ ِﺮْﻴَﻐِﺑ ِﺔَﺒْﻄُﺨْﻟﺍ َﻞْﺒَﻗ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻯَﻮْﻘَﺘِﺑ َﺮَﻣَﺄَﻓ ٍﻝﺎَﻠِﺑ ﻰَﻠَﻋ ﺎًﺌِّﻛَﻮَﺘُﻣ َﻡﺎَﻗ َﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﻆَﻋَﻭَﻭ ِﻪِﺘَﻋﺎَﻃ ﻰَﻠَﻋ َّﺚَﺣَﻭ َﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺍ ﻰَﺗَﺃ ﻰَّﺘَﺣ ﻰَﻀَﻣ َّﻢُﺛ ْﻢُﻫَﺮَّﻛَﺫَﻭ َّﻥِﺈَﻓ َﻦْﻗَّﺪَﺼَﺗ َﻝﺎَﻘَﻓ َّﻦُﻫَﺮَّﻛَﺫَﻭ َّﻦُﻬَﻈَﻋَﻮَﻓ ْﻦِﻣ ٌﺓَﺃَﺮْﻣﺍ ِﺖَﻣﺎَﻘَﻓ َﻢَّﻨَﻬَﺟ ُﺐَﻄَﺣ َّﻦُﻛَﺮَﺜْﻛَﺃ ْﺖَﻟﺎَﻘَﻓ ِﻦْﻳَّﺪَﺨْﻟﺍ ُﺀﺎَﻌْﻔَﺳ ِﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺍ ِﺔَﻄِﺳ َﻥْﺮِﺜْﻜُﺗ َّﻦُﻜَّﻧَﺄِﻟ َﻝﺎَﻗ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﻳ َﻢِﻟ َﻦْﻠَﻌَﺠَﻓ َﻝﺎَﻗ َﺮﻴِﺸَﻌْﻟﺍ َﻥْﺮُﻔْﻜَﺗَﻭ َﺓﺎَﻜَّﺸﻟﺍ ِﺏْﻮَﺛ ﻲِﻓ َﻦﻴِﻘْﻠُﻳ َّﻦِﻬِّﻴِﻠُﺣ ْﻦِﻣ َﻦْﻗَّﺪَﺼَﺘَﻳ َّﻦِﻬِﻤِﺗﺍَﻮَﺧَﻭ َّﻦِﻬِﺘَﻃِﺮْﻗَﺃ ْﻦِﻣ ٍﻝﺎَﻠِﺑ Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah,
dengan tanpa azan dan tanpa
iqamat. Kemudian beliau
bersandar pada Bilal,
memerintahkan untuk bertakwa
kepada Allah dan mendorong untuk menaati-Nya. Beliau
menasihati dan mengingatkan
orang banyak. Kemudian beliau
berlalu sampai mendatangi para
wanita, lalu beliau menasihati
dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena
mayoritas kamu adalah bahan
bakar neraka Jahannam!” Maka berdirilah seorang wanita dari
tengah-tengah mereka, yang
pipinya merah kehitam-hitaman,
lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan)
suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan
perhiasan mereka, yang berupa
giwang dan cincin, mereka
melemparkan pada kain Bilal.
(HSR Muslim, dan lainnya) Hadits ini jelas menunjukkan
wajah wanita bukan aurat, yakni
bolehnya wanita membuka
wajah. Sebab jika tidak, pastilah
Jabir tidak dapat menyebutkan
bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. (Lihat Jilbab Al
Mar’ah Al Muslimah, hal. 59) (Tetapi dalil ini dibantah dengan
penjelasan bahwa hadits ini yang
mahfudz (shahih) dengan lafazh
min safilatin nisa’ (dari wanita- wanita rendah) sebagai ganti
lafazh sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu
mengisyaratkan wanita tersebut
adalah budak, sedangkan budak
tidak wajib menutupi wajah. Atau
kejadian ini sebelum turunnya
ayat hijab. Wallahu a’lam). Keenam, Ibnu Abbas berkata, َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻑَﺩْﺭَﺃ ٍﺱﺎَّﺒَﻋ َﻦْﺑ َﻞْﻀَﻔْﻟﺍ … ﻰَّﻠَﺻ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ َﻒَﻗَﻮَﻓ ِﺖَﻠَﺒْﻗَﺃَﻭ ْﻢِﻬﻴِﺘْﻔُﻳ ِﺱﺎَّﻨﻠِﻟ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻲِﺘْﻔَﺘْﺴَﺗ ٌﺔَﺌﻴِﺿَﻭ َﻢَﻌْﺜَﺧ ْﻦِﻣ ٌﺓَﺃَﺮْﻣﺍ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ ُﻪَﺒَﺠْﻋَﺃَﻭ ﺎَﻬْﻴَﻟِﺇ ُﺮُﻈْﻨَﻳ ُﻞْﻀَﻔْﻟﺍ َﻖِﻔَﻄَﻓ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ َﺖَﻔَﺘْﻟﺎَﻓ ﺎَﻬُﻨْﺴُﺣ ِﻩِﺪَﻴِﺑ َﻒَﻠْﺧَﺄَﻓ ﺎَﻬْﻴَﻟِﺇ ُﺮُﻈْﻨَﻳ ُﻞْﻀَﻔْﻟﺍَﻭ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻦَﻋ ُﻪَﻬْﺟَﻭ َﻝَﺪَﻌَﻓ ِﻞْﻀَﻔْﻟﺍ ِﻦَﻗَﺬِﺑ َﺬَﺧَﺄَﻓ ﺎَﻬْﻴَﻟِﺇ ِﺮَﻈَّﻨﻟﺍ … “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Al Fadhl
bin Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa
kepada orang banyak. Datanglah
seorang wanita yang cantik dari
suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut,
dan kecantikannya
mengagumkannya. Nabi ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi
Al Fadhl tetap melihatnya. Maka
nabi ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan
memegang dagu Al Fadhl,
kemudian memalingkan wajah Al
Fadhl dari melihatnya…” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya) Kisah ini juga diriwayatkan oleh
Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu
terjadi di tempat penyembelihan
kurban, setelah Rasulullah
melemparkan jumrah, lalu dia
menambahkan

No comments: