Nonton iklan bentar ya...!!!

Sunday 22 May 2011

Kisah Seorang Pengabdidi Rehabilitasi Narkoba

Menekuni pekerjaan seperti itu
tampaknya tidak mudah. Buktinya
makian atau umpatan pasien sering
dialamatkan kepada Zulkifli Lubis,
seorang pria yang setia mengabdi di
salah satu tempat rehabilitasi di Pekayon, Bekasi Barat. Namun
demikian , Pak Zul demikian biasa
disapa tidak merasa kapok melakoni
pekerjaan itu. Zul sendiri tak henti-hentinya
mengingatkan pasien yang
kedapatan tidak disiplin. Misalnya
sebut saja Rudi salah seorang residen
yang suka lupa untuk membersihkan
dan membereskan kamarnya. Kedatangan Zul dinilai Rudi sangat
menakutkan dan pasti dirinya disuruh
untuk membereskan kamar tidur
yang masih berantakan. Bahkan sorot
mata Zul menyiratkan kekhawatiran
bagi Rudi. "Bapak ini suka nakut-nakutin. Saya
sudah tahu bapak ke sini, pasti
nyuruh beresin kamar lagi. Tapi
sebentar lagi ya, pak Zul," ujar pria
berusia 32 tahun sambil tertawa kecil. Rudi sendiri, seharusnya setiap hari
wajib merapikan dan membersihkan
kamarnya tanpa disuruh seperti
rekan-rekan lainnya yang juga
menjadi penghuni di rehabilitasi itu.
Namun apa daya, efek narkoba yang menyerang kejiwaan Rudi, membuat
laki-laki berkulit bersih itu jadi sering
lupa. "Dahulu, ketika pertama kali Rudi
dirawat di sini, Ia sering mengamuk,
bahkan kalau disuruh membersihkan
kamarnya sering melawan. Bahkan
tidak jarang ia kerap melempar
barang-barang yang ada di kamarnya, tapi sekarang ini sudah
banyak perubahan, hanya penyakit
lupanya yang masih sering terjadi,"
ujar Zulkifli. Mendengar protes Rudi, Zulkifli yang
setiap hari bertugas memeriksa setiap
kamar pecandu hanya tersenyum.
Kalau sudah begini, pria ramah ini
hanya meminta Rudi untuk tetap
membersihkan kamarnya, meski harus menunggunya. "Nanti setelah membersihkan tempat
tidur, terus mandi dan kita makan
bersama, dengan teman-teman yang
lain," kata pria berusia 46 tahun ini. Pria yang hanya lulus Sekolah
Menengah Tingkat Pertama (SMP) ini
terus membujuk Rudi, agar memiliki
kedisiplinan dan inisiatif selama
menjalani perawatan rehabilitasi. Hal
itu sangat penting, sebagai gambaran untuk memastikan apakah proses
pemulihan yang sedang dijalani Rudi
benar-benar telah menunjukan hasil
signifikan atau belum, Rudi masih
harus menjalani pengobatan lanjutan
selama beberapa bulan kedepan. Bagi Zulkifli, keluhan tentang
mahalnya biaya rehabilitasi menjadi
penyebab banyak pecandu yang
direhab ditempat ini sering mangkir.
Bukan cuma keluhan, terkadang
kakek lima cucu ini harus berlapang dada mendapat omelan pasien yang
keberatan atas kunjungannya. "Kadang kala, kalau saya berkunjung
ke rumahnya, pasien lebih galak!,"
kata Zulkifli. Ketika dirinya menanyakan langsung
ke pasien, kenapa tidak mau datang
ke tempat rehab lagi? Pasien tersebut
mengatakan, "Emangnya bapak yang
merasakan? Saya yang ngerasain,"
ujar seorang pasien seperti dituturkan Zul. Bagi Zulkifli, omelan pasien merupkan
risiko pekerjaannya sebagai petugas
pengawas pasien narkoba.
Terpenting, ia dapat memastikan mulai
dari pengobatan hingga pemulihan
yang dijalani penderita hingga tuntas, sesuai perjanjian yang akan
ditandatangani pasien ketika akan
menjalani pengobatan. Jika
pengobatan pecandu tidak tuntas,
karena tidak ada biaya dan kabur
yang kasihan adalah keluarganya, namun yang lebih menderita lagi si
pecandu itu sendiri. Sebab, bisa
dimungkinkan ia akan kembali lagi
pada komunitasnya. Bahkan yang
paling mengkhawatirkan adalah,
kalau si pecandu yang tengah dirawat ternyata positif HIV/AIDS, dan
memakai narkoba jarum suntik yang
tidak steril. Hal itu tentu bisa menular
pada pecandu yang bergantian jarum
suntik dengan pasien yang positif HIV
tersebut. Zulkifli Lubis menjadi pengawas
pecandu narkoba sejak awal 1999.
Awalnya, pada tahun 1990 dia
bekerja sebagai pesuruh dan penjaga
sepeda di rehabilitasi narkoba dan
kejiwaan dijalan Raya Pekayon Bekasi Barat. Upahnya waktu itu Rp 200 ribu
per bulan. Kini gajinya Rp 900 ribu per
bulan. Karena keuletan dan
kepatuhannya, Zulkifli dipercaya
mengurusi arsip catatan pasien.
Setelah mendapatkan pelatihan dari rehabilitasi itu, kemudian Zulkifli naik
pangkat menjadi petugas pengunjung
pasien. Awal bertugas sebagai pengunjung
pasien, pria bertubuh kecil ini
mengaku takut. "Takut ketularan,
apalagi kalau ada pasien yang
menderita HIV positif. Tapi lama-lama,
biasa dan tidak ada rasa takut. Apalagi ia diberitahu oleh seorang dokter,
kalau penyakit HIV/AIDS hanya bisa
tertular lewat pengguna jarum suntik
secara bergantian yang tidak steril,
hubungan intim dan transfusi darah"
katanya. Bagi Zulkifli, yang penting menjaga
kebersihan dan hidup sehat. Namun,
sepandai-pandai tupai melompat,
akhirnya jatuh juga. Baru dua tahun
bekerja ditempat rehabilitasi itu,
Zulkifli diserang batuk hebat berkepanjangan. Menurut dokter,
Zulkifli mengidap TBC. "Kaget juga. Lha
saya ini ngurusin orang sakit, kok bisa
sakit. Gimana kata orang, yang
ngunjungi pasien saja sakit?" katanya
sambil terkekeh. Bahkan bakteri TBC di paru-paru
Zulkifli sempat menulari putri
sulungnya. Istri dan anak-anaknya
pun protes dan memintanya berhenti
kerja di tempat rehabilitasi. Tapi ia
bergeming. Zulkifli meyakinkan keluarganya, ia tak perlu keluar dari
rahabilitasi tersebut. "Namanya penyakit! Siapa mau sakit?
Anggaplah sebagai cobaan," ujarnya. Syukurlah, karena berobat secara
teratur, Zulkifli sembuh total. Demikian
juga putrinya yang kini telah
memberinya tiga cucu yang lucu. Menurutnya jumlah orang Indonesia
yang menjadi pecandu narkoba ini tak
kunjung turun. "Makin kesini pasien semakin
banyak," kata Zulkifli. Dulu ia biasa melayani sekitar 10
hingga 20 pasien. Sekarang jumlah
pasien meningkat menjadi sekitar 50
pasien sehari. Tak jarang pada Sabtu
dan Minggu Zulkifli mengunjungi
pasien yang rumahnya jauh. "Ada yang di Bogor, Cimanggis,
Tanggerang dan sebagainya. Kita
datangi mereka. Kadang kala
pasiennya gak ada, cuma ketemu
keluarganya," ujar nya. Bahkan Zulkifli selalu mengingatkan
keluarga pasien agar rajin memberi
dukungan pada anaknya yang
tengah dirawat, sebab kalau tidak
sampai tuntas, pengobatan yang
tengah dilakukan sia-sia. Walau bekerja di luar waktu kerja,
Zulkifli tidak mendapat upah
tambahan. Ia hanya mendapat
penggantian uang transportasi saat
berkunjung ke rumah pasien. "Nanti kita bisa bikin laporan,
sebelumnya pakai uang sendiri dulu,"
katanya. Zulkifli pun dapat mengklaim
uang transportasi setiap bulan. Zulkifli adalah satu-satunya petugas
pengunjung pasien di rehabilitasi itu.
Ia menanggung beban moril jika tak
bisa bertemu pasien. Dengan uang
pas-pasan serta menahan lapar dan
haus Zulkifli harus tetap mengunjungi pasien. Alamat pasien yang tidak jelas
juga menjadi masalah. Tak jarang
Zulkifli kehilangan jejak pasien. "Ada juga yang numpang alamat
orang lain. Pas pindah, atau pulang
kampung, gak lapor ke rehabilitasi.
Rasanya kesel juga, sudah jauh-jauh
nggak ada. Padahal, pertama kali
berobat, mereka sudah dikasih pengarahan harus berobat sampai
tuntas. Malah pasien sendiri yang
bilang mau sehat. Tapi, begitu sudah
agak mendingan, nggak dateng lagi,"
gerutunya. Namun keluh kesal Zulkifli berubah
menjadi gembira tiada tara ketika
pasiennya dapat pulih dari
ketergantungan dan efek narkoba.
Rasa lelah dan kesal menguap. "Ibaratnya, saya itu berhasil.
Sekalipun saya nggak bisa ngobatin,
tapi omongan saya didengar mereka,"
katanya. Hubungan dengan pasien yang begitu
lama membuat Zulkifli merasa bagai
saudara sendiri. "Kita merasa kasihan.
Ada orang yang berobat ke sana ke
sini, nggak sembuh. Begitu berobat ke
sini bisa sembuh. Orang itu kadang- kadang jadi saudara. Istilahnya ya kita
cari persaudaraan, menolong
sesama," katanya.

No comments: